NGULIK BANDUNG: Mendaki Tangkuban Parahu
Gunung Tangkuban Parahu menjadi gunung terakhir yang didaki Junghuhn. Makamnya menjadi penanda jalan mendaki puncak gunung itu.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
23 Desember 2021
BandungBergerak.id - Gunung Tangkuban Parahu menjadi persinggahan terakhir Franz Wilhelm Junghuhn pada lawatan pertamanya di Hindia Belanda selama 13 tahun. Junghuhn menceritakan perjalanan terakhirnya tersebut di majalah Tijdschrift voor Neerland's Indië edisi 13, tanggal 1 Januari 1851. Junghuhn tiba di puncak gunung itu pada tanggal 17 Juni 1848 dalam perjalanannya menyusuri Jawa Barat untuk melakukan penyelidikan geologi yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda kala itu.
Junghuhn membangun pondok di titik tertinggi di atas dinding selatan kawah Gunung Tangkuban Parahu. Junghuhn menyebut tempatnya sebagai pertapaan. Kawan-kawannya kerap mengunjunginya di sana. Junghuhn tak sepenuhnya terpisah dari dunia luar. Dia rutin menerima kiriman surat kabar Eropa dari Batavia yang diterimanya lewat kiriman pos. Di puncak gunung itu dia menerima kabar pecahnya revolusi di Paris, republik berdiri, dan Raja Prancis Louis Philippe yang melarikan diri dari istananya.
Kabar itu membuatnya tidak tenang. Junghuhn tengah menimbang untuk meminta cuti pada pemerintah Hindia Belanda untuk kembali ke Eropa. “Perjalanan ke Eropa pada saat itu tidak menguntungkan. Tapi saya sakit, dan saya butuh obat,” tulis Junghuhn, dikutip dari majalah Tijdschrift voor Neerland's Indië, 1851.
Junghuhn menuliskan keindahan puncak Tangkuban Parahu yang memiliki kawah yang luas dan dalam. Dari sana dia bisa memandang hamparan ladang hijau dan hutan di Karawang, sesekali pantulan keperakan Laut Jawa, serta kerucut puncak Gunung Tjiremai dan Tampomas. Sementara dia berdiri tepat di bibir mulut gunung api dengan pemandangan hutan yang tumbang, kayu pohon yang menghitam sepanjang lerengnya.
“Meninggalkan puncak gunung ini saya dalam suasana hati yang melankolis. Untuk lembah kawah ini adalah yang paling indah di Jawa dan kaya akan keanekaragaman yang indah di atas semua wilayah pulau,” tulis Junghuhn.
Dengan berat hati Junghuhn memutuskan kembali ke Eropa. Di penghujung Agustus 1848, Junghuhn kembali ke Eropa menumpang Kapal Etna dari Batavia menuju Singapura, dan selanjutnya menuju Eropa. Tahun 1855, Junghuhn kembali ke Hindia Belanda sebagai ahli botani dengan membawa tugas dari pemerintah Hindia Belanda untuk membiakkan tanaman kina.
Tanggal 24 April 1864 malam, dia meninggal dunia di kediamannya di Lembang. Dia dimakamkan di Lembang, di kaki gunung Tangkuban Parahu. Kabar kematiannya baru tersiar sebulan kemudian.
“Dr. Frans Junghuhn, inspektur hidup, yang ditakdirkan untuk penelitian fisika di N.I. yang ditugaskan untuk mengelola budaya kina di Jawa, pada malam 24 April lalu di Lembang, tempat tinggal Kabupaten Preanger, meninggal dunia,” tulis Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 28 Mei 1864.
Nama Franz Wilhelm Junghuhn tak hanya lekat dengan kina, tapi Gunung Tangkuban Parahu. Makamnya di kaki gunung itu seakan menjadi saksi semua pendaki yang hendak menuju puncak gunung itu. Makamnya menjadi patokan bagi pendaki yang hendak menjelajah gunung tersebut.
Gunung Tangkuban Parahu memiliki ketinggian 2.087 mdpl. Badan Geologi mencatat gunung tersebut memiliki sejumlah yakni Kawah Ratu, Kawah Upas, Kawah Baru, Kawah Lanang, Kawah Ecoma, Kawah Jurig, Kawah Siluman, Kawah Domas, Kawah Jarian, dan Pangguyangan Badak. Dua kawahnya yang terbesar yakni Kawah Ratu dan Kawah Upas, membuat gunung itu dikenal memiliki dua kawah kembar di puncaknya. Gunung ini sesekali meletus.
Koran De Preanger-bode tanggal 17 Juni 1908 mencatat salah satu peristiwa letusan gunung itu yang menghasilkan suara ledakan di siang hari yang cerah yang mengejutkan warga Bandung kala itu. Suara ledakan misterius tersebut membuat warga resah. Penyelidikan di dua kawah kembar gunung itu tidak mendapati tanda-tanda letusan. Letusan terbesar yang tercatat kala itu sempat terjadi tahun 1846, itu pun hanya letusan pasir.
Gunung yang Menarik Perhatian
Gunung Tangkuban Parahu sejak dulu selalu menarik perhatian. Pendakian awal dilakukan oleh Abraham van Riebeeck, Guberrnur Jenderal Hindia Belanda ke-18 pada tahun 1713. Pendakian yang harus dibayar oleh nyawanya karena terserang penyakit disentri di tengah perjalanannya tersebut. Pendakian selanjutnya dilakukan seorang naturalis Amerika, Dr. Thomas Horsfield pada tahun 1803 (NGULIK BANDUNG: Jalan Gunung Tangkuban Parahu dan Cerita-cerita di Baliknya (1)).
Pendaki tidak melulu didominasi pria, Ny. Klausine Klobben salah satunya. Penulis Dé-Lilah menerbitkan kisah perjalanan perempuan Belanda terebut yang mengelilingi Pulau Jawa dalam buku Mevrouw Klausine Klobben op Java, terbitan Utrecht: H.Honig, tahun 1899.
Dikisahkan Ny. Klobben mampir ke Bandung di tengah perjalanannya mengelilingi Pulau Jawa. Dia sudah lama tertarik dengan Gunung Tangkuban Parahu. Dia membaca tentang seluk beluk gunung itu dari tulisan perjalanan Franz Junghuhn. Karena penasaran, dia memutuskan mendaki gunung itu.
Atas saran pemilik hotel di Bandung, Ny. Klobben membeli sepucuk pistol sebagai bekalnya mendaki gunung. Sebab waktu itu muncul desas-desus bahwa kabar kerusuhan yang terjadi di Banten bisa merambat ke Bandung.
Ny. Klobben memulai perjalanannya menuju Lembang dengan menyewa gerobak yang ditarik oleh kuda. Di jalan perdesaan yang dilewatinya berjajar petak-petak sawah milik petani, serta ladang kentang, dan kebun teh. Dua jam kemudian dia tiba di Lembang.
Biasanya pelancong menginap di Pasanggrahan di Lembang, tapi Ny. Klobben diwanti-wanti untuk tidak menginap di sana karena dia seorang perempuan. Di Lembang dia menginap di rumah Lurah.
Pagi harinya Ny. Klobben meminta pengawalan polisi, dan menyewa warga setempat untuk membawanya dalam tandu untuk mencapai puncak gunung itu. Rombongan menyusuri jalan setapak menuju taman kebun pohon kina. Di sana Junghuhn dimakamkan.
Ny. Klobben menyempatkan diri turun dari tandu menghampiri makam tersebut, berdoa, dan menaruh bunga di sana. Makam Junghuhn dipasangi plakat dari marmer yang menyatakan ia lahir di Mansfeldt pada tahun 1810 dan meninggal di Lembang pada tahun 1864. Kemudian rombongan meneruskan perjalanannya.
Rombongan berjalan menyusuri jalan setapak yang menanjak. Sesekali menyusuri tepian jurang yang terjal. Sesekali terdengar deru aliran sungai, serta suara gemerisik pepohonan yang tertiup angin. Jalanan semakin sempit, dan sulit untuk dilewati. Memasuki hutan yang lebat dengan pohon-pohon yang besar. Dia melihat anggrek liar, dan sesekali memetik berry liar. Tetumbuhan semakin bervariasi. Dia melihat pakis, begonia liar, serta deretan pohon pinus.
Lima jam lamanya berada di atas tandu hingga akhirnya dia tiba di puncak Gunung Tangkuban Parahu. Arlojinya menunjukkan waktu pukul sepuluh tiga puluh. Tandu yang membawanya menyusuri jalan di pinggir dinding kawah. Hingga tandu kemudian diturunkan.
“Saya telah diberitahu bahwa ada semacam pasanggrahan di tepi kawah, tetapi saya tidak melihat apa-apa selain kayu di tanah, sisa-sisa sebuah pondok, tetapi sebuah rumah sendiri tidak terlihat,” kata Ny. Klausine Klobben.
Pemandangan kawah kembar Gunung Tangkuban Parahu berada di depannya. Bau belerang menyergap penciumannya. Pemandangan yang baru pertama dilihatnya. Di dalamnya terlihat danau lumpur dengan warna abu-abu pucat, di sisi lainnya sebuah danau fosfor kehijauan. Opsir polisi yang menemaninya memberitahunya di bagian kiri adalah Kawah Oepas, dan sebelahnya adalah Kawah Ratoe. Penasaran, Ny. Klobben turun ke bawah ditemani empat orang dari rombongannya menuju ke dasar kawah.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah Badak di Gunung-gunung Bandung
NGULIK BANDUNG: Observatorium Lembang
NGULIK BANDUNG: Boemi Hajoe, Kebun Stroberi Eropa Pertama di Lembang
Dongeng Lain Gunung Tangkuban Parahu
Setelah puas, dia kembali ke atas. Rombongan mengisi perut, dan beristirahat. Dia sempat mendengarkan kisah yang dipercayai warga setempat tentang kawah kembar Gunung Tangkuban Parahu.
“Ratusan tahun yang lalu, ketika masih belum ada orang Belanda di pulau Jawa, seorang sultan memerintah di Banten, yang memiliki seorang putri yang sangat cantik. Sekarang kebetulan seorang pemuda dari kabupaten Lampong datang ke Banten, yang, bagaimanapun, bukan dari darah bangsawan. Yang terakhir melihat sang putri dan secara alami jatuh cinta padanya. Putri raja juga hanya melihat pemuda tampan itu sekali, seketika dia juga langsung terpesona olehnya. Tapi tentu saja pernikahan tidak bisa datang, karena betapapun cantik dan beraninya pemuda itu, dia bukan seorang pangeran, dan oleh karena itu sulit untuk memiliki anak kerajaan untuk istri,” kata Ny. Klausine Klobben (Dé-Lilah, 1889).
Sang raja, dalam cerita itu, murka. Si pemuda di usir dari Kerajaan. Kemudian kedua pasangan itu nekat melarikan diri bersama. Si pemuda hendak membawa putri ke kampung halamannya.
“Pasangan muda yang sedang jatuh cinta menaiki sebuah prahu kecil, yang akan membawa mereka menyusuri Jalan Sunda ke Lampongs. Saat itu Batavia dan tanah sekitarnya belum ditelan, dan Bandong masih hampir di tepi laut. Di sana sekarang duduk dua kekasih, dan mengarahkan mereka ke utara ke pulau Sumatera. Nasib, bagaimanapun, yang mengatur kehidupan setiap orang, menginginkannya secara berbeda. Badai dahsyat datang dan membawa prahu mereka ke arah timur ke Laut Jawa, tetapi kasihan, perahu yang terdampar di ketinggian Bandong, terbalik, dan kedua anak muda itu ditelan ombak yang bergejolak,” lanjut Klausine Klobben.
Perahu yang terbalik itu yang dipercayai tumbuh dan menjadi Gunung Tangkuban Parahu. Sang putri Banten itu dipercayai masih berdiam di Kawah Ratu.
Mendengar kisah itu, timbul isengnya. Ny. Klobben mengambil batu dan hendak melemparnya ke dalam kawah. Polisi yang mengawalnya mencegahnya, dia memperingatkan untuk tidak melakukannya karena akan menyebabkan kemarahan Ratoe.
Penasarannya makin menjadi. Dia ingat cerita induk semangnya yang menceritakan begitu meriahnya suara yang ditimbulkan dari gema suara tembakan pistol di dalam kawah. Ny. Klobben lalu berjalan ke tepi kawah. Lalu mengambil revolver yang dibawanya dan menembakkannya ke dalam kawah. Sontak suara pistol yang sudah keras makin menggelegar bergema. Jantungnya berdetak kencang, terkejut, takut. Pistolnya tak sadar terlepas dari genggamnya, dia jatuh terduduk.
Saat sadar. Dia memandang berkeliling. Tidak terlihat satu pun anggota rombongannya yang ternyata kabur mendengar suara menggelegar dari tembakannya itu. Lalu dia berteriak sekuat tenaga memanggil. Hingga satu-satu rombongan yang mengantarnya muncul. Sebagian marah dan mengomelinya. Ny. Klobben harus membujuk dengan mengiming-imingnya bayaran yang lebih besar. Rombongan akhirnya berjalan turun dengan kecepatan penuh kembali ke Lembang.
Bertahun-tahun, dan hingga saat ini Gunung Tangkuban Parahu masih terus menarik perhatian. Ada banyak jalan menuju puncak gunung itu.
Buku wisata panduan wisata Gids voor Bandoeng, Garoet en omstreken, yang terbit tahun 1933 misalnya menuliskan sejumlah cara dan jalan yang bisa ditempuh untuk mendaki gunung itu. Mulai dari berkendara dengan mobil, hingga berjalan kaki. Dari Tjisaroea, lewat Sitoe Lembang dan Gunung Sunda, serta Sukawana. Gunung yang memang sohor sejak dulu. Dan makam Junghuhn di Lembang menjadi patok penanda bagi wisatawan yang hendak mendaki gunung itu.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman