GEOWISATA BANDUNG RAYA: Geotrek Curug Jompong Zaman Kolonial Belanda
Curug Jompong kini kalah populer dibandingkan curug-curug lain di Bandung Raya. Padahal di masa lalu Curug Jompong adalah etalase Sungai Ci Tarum.
Malik Ar Rahiem
Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung
28 Februari 2024
BandungBergerak.id - Ci Tarum berkelok, berliku, dan mengalir pelan ke arah barat di dataran Bandung Selatan. Tepat ketika masuk ke daerah Kutawaringin, Ci Tarum menabrak morfologi terjal Perbukitan Selacau-Lagadar, tepatnya di Gunung Paseban. Karena menabrak dinding yang kuat dan resisten dari batuan beku berumur 4 juta tahun ini, Ci Tarum dipaksa berbelok ke utara mengitari Gunung Pancir, kemudian berbelok lagi ke barat menerobos lembah antara Pasir Malang di sebelah selatan dan Gunung Lagadar di utaranya.
Di kiri-kanan lembah ini terdapat beberapa bukit seperti Gunung Korehkotok, Gunung Gadung, dan Gunung Selacau. Di lembahan inilah, dengan batuan dasar batuan beku intrusif Dasit-Andesit, aliran Ci Tarum terdisrupsi batuan keras, membentuk jeram-jeram bertingkat, salah satu yang paling terkenal adalah Curug Jompong. Secara administratif Curug Jompong berada di Desa Jelegong, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung Barat, meskipun juga keberadaannya tepat berada di perbatasan dengan Kecamatan Cihampelas dan Kecamatan Margaasih.
Curug Jompong sekarang tidak begitu terkenal di Bandung, kalah oleh Curug Malela yang disebut Niagara van Java atau Curug Omas yang jauh lebih terkenal, yang ada di Maribaya. Padahal pada zaman dahulu air terjun ini pernah menjadi primadona pariwisata di Bandung Raya. Dalam Panduan Pariwisata Bandung Tempo Dulu Gidds van Bandoeng en Midden Priangan, Reitsma dan Hoogland menulis Curug Jompong sebagai destinasi wisata favorit warga Kota Bandung pada awal abad ke-20.
Untuk mengunjungi Curug Jompong, Reitsma dan Hoogland menyarankan satu rute yaitu dengan berjalan kaki atau bersepeda dari Stasiun Andir ke arah selatan melewati daerah Cigondewah Hilir (sekarang Taman Kopo Indah), menyeberangi Ci Tarum, kemudian sampai di daerah Gadjah, kurang lebih di daerah Kampung Mahmud. Fakta menarik, Kampung Gadjah dinamai demikian karena ditemukan arca gajah Ganesha di sana. Gadjah adalah daerah penting dalam sejarah Priangan, karena merupakan ibukota dari Kabupaten Batulayang.
Berikut deskripsi Reitsma dan Hoogland tentang jalur ini (diterjemahkan bebas dengan bantuan Google Translate):
“…Dari Gadjah kemudian melewati jalan Soreang-Batujajar menyusuri Ci Tarum dan mengitari Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini, di kanan mengalir sungai yang jernih berkilau, di kiri kerucut indah Gunung Lalakon. Boleh dibilang jalur Soreang – Batujajar melalui Curug Jompong adalah salah satu jalur paling indah di Pulau Jawa. Terutama di musim penghujan, kala aliran sungai penuh bergemuruh, air berlompatan meloncati bebatuan, lalu berdebur gelombang saling berhantaman. Deru air membentuk kabut yang tersusun dari jutaan titik air yang membiaskan cahaya mentari membentuk pelangi dengan latar bebatuan berwarna gelap.”
Dalam catatan lain di buku Bandoeng en haar Hoogvlakte (Bandung dan Dataran Tinggi), yang diterbitkan oleh Penerbit Visser & Co. cabang Bandung pada tahun 1950, Professor Th. H.F. Klompe, yang namanya diabadikan menjadi nama Perpustakaan Teknik Geologi ITB, menulis artikel Geologische Geschiedenis van de Vlaakte van Bandoeng (Kisah Geologi Dataran Bandung) dalam segmen Wat de Stennen zeggen (Apa yang disampaikan bebatuan). Dalam tulisannya ini Profesor Klompe menulis tentang Curug Jompong:
“…Tji Tarum menerobos batuan vulkanik yang membentuk lembah terjal seperti ngarai. Segmen ini terbagi menjadi tiga tingkat jeram. Tingkatan yang pertama disebut Tjoeroeg Djompong, di mana air sungai jatuh di sekitar air terjun setinggi kurang lebih 15 meter. Sungai kemudian mengalir melalui ngarai yang terbentuk di antara dinding curam dan memiliki kedalaman 100 hingga 150 meter hingga jeram kedua yang terbentuk dari batuan vulkanik yang sama di tempat Tji Mahi bermuara ke Tji Tarum. Tji Tarum berbelok agak ke barat daya sehingga tidak memungkinkan untuk melihat ke arah timur.
Di bagian bawah dari tebing, ditemukan endapan berlapis datar yang tidak selaras dengan tebing, yaitu endapan danau. Di sini ditemukan sisa-sisa kerang air tawar, sementara jika kita menggali lebih dalam akan menemukan batuan vulkanik dan tersier. Menurut Junghuhn, endapan ini terdiri atas endapan debu volkanik yang membentuk lapisan datar dan telah mengeras. Dari fakta-fakta geologi yang didapatkan bahwa dataran Bandung terbentuk dari seri endapan gunungapi dan lapisan paling muda (sebelum endapan danau) juga merupakan endapan gunungapi, maka pada masa pra-sejarah, erupsi gunungapi pastilah memiliki signifikansi yang tinggi.”
Baca Juga: JEJAK JUNGHUHN: Seorang Geolog dari Mansfeld
JEJAK JUNGHUHN: Hidup dan Karyanya
Ngaleut atawa Geotrek Tempo Dulu
Keindahan Curug Jompong sudah lama menarik minat warga Bandung untuk berwisata ke sana. Ada sebuah cerita menarik tentang wisata ke Curug Jompong yang dilakukan pada tahun 1918, lebih dari 100 tahun yang lalu. Dalam harian umum De Preangerbode, Perkumpulan Sejarah dan Alam Cabang Bandung (Natuurhistorische Vereeniging) mengajak anggotanya atau mungkin masyarakat umum untuk ikut dalam ekskursi mereka ke Curug Jompong. Pengumuman ini bertanggal 19 Desember 1918. Model wisata yang dilakukan persis seperti Komunitas Aleut atau Komunitas Mata Bumi, keduanya merupakan komunitas yang rutin melakukan penjelajahan berbasis sejarah atau kebumian, ketika mengadakan perjalanan ke suatu tempat dengan mengundang warga Bandung yang tertarik untuk ikut serta.
Berikut adalah undangannya (diterjemahkan bebas dari Bahasa Belanda):
Perkumpulan Sejarah dan Alam cabang Bandung mengadakan ekskursi pada tanggal 22 Desember tahun ini ke salah satu jeram Ci Tarum di daerah Leuwi Sapi yang dikenal sebagai Curug Jompong. Jeram ini terbentuk akibat halangan dari batuan andesit piroksen (salah satu spesies batuan tertua berumur miosen), dan merupakan tipe batuan yang langka, karena hanya ditemukan beberapa saja di Pulau Jawa. Lokasinya sekitar 7 km arah selatan dari Cimahi.
Peserta yang ingin ikut bisa berkumpul jam 6 pagi di Pasar Andir dan dari sana kita akan berjalan kaki ke arah selatan. Rute ini secara umum jalan setapak, tapi akan menyenangkan karena kita akan melihat banyak desa-desa di sepanjang jalan yang jarang kita lihat karena tidak terletak di jalan utama.
Setelah dua jam berjalan kaki kita akan sampai di daerah Gadjah di tepi Ci Tarum. Kita sebrangi Ci Tarum lewat sebuah jembatan bambu yang indah, mengobati energi kita yang terkuras habis di sini.
Gadjah pada waktu lampau merupakan ibukota dari Kabupaten Batulayang, tetapi harus didirikan dan dibangun ulang oleh Rangga Abdoelrachman. Pada tahun 1802, kabupaten ini dilebur ke Bandung karena bupatinya berlaku buruk karena kebanyakan mabuk dan mengonsumsi opium. Kabupaten ini juga enggan membayar pajak pada Batavia dan akibatnya Bupati Bandung harus menalangi tagihan kabupaten ini.
Gadjah yang sekarang (tahun 1918) merupakan desa kecil di tepi Ci Tarum dan kita bisa temukan makam dari Bupati Batulayang. “Bupati, istri, dan anaknya dimakamkan di sini”, kata penduduk setempat. Di makamnya ada atap kayu dan makamnya di kelilingi oleh pagar bambu yang tidak rapi. Penduduk lokal tidak tahu siapa nama bupati itu, dan hanya menyebutnya sebagai “Dalem”, yang mana merupakan sebutan umum untuk bupati di wilayah ini. Kemungkinan besar itu adalah makan Raden Tumenggung Angadiredja.
Di depan pintu masuk utama, ditemukan arca/gambar Ganesha, Dewa India yang merupakan dewa ilmu pengetahuan dan berbentuk gajah. Gambar inilah kemungkinan besar yang menjadi asal muasal nama Kampung Gadjah. Dari kampung Gadjah, kita menyusuri tepian Ci Tarum hingga ke kaki Gunung Paseban. Bentang alamnya sangat indah di sini. Di kanan ada deras aliran air sungai, dan di kiri kita lihat kerucut sempurna Gunung Lalakon.
Di Leuwisapi sampailah kita ke Ci Tarum, dan dengan sedikit perjuangan lagi tiba di tujuan utama, yaitu Curug Jompong. Ci Tarum meninggalkan dataran Bandung di sini dan menerobos perbukitan Selacau-Lagadar dan Lalakon dan membentuk beberapa air terjun dengan tinggi hingga 15 kaki atau 5 meter. Dari Curug Jompong kita masih harus berjalan sekitar 1.5 jam hingga Cimahi (yang capek bisa naik Sado – moda transportasi seperti delman). Jika masih ada waktu tersisa maka kunjungilah resort tepi danau Soeka Bernang. Kemudian peserta bisa naik kereta dari Cimahi kembali ke Bandung.
Kemudian beberapa hari setelahnya (24 Desember 1918), ketika acara sudah terlaksana, maka seorang peserta menuliskan pengalamannya berwisata ke Curug Jompong. Coba bandingkan, apakah mirip dengan catatan perjalanan Ngaleut atau Geotrek zaman sekarang?
“Pengurus Perkumpulan Sejarah Alam punya rasa percaya diri yang luar biasa untuk mengadakan ekskursi tanggal 22 kemarin karena beberapa hari belakangan ini hujan terus turun. Karena banyak anggota yang tidak sepercaya diri pengurus, akibatnya banyak yang absen karena takut hujan, Bahkan tidak ada satupun anggota perempuan yang ikut, semua absen. Tapi seperti yang sering terjadi, mereka yang absen pasti kecewa berat. Perjalanan kali ini diberkahi oleh cuaca yang indah. Program berjalan luar biasa seru.
Titik kumpul di Pasar Andir jam setengah tujuh. Sepanjang jalan setapak ke selatan kami sering terpeleset dan terperosok. Heran, kenapa bisa jalan seburuk ini, padahal seharusnya jalur ini dirawat dengan baik.
Setelah dua jam, kami sampai di Gadjah di tepi Ci Tarum dan mengunjungi makam bupati di sana. Saya tidak bisa bilang bahwa gambaran dewa gajah Ganesha membuat pintu masuk jadi mengagumkan. Kami tidak akan membuat gajah untuk bahan kontemplasi.
Jembatan bambu melewati Ci Tarum di Gadjah merupakan jembatan yang menarik. Mobil dan gerobak bisa lewatkan. Menarik sekali bagaimana ini terjadi dalam sebuah instalasi bambu.
Dari Gadjah kami menyusuri sisi selatan Ci Tarum menuju Leuwisapi hingga sampai di Curug Jompong, tujuan akhir kami. Di sini kami langsung turun ke dasar sungai untuk melihat jeram yang terbentuk oleh “bendungan” andesit piroksen”, batuan yang cukup jarang ditemui di sini.
Dengan matahari yang hangat, kami menginginkan untuk bersegera mencari kesegaran dengan mandi di Soeka Bernang. Agar kami tetap enjoy dan segar, juga karena banyak peserta yang kelelahan, kami pergi ke Soeka Bernang dengan naik Sado. Kemudian dari sana, kami pulang ke Bandung naik mobil. Hari itu adalah hari yang menyenangkan.”
Melihat betapa Curug Jompong punya sejarah dan nilai yang begitu tinggi, maka sudah sepantasnya Curug Jompong ini menjadi salah satu benchmark penting dalam upaya restorasi Ci Tarum. Masyarakat bisa menilai keberhasilan restorasi Ci Tarum jika ada etalasenya, salah satu etalase yang paling baik adalah Curug Jompong, yang letaknya sangat strategis dan mudah diakses dari mana-mana. Ayo, mari kita berhenti memunggungi sungai-sungai kita. Siapa mau ke Curug Jompong?
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem, atau artikel-artikel lain tentang Situs Geologi