NGULIK BANDUNG: Jalan Gunung Tangkuban Parahu dan Cerita-cerita di Baliknya (1)
Saat ini kita mengenal Tangkuban Parahu sebagai gunung dengan akses jalan sangat mudah hingga ke puncaknya. Beda dengan zaman dulu: berbahaya dan makan korban jiwa.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
16 September 2021
BandungBergerak.id - “…. of eensklaps zag 't verwonderd oog een tal van bergen staan / Wie had in eenen enk'len nacht die bergen, daar gewrocht? / Had ook een berggeest, groot van macht, dat oord misschien bezocht? / Ook d' omgekeerde groote prauw rees tot de wolken op, / Toen ging de poetri treurig heen en keerde nimmer weêr, / Men zegt: ze sprong met luid gegil in een der kraters neêr, / En braakt de berg nu vlam en rook, dan klimt met schril geluid; / De poetri, als een vrees'lijk spook, de Kawa Ratoe uit.”
“…. dan deretan pegunungan tumbuh begitu saja dalam semalam. Siapakah yang melakukannya? Apakah roh gunung, yang memiliki kekuatan besar, mungkin juga mengunjungi tempat itu? perahu yang dibalikan menjadi puncak gunung dan puisi pun berubah menjadi sedih. Sang putri (Dayang Sumbi) melompat ke dasar sebuah kawah dengan teriakan yang nyaring. Kini gunung itu memuntahkan api dan asap, suaranya nyaring dan menggelegar. Sang putri seperti hantu yang mengerikan keluar dari Kawah Ratu (Sejak saat itu kawahnya mengepulkan asap yang tebal).”
Cuplikan puisi berjudul Sang-Koeriang di atas merupakan karya penyair Roorda van Eysinga, terbit tahun 1885 dalam sebuah buku tahunan Hindia Belanda, Wanasari dan Bianglala. Puisi yang merupakan adaptasi dari legenda Gunung Tangkuban Parahu ini, atau juga sering dituliskan Gunung Tangkuban Perahu, sempat dimuat ulang dalam surat kabar De Preanger Bode edisi 17 April 1910 saat gunung tersebut mengalami erupsi di tahun yang sama. Letusan yang membuka kenangan masyarakat akan gunung tersebut dan dibahas berulang-ulang di beberapa surat kabar yang terbit saat itu.
Legenda Tangkuban Parahu rupanya memang umum dijadikan sebagai dongeng pengantar tidur, bahkan sebagai bahan ajar di sekolah bagi masyarakat Priangan. Tidak hanya saat ini, legenda ini pun dikenal oleh masyarakat, baik pribumi maupun warga Eropa, di tatar Priangan pada zaman Hindia Belanda. Tak heran bila kemudian banyak orang penasaran dan ingin mencapai puncak gunung yang tampak seperti perahu terbalik bila dilihat dari sisi selatan Bandung itu.
Gunung Tangkuban Parahu berada di kawasan Bandung Utara, tepatnya satu sisi berada di wilayah Lembang, Kabupaten Bandung Barat dan sisi lain masuk ke wilayah Kabupaten Subang. Gunung yang memiliki ketinggian 2.084 meter di atas permukaan laut ini memang selalu menarik perhatian orang untuk mengunjunginya. Sangat mudah untuk mencapai puncak gunung ini sekarang. Cukup dengan berkendara, siapa pun akan sampai di puncak yang memiliki dua kawah kembar, yaitu Kawah Ratu dan Kawah Upas.
Tidak seperti gunung-gunung lain pada umumnya yang perlu didaki dari kaki gunung hingga puncaknya, Tangkuban Parahu, yang dalam bahasa sunda memiliki arti perahu tengkurap atau perahu terbalik, memang istimewa. Terdapat jalan yang sudah sangat baik dengan panorama yang sangat indah di kiri-kanannya, langsung dari arah Bandung, melalui jalan raya Lembang-Subang hingga memasuki kawasan bibir Kawah Ratu, salah satu dari kawah kembar puncak gunung tersebut.
Pendaki Pertama dalam Sejarah
Mudahnya sarana perjalanan untuk mencapai puncak Gunung Tangkuban Parahu kini berbanding terbalik dengan kondisi di era kolonial. Gunung yang selalu menarik minat orang untuk mengunjunginya ini ternyata memiliki tingkat kesulitan yang luar biasa untuk mendakinya. Bukan saja karena kondisi hutan purba yang masih perawan, sehingga rawan membuat pendaki tersesat, tapi juga ancaman dari beragam hewan buas dan liar yang menghuni gunung tersebut. Belum lagi ancaman gas beracun yang dihasilkan fumarol gunung tersebut, yang dapat mengakibatkan kematian apabila terhirup oleh manusia.
Salah satu kisah yang dapat menggambarkan betapa sulitnya medan pendakian ke Gunung Tangkuban Parahu dapat diketahui dari kasus yang dialami oleh pendaki pertama yang dikisahkan oleh Haryoto Kunto, dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Adalah Abraham van Riebeeck, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-18 yang tercatat dalam sejarah sebagai orang pertama yang melakukan perjalanan untuk mencapai puncak Gunung Tangkuban Parahu dalam misinya untuk mencari belerang yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan mesiu pada tahun 1713.
Saat itu, hutan masih tertutup rapat dan jalur pendakian menuju gunung tersebut harus dibuka sendiri agar dapat dilalui. Akar-akar besar dari pepohonan purba, malang-melintang menutupi jalurnya. Diperlukan stamina yang kuat dengan waktu tempuh yang cukup lama untuk sampai ke puncaknya.
Informasi tentang medan pendakian yang menyulitkan tersebut dinukil oleh harian Bataviaasch nieuwsblad, 14 Mei 1925: “Kita dapat melihat Tangkoeban Prahoe sepanjang hari, namun untuk mendakinya dibutuhkan kaki yang kokoh dan waktu yang banyak. Pertama naik ke Lembang lalu naik kuda dan saat kondisi jalur mulai parah, harus dilanjutkan dengan berjalan kaki, yang memakan waktu 21 jam lagi dari tempat itu.”
Mengetahui betapa beratnya pendakian ke puncak Gunung Tangkuban Parahu pada tahun 1925, kita bisa membayangkan bagaimana situasi serta kondisi yang harus ditempuh oleh Van Riebeeck dalam menyelesaikan misinya hampir dua abad sebelumnya.
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Diberitakan dalam koran Algemeen Indisch Dagblad- De Preanger Bode, tanggal 24 Mei 1952, Abraham van Riebeeck terkena penyakit disentri dalam perjalanan pendakian tersebut dan pulang ke Batavia dalam kondisi pingsan. Tak lama dari kepulangannya itu, tepatnya pada pada tanggal 13 November 1713, ia mengembuskan nafas terakhirnya.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Dokter Emilie Suzzan Houtman, Perempuan di Balik Pendirian Sanatorium Dago Heuvel (2)
NGULIK BANDUNG: Dokter Emilie Suzzan Houtman, Perempuan di balik Pendirian Sanatorium Dago Heuvel (1)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (2)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
Ilmuwan Amerika dan Pendakian Tahun 1804
Setelah Abraham van Riebeeck, pendakian selanjutnya yang tercatat dalam sejarah justru dilakukan oleh seorang naturalis asal Amerika, Dr. Thomas Horsfield. Menurut John Bastin, dalam bukunya “A Pioneer American Naturalist of Indonesia: Dr. Thomas Horsfield, 1978”, Horsfield memulai perjalanannya dari Amerika pada tanggal 22 Desember 1799 dan tiba di Batavia pada tanggal 15 April 1800, sebagai dokter bagi seorang saudagar Tionghoa.
Sebagai seorang naturalis, Thomas Horsfield sangat tertarik pada segala hal yang menyangkut alam dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Saat tinggal di Batavia itulah, ia menyaksikan betapa kayanya pulau Jawa dengan tumbuhan tropis, sehingga menumbuhkan niat untuk melakukan penelitian mendalam tentang botani. Hosfield lantas kembali ke Philadelphia, dan mendaftarkan diri sebagai ahli bedah kepada Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger atau Dinas Militer Hindia Belanda agar mendapat izin melakukan penelitian yang berhubungan dengan alam ke berbagai daerah.
Pada bulan Oktober 1801, Thomas Horsfield kembali melakukan perjalanan ke Pulau Jawa dan mulai melakukan penelitiannya terhadap tumbuhan tropis. Letusan Gunung Guntur, di daerah Garut, Jawa Barat, pada tanggal 6-7 April 1803 mengalihkan perhatiannya ke vulkanologi serta geologi. Sejak saat itulah penelitiannya lebih terpusat dalam kedua bidang tersebut. Dari Garut, pada bulan Juli 1804 Horsfield datang ke Bandung untuk melakukan penelitian ke Gunung Tangkuban Parahu.
Dalam jurnalnya, Thomas Horsfield mencatat tentang perjalanan menuju puncak Gunung Tangkuban Parahu, dengan medannya yang menyulitkan. Menurutnya, Tangkuban Parahu merupakan salah satu gunung api yang paling menarik di Pulau Jawa, dengan kerapatan serta keragaman vegetasinya. Kawahnya termasuk dalam kawah dengan ukuran terbesar. Tangkuban Perahu juga memiliki banyak lubang-lubang fumarol yang tertutupi dengan belerang yang tidak murni, dan dapat mengeluarkan uap-uap air mendidih yang mengandung gas nitrous oxide.
Sebagai seorang naturalis, Thomas Horsfield, tercatat sebagai ilmuwan yang memiliki ketertarikan pada keragaman ilmu alam dan peminatan ilmiah yang sangat luas. Ia merupakan pionir yang memetakan geologi, mineralogi, dan vulkanologi di Pulau Jawa, empat dasawarsa sebelum F. W. Junghuhn.
Gunung yang Terus Memakan Korban Jiwa
Menyusul para peneliti yang melakukan pendakian, minat masyarakat baik lokal (pribumi dan Eropa) maupun asing untuk mendaki gunung Tangkuban Parahu tidak pernah surut. Namun, Gunung Tangkuban Parahu ketika itu bukanlah gunung wisata nan ramah serta mudah untuk dikunjungi. Masyarakat Priangan tahu, untuk mendaki gunung Tangkuban Parahu, nyawalah taruhannya. Toh, pesona gunung ini jauh lebih menggoda dibanding ancaman kematian di baliknya.
Pada tanggal 29 Juni 1924, tiga orang remaja pelajar Hoogere Burgerschool te Bandoeng (sekarang SMAN 3 Bandung), melakukan perjalanan ke puncak Gunung Tangkuban Parahu tanpa didampingi oleh pemandu. Biasanya panduan untuk melakukan pendakian semacam itu dilakukan oleh anak-anak pribumi yang hafal seluk-beluk gunung tersebut. Dua orang bersaudara, Dirk dan Jan Anthonie Hendrik van Deelen, bersama teman mereka Henry Peter Maasdam, yang berusia sekitaran 16 dan 17 tahun, dinyatakan hilang setelah meminta izin untuk mendaki Gunung Tangkuban Parahu.
Keesokan harinya, setelah kabar hilangnya ketiga pelajar ini diberitakan oleh pers lokal, pencarian dilakukan secara besar-besaran. Bersama seorang ahli vulkanologis, polisi dan tentara disebar untuk mencari keberadaan mereka bertiga. Setelah tiga pekan mencari, ketiganya ditemukan telah menjadi mayat di dekat bibir kawah Gunung Tangkuban Perahu. Di tempat dua bersaudara Van Deelen ditemukan, kemudian didirikan monumen untuk memperingati hari yang penuh duka tersebut.
Kisah tragis di atas ditulis oleh harian Nieuwe Rotterdamsche Courant edisi 03 Mei 1925 justru karena sebuah peristiwa yang sama terulang. Ditemukan lagi sesosok jasad pria Eropa hampir setahun setelah peristiwa kematian tiga orang pelajar tersebut. Pria itu diperkirakan meninggal sebulan sebelumnya, karena ketika ditemukan, jasadnya dalam kondisi sudah membusuk dan tidak didapat dikenali lagi.
Koran Bataviaasch nieuwsblad, 14 Mei 1925, melaporkan, dalam perjalanan mengevakuasi jasad yang telah membusuk tersebut, di tengah jalur pendakian, mereka dikagetkan oleh banyaknya potongan kayu dan kain di tengah jalan. Benda-benda tersebut ternyata bekas tandu darurat yang digunakan untuk mengevakuasi jasad tiga remaja malang yang meninggal tahun sebelumnya. Tidak ada lagi yang bersedia melakukan hal yang sama pada jasad pria Eropa nahas ini. Akhirnya diputuskan, jasad itu dikuburkan di dasar Kawah Ratu.
Setelah peristiwa tewasnya tiga orang pelajar di Gunung Tangkuban Parahu, didirikan sebuah perkumpulan yang bernama Bandoeng Vooruit, perkumpulan yang di kemudian hari bakal menginisiasi rencana pembangunan Jalan Tangkuban Parahu. Namun baru saja satu tahun berlalu, dan pembangunan jalan belum terealisasi, peristiwa tragis yang sama kepalang terjadi.
Lalu, kapankah rencana pembangunan jalan tersebut direalisasikan?
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman