NGULIK BANDUNG: Dokter Emilie Suzzan Houtman, Perempuan di Balik Pendirian Sanatorium Dago Heuvel (2)
Emilie Suzzan Houtman diadili atas praktik aborsi yang dia yakini sebagai tindak keadilan bagi hak perempuan pribumi. Pembelaan datang dari berbagai kalangan.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
19 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Dokter Emilie Suzzan Houtman, lahir di Batavia, 12 Agustus 1890, adalah perempuan Eropa pengagum Kartini, pendukung politik etis, dan seorang filantropis. Suzze, begitu sapaannya, merupakan sosok pembaharu di zaman ketika perempuan masih terpinggirkan karena hak-haknya belum terpenuhi. Dengan menggenggam pendidikan tinggi dan menikahi pria pribumi, dia bersikeras untuk maju dengan mendobrak tatanan kuno. Akhirnya, Suzze dapat membuktikan diri sebagai perempuan berpendidikan, seorang dokter yang kala itu masih sangat langka.
Kiprahnya dalam dunia kesehatan di Bandung pada awal abad ke-20 memang tidak perlu diragukan lagi. Sumbangsihnya dalam memperbaiki layanan kesehatan masyarakat, serta dukungannya dalam membela hak-hak kaum pribumi, membuat namanya dikenal ketika itu.
Ketidakadilan Sistem dan Status Sosial
Nama Suzze mencuri perhatian karena sikap kritisnya dalam sebuah artikel yang berjudul De Kortzichtigheid der regeering atau Kepicikan Pemerintah, yang terbit di Bataviaasch Niewsblad, pada 10 September 1917. Suzze memprotes sistem yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang saat itu dinilai memperlakukan pribumi dengan diskriminatif dan tidak setara.
Pemikiran Suzze terpantik dan hatinya bergejolak saat menemui kenyataan bahwa suaminya saat itu, Sam Ratulangi, yang merupakan lulusan studi matematika dan fisika dari Negeri Belanda, tidak mendapat izin Gubernur Jenderal untuk mengajar di Hindia Belanda. Sedang dia sendiri, seorang perempuan yang kebetulan berkulit putih, dapat dengan mudah ditempatkan sebagai dokter di Jawa.
Menurut Suzze, pemerintah sangat tidak adil dalam memperlakukan pribumi. Suaminya, seseorang yang memiliki kualifikasi sebagai seorang guru yang berkualitas, dipersulit kariernya hanya karena ia seorang pribumi. Sebuah kenyataan yang bertentangan dengan semangat politik etis yang dia dukung, bertentangan dengan semangat Trias Politika van Deventer yang dikatakan saat itu didukung oleh pemerintah. Menurut Suzze, pemerintahan kala itu hanyalah pemerintahan yang munafik.
Sebagai seorang dokter, kiprah Suzze diperhitungkan. Namanya mendapat pengakuan luas, disejajarkan dengan dokter-dokter terhormat di Bandung kala itu. Saat peresmian rumah sakit pemerintah, yang menjadi cikal bakal RSHS Bandung, nama Suzze disebut dalam pidato Walikota Bertus Coops sebagai seseorang yang diharapkan kontribusinya di rumah sakit yang baru dibangun saat itu, bersamaan dengan penyebutan nama K.A.R Bosscha yang kala itu menyumbang 40.000 gulden untuk pembangunan rumah sakit tersebut .
Namun dalam periode ini pulalah, pernikahan Suzze dan Sam Ratulangi akhirnya tidak dapat dipertahankan akibat sistem sosial yang sama-sama tidak menguntungkan bagi keduanya. Status sosial Sam Ratulangi sebagai pribumi yang menikah dengan wanita keturunan Eropa membuatnya tidak bebas bergerak sebagai seorang aktivis yang nasionalis.
Suzze akhirnya menikah untuk yang kedua kalinya dengan Koenrad Schelts van Kloosterhuis, seorang mantan pengusaha yang bergabung ke dalam pemerintahan Hindia Belanda sebagai Asisten Residen. Sejak saat itu namanya pun berganti menjadi Ny. dr. Suzzan Schelts van Kloosterhuis-Houtman.
Tersangkut Kasus Hukum
Memang hidup tidak ada yang sempurna. Begitu pulalah dengan kehidupan Emilie Suzzan Houtman. Dia mengalami pasang surut yang luar biasa. Namanya yang melambung dan dikenal banyak orang sebagai seorang filantropis dan kaum etis kembali masuk dalam banyak pemberitaan dan menjadi perbincangan karena terjerat dalam sebuah kasus hukum.
Berawal dari sebuah berita di harian berbahasa Belanda, Bataviaasch nieuwsblad, pada tanggal 11 April 1932, dan diikuti oleh harian-harian lain serupa, tersebar informasi tentang tuntutan kejaksaan umum terhadap dr. Suzzan van Kloosterhuis Houtman atas pelanggaran terhadap pasal 299 SW tentang aborsi. Isi pasal tersebut benar-benar memberatkan posisi Suzze:
“Aborsi provokatus diancam pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu gulden. Hukuman ini dapat ditambah sepertiga jika pelakunya telah mencari keuntungan, membuat profesi atau kebiasaan kejahatan, atau adalah seorang bidan atau tabib.”
Suzze, sebagai seorang dokter terkenal, masuk dalam daftar golongan masyarakat terhormat , dan dia tersangkut dalam kasus aborsi. Sebuah kasus yang tidak mungkin luput dari pemberitaan media saat itu. Hindia Belanda terguncang oleh kasus tersebut.
Suzze dituduh melakukan sebuah pelanggaran berat, yakni menyalahgunakan profesinya untuk keuntungan pribadi. Suzzan Scheltz van Kloosterhuis-Houtman diadili di pengadilan di Batavia. Namanya terus menerus dihujat dan masuk ke dalam pemberitaan karena kasusnya bergulir hingga dua tahun lamanya. Nama baik Suzze dipertaruhkan.
Kasus Suzze menyedot banyak perhatian karena prosesnya begitu alot dan melibatkan terlalu banyak orang. Kasusnya saat itu disamakan dengan kasus seorang pejabat yang terlibat dalam kasus skandal seks. Kasus kejahatan moral yang terkesan ditutup-tutupi sehingga menimbulkan pertanyaan: apakah karena pelaku kejahatan adalah seorang pejabat dan anggota masyarakat terhormat, maka kasusnya tidak terbuka? Hingga akhirnya harian Algemeend Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, pada tanggal 16 Juni 1933, menggugat kenyataan yang dianggap memalukan dan amoral ini.
Lima bulan kemudian, tepatnya pada 2 November 1933, koran Soerabaijasch handelsblad menyiarkan kabar mengenai sebuah kasus yang ada kaitannya dengan kasus Suzze. Isinya bercerita tentang seorang gadis pribumi yang berusia 19 tahun yang dijanjikan sebuah pekerjaan sebagai perawat oleh seorang pria Eropa. Gadis ini dibawa dari kota asalnya di “Garoet” ke kota “Cheribon” dan mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.
Gadis malang tersebut mendapatkan perundungan seksual hingga dirinya mengandung dan dibawa ke tempat praktik Suzze di Bandung. Suzze menganggap bahwa ini adalah sebuah kasus yang tidak dapat dibiarkan. Kejadian ini merupakan akibat dari ketidakadilan sistem dan peminggiran hak serta ketidaksetaraan pada kaum pribumi. Sekali lagi, moralitas Suzze terusik meski dia tahu benar bahwa apa yang akan dia lakukan, yakni aborsi, tidak dapat dibenarkan dan bakal menimbulkan pro dan kontra.
Bersamaan dengan kabar yang tersiar itu, persidangan kasus Suzze terus berlangsung dengan menghadirkan bukti dan saksi ahli. Gerakan solidaritas pun pada akhirnya muncul. Beberapa koran yang merupakan pendukung aliran politik etis mulai makin intens membicarakan kasus ini. Masyarakat kembali geger. Moralitas sebagian mereka yang didasarkan atas dukungan terhadap politik etis, ikut terusik.
Hingga puncaknya, perhimpunan dokter di Hindia Belanda sepakat untuk mengadakan petisi. Mereka mengumpulkan tanda tangan dengan harapan terbit grasi bagi keputusan pengadilan. Ratusan tanda tangan sudah terkumpul. Bagi mereka, Suzze adalah warga terhormat, seorang tokoh kelompok etis. Atas dasar solidaritas, serta sebentuk penghargaan atas sumbangsih yang telah Suzze lakukan bagi Hindia Belanda, mereka tergerak untuk melakukan aksi ini.
Dukungan Media dan Kaum Etis
Emilie Suzzane Houtman, yang sejak masa pendidikannya di Belanda menjelma menjadi pengikut kritis politik etis dan nasionalis, tak pernah luput dari perhatian pemerintah. Terlebih lagi sang dokter secara terbuka menawarkan bantuan dan perawatan yang sama bagi semua penduduk, tidak hanya bagi warga Eropa saat itu. Tentu ini pun menimbulkan banyak ketidaksepahaman di antara komunitas Eropa pada saat itu.
