NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (1)
Keterampilan bertani dan beternak di kawasan Lembang diyakini sebagai warisan bangsa Boer dari Afrika Selatan. Mereka didatangkan untuk menciptakan koloni pertanian.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
2 September 2021
BandungBergerak.id - Lembang, sebuah kawasan di utara Kota Bandung, berada di wilayah Kabupaten Bandung Barat. Daerah dingin, penghasil sayur dan susu. Kuat diduga, keterampilan bertani dan beternak yang dimiliki warga di kawasan Lembang adalah warisan bangsa Boer dari Afrika Selatan.
Wilayah Priangan, sebutan bagi daerah pegunungan yang mengelilingi Bandung, sejak dulu kala terkenal subur. Masyarakatnya mengandalkan hidup dari bertani dan berladang. Menanam sayur, bunga, buah, umbi, serta kacang-kacangan. Hingga kemudian Mataram menguasai Priangan lalu membawa padi dan mengenalkan pertanian sawah.
Mataram lalu menyerahkan Priangan pada Belanda. Belanda membawa kina, teh, kopi, serta karet. Belanda selanjutnya mengembangkan perkebunan dengan mempekerjakan penduduk pribumi.
Sejak tahun 1870 nyaris di sekujur Priangan bertebaran beragam perkebunan. Sedikit orang Eropa yang berhasil berdiri di puncak sebagai Preangerplanters, sebutan bagi penguasa perkebunan di Priangan. Di antaranya Willem van der Hucht, RE Kerkhoven, serta KAR Bosscha pemilik perkebunan teh dan kina yang terhampar luas di Priangan. Sebagian besar warga Belanda (dan warga Eropa) bekerja di pemerintahan, menjadi tentara, pegawai, atau berdagang. Tapi lebih banyak lagi warga Eropa pendatang yang miskin, yang belakangan membuat pusing pemerintah Hindia Belanda.
Perang dan Migrasi Bangsa Boer
Di belahan bumi yang lain di Afrika Selatan, bangsa Boer, sebutan bagi imigran Belanda di Afrika, tengah terlibat perang dengan Inggris. Orang Belanda umumnya terbelah ketika membicarakan bangsa Boer. Ada rasa bangga, sekaligus miris.
Migrasi bangsa Boer ke pedalaman Afrika banyak membuka wilayah baru. Bangsa Boer bahkan berhasil mendirikan dua negara, dan di klaim sebagai tanah airnya, yakni Oranje Vry Staat dan Zuid Afrikaansche Republiek (Transvaal). Dua negara tersebut di penghujung abad 19 berperang dengan Inggris.
Bangsa Boer adalah petani dan peternak yang piawai. Bangsa Boer sekaligus pemburu ulung, dan prajurit yang tangguh. Inggris harus merelakan puluhan ribu tentaranya tewas dalam perang melawan bangsa ini di Afrika. Bangsa Boer sekaligus pendukung praktik perbudakan, dan ini salah satu pemicu perang dengan Inggris yang ingin menghapuskan praktik perbudakan di Afrika.
Terlepas dari alasan perang bangsa Boer melawan Inggris, warga Belanda umumnya menaruh simpati. Di antaranya bahkan ada yang pergi ke Afrika Selatan menjadi relawan dan ikut berperang. Douwes Dekker (keturunan Indo-Belanda yang jadi pahlawan nasional Indonesia), misalnya, saat muda menjadi relawan yang ikut beperang melawan Inggris di Afrika Selatan membela bangsa Boer.
Douwes Dekker muda bahkan sempat menjadi warga negara Transvaal. Ia kemudian tertangkap dan sempat mencicipi tahanan Inggris di Ceylon (Sri Lanka) sebelum dikirimkan kembali ke Hindia Belanda.
Pada tahun 1902, sejak bangsa Boer kalah perang, mereka tercerai-berai. Sebagian bertahan di Afrika Selatan, banyak yang memilih hengkang, ada juga yang harus merasakan dinginnya jeruji penjara di pengasingan karena menolak takluk.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Obat Gosok Kuda dan Pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda 1918-1919
NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (2)
NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (1)
Polemik Koloni di Hindia Belanda
Johan G. van Ham bersama 19 orang rekannya, milisi tentara negara Transvaal, yang mendekam di penjara Inggris di Ceylon karena menolak takluk, menjadi perhatian luas karena niatnya untuk tinggal di Hindia Belanda. Van Ham ingin menetap di pedalaman Borneo atau Kalimantan, membangun koloni seperti para pionir bangsa Boer pertama mendirikan negara Transvaal di Afrika Selatan. Ide tersebut ternyata ditanggapi serius pemerintah Hindia Belanda yang tertarik untuk memanfaatkan keterampilan bangsa Boer yang dimiliki Van Ham dan rekan-rekannya untuk mengembangkan koloni pertanian di nusantara.
Koran De Locomotief dan De Preanger Bode pada tanggal 29 Desember 1902 menayangkan tulisan opini seseorang berinisial AM berjudul Boeren in Indië (Bangsa Boer di Hindia Belanda). AM menuliskan kekhawatiran atas rencana pemerintah Hindia Belanda yang terlihat makin serius dengan rencana menampung orang Boer untuk membangun koloni pertanian di Hindia Belanda.
AM menyebut rencana tersebut ceroboh, dan tidak bertanggung jawab. Dia khawatir memasukkan orang Boer dengan niat membangun koloni, yang kemudian disambut dengan sengaja menyediakan tanah di Lembang di utara Kota Bandung untuk mereka kembangkan, seperti memasukkan kuda Troya. AM meragukan rencana itu. Dengan watak bangsa Boer tersebut, dia khawatir kedatangan mereka malah akan membuat masalah baru dengan warga pribumi (yang belum tentu bersedia menerima warga kulit putih menjadi tetangganya menggarap ladang dan sawah).
Lembang adalah kota kecamatan yang bergantung pada perkebunan teh dan kina. Penduduknya bekerja di perkebunan, menanam padi, atau berladang. Lembang saat itu hanya bisa ditempuh dengan satu-satunya jalan pedati yang dipergunakan untuk mengangkut hasil kebun. Tanah yang disediakan untuk Van Ham dan kawan-kawannya berada di bagian perkebunan Kina milik pemerintah Hindia Belanda di Nagrak, Lembang.
Pieter Brooshooft, pelopor politik etis, pemimpin redaksi koran De Locomotief menulis di korannya pada tanggal 29 Desember 1902 menanggapi artikel AM. Brooshooft setuju dengan kekhawatiran AM, tapi di satu sisi, risiko tersebut sebanding dengan tujuan mendatangkan tawanan perang bangsa Boer tersebut. Pemerintah Hindia Belanda berencana meminjam tangan tahanan perang Boer tersebut untuk membangun koloni pertanian di Lembang. Orang Boer akan memimpin pembangunan koloni-koloni pertanian sebagai solusi memerangi kemiskinan.
Brooshooft mengaku dirinya condong menyetujui rencana itu setelah berdiskusi dengan Douwes Dekker, yang saat itu bekerja sebagai wartawan De Locomotief di Batavia. Dekker setuju dengan rencana itu. Dekker beralasan kepiawaian bangsa Boer dalam bertani dan beternak yang sudah dibuktikan di Afrika, justru bisa menjadi solusi untuk mengembangkan pertanian skala kecil yang hingga saat itu selalu gagal dipraktikkan.
Sampai di Batavia, lalu ke Lembang
Tiga bulan kemudian, 19 tahanan perang Boer berlayar menuju Batavia menumpang kapal milik Perancis , La Seyne, dari Ceylon. Seorang di antaranya, lelaki berumur 65 tahun, dikabarkan jatuh sakit sehingga batal berlayar. Setelah lebih dari 7 hari berlayar, pada tanggal 15 April 1903 kelompok tawanan perang bangsa Boer itu tiba di Tanjung Priok, Batavia. Para penumpang kapal La Seyne yang mengetahui kisah Van Ham dan kawan-kawan mengumpulkan sumbangan hingga terkumpul 500 Franc sebagai tanda simpati.
Peristiwa datangnya tahanan perang Boer tersebut mendapat perhatian khalayak luas. Media berbahasa Belanda tidak pernah absen untuk memberitakannya setiap hari.
Koran De Locomotief tanggal 15 April 1903 misalnya memberitakannya dalam berita berjudul “De onverzoenlijken aangekomen” (Yang Tak Terdamaikan Tiba). Koran itu menceritakan, Van Ham dan kawan-kawannya mendapat julukan “De-onverzoenlijken” oleh media Inggris karena menolak bersumpah setia pada Raja Inggris sehingga dilarang kembali ke Afrika Selatan.
Dikumpulkan dari pemberitaan sejumlah media berbahasa Belanda saat itu, berikut sejumlah nama para tahanan perang Boer yang tiba di Batavia. Selain Johan G. van Ham yang paling sering disebutkan karena didapuk sebagai pemimpinnya, yang lainnya diantaranya EJ Tremlett, JF van Straaten, TJ Roos, serta JF Bothma.
Umumnya tahanan perang Boer tersebut adalah pria kulit putih berusia 20-35 tahun (satu di antaranya malahan warga keturunan Inggris yang membelot dan berpihak pada bangsa Boer). Johan G. van Ham dan kawan-kawannya bahkan sudah menyiapkan nama koloni mereka kelak di Lembang yakni, Vrijheidslust yang berarti “nafsu akan kebebasan”.
Pemerintah Hindia Belanda membentuk pantia untuk menyambut tahanan perang Boer tersebut, terdiri dari di antaranya Asisten Residen Maurenbrecher, Gep. Mayor van Winning, lalu Regent Controller Kotta van Dalder, JJ van Oosterzee, serta JC Astro. Panitia penyambutan menjemput Van Ham dan kawan-kawannya di Pelabuhan Tanjung Priok, lalu mengantar mereka menuju Hotel Ort di Batavia, tempat menginap orang Boer sebelum melanjutkan perjalanan menuju Bandung.
Selama di Batavia, Johan G. van Ham dan empat kawannya sempat menemui H J Wigman, kepala Botanisch Tuin (Kebun Raya) di Buitenzorg (sekarang Bogor). Wigman yang bersimpati, bahkan menjanjikan akan menyediakan bibit tanaman yang hendak ditanam oleh Van Ham dan kawan-kawannya di Lembang.
Pemerintah Hindia Belanda sudah menyediakan lahan yang masih menjadi bagian perkebunan Kina milik pemerintah yang sudah bertahun-tahun telantar di Lembang. Tanah tersebut hanya dipinjamkan cuma-cuma selama 5 tahun pertama. Selanjutnya Van Ham dan kawan-kawannya akan diwajibkan membayar biaya sewa 14 sen untuk setiap hektare lahan yang dipergunakan per tahunnya. Van Ham dan kawan-kawannya juga mendapat pinjaman alat pertanian yang dibutuhkan.
De Locomotief tanggal 16 April 1903 membeberkan garis besar rencana pemerintah yang akan dijalankan para tahanan perang Boer tersebut. Intinya, para tahanan itu akan membentuk petani inti, yang selanjutnya menjadi memimpin pendirian koloni desa Eropa di Lembang. Van Ham dan kawan-kawannya juga diminta mengembangkan peternakan sapi, sekaligus mengembangkan pertanian holtikultura ala bangsa Boer yang sukses menaklukkan kerasnya tanah Afrika.
Tanggal 17 April 1903, Van Ham dan kawan-kawannya menumpang kereta ekspres dari Batavia menuju Bandung. Di hari yang sama kelompok orang Boer itu meneruskan perjalanan menuju tanah garapan mereka di Lembang.
Koran De Preanger Bode tanggal 17 April 1903 memberitakan panita penyambutan orang Boer dikukuhkan menjadi komite pengawas sementara oleh Gubernur Hinida Belanda kala itu. Komite pengawas sementara akan membantu tugas orang Boer mendirikan koloni pertanian di Lembang. Komite tersebut juga mendapat hadiah uang 300 Gulden dari Gubernur Hindia Belanda. Hadiah itu menandai keseriusan pemerintah menyiapkan rencana kolonisasi pertanian besar-besaran Hindia Belanda dengan mengadopsi cara bertani dan beternak bangsa Boer di Afrika.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman