• Komunitas
  • Komunitas Aleut Susur Rantai Sejarah Bandung Sampai Gunung

Komunitas Aleut Susur Rantai Sejarah Bandung Sampai Gunung

Komunitas Aleut menelusuri kaitan sejarah Bandung dengan daerah lain di Indonesia. Mereka berhenti di warung kampung dan ngobrol sejarah DI/TII

Toko De Vries, Jalan Asia Afrika, merupakan salah satu tempat bersejarah di Bandung, 2020. (Foto: Iqbal Kusumadirezza/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana22 Maret 2021


BandungBergerak.id -  Rombongan Momotoran Komunitas Aleut berhenti di warung yang pemiliknya sudah sepuh. Dari pemilik warung, keluarlah informasi soal Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Bandung Lautan Api, perkebunan masa kolonial, dan sejarah penting lainnya.

Momotoran merupakan program rutin Komunitas Aleut. Sebagaimana namanya, kegiatan komunitas pecinta sejarah ini dilakukan dengan cara tur pakai motor menuju pelosok-pelosok.

Mereka berangkat dari Bandung untuk “mencari jejak” berbekal informasi dari buku-buku sejarah. Sebelum berangkat momotoran, mereka mendiskusikan tema-tema yang ingin ditelusuri dengan berpegangan pada literatur. Contohnya, tema DI/TII yang basis gerakannya di gunung dan hutan di selatan Bandung.

Komunitas Aleut sebelumnya dikenal sebagai kelompok anak muda yang aktif menelusuri petilasan sejarah kota Bandung. Namun sejarah Bandung rupanya memiliki mata rantai panjang sampai ke ke luar Jawa Barat. Pernah suatu hari komunitas ini momotoran sampai ke Banten, Surabaya, Pacitan, Jawa Timur.

“Kami memutuskan kenapa sampai jauh ke luar Jawa Barat, karena jangkauan kita semakin melebar menyambungkan sejarah dengan sejarah lainnya. Sejarah di Bandung ada kaitannya dengan sejarah di Surabaya, dan seterusnya,” tutur Koordinator Komunitas Aleut, Deuis Raniarti, saat berbincang dengan BandungBergerak.id, Sabtu, 13 Maret 2021.

Contohnya, sejarah Bandung Lautan Api yang terkait Perjanjian Linggarjati (15 November 1946 - 25 Maret 1947) dan Perjanjian Renville (8 Desember 1947 - 17 Januari 1948), serta peristiwa lain yang melatarbelakanginya.

Tak jarang latar belakang peristiwa itu berlangsung di luar Bandung. Contoh lain, jejak Soekarno, yang bisa ditelusuri sampai masa HOS Tjokroaminoto.

Tjokroaminoto difilmkan dengan judul “Guru Bangsa” (2015). Film ini disutradarai Garin Nugroho dengan produser Christine Hakim. Beberapa pemainnya adalah Reza Rahardian dan Maia Estianty.

Deuis Raniarti yang akrab disapa Rani menyebut, HOS Tjokroaminoto punya banyak murid, antara lain, Soekarno dan Kartosoewirjo. Murid-murid Tjokroaminoto kemudian berbeda paham dan haluan.  

Pasca-kemerdekaan yang mengantarkan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama RI, Kartosoewirjo mendirikan DI/TII. Gerakan ini tersebar bukan hanya di Bandung, melainkan ke daerah-daerah lain di Indonesia.

“Makanya kalau kita ke satu tempat kita sambungin juga. Itu awalnya dari Tjokroaminoto sampai bisa dihubungkan,” kata Rani.

Momototan Komunitas Aleut sampai ke gang-gang sempit, jalan-jalan kampung, dan bahkan jalan setapak di hutan atau pegunungan. Mereka sering kemalaman di hutan atau di tengah perkebunan terpencil.

Rani mengaku tidak pernah mengalami kendala yang mengancam keselamatan selama mengikuti momotoran. Hanya saja mereka lebih sering terkendala medan dan cuaca yang memperlambat perjalanan.

Mereka pernah kemalaman di perkebunan Sinumbra, Naringgul, Ciwidey, perkebunan di antara Bandung selatan-Cianjur. “Pernah kita jam 12 malam masih di Gunung Tilu. Tapi alhamdulillah ga pernah kejadian hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.

Mereka sudah mengantisipasi segala kemungkinan berkat pengalaman momotoran sebelumnya. Termasuk membawa peralatan bengkel jika suatu waktu motor mereka mogok.

Tema momotoran selalu berbeda-beda. Namun mereka sudah menemukan pola tetap setiap kali berhenti momotoran, yakni memilih warung sebagai perhentian utama.

Ada aturan tak tertulis yang wajib dilakukan komunitas ketika memilih warung. Mereka harus menghindari toko atau minimarket dan harus memilih warung lokal. Dengan begitu diharapkan kedatangan mereka turut berkontribusi pada ekonomi lokal, walaupun nilai kontribusi mungkin sedikit.

Mereka juga harus memilih warung yang pemiliknya sudah sepuh. Karena orang sepuh dianggap memiliki pengetahuan luas soal sejarah kampungnya.

Warung juga akan menjadi pintu awal untuk menggali sejarah lokal. Sambil jajan dan istirahat, mereka membuka obrolan dengan pemilik warung. Mereka bertanya apa yang menarik di kampung tersebut, sejarah lokalnya, kearifan lokalnya, dan lain-lain.

Pertanyaan biasanya dimulai dari tahun kelahiran si pemilik warung. Mereka lantas mencari peristiwa besar yang terjadi di sekitaran tahun tersebut. “Misalnya, jika dia lahir sebelum kemerdekaan, otomatis dia akan tahu peristiwa DI/TII,” katanya.

Di suatu warung di kampung yang disebut Cibugel, mereka mendapat informasi tentang DI/TII. Informasi ini muncul dalam obrolan santai mengingat isu DI/TII masih terbilang sensitif, bahkan kalangan tertentu sampai kini menyebut DI/TII sebagai gerombolan.

Bekas Bosscha dan Junghuhn

Hamparan perkebunan hijau di Tatar Priangan sebagian besar telah dikunjungi rombongan Momotoran Aleut. Mereka datang bukan sekadar selfie ria untuk pamer foto di media sosial, melainkan untuk menelusuri awal mula terbentuknya perkebunan dan tokoh pemiliknya.

Tokoh besar di balik perkebunan Parahyangan salah satunya K.A.R. Bosscha, juragan tanah yang banyak menguasai perkebunan di Jawa Barat. Bosscha pernah ikut pamannya ke Sukabumi. Komunitas Aleut pun menelusuri jejaknya di Sukabumi.

Bosscha juga pernah ke Kalimantan, namun komunitas ini tidak bisa menelusuri jejaknya ke sana karena keterbatasan. Sejauh ini mereka baru bisa menelusuri jejak-jejak sejarah di Pulau Jawa saja.

Haryoto Kunto dalam buku “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” (1985), menyebut Bosscha punya julukan “Thee koning” atau Raja Teh dari perkebunan Malabar.

“Ia terkenal dermawan, ikut mendirikan Technische Hoogeschool (ITB) di Bandung dan berpartisipasi dalam pemgbangunan kota Bandung,” kata Haryoto Kunto.

Selain pemilik perkebunan Malabar dan turut mendirikan ITB, Bosscha membangun peneropongan bintang di Lembang yang kini dikenal Observatorium Bosscha.

Tokoh lain yang ditelusuri Aleut ialah ilmuwan multi-talenta Junghuhn. Menurut Rani, Junghuhn menggeluti ilmu kartografi, tumbuh-tumbuhan, pengobatan, dan lain-lain.

“Junghunn mengukur ketinggian dengan alat kartografinya terbatas. Hasil pengukurannya hampir sama banget dengan teknologi modern,” kata Rani.

Haryoto Kunto menyebut Franz Wilhelm Junghuhn sebagai salah satu “cikal-bakal” kota Bandung yang ikut “babat alas” Tatar Ukur (wilayah Kabupaten Bandung).

“Dr Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864). Seorang penjelajah pecinta alam sejati keturunan Jerman yang berjasa membudidayakan tanaman Kina di daerrah pegunungan Priangan,” kata Haryoto Kunto.

Junghuhn punya jasa besar pada Belanda. Kata Haryoto Kunto, hasil penyelidikan Junghuhn dibukukan dalam 4 jilid berjudul “Java Gravenhage", 1858.

“Lewat hasil penyelidikannya tentang flora-fauna, geografi, geologi, iklim dan sosiografi penduduk di Pulau Jawa, terutama daerah Priangan, para pengusaha Belanda dapat menentukan lokasi yang tepat untuk daerah perkebunan dengan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungannya.”

Monumen di kota tua Jalan Braga, Bandung. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)
Monumen di kota tua Jalan Braga, Bandung. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Belajar dari Wabah Masa Lalu

Tahun 1918, dunia dilanda pandemi Flu Spanyol. Wabah flu jenis anyar waktu itu berlangsung di saat kecamuk Perang Dunia I. Sehingga korban wabah bercampur dengan korban perang.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), flu Spanyol atau influenza 1918 adalah pandemi paling parah dalam sejarah umat manusia.

Pandemi Flu Spanyol berlangsung antara 1918-1919. Wabah global ini disebabkan virus H1N1 dari unggas. Seperti Covid-19, virus ini menyebar ke seluruh dunia. CDC melaporkan, di Amerika Serikat, virus ini pertama kali diidentifikasi pada personel militer pada musim semi 1918.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat itu memperkirakan Flu Spanyol menginfeksi sekitar 500 juta orang atau sepertiga populasi dunia.

Flu Spanyol diperkirakan merenggut 50 juta jiwa, sekitar 675.000 terjadi di Amerika Serikat. Virus ini terutama menyerang nyawa anak berusia kurang dari 5 tahun, 20-40 tahun, dan 65 tahun ke atas.

Wabah di masa lalu menjadi salah satu kajian penting anggota komunitas Aleut di masa pandemi Covid-19. Pembahasan sejarah wabah dilakukan per sub-judul mengingat saking banyaknya wabah yang pernah menyerang masyarakat masa lalu.

“Kita mempelajari sejarah pandemi di masa lalu untuk melihat penerapan apa yang bisa dilakukan ketika kita harus sering berada di rumah seperti sekarang ini,” ujarnya.

Menurut Rani, peradaban umat manusia telah melalui berbagai macam wabah yang disebarkan hewan maupun faktor genetik. Dan dari wabah ke wabah, manusia selalu berhasil bertahan dan mampu melewatinya.

Rani menemukan benang merah wabah di masa lalu dengan pandemi Covid-19. Orang-orang di masa lalu bisa bertahan dari wabah dengan cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

Upaya lain yang tak kalah penting dalam mengatasi wabah ialah dengan melakukan penguatan sistem sosial untuk membangun kekuatan bersama. Solidaritas sosial menjadi kunci keluar dari wabah. “Peduli dan saling tolong terhadap sesama di masa wabah ini sangat penting. Hal ini yang dilakukan masyarakat saat wabah di masa lalu,” tandasnya.

Maka dari itu, pandemi tak menghalangi Aleut untuk menjalankan programnya. Mereka memaksimalkan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan di rumah masing-masing dengan memanfaatkan teknologi virtual.

Program yang semula dilakukan secara tatap muka, kini dialihkan lewat pertemuan online. Mereka memaksimalkan acara virtual tentang literasi, seperti belajar menulis, bikin resensi buku, diskusi buku tentang sejarah, perempuan, anak, hewan, novel atau sastra, pelatihan bahasa isyarat, dan lain-lain.

Mereka mempelajari bisnis kopi, saham, dan seterusnya. Ada juga program Ngaleut virtual, yaitu mengunjungi bioskop-bioskop lama, sejarah kereta api, sampai sejarah radio di zaman Belanda.

Sebelum pandemi Covid-19, mereka biasa menggelar diskusi langsung di taman-taman di Bandung. Kegiatan rutin Aleut selain momotoran ialah Ngaleut, sebuah kegiatan tentang sejarah yang dilakukan di dalam kota.

Di luar sejarah, mereka membuka kelas literasi, berbagai workshop, FGD dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bertujuan mengasah keterampilan anggota.

Dua orang perempuan mengenakan masker protokol kesehatan Covid-19 melintas di depan lukisan pinggir Jalan Braga, Bandung. (Foto:  Iqbal Kusumadirezza)
Dua orang perempuan mengenakan masker protokol kesehatan Covid-19 melintas di depan lukisan pinggir Jalan Braga, Bandung. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Siapa pun Bisa Gabung Aleut

Aleut merupakan komunitas nirlaba yang awalnya menekuni sejarah. Seiring waktu, komunitas ini mendalami banyak hal selain sejarah. Rani bilang, komunitas Aleut sudah berjalan sejak 1990-an, namun pencatatan anggota baru dilakukan sekitar 2006.

Web resmi Aleut, komunitasaleut.com, dalam artikel “Komunitas Aleut: Bandung Pernah Mendapat Julukan Kota Kuburan” yang ditulis Delila Deagrathia, menyebut komunitas ini terbentuk berawal dari ospek mahasiswa jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran.

“Pada saat itu untuk mengganti perpeloncoan, mahasiswa Sejarah Unpad mengitari Bandung untuk mencari tempat dan pengetahuan sejarah yang berada di Kota Bandung ini,” tulis Delila Deagrathia.

Acara mencari jejak sejarah Aleut terinspirasi dari beberapa buku karangan Haryoto Kunto yang menceritakan Bandung, terutama buku “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” dan “Semerbak Bunga di Bandung Raya”.

Mereka kemudian membentuk komunitas yang anggotanya berasal dari dalam dan luar Bandung. Mereka berkomunitas karena ingin tahu sejarah Bandung dari masa ke masa.

Rani menjelaskan, perekrutan anggota Aleut bersifat cair, siapa pun bisa bergabung. Anggota komunitas berasal dari berbagai latar belakang, mulai kedokteran, ilmu pengetahuan alam atau botani, ilmu sosal, ekonomi, dan lain-lain.

“Background kami berbeda-beda justru mempertemukan kita di sini. Kita saling sharing dan diskusi banyak hal,” katanya.

Saat ini jumlah anggota komunitas Aleut lebih dari 1.000 orang. Itu yang tercatat, belum termasuk dengan anggota yang pernah aktif sejak 1990-an. Sebagian anggota lama masih aktif mendukung kegiatan adik-adiknya.

“Kepengurusan Aleut sangat dinamis. Dari yang belum nikah dan sekarang sudah punya anak dibawa Ngaleut. Jadi bayak sekali.”

Dalam setahun, Aleut bisa menjalankan sampai 80 kali kegiatan. Acara Momotoran saja bisa berlangsung seminggu sekali. Bahkan saat lebaran, mereka tetap Momotoran.

Semua biaya kegiatan Aleut ditanggung uang kas komunitas yang bersumber dari unit usaha berupa toko buku dan penerbitan, jasa restorasi audio, toko piringan hitam dan kaset musik.

“Ketika Momotoran tiap orang tidak mengeluarkan biaya kecuali kalau pengin beli oleh-oleh dan jajan lebih. Bahkan bensin diisi uang kas,” katanya.

Pendapatan lain komunitas ini adalah menjalin kerja sama dengan perusahaan atau instansi. Misalnya, mengisi acara edukasi dengan suatu lembaga.   

Aleut juga menerima donasi dari alumni Aleut yang sudah bekerja di dalam dan luar negeri. Para alumni merasa telah memetik manfaat besar selama aktif di komunitas. Sehingga mereka tidak melupakan komunitas.

“Walaupun kami tidak pernah minta timbal balik dari siapa pun. Tapi karena mungkin rasa terimakasih, suka ada saja teman yang ikut nyumbang,” katanya.

Aleut tidak membebani anggota dengan iuran bulanan. Anggota hanya sekali diminta membayar biaya registrasi saat mengisi formular pendaftaran Rp15.000 untuk setahun. Tapi tak jarang ada anggota yang lupa bayar iuran tahunan ini.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//