GEOWISATA BANDUNG RAYA: Rekaman Sejarah Kehidupan di Bawah Genangan Saguling
Di sepanjang aliran Ci Tarum mulai dari Curug Jompong hingga Bendungan Saguling banyak ditemukan singkapan geologi dan fosil yang merekam sejarah Cekungan Bandung.
Malik Ar Rahiem
Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung
15 Maret 2024
BandungBergerak.id – Hampir semua warga Cekungan Bandung pasti sepakat bahwa Ci Tarum adalah urat nadi kehidupan masyarakat Bandung. Ternyata pentingnya Ci Tarum Ini tak hanya pada zaman modern saja, tetapi bahkan sejak zaman purba kala. Buktinya adalah temuan candi-candi di sepanjang Ci Tarum, misal Candi Bojongmenje di Rancaekek, Candi Bojongemas di Bojongemas, atau mungkin yang paling besar Candi Batujaya di Karawang.
Lebih jauh lagi, Ci Tarum sudah menjadi urat nadi kehidupan jauh lebih lama daripada periode kebudayaan. Tak hanya manusia, puluhan atau bahkan ratusan fosil hewan dan tanaman purba ditemukan di sini. Di sepanjang aliran Ci Tarum mulai dari Curug Jompong hingga ke Bendungan Saguling banyak ditemukan singkapan-singkapan geologi yang merekam sejarah perkembangan bumi Cekungan Bandung. Sayangnya sejak Ci Tarum dibendung di Saguling, jejak ini ikut tenggelam bersama dengan area seluas 5.606 hektare, yang meliputi total 49 desa, mencakup 12.000 keluarga.
Tapi kita masih beruntung, karena pada zaman kolonial dua orang peneliti yang bekerja di Dinas Pertambangan dan Vulkanologi Hindia Belanda, yaitu Charles Stehn dan Johannes Umbgrove pernah melakukan penelitian singkapan-singkapan geologi di kawasan ini. Mereka mempublikasikan penelitian berjudul Geologi Dataran Bandung Bijdrage tot de Geologie der vlakte van Bandoeng (1929) yang diterbitkan dalam Tijdschrift. Kon. Nederlandisch. Aardrijkskd. Genootschap. 46 (1929): 301.
Baca Juga: GEOWISATA BANDUNG RAYA: Geotrek Curug Jompong Zaman Kolonial Belanda
GEOWISATA BANDUNG RAYA: Curug Lanang dan Curug Kapek yang Hilang di Ci Tarum
Fosil-fosil di Cekungan Bandung
Dalam penelitian ini Stehn dan Umbgrove memetakan singkapan-singkapan geologi, mengelompokkan umur relatif dari lapisan-lapisan batuan, dan melaporkan penemuan fosil-fosil vertebrata serta fosil-fosil tanaman. Beberapa fosil tersebut antara lain: tulang kaki dan gigi dari Bovidae, tulang dari sapi, gigi dari rusa, rahang kanan bawah dari babi. Dari koleksi Stehn dan Umbgrove, Hooijer kemudian (1947) dapat mengidentifikasi keberadaan Manis paleojavanica Dubois, atau Trenggiling Raksasa.
Penting untuk diketahui bahwa para geolog mampu bercerita tentang umur dari formasi batuan berdasarkan hasil pengelompokan-pengelompokan fosil-fosil yang terkandung pada batuan tersebut. Hal ini memerlukan ketekunan, kecermatan, serta kerja lapangan dan kerja laboratorium yang sangat intensif.
Pada era modern, Fachroel Aziz dari Badan Geologi (1999) melaporkan temuan-temuan fosil lain dari area Ci Tarum, misal: gading Stegodon, tulang tibia dari Panthera tigris, dua fosil ikan dari Cililin, fosil ular yang cukup lengkap (sekarang menjadi display utama Panel Cekungan Bandung di Museum Geologi Bandung), potongan fosil gajah, badak, sapi, dan rusa, serta berbagai macam fosil lainnya. Kita beruntung sekarang Museum Geologi Bandung telah membuka layanan Virtual Museum, sehingga kita bisa berkunjung ke Museum Geologi kapan saja dan dari mana pun kita mau untuk melihat koleksi mereka.
Pada bulan Juli 2004, seorang penduduk kampung Rancamalang, Desa Margaasih, Kabupaten Bandung melaporkan penemuan sepotong fosil gigi gajah (Elephas sp.) ketika menggali sumur di rumahnya pada kedalaman 5-6 meter. Tim Museum Geologi kemudian mengirimkan tim untuk meneliti dan melakukan penggalian, lalu tim berhasil menemukan potongan lainnya, yang terdiri dari gigi dan rahang yang sangat lengkap. Laporan ini dipublikasikan oleh Julianty, Suwardi, dan Baskoro dalam makalah berjudul Elephas Maximus dari Kampung Rancamalang, Kabupaten Bandung: Sebuah Studi Pendahuluan. Makalah ini dipresentasikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-33 tahun 2004. Pada saat itu, rahang gajah ini merupakan spesimen fosil gajah yang paling lengkap yang pernah ditemukan di Indonesia.
Kalau kita cermat, di Bandung terdapat toponimi Leuwigajah, yang juga berada di sekitar Ci Tarum. Tentu pemberian nama tempat bukanlah sembarang memberi nama, pasti ada alasannya. Apakah mungkin manusia purba menyaksikan keberadaan gajah yang berkeliaran di Cekungan Bandung?
Terbaru pada tahun 2021, tim dari Geologi ITB melaporkan temuan fosil hewan purba yang ditemukan di Pulau Sirtwo. Pulau ini dulunya adalah punggungan yang kemudian terpisah dari daratan utama karena tenggelam akibat genangan Waduk Saguling. Adapun, fosil-fosil yang ditemukan berasal dari kelompok Bovidae (sapi, kerbau dan banteng), Cervidae (kelompok rusa) dan Elphas maximus (gajah). Keberadaan fosil-fosil purba mencirikan kehidupan yang begitu kaya, terutama di sekitar kawasan yang kini menjadi tepi-tepi atau dasar dari Danau Saguling.
Jadi Analog Danau Bandung Purba
Keberadaan genangan Danau Saguling juga sebenarnya bisa membantu kita untuk membayangkan kondisi Bandung ketika masih berupa Danau Purba. Sejak zaman G.H.R. von Koenigswald kita sudah menemukan artefak-artefak yang hampir selalu ditemukan di ketinggian >700 meter di atas permukaan laut. Keberadaan artefak-artefak ini membuat Koenisgwald menduga bahwa manusia purba hidup menyaksikan danau raksasa di Cekungan Bandung.
Belakangan diketahui bahwa Danau Bandung itu sudah surut sekitar 16 ribu tahun yang lalu. Sementara itu temuan manusia purba yang paling awal di Gua Pawon berumur 12 ribu tahun yang lalu. Kita masih belum menemukan kerangka manusia purba di dalam Cekungan Bandung. Begitu pun umur kebudayaan dari artefak yang ditemukan pun kita masih menduga-duga.
Informasi yang kita ketahui hanyalah bahwa pada periode kehidupan di Saguling dan sekitarnya, terjadi beberapa kali erupsi gunung api. Ini dilaporkan oleh tim peneliti dari Badan Geologi yang dipimpin Johan Budi Winarto ketika mengamati singkapan-singkapan di sekitar Pulau Sirtwo, pasca laporan penemuan fosil-fosil di akhir tahun 2021.
Dalam laporannya, Johan menyebutkan keberadaan endapan jatuhan gunung api (pyroclastic fall), endapan aliran gunung api (pyroclastic flow), dan aliran rombakan gunung api (volcanic debris flow), yang membentuk lapisan-lapisan batuan di sekitar Bendungan Saguling. Jejak-jejak endapan gunung api ini bisa terlihat kentara pada menara-menara alam yang berdiri tegak di sekitar Pulau Sirtwo. Lingkungan pengendapan dari lapisan batuan berada pada pesisir danau hingga ke dasar danau.
Dari informasi ini kita mengetahui bahwa binatang-binatang purba ini sangat mungkin hidup di sekitar danau, yang tentu sangat kaya dengan bahan-bahan penyusun kehidupan. Tentu ini serupa dengan masa sekarang, di mana masyarakat hidup di pesisir Saguling, air sungguh menjadi sumber kehidupan. Maka benar saja kata pepatah geologi, the present is the key to the past¸ masa sekarang itu kunci kepada masa lalu. Kalau masa sekarang danau penuh dengan kehidupan, tentu masa dulu juga serupa.
Dari fosil-fosil hewan mari kita bergeser pada jejak manusia purba. Adakah temuannya di sini?
Ternyata ada. Pada tahun 1986, Berita Penelitian Arkeologi No. 36 memuat satu laporan berjudul Laporan Penelitian Arkeologi dan Geologi di Jawa Barat 1978-1982. Dalam laporan ini salah satunya adalah Survei di Daerah Cililin Bandung oleh Nies Anggraeni, Haris Sukendar, dan Kosasih S.A. Meskipun judulnya Cililin, ternyata lokasi penelitian berada di sekitar Saguling, yang cukup jauh dari Cililin.
Pada laporan ini Anggraeni dkk. melaporkan 7 lokasi temuan, yaitu di Pasir Kadut, Pasir Asep Roke, Pasir Suramanggala, Pasir Kawung, Pasir Monggor, Pasir Suje, dan Pasir Tampian. Penelitian ini dilakukan karena adanya laporan petugas Proyek Bendungan Saguling berkebangsaan Jepang, yang mengatakan bahwa di sini banyak ditemukan pecahan batuan yang memperlihatkan gejala arkeologis. Kita beruntung petugas proyek itu awas dan melaporkan temuan ini, kalau tidak peduli mungkin tidak akan ada laporan arkeologi ini.
Di tempat-tempat ini para peneliti menemukan begitu banyak artefak, mulai dari serpih yang berbentuk serut, kemudian batu dengan perimping, pecahan keramik, sepotong fosil kayu, batuan yang terlihat seperti alat, tapi belum begitu jelas, beliung persegi, dan masih banyak artefak-artefak lainnya.
Kita belum mengetahui kapan dan bagaimana manusia purba ini hidup. Yang pasti ini adalah manusia yang sama dengan kita, spesies Homo Sapiens, alias manusia modern. Mereka inilah leluhurnya warga Saguling, warga Batujajar, warga Sindangkerta, Cipongkor, dan sekitarnya.
Penelitian Asal Kehidupan Menjadi Dasar Identitas
Ada satu kebutuhan penting dari manusia, yaitu keinginan untuk mengetahui dari mana ia berasal. Keinginan ini meskipun tidak lebih utama dari kebutuhan akan sandang, papan, dan pangan, tapi jelas ada dan setiap orang memilikinya. Ada sekitar 9 juta orang warga Cekungan Bandung. Sebagian lahir, besar, dan mati di Bandung. Sebagian lain mungkin pendatang dan kemudian pergi, meskipun ada juga pendatang yang menetap pula. Setiap dari mereka punya keterikatan terhadap tempat mereka tinggal, yaitu Bandung, sehingga setiap cerita tentang asal mula Bandung pasti akan menarik minat mereka, karena itu terkait dengan identitas.
Jika membaca tulisan di atas, hampir seluruh laporan berusia puluhan bahkan ada yang hampir seratus tahun umurnya. Laporan paling baru dibuat tahun 2022, itu pun karena ramai berita di media massa tentang temuan fosil. Penulis merasa bahwa boleh jadi jika tidak ada hiruk pikuk di media, tidak akan ada urgensi untuk melakukan penelitian di sini.
Kita perlu mengunjungi ulang catatan-catatan lama dan mengunjungi kembali tempat-tempat dalam catatan itu, sambil membawa ilmu pengetahuan dan alat perangkat kita yang sudah jauh lebih maju, dibandingkan peralatan yang dibawa Anggraeni dkk. ketika pertama datang ke Saguling tahun 1978. Tak hanya perangkat, tapi juga jalur dan moda transportasi, yang sudah sangat nyaman untuk dicapai.
Saya rasa jutaan orang menanti tulisan-tulisan terbaru tentang nenek moyang orang Sunda. Jutaan orang menanti ditemukannya manusia purba dari dalam Cekungan Bandung, sembari bertanya-tanya diakah leluhur saya? Yang bisa menjawabnya tentu para arkeolog, paleontolog, dan geolog, yang bersama-sama merekonstruksi kehidupan zaman purba, sebagaimana telah dicontohkan oleh Stehn, Umbgrove, dan Koenigswald, jauh sebelum Indonesia merdeka. Jika mereka bisa, tentu kita juga bisa.
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem, atau artikel-artikel lain tentang Situs Geologi