NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
Sanatorium Dago dibangun sebagai sebuah kompleks yang indah dan nyaman, lengkap dengan lapangan tenis, kolam renang, dan kawasan hutan pinus.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
15 Juli 2021
BandungBergerak .id - Siapa yang tak kenal daerah Dago? Rasanya, hampir semua orang yang sering berkunjung ke Kota Bandung, tahu kawasan terkenal satu ini. Apalagi yang mengaku warga Bandung asli, agak keterlaluan rasanya bila tak tahu jalan yang membentang mulai perempatan Jalan Merdeka, lurus terus ke utara, sampai ke Taman Hutan Raya Djuanda ini.
Dago, yang kini terkenal sebagai kawasan wisata, dari wisata alam sampai wisata belanja ini, rupanya memang kawasan elite sejak zaman Hindia Belanda. Setidaknya, dimulai dari didirikannya rumah seorang juragan perkebunan kopi yang bernama Andre van Der Brun pada tahun 1905.
Kawasan yang awalnya disebut sebagai “pedalaman Bandung” ini merupakan Jalur perjalanan para petani yang bermaksud menjual hasil kebunnya ke kota. Dago, saat itu masih berupa hutan lebat, sarangnya perampok, dan habitat dari berbagai hewan liar semacam maung congkok alias kucing hutan, kera, dan juga hewan buas macam harimau. Karenanya, pemerintah Hindia Belanda baru mulai membangun jalan Dago atau Dagoweg sekitar tahun 1915.
Sejak dibangun jalan itulah, sekitar tahun 1920-1940, pemerintah Hindia Belanda bergiat melakukan pembangunan di wilayah yang kini menjadi kawasan elite kota yang memiliki julukan Parijs Van Java ini. Dari mulai didirikannya perumahan, sarana pendidikan, seperti Tecniche Hoogeschool te Bandoeng yang sekarang menjadi ITB, hingga tempat pelesir dan minum teh, Dago Thee Huis.
Tidak banyak orang tahu bahwa di kawasan elite dengan sekian banyak peninggalan masa kolonial ini, pernah terdapat sebuah sanatorium. Jangankan para pendatang, bahkan warga asli Bandung sendiri jarang mengetahuinya. Hal tersebut bisa jadi karena minimnya dokumen yang mencatat tentang keberadaan sanatorium di wilayah Dago Heuvel (Bukit Dago) tersebut, serta beralih fungsinya kompleks sanatorium menjadi sebuah kompleks perumahan.
Umumnya orang hanya tahu bahwa sanatorium di Bandung, yang didirikan di zaman Hindia Belanda, hanyalah sanatorium Tjipaganti, atau kemudian dikenal sebagai Sanatorium Solsana, yang merupakan cikal bakal Rumah Sakit Khusus Paru Dr. H. A. Rotinsulu di daerah Ciumbuleuit.
Indah dan Nyaman
Riwayat sanatorium Dago terlacak dalam berita sebuah harian yang terbit saat itu. Koran Het Niews Van Den Hag edisi Selasa, 22 Juli 1930 melaporkan bahwa ada sebuah rencana besar untuk mendirikan sebuah permukiman berkelas dengan rumah berarsitektur modern dan tahan terhadap cuaca dingin. Seiring dengan telah dibukanya jalan baru dari daerah Dago menuju kawasan Lembang, kawasan tersebut akan dilengkapi dengan area bermain, kawasan hutan pinus, kolam renang, dan lapangan tennis. Juga ada rencana akan didirikannya sebuah sanatorium sekaligus rumah peristirahatan mewah, dengan fasilitas lengkap yang di inisiasi oleh Ny. dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman.
Selain kabar mengenai rencana kawasan Dago Heuvel atau Bukit Dago tersebut akan dijadikan permukiman, dua buah artikel lain yang termuat di dua surat kabar berbeda sebulan kemudian mengonfirmasi dengan jelas tentang rencana pembangunan sanatorium itu secara khusus. De Nieuwe Vorstealanden edisi Senin, 4 Agustus 1930, mengabarkan bahwa rencana pembangunan Sanatorium di kawasan Dago Heuvel sempat ditunda untuk dilaksanakan karena pihak pengembang, dalam hal ini Ny. dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman beserta sejawat-sejawatnya, ingin membangun sebuah sanatorium yang jauh lebih besar, dengan fasilitas yang modern dan jauh lebih lengkap. Harian lain, De Indische Courant, pada tanggal yang sama, 4 Agustus 1930 menguatkan berita tersebut.
Kompleks sanatorium Dago, tidak bisa dibayangkan sebagai tempat perawatan orang sakit seperti biasa. Alih-alih seperti bangunan rumah sakit pada umumnya, yang merupakan selasar panjang di mana di kiri kanannya terbentang kamar-kamar perawatan, kompleks sanatorium ini berupa sebuah lahan sangat luas yang di atasnya didirikan rumah-rumah indah nan nyaman di zamannya, berarsitektur gothic dan art-deco seperti karakteristik rumah-rumah Belanda lainnya di kawasan Dago. Salah satu rumah yang mencirikan arsitektur yang hampir sezaman dengan kompleks sanatorium tersebut adalah, rumah peristirahatan pertama di daerah Dago milik Andre Van Der Brun, seorang pemilik perkebunan kopi, yang dulu letaknya tepat di sebelah Hotel Jayakarta, Dago Atas.
Bisa dibayangkan, betapa cantiknya kompleks sanatorium tersebut. Sanatorium yang dirancang pada awalnya sebagai tempat perawatan bagi orang-orang yang bermasalah dengan syarafnya, sekaligus sebagai tempat peristirahatan mewah bagi kalangan berduit kala itu. Rumah-rumah beratap tinggi dengan sebagian dinding yang dilapisi kayu, dan perapian di dalamnya khusus dirancang untuk menahan hawa dingin yang menusuk di kawasan Dago kala itu. Jarak yang cukup jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya, menjadikan halaman-halaman yang luas di setiap rumah itu sedemikian indahnya dengan banyak tanaman bunga beraneka warna dan dikelilingi oleh pohon-pohon pinus yang berjajar rapi. Segala keindahan itu sesuai fungsi sanatorium, yakni membuat pasien yang tinggal di sana merasakan kenyamanan dan bahagia, sebagai upaya untuk mempercepat kesembuhan mereka.
Gambaran tentang kondisi kompleks sanatorium Dago terkonfirmasi dalam sebuah laporan harian Het Niews Van Den Hag, Rabu, 6 Januari 1932 yang mengabarkan bahwa Ny. dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman telah mendirikan sebuah sanatorium di kawasan Dago Heuvel, dengan 11 bangunan milik Ny. dr. Schelts Van Kloostehuis-Houtman pribadi. Sebuah kompleks sanatorium yang dilengkapi dengan lapangan tenis, kolam renang, kawasan hutan pinus untuk para penderita penyakit syaraf yang harus mendapatkan terapi fisik secara khusus. Berita dari harian ini pun sekaligus mengonfirmasi, terdapat jeda dua tahun dari mulai direncanakan pada tahun 1930 hingga berdiri di tahun 1932.
Masih jelas terekam dalam ingatan saat Penulis masih tinggal bersama dengan orang tua, menempati salah satu rumah di bekas kompleks sanatorium tersebut. Sebuah rumah peninggalan Belanda dengan halaman yang luas, sesuai dengan apa yang digambarkan dalam berita tahun 1932 itu, dengan jarak ke rumah tetangga lumayan jauh. Sebuah rumah tua nan kokoh peninggalan Belanda, dengan dinding luar berlapis kayu yang ditata sedemikian rupa. Dengan atap menjulang, khas bangunan dengan arsitektur gothic.
Sebuah kawasan dengan pohon-pohon pinus pun masih ada saat Penulis tinggal di sana sampai akhir tahun 2000. Sebuah kompleks yang dijadikan sebagai perumahan bagi karyawan Palang Merah Indonesaia (PMI) Kota Bandung sampai dengan tahun 2006.
“Katanya (kompleks ini) mau dibuat resort, lalu ganti katanya mau dibuat rumah sakit, tapi sampai sekarang masih belum dibangun. Daripada kosong, saya garap, lumayan buat tambah-tambah (penghasilan),” ujar Edi (45).
Edi adalah petani penggarap yang masih menempati sebuah rumah di atas tanah yang masih termasuk bagian kompleks bekas sanatorium ini. Dia memanfaatkan tanah kosong ini untuk ditanami singkong.
Nama-nama Bangunan
Sanatorium di Bukit Dago memang sangat erat kaitannya dengan PMI Kota Bandung. H. Suganda Permana (75), seorang pensiunan Humas PMI Kota Bandung, menuturkan bahwa kompleks bekas sanatorium ini mulai resmi digunakan sebagai kompleks perumahan karyawan PMI Kota Bandung sejak tahun 1964. Jumlah bangunan di kompleks sanatorium itu saat diterima PMI lebih dari 11 unit.
“Ada sekitar 12 bangunan yang siap huni, 2 bangunan sudah dihuni terlebih dahulu, namun sejak kapan tahun pastinya saya tidak terlalu ingat. Yang jelas tidak lama setelah Agressi Militer kedua tahun 1949, seluruh tanah dan bangunan, yang dulu dikuasai oleh NERKAI (Netherlands rode Kruis Afdeling Indie) diserahkan kepada PMI,” katanya.
Suganda menjelaskan bahwa seluruh bangunan di kompleks sanatorium tersebut memiliki namanya masing-masing, diambil dari nama-nama kota di Jawa Barat. Sangat khas kala itu. Bangunan diberi ‘nama’, alih-alih penomoran seperti zaman sekarang.
Ada pun nama-nama rumah tersebut antara lain Banjarnegara, sebuah rumah yang terletak di bagian paling atas kompleks sanatorium, dekat dengan Dago Thee Huis atau Dago Tea House. Bangunan tersebut saat ini telah beralih fungsi menjadi Pom Bensin di Jalan Dago.
Ada juga Boeah Dua, sebuah bangunan yang pernah difungsikan sebagai hotel yang menjadi salah satu bentuk usaha PMI Kota Bandung.
Kemudian ada Soekanagara yang meliputi tiga bangunan. Salah satu bangunan Soekanagara merupakan rumah dengan atap menjulang khas bangunan dengan arsitektur gothic. Bangunan kedua berada di bagian depan jalan Dago yang kini masih berdiri dan dialihfungsikan sebagai rumah makan. Di sebelahnya, ada bangunan ketiga yang kini telah direstorasi menjadi bangunan yang sekarang digunakan sebagai markas PMI Jawa Barat.
Selanjutnya ada Karang Noenggal, Lebak Sioeh, Gedoeng Soebang, serta Wanayasa. Keempatnya merupakan bangunan dengan arsitektur gothic. Gedoeng Soebang merupakan bangunan yang pernah ditempati oleh orangtua Penulis.
Ada pula Tjisajong, sebuah bangunan cantik dengan arsitektur Art Deco. Tjisajong memiliki bentuk bangunan yang unik dengan tampak depan mirip seperti lokomotif.
Di antara bangunan-bangunan di kompleks sanatorium tersebut terdapat sebuah bangunan yang tidak memiliki nama dan dulu sempat dipergunakan sebagai laboratorium. Dan yang paling besar dari diantara semua bangunan di sanatorium tersebut bernama Panoembangan. Saking besarnya bangunan ini sering digunakan sebagai aula. Di bagian belakang bangunan Panoembangan tersebut dijadikan tiga rumah yang dihuni oleh tiga keluarga karyawan PMI Kota Bandung. Blok bangunan Panoembangan inilah yang sampai terakhir penggunaannya masih dikelilingi oleh tanaman pinus.
Sangat sulit membayangkan sebuah kompleks nan asri dengan suasana yang sejuk karena dikelilingi oleh rindangnya pepohonan tersebut kini telah rata dengan tanah. Rumah-rumah yang dibangun pada era kolonial itu kini telah lenyap. Di antara fondasi sisa bangunan-bangunan kompleks sanatorium tersebut, berdiri batang-batang pohon singkong yang tumbuh dengan subur sebagai penggantinya.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman