• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Dokter Emilie Suzzan Houtman, Perempuan di balik Pendirian Sanatorium Dago Heuvel (1)

NGULIK BANDUNG: Dokter Emilie Suzzan Houtman, Perempuan di balik Pendirian Sanatorium Dago Heuvel (1)

Menyepakati ide dasar politik etis dan emansipasi, Emilie Suzzan Houtman mulai berkiprah di dunia kesehatan. Dari menulis artikel hingga mendirikan tempat praktik.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Potret Emillie Suzzan Houtman saat bersekolah di Belanda. Lewat organisasi pergerakan mahasiswa Indische Vereeniging, dia mulai mengenal ide-ide sosial dan politik. (Sumber foto: indischhistories.nl)

12 Agustus 2021


BandungBergerak.id - Dokter Emilie Suzzan Houtman adalah sosok perempuan di balik pendirian Sanatorium Dago Heuvel pada 1932 lalu. Tak banyak yang tahu riwayat  kompleks bangunan bersejarah di kawasan Dago atas yang telah beralih fungsi sebagai perumahan sebelum akhirnya rata dengan tanah pada tahun 2006 itu. Tak berbeda dengan sanatorium yang dibangunnya, begitu pula nasib sosok sang pendiri. Jarang orang yang mengenalnya kini.

Suzze, begitu sapaannya, adalah seorang dokter keturunan Indo-Eropa yang lahir dalam sebuah keluarga terpandang di Batavia, 12 Agustus 1890. Ayahnya seorang pengusaha sukses asli Belanda, dan ibunya berasal dari keluarga terhormat yang memiliki darah campuran Belanda-Makassar. Suzze dibesarkan di Koningsplein, jantung pemerintahan Hindia Belanda.

Walaupun lahir dan besar di lingkungan elite, Suzze tumbuh di zaman ketika dunia masih belum berpihak pada kaumnya secara gender. Memang bukan sebuah aturan baku dan tertulis, tapi nyatanya kaum perempuan sampai awal abad ke-19 hanya memiliki wilayah ‘kekuasaan’ di seputar urusan rumah tangga.

Pergerakan Perempuan

Pada masa itu tak terlalu banyak ruang bagi perempuan untuk melepaskan diri dari belenggu konservatisme. Pendidikan tinggi sulit digapai oleh perempuan pribumi dan perempuan Eropa yang tinggal baik di tanah koloni maupun di tanah induknya.

Di saat bersamaan, gelombang tuntutan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan merebak di Eropa. Gerakan yang digaungkan seabad sebelumnya oleh seorang tokoh feminis dari Inggris, Marry Wollstonecraft, ini pun masuk ke negeri Belanda. Dimotori oleh Aletta dan Frederika Jacobs, berdiri organisasi emansipasi perempuan Vereeniging vor Vrouwenkiesrecht.

Charlotte Jacobs, seorang pendukung politik etis, kemudian mendirikan organisasi serupa di Hindia Belanda pada tahun 1908-1913. Dia berkonsolidasi dengan saudari-saudarinya, Aletta dan Frederika di Belanda, mendirikan organisasi yang bertujuan agar perempuan (baik Eropa maupun pribumi) memiliki kesetaraan hak dalam memperoleh pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan.

Di tahun-tahun pergerakan perempuan di Hindia Belanda itulah, nama R. A. Kartini muncul. Sosok perempuan pribumi yang menyuarakan hak perempuan, jauh sebelum organisasi emansipasi yang dirintis oleh Charlotte Jacobs berdiri. Nama Kartini kemudian mencuat pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1911, ketika kumpulan surat-suratnya yang  dibukukan oleh J. H. Abendanon, Door Duirternis tot Licht, diterbitkan.

Emilie Suzzan Houtman mengagumi Kartini. Semangat pembelaan hak perempuan itulah yang menguatkannya untuk dapat menggapai cita-cita, untuk terus melaju dalam pendidikannya, dan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Suzze memutuskan berangkat ke Belanda dan meneruskan pendidikannya di sekolah kedokteran Gemeentelijke Universiteit Amsterdam.

Ide Politik Etis

Sama seperti kebanyakan mahasiswa Hindia Belanda yang melanjutkan pendidikan di Negeri Belanda, Emilie Suzzan Houtman bergabung dalam sebuah organisasi pergerakan mahasiswa Indische Vereeniging.  Lewat organisasi itulah Suzze mulai mengenal ide-ide sosial dan politik, hasil pemikiran rekan-rekannya. Suzze tertarik pada politik etis, sebuah reaksi atas sistem yang diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda berupa penggunaan paksa atas tanah dan tenaga kerja orang-orang pribumi tanpa diberikan kompensasi.

Gerakan politik etis sangat mempengaruhi Hindia Belanda saat itu. Banyak kalangan mengaitkannya dengan pidato politikus C. Th van Deventer yang selanjutnya terangkum dalam program Trias Van Deventer. Slain van Deventer, tokoh pelopor lainnya adalah Peter Brooshoof, sastrawan sekaligus wartawan koran De locomotief. Berkat gerakan kaum etis ini, tumbuh kesadaran di tengah masyarakat Hindia Belanda saat itu tentang peminggiran hak kaum pribumi.

Menurut Suzze, ide dasar politik etis ini tepat diperjuangkan karena sangat sesuai dengan gerakan emansipasi yang dia dukung.

Potret Emillie Suzzan Houtman dan Sam Ratulangi. Pernikahan kontroversial antara perempuan Belanda dan pemuda bumiputera ini menjadi sorotan di tengah masyarakat ketika itu. (Sumber foto: indischhistories.nl)
Potret Emillie Suzzan Houtman dan Sam Ratulangi. Pernikahan kontroversial antara perempuan Belanda dan pemuda bumiputera ini menjadi sorotan di tengah masyarakat ketika itu. (Sumber foto: indischhistories.nl)

Menikah dengan Sam Ratulangie

Dalam kiprahnya di organisasi pergerakan kemahasiswaan di Belanda, Emilie Suzzan Houtman bertemu dengan seorang pemuda aktivis bumiputera asal Manado,  Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie atau yang dikenal sebagai Sam Ratulangie. Kedekatan Suzze dengan Sam Ratulangi berujung pada pernikahan di Amsterdam, tanggal 21 Oktober 1915. 

Beberapa tahun kemudian pernikahan mereka  menjadi ulasan sebuah berita pendek di koran De Preanger Bode, 6 Juli 1919. Pria pribumi menikahi perempuan Belanda, seperti pernikahan Suzze dan Sam Ratulangi, menjadi berita yang kontroversial saat itu.

Kehidupan sosial masyarakat zaman kolonial sampai abad ke-19 hingga awal abad ke-20 secara umum masih menganggap bahwa pernikahan campuran antara penduduk pribumi dengan masyarakat Eropa di Hindia Belanda sebagai sesuatu yang tidak lazim. Kejadian ini bukanlah sesuatu yang umum dan mudah diterima bagi kedua golongan, baik masyarakat Eropa maupun masyarakat pribumi sendiri.

Sampai abad ke-18, perbedaan ras masih dianggap sebagai hal utama. Orang dengan ras kaukasoid atau kulit putih merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan orang kulit berwarna. Begitu pun di Hindia Belanda, penduduk pribumi dianggap tidak pantas bergaul rapat dengan orang Eropa. Mereka sangat khawatir dengan adanya percampuran darah. 

Seperti teori Arthur Lovejoy yang menggambarkan sebuah tangga hierarki spesies biologis, pemerintah kolonial mengkategorikan penduduk pribumi sebagai spesies berbeda yang menduduki posisi lebih rendah dalam rantai besar makhluk hidup (Gouda, 2007). Jika ditemukan pasangan wanita pribumi dengan pria Eropa, biasanya posisi perempuan tak ubahnya sekadar sebagai pelengkap hidup sang pria selama berada di negara koloni tersebut.

Sangat sedikit perempuan pribumi yang dinikahi secara resmi oleh pria Belanda. Anak-anaknya akhirnya tidak mendapatkan tempat, baik dari sisi ibu yang pribumi ataupun ayah biologis mereka yang keturunan Eropa. Ketika itu lazim ditemukan anak-anak hasil percampuran darah alias indo yang hidup di gang-gang sempit yang kumuh dan becek, mengais sisa makanan, atau pun (bagi perempuan indo) bekerja melayani hasrat biologis para lelaki.

Juga masih sangat jarang ditemukan kasus pria pribumi yang menikahi perempuan kulit putih. Perlu perjuangan panjang. Andaipun pernikahan itu tetap akan dilaksanakan “diperlukan persetujuan khusus dari Gubernur Jenderal ”. Perubahan mulai tampak saat memasuki awal abad ke-19.

“Hukum sipil untuk orang-orang Eropa telah menentukan bahwa laki-laki Indonesia yang menjadi pasangan resmi perempuan Belanda, akan mendapatkan klasifikasi Eropa seperti istrinya melalui perkawinan.”

Urusan rumit seperti itulah yang menyebabkan perkawinan antara Suzze dan Sam Ratulangie, seorang pemuda bumiputera dan juga aktivis pergerakan, menimbulkan banyak perbincangan sehingga dianggap sebagai sesuatu yang kontroversial.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (2)

Berkiprah di Dunia Kesehatan

Setelah pernikahannya banyak menimbulkan kontroversi, kiprah Emilie Suzzan Houtman selanjutnya terus mendapat sorotan dari media masa. Nama yang digunakannya setelah menikah, yakni Ny. dr. Suzze Ratulangie-Houtman, banyak muncul di koran-koran yang terbit di Hindia Belanda.

Nama Suzze muncul di media bukan karena hal yang kontroversial. Justru kebalikannya. Suzze sangat aktif menulis artikel tentang kesehatan, ilmu yang dikuasainya sebagai seorang dokter. Dia rajin menulis tentang ketertarikannya pada masalah kesehatan mental atau ilmu psikologis yang sering menjadi rujukan rekan sejawatnya di Hindia Belanda.  De Preanger Bode, misalnya, menerbitkan artikelnya pada tanggal 3 Maret 1921 dan 7 juni 1921 dalam rubrik OCHTEND-EDITIE atau Edisi Pagi.

Suzze semakin dikenal karena kiprahnya yang sangat menonjol di bidang kesehatan. Perempuan dokter itu, yang kala itu sangat jarang di Hindia Belanda, sangat menarik perhatian masyarakat. Namanya semakin berkibar. Bukan saja karena artikel-artikel kesehatannya yang mendapat banyak apresiasi, tetapi juga karena Suzze membuka banyak klinik dan tempat praktik kesehatan yang ketika itu belum banyak jumlahnya.

Suzze membuka tempat praktik yang didedikasikan bagi masyarakat luas. Tidak hanya bagi masyarakat Eropa di Hindia Belanda, namun juga bagi masyarakat pribumi. Di antaranya adalah tempat perawatan bagi anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental (yang ke-2 di dunia setelah Amerika) agar anak-anak tersebut memiliki kemandirian di kemudian hari. Suzze hanya memungut biaya setelah pengobatan selesai, atau bahkan membebaskan biaya bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin.

Emilie Suzzan Houtman melakukan semua itu sebagai bentuk keberpihakannya pada politik etis, sebuah kritik pada pemerintahan kolonial yang selalu meminggirkan hak-hak kaum pribumi. Kaum yang tanah serta tenaganya digunakan dan dimiliki secara paksa, tanpa kompensasi.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//