JEJAK JUNGHUHN: Seorang Geolog dari Mansfeld
Franz Wilhelm Junghuhn, ilmuwan dari Halle, Jerman yang tergila-gila pada alam Hindia Belanda, menyusun data geologi secara otodidak, menulis karya monumental Java.
Malik Ar Rahiem
Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung
25 Februari 2024
BandungBergerak.id - “En uw naam breng ik in herinnering, broeder DAG, JUNGHUHN, geoloog, botanist, denker! (Dan namamu ku kenang, Saudara Siang, Junghuhn, Geolog, Botanist, Pemikir!,“ kata Multatuli[1] dalam tulisannya “Ideen” volume kedua, diterbitkan pertama kali pada bulan September 1864, kemudian diterbitkan kedua kali pada Oktober 1864[2].
Junghuhn disebutkan oleh Multatuli sebagai “manusia yang teguh pada kebenaran meski terus dihantam celaan demi celaan”, tentu Junghuhn harus mengalami celaan karena idenya, terutama tulisannya yang berjudul Cahaya dan Bayang-Bayang dari Pedalaman Jawa.
Karya ini dicetak anonim selama bertahun-tahun. Nama Junghuhn baru muncul sebagai penulis buku tersebut setelah kematiannya pada April 1864. Pada tahun 1864, Multatuli adalah salah satu orang pertama yang mengkombinasikan nama Junghuhn dan Saudara Siang dalam satu tulisan. Sebelumnya telah ada orang lain yang menulis hal ini, yaitu A.W. Kroon dalam tulisannya “Sketsa Kehidupan Junghuhn[3]” yang dipublikasikan pada bulan Agustus 1864 dalam majalah “De Dageraad”.
Pada edisi kelima dari “Ideen” yang dicetak pada tahun 1872, Multatuli menambahkan keterangan di bawah ini: “Bacalah Cahaya dan Bayang-Bayang dari Pedalaman Jawa, diterbitkan oleh GUNST, sekarang tersedia di H.H Huisman di Amsterdam. Junghuhn juga menulis karya-karya geologi yang penting.”
Kata-kata singkat ini menunjukkan bahwa Multatuli juga memandang Junghuhn sebagai seorang geolog, meski tidak terlalu signifikan. Karena karya geologi hanya disebutkan sebagai kalimat yang selewat saja.
Tetapi dapat diragukan apakah Multatuli mampu dengan layak memberikan penilaian mengenai karya botani dan geologi Junghuhn, menimbang kapasitas Multatuli. Meski demikian kita bisa lihat bahwa Multatuli menghargai Junghuhn terutama karena karya filosofis-teologisnya, karena memang Junghuhn hingga batas tertentu memiliki spirit ini.
Junghuhn hidup di era Alexander von Humboldt, di mana ketika itu masih mungkin orang bisa bekerja dan berjibaku dengan begitu banyak cabang ilmu, menekuni dan menulis tentang ilmu-ilmu tersebut. Kita juga tahu bahwa kontribusi Junghuhn begitu luas dalam berbagai bidang ilmu, mulai dari botani, yaitu yang paling ia kuasai, kemudian juga geografi-topografi, meteorologi, sanitasi-klimatologi, arkeologi, linguistik, etnologi, dll.
Dengan keserbabisaan ini, tak mungkin semua subjek dapat didalami dengan menyeluruh, tetapi biasanya satu subjek akan mengemuka, yaitu cabang ilmu mana yang dipelajari oleh orang tersebut pada pendidikan yang ia terima. Junghuhn selama tinggal di universitas di Halle dan Berlin telah mempraktikkan terutama botani sebagai bagian dari pendidikan medis yang ia jalani. Tulisan-tulisannya menunjukkan bahwa ia menjadi ahli botani sepanjang hidupnya, meski ia tetap menulis tentang geologi.
Tulisan pertamanya pada tahun 1830 adalah tentang botani. Pada 1831 kita mengetahui bahwa Junghuhn melakukan ekskursi botani ke Hunsruck di Pegunungan Eifel. Kemudian pada awal tahun 1834 ia berkunjung ke sekitar Bona di pantai utara Afrika[4]. Lalu ia kembali ke Koblenz pada bulan Oktober 1834, lalu melakukan studi botani di sekitar Koblenz hingga bulan November. Pada bulan yang sama ia berkunjung ke Belanda, dan dalam perjalanan ini ia mengunjungi Danau Laach di sekitar Pegunungan Eifel. Bukan tidak mungkin juga bahwa di sini, di pegunungan vulkanik ini, untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa geologi juga merupakan hal menarik yang belum banyak dipahami. Tulisan-tulisan Alexander von Humboldt menjadi inspirasi Junghuhn dalam perjalanan hidunya.
Meski begitu, pada awal-awal tahun petualangan Junghuhn di Jawa, ia lebih berfokus pada tanaman-tanaman dibandingkan komposisi tanah, meskipun ini juga tak sepenuhnya Junghuhn abaikan. Junghuhn tiba di Batavia pada bulan Oktober 1835, kemudian ia dikirim ke Semarang pada Februari 1836, dan pada bulan Maret ia ditunjuk sebagai petugas kesehatan di Yogyakarta. Di sini ia berpetualang ke perbukitan kapur Gunung Gamping di sebelah barat ibukota Jogja, kemudian ke pantai selatan di Mantjingan, lalu ke Candi Hindu, Prambanan.
Pada bulan Mei 1836, kita tahu dia melakukan perjalanan ke Gunung Sewu di pantai selatan, dilanjutkan dengan pendakian pertama ke Puncak Merapi lewat lereng sebelah selatan pada bulan September. Kemudian pendakian kedua pada bulan November 1836 lewat utara melalui Boyolali dan Seloh, sekaligus juga mendaki Merbabu, juga dari Seloh. Meskipun dalam perjalanan ini mengumpulkan tanaman dari berbagai ketinggian menjadi misi utama, tapi kita harus berterima kasih karena dalam perjalanan ini berbagai sketsa puncak gunung dan situasi sekitar kawah gunungapi Merapi dan Merbabu berhasil Junghuhn abadikan.
Tak lama kemudian Junghuhn ditugaskan menjadi deputi dari Dr. E.A. Fritze, Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda, dan Junghuhn menemani Dr. Fritze dalam perjalanan inspeksi ke Jawa Barat pada tahun 1837 dan ke Jawa Timur pada 1838. Perjalanan ini dicatat oleh Junghuhn dalam buku “Topograpische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java, Magdeburg 1845”, yang kutipan singkatnya saya tuliskan di sini. Sangat luar biasa bahwa dalam kata pengantar Junghuhn pada uraian perjalanan tahun 1837, bertanggal 15 Januari 1838, ia menuliskan bahwa bukan Junghuhn, tetapi Dr. Fritze yang melakukan observasi geologi, mengunjungi kawah, dan mengoleksi bebatuan. Junghuhn melakukan penelitiannya mengenai tanaman dan menggambar. Selain itu pengukuran dan kalkulasi tinggi juga dilakukan oleh Dr. Fritze. Ini menunjukkan bahwa pada perjalanan tahun 1837 ini, Junghuhn masih berperan sebagai seorang botanis.
Di perjalanan ini, tulis Junghuhn, kami mengunjungi: Buitenzorg, Cianjur, Wijnkoops Bay (Pelabuhan Ratu), Bandung, Gunungapi Patuha, Tangkuban Perahu, Guntur, Papandayan, Danau Telaga-bodas, Galunggung, Ceremai di Cirebon, dan sumur-sumur di Palimanan.
Kata pembuka yang ditulis Junghuhn pada deskripsi petualangannya tahun 1838 bertanggal, Jawa, 1 Juli 1839. Tak lama sebelum tanggal ini, pada Mei 1839, Dr. Fritze meninggal dunia. Berpulangnya patron Junghuhn ini merupakan kehilangan besar bagi Junghuhn, yang selalu merasa bahwa pimpinannya ini selalu mendukung riset ilmiah yang dilakukan Junghuhn.
Pada perjalanan tahun 1838, Junghuhn mengunjungi Semarang, Ungaran, gunung Ungaran, Salatiga, Ampel, Solo, Sragen, Tarik, tebing kapur di utara lereng Gunung Lawu, Balong, Tjeta purba di puncak Gunung Lawu, Karang-pandan, Puncak Lawu lagi, Candi Sukuh, kemudian ke Jogjakarta melalui Solo, Magelang, kemudian ke dataran Ambarawa, di mana ia menyaksikan letusan gunung lumpur. Lalu ia kembali ke Magelang, lalu ke Temanggung untuk mendaki Gunung Sumbing, lalu ke Parahan untuk mendaki Gunung Sindoro.
Pada bulan Juni 1838, Junghuhn mendaki Gunung Merapi untuk melihat bekas letusan terakhir pada tanggal 10 Agustus 1837, yang memberikan perubahan signifikan bagi morfologi gunung. Ia melanjutkan perjalanan jauh ke timur menuju Ngawi, Madiun, Ponorogo, Danau Ngebel di lereng Gunung Wilis, di mana ia mengukur kedalaman danau ini di tengah-tengah sedalam 260 par kaki atau sekitar 84 meter (pada tahun 1887, kedalamannya hanya 46 m menurut Verbeek). Kemudian ke puncak Gunung Wilis (Dorowati), Kediri, Surabaya, Gununglumpur Kalanganjar, Pulungan (pada halaman 353, pendapat yang agak sulit dipercaya adalah bahwa batu bata merah di bukit Pulungan berasal dari ibukota Kerajaan Majapahit), lalu Pasuruan, Probolinggo, Besuki, Ringgit yang didaki sebagian pada Bulan Juli 1838, dan pada halaman 358, dianggap sebagai gunungapi, yang menurut Valentine mengalami erupsi besar pada 1586; kemudian Lamongan dan Danau Lamongan (sekarang Ranu Klakah); Pegunungan Tengger.
Pada perjalanan pulang ia memilih jalur yang berbeda melalui jalur utara, melewati Gresik, Tuban, Lasem, Juwana, Pati (Gunung Muria tidak dikunjungi), Semarang, Pekalongan. Dari sini ia melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju Pegunungan Dieng, kemudian ke Karang Kobar dan Banjarnegara menuju Banyumas, lalu ke Purbolinggo dan Moga untuk mendaki Gunung Slamat. Gunung ini yang terakhir didaki Junghuhn pada tahun 1838, sebelum ia kembali ke Batavia.
Pada tahun 1839, Junghuhn melakukan perjalanan menuju rimba pegunungan Pangrango dan mendaki Puncak Mandalawangi serta Gunung Gede. Pada bulan Oktober, ia melanjutkan perjalanan ke pegunungan Malabar, Wayang, dan Tiloe. Deskripsi-deskripsi yang dihasilkan dari perjalanan ini umumnya adalah mengenai informasi botani.
Baca Juga: JUNGHUHN: Hidup dan Karyanya
Petualangan Franz Wilhelm Junghuhn, dari Eropa Berakhir di Lembang
Mendaki Tangkuban Parahu
Menjelajah Tanah Batak
Pada tahun 1 Maret hingga 4 April 1840, Junghuhn berkunjung untuk kedua kalinya ke Dieng. Karena kematian Dr. Fritze dan penantian Junghuhn untuk menjadi anggota Komisi Alam, kedua alasan ini membuat potensi riset di Jawa menjadi kurang jelas. Karenanya, Junghuhn memohon agar dipindahkan ke Padang. Junghuhn berangkat ke sana dengan kapal bersama Mr. Merkus. Junghuhn ditawari peluang untuk meneliti daerah Batak, yang ketika itu masih berupa terra incognita, tak banyak dipahami. Junghuhn diminta untuk memberi gambaran topografi dan etnografi daerah tersebut. Junghuhn menerima tantangan ini dan menghabiskan tahun 1840-1841 menyusuri lintasan-lintasan bermedan berat.
Ia kemudian kembali ke Jawa, di mana ia kemudian memeriksa spesimen-spesimen yang dikumpulkan, dan menyiapkan laporan hasi pengembaraannya ini dengan peta-peta yang akurat. Karena keadaan-keadaan yang tak mendukung, deskripsi Junghuhn hanya terbit dalam bahasa Jerman, tidak dalam bahasa Belanda, Die Battaländer auf Sumatra, Tanah Batak di Sumatera. Karya ini dipublikasikan di Berlin pada tahun 1847 oleh H. Mahlmann, dan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama membahas mengenai topografi daerah Batak. Bagian kedua membahas mengenai etnografi.
Berdasarkan catatan pada volume 1, yaitu pada halaman 23, 81, 134, 143, 274, Junghuhn berencana membuat dua volume buku yang membahas mengenai iklim, flora, dan sejarah alam lain mengenai Tanah Batak ini. Terutama tentang geologi, yang hanya sedikit data saja yang mampu dicatat, yaitu pada halaman 143 dan 274. Di sana Junghuhn menulis merujuk pada buku kedua, yang tak pernah dipublikasikan. Oleh karena itu, nilai geologi dari karya ini tidak begitu signifikan.
Beda demikian halnya dengan topografi, karena Junghuhn memproduksi sebuah peta topografi yang cukup detil, yang ketika itu mampu menggambarkan Tanah Batak yang sebelumnya tak diketahui sama sekali. Kita tidak boleh banyak menuntut pada data-data yang ada dalam peta itu, karena kita harus menyadari informasi tentang Tanah Batak ketika itu masih sangat sulit, dan personel survei ketika itu bukanlah personel survei yang regular.
Jika kita membandingkan pekerjaan Junghuhn dengan kondisi nyata, maka jarak yang dibuat Junghuhn dalam peta sekitar 5 persen lebih kecil. Misal kita bandingkan ujung selatan Pantai Batu Buruk dengan puncak pulau andesit Tungkus Nasi atau Nasitungkus di pantai Sibolga. Sungai-sungai, punggungan, bukit, dan gunung yang digambar Junghuhn dalam peta ini juga boleh jadi berdasarkan sketsa, karena tak ada waku untuk mengukur secara wajar. Meski begitu, Junghuhn berhasil memberikan sesuatu yang baru dengan peta ini, sesuatu yang sangat berguna, jika kita membayangkan sulitnya keadaan ketika itu.
Hal lain terkait ekspedisi ini adalah pekerjaan Junghuhn dihentikan oleh Gubernur Jenderal Merkus, penggnti Mr. Rochussen, karena besarnya biaya yang dikeluarkan. Menurut Mr. E. de Waal, sekretaris Jenderal Hindia Belanda ketika itu, biayanya mencapai 6.000 guilders[5]. Junghuhn berkata bahwa Pemerintah menarik pekerjaan ini karena hasilnya tidak sesuai kebutuhan. Gayanya terlalu kasar, ekspresi yang dilebih-lebihkan, dan penghakiman yang eksklusif[6]. Pada akhinya, karya ini hanya dipublikasikan dalam bahasa Jerman, tidak dalam bahasa Belanda.
Pada bulan Juni tahun 1842, Junghuhn kembali ke Jawa, dan segera menuju ke Karesidenan Priangan untuk mengompilasikan data-data yang dikumpulkannya dari Tanah Batak, juga peta survey dari Padang hingga Singkel yang telah menyibukkannya selama dua tahun. Junghuhn juga menyelesaikan deskripsi-deskripsi gunung-gunungapi di Jawa, yang sebelumnya ia publikasikan dalam jurnal Tijdschrift van Nederlandsch Indiê. Profil-profil gunung-gunung dan dataran tinggi yang dipetakan Junghuhn di Sumatera mulai dari Indrapura hingga ke Tanah Batak ia rangkum ke dalam suatu profil-profil longitudinal. Karya ini tak tercantum dalam buku Batak, tetapi di buku Java.
Antara Agustus hingga November 1844, Junghuhn mengunjungi gunung-gunungapi di Jawa Timur. Kita bisa melihat laporan ini pada buku Java volume kedua. Dari Buitenzorg Junghuhn berjalan ke Garut lewat Bandung. Kemudian di Tarogong mereka mendaki lagi gunung Guntur, lalu Cikurai. Dari Garut mereka menuju Sumedang dan mendaki Tampomas. Kemudian mereka ke Jawa Timur lewat Tegal, Pekalongan, Semarang, Solo, Ngawi, Madiun, Kediri, Gua Selomangleng, Blitar, Gunung Kelur, Wlingi, Gunung Kawi, Gunung Semeru, Gunung Tengger, Lumajang, Puger, Jember, Bondowoso, Gunung Raung, Pradjekan, Situbondo, Gunung Ringgit (yang pernah didaki pada Bulan Juli 1838, dan menurut catatan Valentijn Meletus hebat pada tahun 1586), kemudian Sumberwaru, Bajulmati, Banyuwangi, dan Ijen.
Dari sini perjalanan pulang dimulai, dari Banyuwangi ke Asem Bagus, ke Situbondo, ke Prajekan, ke Bondowoso, ke Jember, kemudiang ke Gunung Hijang. Dari sini kembali ke Jember melewati Puger dan Lumajang ke Lamongan, yang juga pernah dikunjungi pada tahun 1838. Kemudian ke Probolinggo melewati Pegunungan Tengger, kemudian ke Tosari, Puspo, Pasuruan, Lawang, Gunung Arjuno, dan Malang. Gunung Penanggungan tidak didaki. Ada juga deskripsi mengenai sumber lumpur dari Pulungan dan Kalanganyar. Ini dibahas juga oleh Verbeek dalam laporannya.
Lebih jauh lagi Junghuhn ke arah Batu, kemudian ke dunia purba Sanggoriti, Ngantang, Pare, Kediri, dan Solo. Mereka ke Solo melalui Seloh yang merupakan pelana antara Merapi dan Merbabu. Di tempat ini dan di Salatiga, beberapa spesimen sampel kemudian diteliti.
Pada halaman 1191 dari buku Java volume III, Junghuhn meretrospektif perjalanannya ke 45 gunungapi di Jawa dan juga menceritakan tentang bebatuan yang ia temui di sana. Tapi kita tak bisa menolak fakta bahwa Junghuhn tak punya cukup pengetahuan tentang geologi, yang mengakibatkan ia banyak mengambil kesimpulan yang keliru. Junghuhn mengklaim basalt hanya ditemukan di tiga gunungapi di Jawa, padahal batuan ini bisa ditemukan di begitu banyak gunung, dan bahkan lebih sering ditemukan dari batuan plagioklas trakhit, atau yang orang-orang lebih kenal sekarang sebagai andesit. Begitu banyak batuan basalt yang dideskripsi Junghuhn sebagai trakhit, misal batuan di Slamat, yang kemudian dianalisis oleh Prolls secara kimiawi[7]. Kemudian batuan di Tengger dan banyak lainnya yang dianalisis oleh Lorie secara mikroskopik[8]. Prolls juga menyesalkan betapa banyak perbedaan dari deskripsi yang dibuat Junghuhn dibandingkan dengan analisis yang dilakukannya. Lorie[9] menyimpulkan bahwa dari semua batuan vulkanik yang dikumpulkan oleh Junghuhn adalah 2 batuan leusit, 6 andesit hornblende, 34 piroksen andesit, dan 79 batuan basalt.
Fakta bahwa batuan leusit yang sangat jarang ini tak dideskripsi Junghuhn sangat bisa dipahami, karena batuan ini tak banyak ditemui. Terutama karena Junghuhn tak berkunjung ke Muria. Juga karena batuan Leusit yang ditemukan di Gunung Ringgit sangatlah kecil, sehingga hanya bisa diamati dengan bantuan mikroskop. Syenit tidak ditemukan di Jawa. Batuan yang dideskripsi Junghuhn Syenit pada kawah Kelud merupakan andesit yang berbutir kristal. Juga batuan Fonolit tidak ditemukan di Jawa, sementara Junghuhn mendeskripsinya ada di Tengger.
Pada halaman 1193-1266 di volume yang sama, Junghuhn memberikan nomor dari gunung-gunung yang ada di Jawa, dan juga gunung yang ada di Kepulauan Hindia Belanda. Kita juga dapat daftar dari gunung-gunungapi di Sumatera yang dideskripsi Junghuhn ketika meneliti Tanah Batak.
Pada Mei 1845, Junghuhn akhirnya ditunjuk sebagai anggota dari Komisi Ilmu Alam. Penantian panjang yang begitu mengecewakan Junghuhn itu akhirnya berakhir.
Di tahun itu, Junghuhn mengunjungi lereng sebelah selatan dari Ungaran dekat Banyukuning. Kemudian dataran sedimenter Boja di Semarang yang berada di sebelah utara dari gunungapi tersebut, dan mata air Pelantungan. Pada bulan Oktober dan November 1845, ia berkunjung lagi ke Dataran Tinggi Dieng untuk kali ketiga, menyelesaikan pengukuran yang dilakukannya pada tahun 1838 dan 1840.
Pada tahun 1846 dan 1847, atas perintah dari Gubernur Jenderal Rochussen, Junghuhn melakukan studi keberadaan batubara di Jawa. Mulanya ia mengunungi Gunung Kendeng di Distrikt Kuningan, Cirebon, kemudian ia menjelajahi hampir seluruh dataran sedimenter di Jawa dari Barat ke Timur. Perjalanan ini ia deskripsikan dalam volume 3 dari buku Java.
Pada bulan Juni 1848, Junghuhn berkunjung ke Tangkuban Parahu. Ini adalah ekskursi geologi terakhir Junghuhn di Jawa, karena pada tanggal 28 Agustus tahun itu, ia berangkat ke Batavia untuk pergi ke Eropa hingga tahun 1855. Di Eropa Junghuhn menyelesaikan karya monumentalnya Java, serta peta geologi Jawa skala 1:350.000 yang diterbitkan pada tahun 1855.
Pada bulan Desember 1855, Junghuhn kembali ke Jawa. Di bulan Mei tahun selanjutnya, ia diberikan tugas untuk membudidayakan kina di Jawa, menggantikan Dr. Hasskarl, yang mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Junghuhn memegang posisi ini hingga kematiannya pada 24 April 1864. Karya-karya geologinya tidak lagi dipublikasikan sejak itu.
Pakar Botani Mencintai Geologi
Jika kita menghitung seluruh perjalanan geologi Junghuhn selama 13 tahun di Hindia Belanda, 2 tahun dia bekerja di Sumatera, 2 tahun lainnya ia habiskan untuk membuat laporan tentang Tanah Batak, maka kita punya sekitar 9 tahun yang dihabiskan Junghuhn untuk meneliti Jawa, yang saya pikir merupakan prestasi yang sangat hebat, menimbang seluruh kesulitan yang ada ketika itu. Perjalanan-perjalanan geologi hanya bisa dilakukan dengan persistensi tinggi, menimbang begitu terperincinya laporan tentang Jawa yang Junghuhn tulis.
Seluruh karya geologi Jawa Junghuhn semua hampir bisa ditemukan pada buku Java. Buku lainnya, Reisen Durch Java, yang dipublikasikan pada tahun 1845 memiliki informasi-informasi yang cukup baik tentang volkanologi. Beberapa gunungapi dideskripsi Junghuhn dengan cukup baik. Meski tentu tidak bisa dibandingkan dengan deskripsi yang sangat detil yang ada dalam buku Java.
Penghormatan yang begitu tinggi untuk deskripsi medan yang begitu detail dan terperinci, yang diilustrasikan dengan banyak sketsa, profil, dan peta, terutama yang terkait dengan kerucut gunungapi. Meski demikian, harus diakui bahwa ketika Junghuhn membahas substansi geologi dari deskripsinya, maka maknanya kurang begitu berarti, jika kita mempertimbangkan aspek geologi dari ilmu yang berkembang sekarang. Ini bisa kita lihat ketika Junghuhn mendeskripsi batuan, menganalisis stratigrafi dan sedimentologi.
Deskripsi Junghuhn jika kita pelajari akan memberikan pemahaman yang sangat berbeda mengenai sedimen tertua di Jawa. Tapi saya tak perlu membahas lebih detail, karena poin-poin ini telah saya dan Fennema jelaskan sendiri dalam buku Deskripsi Geologi Jawa dan Madura[10], tentang apa saja yang berbeda dari penelitian sebelumnya, terutama penelitian Junghuhn.
Saya akan ulangi bahwa kita tidak boleh lupa, bahwa Junghuhn tidak punya pendidikan geologi, melainkan botani. Maka kita harus menghargai Junghuhn, karena ialah yang pertama memberikan gambaran umum dari konstruksi geologi Pulau Jawa yang begitu luar biasa. Secara khusus saya ingin memberikan kredit yang besar atas jasa Junghuhn mengembangkan teori “Erhebungs-Kratere” atau teori “Elevasi Kawah”, di gunung berapi, yang mana merupakan teori berdasarkan fakta geologi yang diamati dengan sangat baik. Junghuhn dengan jelas membuktikan bahwa kerucut gunungapi volkanik bertumbuh dan membangun kerucutnya secara berturut-turut dari debu gunungapi dan aliran lava. Naiknya elevasi gunungapi bukanlah karena pengangkatan, sehingga elevasi bawah permukaan tidak begitu signifikan.
Teori ini mungkin sekarang sudah usang dan kuno, tapi pada zaman Junghuhn, teori itu diterima sebagai teori yang benar, dan bahkan didukung oleh Leopold von Buch[11]!
Akhir kata, saya tidak boleh lupa untuk menyebutkan bahwa Junghuhn, melalui uraian perjalanannya yang ceria, memberikan efek yang sugestif pada generasi muda, yang tentunya sangat diuntungkan dengan teladan dari sosoknya. Saya juga bisa menghitung diri saya pribadi di antara generasi muda itu, dan secara senang hati saya harus mengakui bahwa saya berhutang budi pada selain pada dua guru saya, H. Vogelsang dan B. von Cotta, tetapi juga pada karya Junghuhn. Atas karyanya, selamanya saya akan selalu berterima kasih.
Den Haag, 24 November 1909.
*Diterjemahkan dari Junghuhn Seorang Geolog karya Dr. Rogier D.M. Verbeek oleh Malik Ar Rahiem
*Catatan Kaki
*Catatan Kaki
[1] Eduard Douwes Dekker (1820-1887), penulis Belanda, tenar karena novelnya Max Havelaar
[2] Ide-ide Multatuli dituangkan dalam seri buku Ideen yang diterbitkan antara 1862 hingga 1877 dalam 7 volume https://www.dbnl.org/titels/titel.php?id=mult001idee02
[3] Levensschets van Junghuhn
[4] Max C. P. Schmidt. Franz Junghuhn, Leipzig 1909, p. 269, ft'.
[5] E. de Waal. Onze Indische F'inantiën, VI, 1883, blz. 86, noot 2. Deze mededeeling heb ik te danken aan den heer W. C. Muller, Adjunct·Secretaris van het Kon. Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Ned. Indië te 's-Gravenhage, wien ik ook nog voor de verstrekking van verschillende andere data betreffende Junghuhn verplicht ben.
[6] Lihat Levensschets van Dr. F. W. Junghuhn, blz. 31; termasuk dalam cetakan keenam (1867) dari buku der Licht- en Schaduwbeelden.
[7] Neues Jahrb. f. Min. 1864, pag. 426-435)
[8] (Bijdrage tot de kennis der Javaansche eruptief· gesteenten, Rotterdam 1879)
[9] Lihat halaman 267
[10] Geologische beschrijving van Java en Madoera
[11] Christian Leopold von Buch (April 26, 1774 – March 4, 1853), biasanya disebut sebagai Leopold von Buch, adalah geologist Jerman, yang dikenal sebagai salah satu geolog paling berpengaruh pada awal abad 19.