NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (2)
Dari fasilitas permukiman elite di Dago atas, Sanatorium Dago difungsikan sebagai sanatorium militer di masa revolusi, lalu kompleks permukiman karyawan PMI.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
22 Juli 2021
BandungBergerak.id - Hamparan rumput gajah menutup puing-puing sisa bangunan di lahan kosong yang kini telah tertutup oleh seng, tepat di belakang kantor PMI Jawa Barat di daerah Dago atas. Masih terlihat bekas fondasi yang membentuk petak-petak kamar, bekas rumah penulis, yang di zaman Belanda merupakan bagian dari kompleks sanatorium.
Sangat sulit dibayangkan, sebuah kompleks nan asri dengan suasana yang sejuk, karena dikelilingi oleh rindangnya pepohonan, kini telah rata dengan tanah. Rumah-rumah yang dibangun pada era kolonial telah lenyap. Hanya batang-batang pohon singkong yang tumbuh dengan subur sebagai penggantinya.
Masih jelas terekam dalam ingatan, saat penulis masih tinggal bersama orangtua, menempati salah satu rumah di bekas kompleks sanatorium tersebut. Sebuah rumah peninggalan kolonial yang memiliki atap yang tinggi, dengan kayu-kayu yang disusun sedemikian rupa menutupi tembok di baliknya. Sebuah rumah yang dirancang agar tahan terhadap udara dingin, dengan halaman luas tanpa pagar antara satu rumah dengan rumah lainnya.
Siapa menyangka, kompleks yang asri tersebut di awal pendiriannya difungsikan sebagai sanatorium. Sebuah tempat perawatan syaraf dan tempat peristirahatan yang dirancang sebagai salah satu fasilitas pelengkap sebuah permukiman kelas atas di daerah Dago Heuvel.
Rencana pembangunan tersebut diberitakan dalam harian De Nieuwe Vorstealanden, Senin, 4 Agustus 1930 dan diperkuat oleh harian De Indische Courant, pada tanggal yang sama. Kedua harian tersebut mengabarkan bahwa Ny. dr. Scheltz van Kloosterhuis-Houtman, seorang dokter syaraf dan psikolog, berniat untuk berkontribusi pada rencana pembangunan kompleks permukiman elite tersebut dengan mendirikan sebuah sanatorium.
Sempat tertunda, pembangunan akhirnya terealisasi pada tahun 1932. Harian Het Niews Van Den Hag edisi Rabu, 6 Januari 1932 memberitakan bahwa Ny. dr. Schelts Van Kloosterhuis-Houtman telah mendirikan sebuah sanatorium di kawasan Dago Heuvel, dengan sebelas bangunan miliknya pribadi. Sebuah kompleks sanatorium yang dilengkapi dengan lapangan tenis, kolam renang, serta kawasan hutan pinus untuk para penderita penyakit syaraf yang harus mendapatkan terapi fisik secara khusus.
Sanatorium yang awal pendiriannya menjadi pelengkap fasilitas perumahan di kawasan Dago Atas, atau Dago Heuvel tersebut, dalam perjalanannya terus mengalami perubahan pengelolaan sampai akhirnya berubah fungsi menjadi kompleks perumahan karyawan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bandung sejak tahun 1964.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
Mulai Dikelola oleh PMI Kota Bandung
H. Suganda Permana, 75 tahun, seorang pensiunan humas PMI Cabang Kota Bandung, mengatakan, tidak lama setelah Agresi Militer kedua tahun 1949, seluruh tanah dan bangunan yang dulu dikuasai oleh NERKAI (Netherlands rode Kruis Afdeling Indie) diserahkan kepada PMI. Ia menyebut ada 12 bangunan siap huni dan dua bangunan yang sudah berpenghuni ketika itu. Gambaran ini sesuai dengan artikel berita yang menginformasikan bahwa Ny. dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman membangun 11 unit rumah dan merencanakan adanya penambahan di kemudian hari.
Bagaimana ceritanya pengelolaan sanatorium tersebut sampai jatuh ke tangan PMI Cabang Kota Bandung, tidak ada literatur yang secara khusus menjelaskannya. Namun dalam kondisi politik yang terus berubah pascaproklamasi kemerdekaan, sangat masuk akal jika sanatorium yang awal pendiriannya diperuntukkan masyarakat umum itu pun pada akhirnya berubah fungsi menjadi sanatorium militer.
Informasi ini terkonfirmasi dari sebuah artikel sebuah surat kabar yang beredar saat itu. AID De Preangerbode edisi Selasa, 10 Juli 1951 melaporkan bahwa Presiden Sukarno melakukan kunjungan ke barak-barak militer di Cimahi sekaligus melakukan kunjungan ke rumah-rumah sakit yang memberikan pelayanan bagi para tentara yang sakit dan terluka akibat peperangan. Sanatorium militer di kawasan Dago atas termasuk lokasi yang didatangi Sukarno beserta rombongan yang di antaranya terdiri dari Menteri Monotutu, Gubernur Sanusi, dan Kolonel Sadikin.
Sepanjang bulan Oktober 1945, dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, di Kota Bandung masih sering terjadi bentrokan antara para pemuda yang tergabung dalam satuan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melawan Belanda dan sekutu-sekutunya. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Saat itu Palang Merah Indonesia (PMI) masih belum mengonsolidasikan diri. Markasnya pun masih sering berpindah-pindah karena masih belum ada penyerahan bangunan dari pihak NERKAI (Nederlandsch Rode Kruis Afdeling Indie).
Dalam aturan internasional, Palang Merah hanya boleh ada satu di setiap negara yang berdaulat. Maka, para relawan yang merupakan cikal-bakal anggota PMI Cabang Kota Bandung bergerak untuk terus melakukan pertolongan di mana pun. Termasuk membantu rumah-rumah sakit dan sanatorium yang ketika itu banyak merawat masyarakat umum dan tentara yang terluka akibat peperangan.
Saat situasi politik di Bandung mulai mendingin, secara resmi NERKAI (Netherlands Rode Kruis Indie) mundur dari Republik Indonesia. Palang Merah Indonesia diakui secara internasional. Pembenahan dimulai. Pada tanggal 26 Januari 1950 dibentuklah kepengurusan PMI Kota Bandung yang diketuai oleh dr. Djunjunan Setiakusumah. Kiprahnya yang sangat luar biasa bagi bangsa membuat nama dokter ini diabadikan sebagai nama salah satu nama jalan di Kota Bandung.
Rencana Perluasan
Setelah PMI mengambil alih secara penuh pengelolaan sanatorium Dago Heuvel dari NERKAI, Djunjunan merencanakan pengembangannya. Sanatorium yang awalnya hanya dikhususkan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada tentara yang sakit dan terluka dalam peperangan, diupayakan dapat diperluas.
PMI merencanakan pembelian sebidang tanah bagi pembangunan sebuah bangsal yang mampu memuat 100 tempat tidur tambahan, di mana 60 tempat tidur akan didedikasikan bagi masyarakat sipil secara gratis. Saat itu kondisi Bandung sedang dalam situasi memprihatinkan akibat serangan penyakit TBC. Rencana PMI ini diberitakan oleh berbagai surat kabar, salah satunya harian AID De Preangerbode edisi Selasa, 29 Januari 1952.
Pada bulan Maret 1952, dalam pidatonya di acara Bulan Dana PMI, Walikota Bandung R. Enoch mengimbau masyarakat borjuis Bandung kala itu untuk bekerja sama dan memberikan dukungan penuh kepada rencana PMI Kota Bandung untuk membantu perluasan sanatorium Dago dan tempat perawatan khusus bagi orang tua. Rencana perluasan ini bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan dana dan pengorbanan yang besar, namun masyarakat berduit Bandung kala itu rela bergotong-royong untuk mewujudkannya.
Maka setahun setelah direncanakan, pada tanggal 17 September 1953, bertepatan dengan ulang tahun PMI ke-18, perluasan Sanatorium Dago dimulai. Dibangun asrama untuk staf perawat dan ruang operasi, yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Ibu Sanusi Hardjadinata, istri Gubernur Jawa Barat kala itu. Setahun kemudian, sebagaimana dilansir oleh harian Java Bode edisi Senin, 20 September 1954, kedua fasilitas baru itu mulai digunakan.
Menjadi Kompleks Perumahan Karyawan
Menurut kesaksian H. Suganda Permana, kondisi Kota Bandung pascawabah penyakit TBC di Bandung berangsur membaik. Tentara yang sakit dan telah direhabilitasi pun kembali ke rumah masing-masing. Beberapa rumah sakit lain pun sudah mulai berfungsi dengan baik sejak pengelolaannya dikembalikan kepada Indonesia. Akses warga untuk mendapat perawatan kesehatan terbuka semakin luas.
Namun, kemajuan layanan kesehatan ini juga berimbas pada jumlah pasien sanatorium Dago yang terus turun. Akhirnya, setelah sekitar 15 tahun mengabdikan diri kepada masyarakat, sanatorium menghentikan layanannya. Sebagian gedung mulai kosong. Beberapa orang yang masih membaktikan diri, bertahan tinggal di sana.
Ketua PMI Kota Bandung Djunjunan Setiakusumah berpikir, bila tidak segera diisi, kompleks sanatorium tersebut bisa berpindah tangan kepada orang lain karena legalitas yang masih belum terurus dengan baik. Dia lalu menawarkan bangunan-bangunan kosong itu agar ditempati oleh karyawan PMI Cabang Bandung yang jumlahnya terus membesar. Demikianlah sejak tahun 1964, bekas kompleks sanatorium itu pun berubah fungsi menjadi kompleks perumahan karyawan PMI Cabang Bandung sampai dengan tahun 2006.
Sayangnya, kompleks yang menyimpan sejarah panjang tentang riwayat sebuah sanatorium peninggalan Hindia Belanda, yang memiliki hubungan erat dengan kiprah sebuah organisasi kemanusiaan yang banyak mengambil peran penting dalam sejarah perjuangan bangsa, harus mengalah pada tuntutan zaman.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman