GEOWISATA BANDUNG RAYA: Curug Lanang dan Curug Kapek yang Hilang di Ci Tarum
Franz Junghuhn mencatat deretan air terjun sepanjang Ci Tarum. Di antaranya Curug Lanang dan Curug Kapek yang sudah tenggelam dalam genangan Waduk Saguling.
Malik Ar Rahiem
Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung
9 Maret 2024
BandungBergerak.id- Pada tahun 1980 Pemerintah Republik Indonesia memulai pembangunan Bendungan Saguling di antara Pasir Pancalikan dan Pasir Saguling. Posisi bendungan diplot pada elevasi 643 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dikutip dari story-maps Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bendungan ini sudah dipikirkan sejak lama, bahkan sejak 1922, ketika para ahli Belanda melakukan survei kelayakan pembangunan waduk di sepanjang aliran Ci Tarum. Bendungan selesai dibangun pada 1984 dan pengisian waduk dimulai pada tahun 1985, lalu pada tahun 1986, Presiden Soeharto meresmikan pengoperasian PLTA Saguling. Kapasitas PLTA ini sebanyak 700 Mega Watt (MW) dan mampu membangkitkan listrik sebanyak 2.156 GWh setiap tahunnya.
Pengisian waduk sekaligus menggenangi area yang begitu luas. Berdasarkan peta elevasi ketinggian 643 mdpl, area yang tergenang diketahui seluas 5606 hektare, dengan total 49 desa yang tenggelam, mencakup 12.000 keluarga. Tapi tak hanya desa saja yang tenggelam, ternyata banyak pusaka geologi yang ikut tenggelam di bawah air waduk.
Mari kita cari tahu ada apa saja yang kini tenggelam bersama air Waduk Saguling.
Catatan paling awal bisa ditelusuri setidaknya sejak Franz Junghuhn, seorang naturalis berkebangsaan Jerman, yang menulis kitab berjudul Java: Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart. Dalam bukunya ini Junghuhn melaporkan tentang deretan air terjun di sepanjang Ci Tarum, yakni Curug Jompong, Curug Lanang, Curug Kapek, Cukang Rahong, Curug Halimun, dan Sanghyang Heuleut. Jika kita perhatikan, ada dua nama yang asing. Curug Jompong tentu kita kenal, sudah saya tulis di artikel di Bandung Bergerak minggu yang lalu. Cukang Rahong juga masih ada di belakang Bendungan Saguling. Curug Halimun dan Sanghyang Heuleut sudah beberapa tahun ini menjadi objek wisata terkanal di Ci Tarum Purba.
Tapi Curug Lanang dan Curug Kapek, di manakah kedua air terjun ini berada?
Baca Juga: GEOWISATA BANDUNG RAYA: Geotrek Curug Jompong Zaman Kolonial Belanda
JEJAK JUNGHUHN: Sebelum Menutup Mata di Lembang
Curug Lanang dan Curug Kapek
Deskripsi lengkap mengenai Curug Lanang dan Curug Kapek ditulis oleh Ferdinand von Hochstetter dalam buku Geologische Ausflüge auf Java. Hochstetter adalah seorang geolog berkebangsaan Jerman yang merupakan anggota Ekspedisi Novara, suatu riset berkeliling dunia yang merupakan penugasan dari Raja Austria pada tahun 1857. Perjalanan Hochstetter ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam buku Naturalis Jerman di Tanah Priangan.
Hochstetter yang membaca buku Java karya Junghuhn yang baru terbit beberapa tahun sebelumnya, begitu tertarik ingin melihat langsung apa yang ditulis Junghuhn dalam bukunya. Oleh karena itu Hochstetter sengaja mengunjungi Junghuhn di Lembang dalam perjalanannya dan diberi petunjuk oleh Junghuhn untuk mengunjungi beberapa tempat di sekitar Cekungan Bandung, salah satunya Curug Jompong. Mengenai Curug Jompong, Hochstetter menulis sebagai berikut:
” Curug Jompong adalah air terjun pertama di Ci Tarum. Lokasinya merupakan gerbang di mana Ci Tarum berpindah dari dataran Bandung menerobos perbukitan yang jika dilihat dari selatan (Gunung Tilu dan Gunung Patuha), perbukitan ini seolah membentuk koridor memanjang ke arah utara menuju dataran tinggi Bandung.
Erosinya cukup dalam di sini, hingga 100 kaki. Sebatang pohon kiara berdiri tegak di dasar sungai yang berdebur kencang, menjadi pemandangan indah yang natural dengan bebatuan yang ditumbuhi lumut. Aliran air menerjang di lembah dengan lebar sekitar 100 kaki, menderu menurun karena ada dua tingkatan, kemudian bersamaan jatuh setinggi 30 kaki. Sedikit jauh ke hilir kita bisa amati turunan ketiga.
Di tengah-tengah air yang berbusa, tampak batuan tertutup semak dan batuan besar yang seolah membentuk pulau kecil dengan pohon tumbuh dari retakannya. Dinding batuan di sebelah kiri sungai menunjukkan karakter felspatik, teramati juga hornblende dan massa trakitik yang mengandung kuarsa, dengan tekstur porfiritik dan berwarna terang.
Batuan ini mirip dengan batuan Vorospatak di Transylvania yang diteliti oleh Dr. Strassen yang mendeskripsi batuan ini sebagai Dasit. Sayang sekali saya tidak bisa mendapat spesimen yang segar dari tempat ini.
Sekitar setengah mil ke hilir dari Curug Jompong, Ci Tarum yang menoreh bukit-bukit trakitik, seperti Bukit Korehkotok di kiri sungai, dan kerucut Gunung Selacau yang mencolok di kanan sungai, kembali terdisrupsi.
Di sinilah air terjun kedua, yaitu Curug Lanang berada. Erosi sungai semakin dalam di sini. Tepi sungai terjal dan berbatu, sehingga untuk turun ke sungai hanya mungkin dengan bantuan tangga bambu. Curug Lanang ini lebih berupa jeram daripada air terjun. Batuannya sangat resisten dengan mineral berwarna abu kehijauan tanpa hornblende. Dinding vertikal di kiri sungai menunjukkan seri lapisan sedimen yang menarik, yaitu:
–6 kaki lempung
–8 kaki kerakal
–12 kaki batupasir coklat dengan selingan lempung
–10 kaki kerikil
–dan 20 kaki lapisan tipis batupasir kecoklatan.
Lapisan-lapisan sedimen ini berlapis datar tanpa disrupsi di atas masa batuan yang menjadi dasar sungai. Lapisan ini merupakan endapan danau yang menjadi dasar dari Dataran Tinggi Bandung.
Kami beristirahat sejenak, kemudian melanjutkan ke Curug Kapek, yaitu air terjun ketiga. Air terjun ini tidak jauh dari Curug Lanang, tapi karena tidak ada akses kami harus jalan memutar. Curug Kapek juga lebih tepat disebut sebagai jeram daripada air terjun. Sungai di segmen ini hanya selebar 24 kaki, dan air terjun jatuh dari ketinggian 6 kaki dari lapisan batupasir yang merupakan lapisan paling bawah dari profil yang saya sebutkan di atas. Pasir dalam profil ini merupakan endapan volkanik berukuran pasir halus.
Setelah mengamati sendiri, saya merasa cukup yakin tentang pendapat Junghuhn mengenai material yang dianggap sebagai lapisan danau di Dataran Bandung ini berasal dari endapan gunung api. Juga bahwa dataran tinggi ini, seperti juga daerah lain di tengah-tengah Pulau Jawa, ditimbun oleh endapan volkanik, lava, material rombakan, debu, dan pasir. Sementara endapan yang lebih tua mungkin endapan aluvial. Kami bisa membayangkan asal muasal dari material-material ini dengan menganalogikan dengan letusan gunung yang terjadi belakangan ini di Jawa, misal letusan Gunung Galunggung tahun 1822 yang aliran lumpurnya mengakibatkan areal yang berada pada jarak tertentu dari pusat erupsi ini tertimbun hingga 50 kaki dalamnya.”
Dari deskripsi Hochstetter Curug Lanang dan Curug Kapek lebih tepat disebut sebagai jeram daripada air terjun. Dr. Budi Brahmantyo (alm.), seorang geolog, mengajarkan perbedaan jeram dengan air terjun. Jeram itu padanan bahasa Inggrisnya rapids, sementara air terjun padanannya adalah falls. Air terjun itu kalau melihat dari bawah, melihatnya harus dengan menengadah, sementara jeram tidak. Jika dikonversi ke ketinggian, air terjun perlu lebih tinggi dari pandangan mata manusia normal, misal 2 meter, sementara jeram lebih rendah dari itu.
Hal penting kedua adalah keberadaan lapisan-lapisan sedimen yang berada di tebing Ci Tarum, mencirikan keberadaan endapan danau Bandung, yang menjadi dasar dari Dataran Tinggi Bandung. Junghuhn dalam kunjungannya ke Bandung 20 tahun sebelum kunjungan Hochstetter, yaitu pada tahun 1839 sudah menyebutkan dugaannya tentang Bandung dulunya adalah sebuah danau.
Dugaan ini dituliskan oleh Junghuhn dalam laporan Kunjungan ke Hutan Pegunungan Malabar, Wayang dan Tilu Uitstapje naar de bosschen van de gebergten Malabar, Wayang en Tilu (1841). Kata Junghuhn begini:
Seluruh wilayah dataran tinggi Bandung, sepertinya merupakan dasar dari suatu danau. Ada beberapa alasan dari dugaan ini, yaitu:
1) dataran yang nyaris sempurna ke semua arah;
2) tepi-tepiannya dikelilingi oleh pegunungan, di mana kaki gunungnya terpisah sepenuhnya dari dataran;
3) keberadaan rawa-rawa yang sangat luas;
4) suatu cekungan air yang sangat besar, berasal dari gunung-gunung tinggi yang berhutan lebat dan ratusan aliran sungai, namun kesemuanya bermuara menuju ke satu sungai, Tjitaroem, yang keluar melewati celah sangat sempit di Pegunungan Kapur di sebelah barat. Sungai ini terjepit di antara dinding-dinding bebatuan yang tinggi dan curam. Alirannya berbuih deras, seolah berbusa, ketika melewati bongkah-bongkah bebatuan, hasil runtuhan bebatuan pegunungan yang digerus sungai
Letak Curug Kapek bisa ditelusuri pada Peta Geologi Lembar Bandung yang ditulis oleh Van Bemmelen dan Szemian (1934). Pada peta ini, terdapat toponimi Kapek di sebelah utara Curug Jompong. Daerah ini berada di sekitar Ci Kuya yang kemudian bermuara ke Ci Tarum. Meski demikian kemungkinan besar di muara Ci Kuya ini justru merupakan letak dari Curug Lanang, karena deskripsi geografisnya lebih cocok, yaitu di antara Pasir Korehkotok di kiri sungai dan Gunung Selacau di kanan sungai (kiri kanan sungai dilihat dari arah sungai mengalir). Sementara dalam tulisan Klompe, ia menyatakan bahwa Ci Lanang berada di muara sungai pertama setelah Curug Jompong. Dalam peta Geologi van Bemmelen dan Szemian ini, Curug Jompong ditandai dengan kata Stroomversnelling yang artinya jeram.
Ada beberapa foto lama yang menjadi arsip dari Perpustakaan Universitas Leiden yang kemungkinan besar merupakan foto-foto dari Curug Lanang dan Curug Kapek.
Perlu diketahui bahwa batuan yang membentuk Curug Jompong, Curug Lanang, dan Curug Kapek adalah batuan beku, jenisnya adalah Andesit atau ada juga yang menyebut Dasit. Batuan beku ini sifatnya menerobos. Batuan yang diterobos adalah batuan sedimen yang umurnya lebih tua. Jenis batuannya adalah batukapur, yang umurnya jauh lebih muda daripada batukapur di Rajamandala. Stehn dan Umbgrove dalam Bijdrage tot de Geologie der vlakte van Bandoeng (1929) mengidentifikasi 13 jenis koral dari singkapan batuan di sekitar Curug Lanang dan meyakini bahwa koral-koral ini berbeda dari koral yang ada di Rajamandala dan lebih mirip dengan koral yang ada di Cilanang, yang jaraknya sekitar 25 km arah barat dari lokasi ini.
Apabila batuan diterobos oleh batuan yang lain, pada bagian yang diterobos sering terjadi efek-efek yang menarik, karena ada perubahan akibat diterobos cairan magma yang sangat panas. Dalam geologi istilah ini disebut sebagai metamorfisme kontak. Batuannya menjadi berubah, mineraloginya berganti, membentuk mineral-mineral baru yang menarik. Van Bemmelen menulis dalam buku keterangan Peta Geologi Lembar Bandung (1934) bahwa terbentuk mineral garnet yang kecil-kecil pada batukapur yang diterobos, kadang tidak berwarna, kadang kuning terang, dengan inti gelap.
Profesor R.P. Koesoemadinata, seorang guru besar geologi ITB, pernah bercerita bahwa ketika beliau masih berkuliah jurusan geologi di ITB pada tahun 1950-an, pernah pergi ekskursi geologi ke Curug Jompong untuk mencari metamorfisme kontak tersebut. Cara beliau bercerita tentang ekskursi itu pun seolah-olah ekskursi itu baru diadakan minggu lalu. Maka sebenarnya titik ini punya signifikansi secara historis untuk pendidikan geologi.
Curug Lanang dan Curug Kapek tentu sudah tenggelam, bahkan mungkin sudah terkubur oleh tebalnya lumpur sedimen Waduk Saguling. Tapi meski begitu, jejaknya abadi, rekamannya terjaga, dan interpretasi tentang apa makna dari kedua situs ini sudah lama dicatat dalam laporan-laporan terdahulu. Maka dari itu sesiapa yang ingin melakukan penelitian mengenai sejarah geologi di Cekungan Bandung sebaiknya jangan meninggalkan Curug Lanang dan Curug Kapek, dua curug yang hilang di Ci Tarum.
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem, atau artikel-artikel lain tentang Situs Geologi.