• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Observatorium Lembang

NGULIK BANDUNG: Observatorium Lembang

Rencana mendirikan observatorium yang digagas Albert Rudolf Bosscha, pemilik perkebunan teh di Malabar, melampaui zamannya.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Patung Albert Rudolf Bosscha Bosscha di Lembang dekat Bandoeng. Foto diambil sekitar tahun 1920. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

9 Desember 2021


BandungBergerak.id – Fenomena gerhana matahari menjadi pemberitaan rutin di koran-koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda di masa kolonial. Peristiwa gerhana matahari sudah dikabarkan jauh-jauh hari sebelum peristiwanya berlangsung sejak di penghujung abad ke 19.

Koran Java Bode tanggal 12 Juni 1981 misalnya memberitakan perkiraan waktu dan lama berlangsungnya gerhana matahari cincin yang akan tiba sebulan kemudian. Tanggal 8 Juli 1861 di Hindia Belanda akan berlangsung gerhana matahari cincin yang bisa disaksikan di berbagai tempat di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Ternate, Ambon, Banda, dan Kupang.

“Di Poeloe Pinang gerhana baru dimulai. Menit setelah terbitnya matahari, yaitu Padang, namun permulaan tidak dapat diamati, karena ini terjadi di sana sebelum terbitnya matahari,” tulis Java Bode pada 12 Juni 1981.

Peristiwa gerhana matahari yang menghebohkan Hindia Belanda terjadi kembali di awal abad 20. Tepatnya tanggal 18 Mei 1901 akan terjadi gerhana matahari total yang bisa disaksikan di sejumlah tempat di nusantara.

Gerhana matahari total tersebut menarik minat banyak kalangan tak terkecuali astronom terkemuka Belanda. Demi mengamati fenomena langka ini, ekspedisi pengamatan disiapkan jauh-jauh hari. Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 1 Juni 1899 mengutip kabar dari Belanda yang mengumumkan ekspedisi pengamatan gerhana matahari total dari Belanda yang akan dikirimkan ke Sumatera. Ekspedisi tersebut diperkirakan membutuhkan dana 60 ribu Gulden. Sebagian dana yang dibutuhkan bahkan sudah disiapkan oleh sponsor.

Rencana ekspedisi itu menarik perhatian masyarakat Hindia Belanda. Koran-koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda secara berkala mengabarkan persiapan ekspedisi tersebut.

De Preanger-bode pada 25 Agustus 1899 misalnya memberitakan mengenai penyusunan anggota inti tim ekspedisi yang berasal dari berbagai perguruan tinggi dan observatorium di Belanda. Dari Leiden yakni Dr. H. G. v. d. Sande Bakhuyzen, Dr. E. T. v. d. Sande Bakhuyzen, serta J. H. Wilterdink; lalu dari Utrecht Dr. A. A. Nijland, dan Dr J. A. C. Oudemans; lalu dari Groningen yakni Dr, J. C. Kapteyn; terakhir , direktur Observatorium di Batavia  yakni Dr. J. P. van der Stok.

Sebagian besar dana yang diperlukan diberikan oleh pemerintah Belanda. Soerabaijasch handelsblad tanggal 8 Maret 1900 memberitakan Belanda menyerahkan 10 ribu Gulden untuk menyokong ekspedisi.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (1)
NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (2)

Foto udara memperlihatkan Observatorium Bosscha di punggung bukit terbuka di dekat Lembang. Foto diambil sekitar tahun 1930. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Foto udara memperlihatkan Observatorium Bosscha di punggung bukit terbuka di dekat Lembang. Foto diambil sekitar tahun 1930. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Ekspedisi Militer Memburu Gerhana

Masyarakat di Hindia Belanda heran dengan ekspedisi pengamatan gerhana matahari total yang menghabiskan banyak biaya. De Preanger-bode tanggal 7 Januari 1901 menyebutnya sebagai ekspedisi aneh yang melibatkan seratus lebih pasukan dan kapal perang untuk melakukan pengamatan gerhana matahari total yang akan terjadi pada 18 Mei 1901.

Koran De Preanger-bode tersebut selanjutnya menceritakan, Mayor Staf Umum J. J. A. Muller ditunjuk memimpin ekspedisi pengamatan gerhana matahari total itu, dia  akan dikirim ke Painan yang terletak di pantai barat Sumatera. Lokasi tersebut dipilih karena gerhana matahari total diperkirakan akan berlangsung paling lama yakni enam setengah menit. Seluruh peralatan, akomodasi, dan pasukan dijadwalkan sudah tiba dari Belanda enam minggu sebelum hari terjadinya gerhana. Ekspedisi dengan segala macam persiapannya itu bisa berujung sia-sia jika saat hari tersebut tiba, cuaca tidak bersahabat dan langit tertutup awan.

Hasil pengamatan gerhana matahari total pada 18 Mei 1901 tersebut menjadi pemberitaan koran-koran di Hindia hingga berbulan-bulan kemudian. De locomotief tanggal 17 Huni 1901 mengutip pernyataan Prof dr. H. G. Van De Sande Bakhuyzen di Leiden yang pertama kali menerima telegram dari koleganya yang melakukan pengamatan. Telegram diterima kurang dari 2 menit setelah gerhana matahari usai, yang dikirimkan dari Karang Sago di dekat Painan, di selatan Padang di pantai barat Sumatera. 

“Pesan ini sekarang berbunyi bahwa matahari berawan sebagian selama gerhana,” kata H. G. Van De Sande Bakhuyzen di koran itu (De locomotief, 17 Huni 1901).

Tim pengamatan gerhana matahari disebar di berbagai lokasi di dekat Painan di pantai barat Sumatera. Tim membawa berbagai peralatan untuk memotret gerhana matahari total di sana. Di antaranya refraktor raksasa dengan panjang fokus 12 meter yang khusus dipinjam dari observatorium Washington, refraktor fotografi yang dibawa dari Observatorium Utrecht, spektograf, kamera prisma, dan peralatan fotografi lainnya. 

Koran Deli courant tanggal 29 Juni 1901 memberitakan telegram kedua yang diterima Prof dr. H. G. Van De Sande Bakhuyzen esoknya dari timnya di Karang Sago, di pantai barat Sumatera. Telegram tersebut berisi sejumlah kode yang disepakati di antara tim lapangan dengan tim di Belanda. Tim ekspedisi menyiasati terbatasnya pesan yang bisa dikirimkan via telegram dengan mengembangkan kode-kode yang hanya dimengerti anggota ekspedisi.

Tim lapangan mengirimkan pesan berisi di antaranya “pos”, “1o”, “2o”, serta “3o”. Kata dalam pesan itu melegakan. Kata “pos” tersebut berarti gambar rekaman korona matahari berhasil diambil di semua instrumen utama. Seluruh peralatan yang dipinjam juga sukses mengambil gambar korona matahari yang diambil saat gerhana matahari total.

Hasil pengamatan gerhana matahari total di pantai barat Sumatera baru dibuka dalam pertemuan yang di adakan Koninklijke Akademie van Wetenschappen pada Agustus 1901, di Belanda. Hasilnya mengejutkan. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, tanggal 9 Agustus 1901 memberitakan ekspedisi itu ternyata gagal. Di pertemuan tersebut, Dr. E-F. van de Sande Bakhuyzen menceritakan sejumlah pengamatan tidak berlangsung maksimal karena cuaca yang tidak mendukung. Langit terus-menerus tertutup awan, hanya sesekali saja cerah. Matahari terbuka sempurna hanya di pengujung gerhana.

Pengamatan dilakukan di tiga lokasi di Karang Sago, Solok, serta benteng Fort de Koek. Yang disesalkan terjadi kegagalan pengamatan di Fort de Koek justru karena kesalahan para pengamat di sana. Masih untung ada foto gerhana yang selamat dalam pengamatan di sana yang justru diambil oleh siswa pribumi sekolah pelatihan guru setempat. 

Pelat foto yang disiapkan gagal merekam korona matahari karena cahaya terlalu lemah. Peralatan spektograf dan kamera prisma juga tidak bisa berfungsi maksimal karena cuaca yang tidak mendukung. Kamera yang dipasang pada teropong dengan ukuran lebih kecil malah berhasil mengambil beberapa gambar matahari saat terjadi puncak gerhana walaupun hanya separuhnya saja yang bisa dipergunakan.

Pesisir pantai Painan di pesisir barat Sumatera. Foto diambil tahun 1935. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pesisir pantai Painan di pesisir barat Sumatera. Foto diambil tahun 1935. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Observatorium Lembang

Kegagalan pengamatan tersebut tidak membuat surut perhatian pada dunia astronomi. Kabar fenomena alam di langit semacam gerhana masih tetap dinanti-nanti. Hingga publik di Hindia Belanda dikejutkan oleh berita dari Bandung yang mengumumkan rencana pendirian observatorium yang disebut-sebut memiliki teropong paling besar untuk pengamatan langit di belahan bumi bagian selatan.

Koran De Preanger Bode tanggal 8 Juli 1920 memberitakan rencana pendirian observatorium di Lembang, di kaki Gunung Tangkuban Parahu. Observatorium ini disebut-sebut akan lebih besar dari observatorium di Cape Town, dan Sydneydua observatorium yang terbesar yang berada di selatan khatulistiwa. Penggagasnya Karel Albert Rudolf Bosscha, tuan tanah pemilik perkebunan teh Malabar. Bosscha menjanjikan akan menyumbangkan teleskop dengan panjang fokus lebih dari 7 meter untuk observatorium tersebut. Astronom terkemuka Belanda, di antaranya Prof. J. C. Kapteyn, direktur laboratorium astronomi di Groningen, serta profesor W. de Sitter dan Hertzsprung, direktur dan wakil direktur observatorium di Leiden, mendukung rencana ini.

Kondisi geografis Belanda di Eropa tidak menguntungkan untuk melakukan pengamatan bintang, minim daerah tinggi, bahkan sebagian besar wilayahnya justru berada memiliki ketinggian nyaris sejajar dengan permukaan laut. Koloninya di nusantara justru sebaliknya, selain lokasinya yang berada di garis khatulistiwa yang memungkinkan mengamati langit belahan utara dan selatan sekali jalan.

Bosscha tidak sendirian. Rencana mendirikan observatorium mendapat banyak dukungan. Pada 12 September 1920, dalam pertemuan yang digelar di Hotel Homann resmi berdiri Nederlandsch Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV). Bosscha dan sejawatnya berhimpun dengan satu tujuan yakni mendirikan observatorium di Lembang (De Preanger-bode, 13 September 1920). Bosscha didapuk menjadi ketuanya. Kerabatnya, R.A. Kerkhoven, didapuk menjadi sekretaris. Anggotanya adalah Zeilinga (Javasche Bank), Van Houten (Factorij) , Wesselink (KPM), Dr. Braak (Koninlijke  Natuurkundige Vereeniging). MH Damme (Insulinde), Prof dr. Klopper (Rektor Techn.Hoogeschool), R. Neumann (Perusahaan Peternakan Baroe Adjak). Petinggi militer Belanda diangkat menjadi Dewan Kehormatan yakni Luit-generaal H. N. A. Swart, serta Wakil Laksamana W. J. G. Umbgrove.

Neumann malam itu juga menjanjikan menyumbangkan lahan dengan luas 3,5 hektare yang berada di punggung bukit sebelum Lembang, yang masih menjadi bagian dari peternakan Baroe Adjak, untuk menjadi lokasi dibangunnya observatorium tersebut. Dr. Braak yang merekomendasikan lokasi tersebut menjadi lokasi yang paling tepat. Posisinya terletak di seputaran Bandung, tepatnya di punggung bukit yang luas. Banyak lagi yang mengirimkan donasi. Di antaranya R.A. Churchyards berjanji membelikan instrumen, dan yang lainnya siap menyumbangkan uang.

De locomotief tanggal 9 November 1920 memberitakan, upaya tersebut mendapat dukungan di Belanda. Astronom senior Prof. Dr. Van de Sande Bakhuyzen memuji rencana ini. Di Belanda pengamatan langit tidak akan bisa maksimal karena kondisi geografinya, hanya sebagian kecil wilayah yang bisa menjadi lokasi pengamatan bintang. Ditambah lagi, masih sedikitnya observatorium yang berada di bumi bagian selatan khatulistiwa. Saat itu pengamatan langit didominasi oleh ratusan observatorium yang mengamati langit malam bumi belahan utara.

“Pendirian sebuah observatorium di Hindia memang perlu. Selain itu, individu swasta ingin membuat tanah, instrumen, dan uang tersedia. Fondasi sebuah observatorium diinginkan, juga karena lokasinya yang dekat dengan ekuator, yang penting untuk pengamatan dan perbandingan dengan belahan bumi utara. Oleh karena itu, akademi meminta dukungan dan kerja sama yang kuat dari pemerintah untuk mendirikan sebuah observatorium di Hindia,” kata Prof. Dr. Van de Sande Bakhuyzen (De locomotief, 9 Desember 1920).

Kendati mendapat dukungan banyak kalangan, rencana pengerjaan observatorium tidak berjalan mulus. Bangunan pertama berjalan menandai dimulainya pembangunan observatorium di Lembang baru dimulai tahun 1922. De Preanger-bode tanggal 16 Agustus 1922 menceritakan, bangunan sederhana akan dibangun di lahan pemberian di peternakan Baroe Adjak di tengah suasana muram karena pemerintah Belanda mengurungkan memberikan dukungan finansial untuk membangun observatorium. Sementara lensa teropong yang dipesan Bosscha tengah disiapkan oleh Zeiss, pabrikan lensa terkenal di Jerman.

Pada Desember tahun 1922, J G.E.G. Voüte, asisten ilmiah di Observatorium Meteorologi di Weltevreden, diangkat menjadi direktur observatorium di Lembang. Voüte mengawasi langsung pemasangan teropong yang dipesan dari Jerman. Pada Juni 1923 pemasangan teropong rampung. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyempatkan datang untuk melihat langsung bangunan megah yang berdiri terasing di tengah-tengah punggung bukit di dekat Lembang (De Preanger-bode, 1 Juni 1923).

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//