Menurut peneliti dan ahli demografi di Australian National Univerity (ANU), Canberra, Terence Hull, dan psikolog Ninuk Widyantoro, Suzze memang menawarkan aborsi bagi perempuan pribumi kala itu (para nyai peliharaan lelaki Eropa) sebagai bentuk pembelaannya kepada hak-hak dan kesejahteraan perempuan (indischhistorisch.nl).
Aborsi merupakan sebuah tindak pidana, bahkan kejahatan. Namun Suzze tahu, tidak ada hal yang dapat dilakukan bagi perempuan pribumi bila sampai mengandung anak-anak biologis lelaki Eropa. Tidak ada dukungan dari sisi hukum ataupun adat yang dapat membela serta melindungi nasib perempuan serta anak-anak dari hubungan semacam itu.
Setelah sidang bergulir selama dua tahun, harian De Locomotief dalam edisi 18 Juli 1934 memberitakan bahwa hakim pada tanggal 16 Juli 1934 memutuskan bahwa permintaan grasi bagi dr. Suzzan schelts van Kloosterhuis-Houtman ditolak. Namun, keputusan mengenai pencabutan izin praktik sang dokter yang sebelumnya telah ditetapkan selama enam tahun, dikurangi menjadi tiga tahun.
Sebenarnya saat itu banyak praktisi bahkan dokter yang melakukan tindakan aborsi, namun mereka luput dari pengadilan. Mengapa kasus Suzze berjalan sedemikian alotnya? Hal tersebut diyakini karena sosok Suzze yang saat itu dianggap banyak menentang pemerintah dan terlalu berpihak pada kaum pribumi. Juga akibat kiprahnya sejak mahasiswa bersama dengan Sam Ratulangi, ditambah fakta bahwa seperempat darah pribumi dari pihak ibu mengalir di tubuhnya. Hal-hal rasial semacam inilah yang memberatkan Suzze dalam kasusnya.
Kelompok masyarakat yang tergabung dalam kelompok etis akhirnya bersatu, membentuk sebuah ikatan solidaritas. Hal ini merupakan sebuah bentuk pengakuan atas kiprah Suzze yang telah memberikan dukungan terhadap politik etis. Sebuah gerakan masyarakat yang kritis terhadap sistem dan kebijakan pemerintah kolonial yang tidak bertanggung jawab terhadap kesejahteraan negara koloninya.
Suzze memang tidak mendapatkan grasi. Hukuman baginya tetap berjalan. Suzze bukanlah sosok malaikat yang steril dari kesalahan. Namun, kasus Suzze jelas telah berhasil membuka pikiran dan perspektif masyarakat di zaman tersebut bahwa politik etis tidak berhenti hanya pada sebuah ide, tanpa pengejawantahan.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Dokter Emilie Suzzan Houtman, Perempuan di balik Pendirian Sanatorium Dago Heuvel (1)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (2)
Mengungsi ke Australia
Pada tanggal 11 Januari 1942, Jepang untuk pertama kalinya menduduki Indonesia melalui Tarakan, Kalimantan Timur. Kedatangan serta pendudukannya segera menyebar ke seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk Bandung. Pasukan Belanda dipaksa mundur pada tahun tersebut. Secara berangsur-angsur, seluruh warga negara Eropa yang masih ada di Hindia dipaksa untuk meninggalkan Hindia Belanda.
Pada bulan Agustus 1945, merujuk situs www.japanburgerkampen.nl, nama Suzzan Schelts van Kloosterhuis-Houtman terdaftar di kamp pengungsi Jepang di Tjideng, bersama dengan dua orang anaknya. Kondisi kamp dan perlakuan tentara Jepang saat itu benar-benar mempengaruhi fisiknya. Dia jatuh sakit. Oleh karena itu, menumpang kapal “Oranje”, Suzze bersama dengan anak-anak dan sejumlah perempuan lainnya dibawa ke Australia.
Emilie Suzzan Houtman mendapatkan perawatan hingga pulih, namun mendapati dirinya sulit untuk kembali ke tanah Hindia Belanda yang dirindukannya karena masa dekolonisasi oleh Jepang dan situasi politik yang serba sulit. Suzze akhirnya memutuskan untuk menetap di Australia.
Namun, penderitaan fisik dan mental yang dialami Suzze pascapendudukan Jepang semakin memburuk. Sang dokter akhirnya menyerah pada penyakit kanker yang dia idap, dan meninggal pada tahun 1951, dalam usia yang ke-61 tahun, di Fitzroy, Australia.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman