BandungBergerak.id – Pada akhir Januari 2024 tahun lalu adalah tepat setahun saya pindah ke Braunschweig, sister-city nya Kota Bandung, di Jerman. Pada waktu-waktu itu saya begitu rindu dengan kampung halaman saya di Bandung. Maka saya memutuskan bahwa saya ingin menulis tentang kampung halaman saya, Kampung Sukajadi. Ya, Sukajadi yang semrawut, yang masuk di film The Last of Us di HBO itu.

Saya tinggal cukup lama di Sukajadi, 21 tahun, sebelum pindah ke Setiabudi pada tahun 2012. Saya merasa sedih dan malu karena ternyata sebelum melakukan riset ini, saya baru menyadari bahwa begitu banyak yang tidak saya ketahui tentang kampung halaman saya. 

Baca Juga: JEJAK JUNGHUHN: Sebelum Menutup Mata di Lembang
GEOWISATA BANDUNG RAYA: Rekaman Sejarah Kehidupan di Bawah Genangan Saguling
Franz Wilhelm Junghuhn dan Bandung

Ci Limus di Sukajadi

Saya lahir dan besar di Sukajadi. Perkampungan padat penduduk di bilangan Bandung Utara. Rumah masa kecil saya terletak di tepi satu-satunya sungai yang memotong Jalan Sukajadi. Baru sebelum menulis artikel ini saya tanya ibu saya apa nama sungai itu. Ibu saya menjawab, “Ci Limus”. Jangan keliru dengan Cilimus yang ada di Ledeng. Juga jangan keliru ketika saya menulis Ci dengan disambung atau dipisah. Ketika disambung maka itu merujuk pada nama tempat, sementara ketika dipisah maka itu merujuk pada nama sungai.

Ci Limus memotong Jalan Sukajadi, sekitar 300 meter arah utara dari titik paling selatan Jalan Sukajadi di seberang Rumah Sakit Hasan Sadikin. Jalan Sukajadi sendiri bermula di pertigaan Jalan Prof. Eyckman hingga ke pertigaan Jalan Dr. Setiabudi, tepat di depan SMPN 15, panjangnya sekitar 2.5 km. Selain menjadi nama jalan, Sukajadi juga menjadi nama kecamatan, yang meliputi lima kelurahan: Cipedes, Pasteur, Sukabungah, Sukagalih, dan Sukawarna. Rumah saya termasuk ke dalam Kelurahan Sukabungah.

Saya pernah membaca tulisan T. Bachtiar tentang Sukajadi. Menurut T. Bachtiar, toponimi Sukajadi itu merujuk pada geografi suatu cekungan. Kata “Jadi” merupakan istilah lama untuk menyebut periuk atau gentong. Bayangkan sebuah gentong, bentuknya bukan hanya cekung, melainkan menunjukkan topografi terjal yang dalam. Sementara kata “Suka” merujuk pada kata pada bahasa Kawi, yang berarti membuat hati merasa senang. Dari situ T. Bachtiar berinterpretasi bahwa Sukajadi merupakan suatu cekungan yang keadaan alamnya sangat indah dan membuat orang merasa nyaman menempatinya.

Jika kita memandang Jalan Sukajadi dari arah selatan ke utara, tepatnya dari pertigaan Jalan Prof. Eyckman, maka kita akan melihat satu turunan lalu kemudian tanjakan sejak mulai dari Sukagalih hingga ke PVJ. Begitu pun jika memandang dari utara ke arah selatan, tepatnya dari Polsek Sukajadi, kita akan melihat turunan, yang kemudian tanjakan di depan Rumah Sakit Hasan Sadikin. Tinggian di seberang RSHS ini adalah titik paling utara dari Jalan Pasir Kaliki, sementara itu di bagian utara merupakan punggungan utama yang menerus hingga ke Setiabudi. Jika toponimi Sukajadi berasal dari dasar sebuah cekungan, maka dasar cekungan itu adalah Lembah Ci Limus, persis di sekitar rumah saya tinggal.

Ci Limus berhulu di utara Jalan Cemara, di sekitar Rumah Mode. Mulanya mengalir ke arah timur kemudian berbelok ke selatan ke sisi barat Jalan Jurang tepat di belakang Restoran Ayam Goreng Suharti. Dari Jalan Jurang, sungai ini mengalir ke selatan-barat daya, melewati Jalan Sukamaju, Pasar Sederhana, Jalan Bijaksana, hingga akhirnya berbelok ke arah barat di Jalan Sukajadi. Di sini Ci Limus dialirkan melalui terowongan yang ada di bawah Jalan Sukajadi. Tidak jauh dari terowongan ini adalah lokasi rumah saya di sebelah kanan sungai. Nama gangnya adalah Gang Marjaban, yang merupakan tempat saya, ibu saya, kakek saya, dan nenek buyut saya, lahir dan dibesarkan.

Dari Terowongan-Sukajadi Ci Limus mengalir ke arah barat daya, melewati Gang Eme, Gang Asli, kemudian berbelok di Kampung Cibarengkok. Di sini sungai mengalir berkelok-kelok, sehingga pantas nama kampungnya disebut Cibarengkok. Kemudian sungai berbelok ke arah selatan. Di sini terdapat jembatan Kali Ci Limus, yang mencirikan nama sungai ini. Sungai terus mengalir ke arah selatan, bertemu dengan Jalan Pasteur, kemudian mengalir di bawah jalan Pasteur ke arah timur Pemakaman Pandu. Pada akhirnya sungai ini bertemu dengan Ci Tepus di sekitar Astana Anyar.

Terkait toponimi Ci Limus, kata Limus terdapat dalam kamus Jonathan Rigg, yang artinya adalah sejenis mangga, Mangifera foetida, yaitu jenis mangga yang asam, yang cocok untuk rujak atau asinan, sehingga mungkin dulu di tepi-tepi sungai ini banyak ditemukan buah ini. Sementara itu menurut ibu saya, ketika masih banyak kebun dan pepohonan, tanaman yang sering ditemukan di Sukajadi adalah jengkol, pete, kelapa, nangka, dan pisang.

Gang Marjaban

Sedikit cerita tentang Gang Marjaban tempat saya tinggal. Siapa dia dan kenapa namanya menjadi nama gang?

Gang Marjaban diambil dari nama leluhur saya, Aki Marjaban. Beliau adalah bapak dari nenek buyut dari ibu saya, yang bernama Ibu Sadinah. Menurut ibu saya, Aki Marjaban bukan orang Bandung, melainkan pendatang dari Pekalongan. Ia datang merantau ke Bandung untuk membuka lahan dan kebun, mungkin sekitar akhir abad ke-19. Karena termasuk yang pertama membuka lahan, ia jadi mempunyai tanah yang cukup luas.

Bagaimana keadaan Sukajadi waktu itu?

Untuk tahu keadaan pada masa itu, kita pelajari toponimi satu kampung bernama Garunggang, yang letaknya di seberang Rumah Sakit Hasan Sadikin. Nama ini juga tercantum pada beberapa peta lama untuk merujuk pada kawasan di sekitar rumah saya. Menurut T. Bachtiar dalam “Situ Garunggang Pernah Ada di Bandung”, dimuat di Harian Pikiran Rakyat pada November 2019, Garunggang bermakna tempat yang sangat sunyi, tempat yang belum ada penghuninya. Ini sesuai dengan masa ketika Aki Marjaban datang untuk membuka lahan di Sukajadi.

Sebuah foto udara Sukajadi saya temukan pada halaman 147 buku Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto, dokumentasi tertua dari Sukajadi yang pernah saya lihat. Dalam foto yang diambil pada tahun 1931 untuk memotret Instituut Pasteur (yang sekarang menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin), tampak Jalan Prof. Eyckmann berbelok ke arah timur, membentuk pertigaan. Di Jalan Sukajadi yang mengarah ke utara sudah terbangun mulus dan lurus. Di sebelah baratnya, hanya ada beberapa pemukiman, termasuk satu kampung kecil di sebelah barat laut siku-siku dari segitiga. Di sanalah kampung saya berada, tempat kelahiran ibu, kakek, dan nenek buyut saya. Mayoritas lahan masih diselimuti persawahan, tegalan, dan setempat terdapat hutan-hutan.

Pada peta Kota Bandung tahun 1921 berskala 1:5000, batas barat laut Kota Bandung persis berada di Ci Limus. Sehingga rumah saya berada persis di luar batas kota. Dari simbol-simbol peta, teramati keberadaan sawah, tegalan, dan kebun pisang. Dari Jalan Cipaganti ke arah barat hampir seluruhnya merupakan persawahan, mungkin hanya satu ada dua petak pemukiman saja.

Untuk tahu siapa bermukim di mana, kita bisa menganalisis nama-nama gang dan jalan di Sukajadi, kita akan menemukan beberapa pola. Pola pertama adalah pola nama-nama orang. Biasanya pola ini berada di sebelah barat Jalan Sukajadi sebelum Jalan Sukagalih. Pola ini misal: Gang Marjaban, Gang Ma Sadinah, Gang H. Moch.Tabri (di Pasir Kaliki), Gang Eme, Gang Ma Inol, Gang Pa Ahya, Gang Muhammad, Gang Pa Elas (di belakang PVJ), Gang Durahman, Gang Bapa Rukanta (keduanya di Karang Tineung). Penamaan ini kemungkinan besar mencirikan orang-orang yang pertama membuka lahan di sini pertama kali. Dari nama-nama ini, kita bisa menduga bahwa mereka semua adalah warga lokal. Dari nama-nama ini juga kita bisa mengira-ngira nama umum orang-orang Sukajadi pada masa itu.

Contoh yang saya ketahui Aki Marjaban, dia pertama datang pada akhir abad-19, kemudian meninggal di Mekah ketika pergi haji pada tahun 1922. Aki Marjaban punya tiga orang putri: Ibu Sadinah, Ibu Daimah (Ibu Emeh), dan Ibu Kalmah. Dua nama putri Aki Marjaban jadi nama gang juga. Gang Ma Sadinah ada 30 meter arah utara dari Gang Marjaban, sementara Gang Emeh ada sekitar 50 meter arah selatan dari Gang Marjaban. Jika kita telusuri makam-makam di Sukajadi dan mencari orang-orang yang meninggal paling awal, mungkin kita akan temukan nama-nama orang yang kini diabadikan menjadi nama gang ini di sana.

Pola kedua adalah yang menggunakan nama-nama “Suka”, ini terutama merujuk pada jalan utama, antara lain: Sukajadi, Sukagalih, Sukamaju, Sukabungah, Sukasari, Sukamulya, Sukahati. Saya belum menemukan referensi penamaan nama-nama ini. Tapi nama-nama ini digunakan untuk menyebut jalan utama dan juga suatu kawasan. Nama-nama ini juga digunakan belakangan, terutama setelah kemerdekaan untuk mengganti nama-nama yang sebelumnya berbahasa Belanda. 

Kemudian ada pola ketiga adalah pola tematik, misal jalan-jalan dengan tema sifat-sifat mulia: Setia, Bijaksana, Sabar, Makmur, Kesehatan, dll. Lalu jalan dengan tema Karang-Karang: Karang Tinggal, Karang Tineung. Pola ketiga ini adalah pola-pola pemukiman terstruktur yang dikembangkan pada zaman kolonial atau setelah kemerdekaan.

Atep Kurnia pernah menulis tentang Indische Bronbeek yang merupakan pemukiman bagi pensiunan KNIL, ini adalah rumah-rumah di Sukajadi di utara PVJ dan sekitar kompleks Karang. Kompleks ini dibangun sekitar tahun 1920-an. Keberadaan kompleks ini membuat Jalan Sukajadi dinamai sebagai Bronbeekweg (weg = jalan dalam bahasa Belanda). Atep Kurnia juga menulis bahwa pada periode Bersiap, terjadi peristiwa mengerikan, di mana 85 orang penghuni Bronbeek menjadi korban “aksi” dari Pemuda Republik. Ini mencirikan adanya segregasi tempat bermukim yang ekstrem antara warga berdarah Eropa dengan bumiputra.

Pola penamaan gang ini mencirikan kepemilikan lahan pada periode tersebut. Gang-gang atau nama jalan yang bernama orang, kemungkinan berasal dari tanah luas milik orang-orang yang pertama tinggal di sana. Sementara nama gang atau jalan yang bersifat tematik, mungkin berasal dari pemerintah kota atau dari perkembangan kota di masa yang lebih baru. Teramati juga bahwa pemukiman masyarakat asli kebanyakan berada di sepanjang kiri kanan sungai, mulai dari Jalan Jurang hingga ke Cibarengkok, mencirikan pentingnya sungai sebagai pendukung kehidupan.

Semakin menggali, semakin banyak hal baru yang saya ketahui dari Sukajadi, kampung halaman saya ini. Misal ketika ibu saya kecil, kampung saya (Lembah Ci Limus) dikenal sebagai Kampung Legok. Nama Kampung Legok bahkan masih tercatat pada meteran PLN di rumah saya. Nama Kampung Legok bisa ditelusuri pada Peta Bandung Guide Map Edisi Keempat berskala 1:10.000 yang terbit tahun 1946. Ketika itu Jalan Sukajadi masih disebut Bronbeekweg. Antara pertigaan Prof. Eyckman sampai ke jalan Sukagalih disebut Kampung Legok. Legok dalam bahasa Sunda berarti lubang, atau bisa juga berarti cekungan yang dalam. Tak heran ketika hujan sangat deras, di Sukajadi sering terjadi banjir Cileuncang, terutama pada bagian dasar cekungan di antara Graha Sukajadi hingga ke Jalan Sukagalih.

Selain pada peta tahun 1921, ada beberapa pendapat mengenai nama sungai di Sukajadi. Toponimi Ci Limus sebagai nama sungai muncul pada Peta Kota Bandung berskala 1:15.000 yang terbit pada tahun 1953. Pada peta ini, sungai di kampung halaman saya dinamai Leuwilimus. Leuwi dalam bahasa Sunda berarti lubuk, yaitu merujuk pada sungai yang punya lembah yang dalam. Dan sungai di belakang rumah saya punya karakteristik yang demikian.

Rumah saya berada tepat di kanan Ci Limus (untuk mengetahui kiri dan kanan sungai dengan cara kita berdiri searah dengan aliran sungai), di tepi lereng, hanya beberapa rumah saja dari tepi jalan. Susukan ini sejak saya kecil sudah diturap, ditembok sehingga menyisakan dinding-dinding yang terjal setinggi 4 meter dengan kali yang mungkin lebarnya 4-5 meter. Menurut ibu saya pembetonan dilakukan ketika ibu saya masih sekolah SD (beliau kelahiran 1964), mungkin terjadi sekitar pertengahan tahun 1970-an. Pembetonan dilakukan dari hilir sampai ke hulu, dari Pasteur sampai ke Jalan Jurang.

Masih menurut ibu saya, ketika dia masih muda di tahun 1980-an, seorang anak warga Jalan Jurang meninggal karena hanyut masuk ke aliran sungai ketika hujan deras. Dugaan saya bahwa sungai ini memang sejak dulu punya lembah yang dalam, sehingga mungkin Jalan Jurang dinamai demikian karena menggambarkan kondisi alamnya yang berjurang (karena ada lembah sungai yang terjal). Perhatikan juga nama kawasan yang diberi nama Jalan Jurang (terusan Jalan Sederhana) itu sebelumnya dikenal sebagai nama Lamping (kini nama Jalan di belakang Kantor Pos Cipaganti). Lamping bermakna lereng.

Kejadian orang hanyut di sungai-sungai di Bandung sudah terjadi cukup sering. Ini mengingat karakteristik sungai-sungai di wilayah lereng-lereng Bandung, yang cenderung lurus dengan daerah aliran sungai yang sempit dan memanjang, sehingga ketika terjadi hujan besar, sangat mudah terjadi flash flood alias banjir bandang. Ingat kejadian 3 santri yang hanyut di Ci Kapundung pada bulan Maret tahun 2024.

Saya menduga perkampungan di Jalan Jurang juga sama tuanya dengan perkampungan di Gang Marjaban, karena pola penamaannya mengikuti nama-nama orang: Gang Pa Ehom, Gang Aki Nari, Gang Mama Pura, Gang Bapa Adma, Gang Arpat, Gang Mama Uwar, dst.

Nama Ci Limus ini tidak selalu sama pada setiap lembar peta yang dipublikasikan, beberapa nama mungkin keliru karena kekurangakuratan pemetaannya. Pada Peta Kota Bandung tahun 1928 berskala 1:10.000, sungai ini dinamai Ci Kakak. Ini sama dengan pada Peta Kota Bandung tahun 1921 berskala 1:5000, sungai ini merupakan sungai yang bermuara ke Ci Kakak. Ci Kakak sendiri muaranya berada di selatan Pemakaman Astana Anyar, di sebelah barat Lapangan Tegallega.

Selain itu ada juga toponimi Ci Kalintu yang muncul dari Kaart van de gemeente Bandoeng Schaal 1:10.000 yang terbit tahun 1938. Cikalintu dikenal dalam sejarah Kota Bandung sebagai tempat tinggal Bupati pertama Bandung R.A. Wiranatakusumah II ketika mencari tempat untuk ibukota Bandung dari sebelumnya di Krapyak, Dayeuh Kolot. Ada yang menyebut bahwa Cikalintu berada di sekitar Jalan Jurang. Google Maps menggunakan nama Cikalintu untuk menyebut Ci Limus.

Ci Limus pada masa sekarang

Ci Limus kini merupakan sungai yang merana. Tubuhnya telah habis dibeton, hingga tinggal menyisakan tebing yang tegak dan aliran air di bawahnya. Hampir di semua tempat badan sungainya dipunggungi, kecuali di sekitar Cibarengkok, di mana sungai bersebelahan dengan badan gang, sehingga rumah-rumah menghadap ke sungai.

Karena merupakan pemukiman masyarakat yang berkembang secara organik, maka sejak mula berdiri, semua orang di Sukajadi memenuhi kebutuhannya sendiri: air mengebor sendiri, limbah membuang sendiri. Sepanjang sungai akan terlihat pipa-pipa buangan rumah tangga.

Baru beberapa tahun belakangan ada program-program Pamsimas, yang meliputi air bersih dan juga sanitasi. Saya memperhatikan program-program kebersihan juga sering dilaksanakan oleh Kelurahan, baik pembersihan saluran, perawatan tanggul dan turap, serta penyebaran informasi perlindungan sungai. Ini sangat penting jika kita ingin memuliakan sungai sebagai denyut nadi masyarakat urban.

Kita harus menyadari bahwa air mempunyai aturannya tersendiri. Ia selalu mencari elevasi yang paling rendah. Sungai adalah titik-titik elevasi terendah pada setiap relief. Sungai tidak bisa dimodifikasi sembarangan, misal ditutup, dibelokkan, dibendung, atau diubah peruntukannya, karena itu bisa mengubah begitu banyak hal dan memengaruhi begitu banyak orang yang tinggal di sepanjang alirannya.

Setiap kali hujan deras, jalanan dipenuhi air. Jalan seolah menjadi sungai, mencirikan tidak ada lagi jalur air untuk mengalir Ditambah lagi dengan sungai-sungai yang ditutup, baik oleh pemukiman, oleh jalan, oleh parkiran, dan lain-lain. Jika kita gunakan kata kunci „Banjir Sukajadi“ maka kita akan temukan sangat banyak kejadian banjir yang seharusnya tidak terjadi, jika saluran drainase kita terjaga.

Sungai harus kita muliakan, ia melindungi kita, ia sudah menyediakan begitu banyak untuk manusia, sejak era Aki Marjaban hingga sekarang. Mari kita jaga!

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem, atau artikel-artikel lain tentang Situs Geologi