NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (2)
Tidak diketahui jumlah pasti korban pandemi flu Spanyol di Kota Bandung. Namun, bencana ini menyadarkan warga tentang pentingnya sebuah rumah sakit modern.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
5 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Hingga saat ini belum ditemukan catatan korban meninggal akibat wabah flu Spanyol di Kota Bandung. Dua publikasi semi arsip Dinas Kesehatan Sipil Belanda dalam dokumen “Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie?”, masing-masing tahun 1920 dan 1923, hanya memberikan gambaran kasar. Flu Spanyol, misalnya, mewabah di Kota Bandung sepanjang akhir Juli 1918 hingga pertengahan November 1918. Tanda yang menguatkan adalah melonjaknya persentase angka kematian tahun 1918 di Kota Bandung menembus 36 persen, tertinggi di sepanjang tahun 1912-1921. Rata-rata angka kematian dalam kurun 8 tahun itu 28 persen.
Koran pun setali tiga uang. Misalnya “De Preanger-bode”, koran berbahasa Belanda yang terbit di Bandung, pada tanggal 4 November 1918 menuliskan berita pendek berjudul “Tegen de influenza”, kira-kira terjemahan bebasnya adalah “Melawan Flu”. Isinya pendek walau menempati dua halaman koran itu, sepotong berada di pojok kiri bawah di halaman satu, lanjutannya nyempil di kanan atas di halaman dua.
Isinya menceritakan arak-arakan yang digelar warga Kota Bandung dari komunitas Tionghoa. Arak-arakan tersebut, yang digelar untuk memperingati “lahirnya Koedoes”, bertujuan untuk memohon pada Tuhan agar terhindar dari wabah influenza. Berita tersebut mengutip pernyataan komunitas Tionghoa yang dituliskan dalam bahasa melayu.
“Mohon dengan hormat soepaja Toean-toeans dari segala bangsa jangan berikan sesoewatoe kariboetan, karena ini adalah pawai boekan diambil dari hati yang gembira, namun dengan hati yang sedih arak-arakan ini dibuat, karena, kita mengingat tidak sedikit orang yang pernah menjadi korban penyakit ini.”
Bandingkan saat koran itu menuliskan tentang kolera dan cacar. “De Preanger Bode” tanggal 23 September 1918 menurunkan berita berjudul “Besmettelijke ziekten”(Penyakit Menular). Isinya dua hal, dan pendek saja. Satu tentang warga Tionghoa dari Oedjoeng-broeng yang dilarikan ke Rumah Sakit Tjilentah dengan gejala kolera, kedua tentang anak penghuni rumah seorang wedana Bandoeng yang meninggal karena cacar yang kemudian menulari tetangganya.
Laporan Wabah di Tempat Lain
Pemberitaan tentang influenza di tempat lain juga kontras. “De Preanger-bode” tanggal 4 Desember 1918 dalam berita berjudul “Influenza en ondervoeding” (Influenza dan Malnutrisi), di halaman 1, menuliskan serangan wabah flu Spanyol di Kabupaten Tjitjoeroeg, Soekaboemi. Mengutip Patih Soekaboemi, penderita influenza di Kecamatan Tjitjoeroeg berjumlah 6.000 orang. Tingkat kematian akibat flu Spanyol di sana mencapai 800 orang per 1.000 penduduk.
Penguasa Tjitjoeroeg kemudian menggelar rapat di Paroengkoeda. Rapat memutuskan Gomperts seorang dokter pemerintah, bersama Patih Soekaboemi diminta menyediakan makanan untuk membantu perawatan warga yang tertular wabah. Residen Preanger sudah memberikan izin untuk pemberian makanan bagi penderita influenza sebanyak dua porsi sehari dengan biaya 0,2 gulden, sehingga biaya hariannya yang harus disiapkan sebesar 200 gulden.
“De Preanger-bode” pada 14 Desember 1918 memberitakan Wlingi di Blitar yang mengalami pukulan keras akibat wabah influenza. Distrik Wlingi berpenduduk 200 ribu orang. Hanya dalam 40 hari kehilangan 16.700 orang akibat wabah influenza. Tentara pribumi Hindia Belanda akhirnya harus turun tangan untuk mengerjakan sawah warga karena wabah tersebut menyebabkan berkurangnya tenaga kerja.
“Het nieuws van den dag voor Nederlandsch- Indie?” menampilkan data korban meninggal di Wlingi yang berbeda. Koran tersebut dalam berita berjudul “Verkoop van vee in het Wlingische (Penjualan ternak di Wlingi) tanggal 14 Januari 1919 mencatat sepanjang Oktober-Desember 1918 ada 4.800 orang warga pribumi meninggal akibat wabah influenza. Jumlah penduduk Wlingi hanya 111.045 orang.
Dinas Kesehatan Sipil Belanda (GBD) yang irit bicara, akhirnya buka suara. “De locomotief” dalam berita dengan judul “De BGD” tanggal 7 Oktober 1919 menyajikan penjelasan “Inpecteur Burgerlijk Geneeskundigen Dienst (BGD)” dr. Ch. WF Winckel mengenai dampak wabah influenza di Hindia Belanda.
BGD menjelaskan, angka kematian di Jawa terus memburuk sejak tahun 1916 hingga 1918. Tapi anomali terlihat pada jumlah kasus kematian tahun 1918. Pada tiga kuartal pertama tahun 1918, tingkat kematian masih normal, dan tiba-tiba melonjak di kuartal empat akibat masuknya flu Spanyol. BGD melansir 118 ribu orang meninggal dunia hanya dalam satu minggu di Pulau Jawa. BGD mencatat, flu Spanyol menimbulkan malapetaka di Semarang, Banyumas, Jogja, dan Oostoek yakni sebutan bagi kawasan tapak kuda yang berada di ujung timur pulau Jawa. Dalam perhitungan BGD, tingkat kematian di Jawa saat itu 20 per mil.
Kota Bandung yang berada menjorok di pedalaman Jawa Barat beruntung. “Di Jawa Barat, bagaimanapun, pada tingkat yang jauh lebih rendah,” kata Winckel.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (1)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (2)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
Kebutuhan Rumah Sakit Modern
Ancaman beragam wabah, ditambah kemunculan influenza di awal tahun 1918 tersebut membuat Kota Bandung mempercepat rencana pendirian rumah sakit kota yang akan menjadi andalan warga. Dan tanggal 26 Agustus 1918 malam, di salah satu kamar Hotel Homan, Kota Bandung, Karel Albert Rudolf Bosscha dan kawan-kawannya memutuskan menyerahkan donasi 1 ton emas pada pemerintah kota untuk mempercepat rencana itu.
Kota Bandung yang tumbuh di kungkung pegunungan kala itu sedang bersolek. Deretan toko dan tempat kongkow, sekolah, pabrik, hingga tempat ibadah tumbuh subur di sekujur kota. Bandung misalnya menjadi salah satu kota di Hindia Belanda yang memiliki bioskop sendiri. Bandung juga menjadi tujuan pelajar menuntut ilmu karena nyaris semua sekolah dalam semua jenjangnya ada di kota itu. Bangunan megah dengan arsitektur meniru bangunan di Eropa adalah pemandangan biasa di sana.
Ironis, rumah sakit yang menjadi fasilitas vital satu kota justru tertinggal. Kota Bandung saat itu belum memiliki rumah sakit yang layak dan sigap menahan serangan wabah. Memang ada 3 rumah sakit yang bisa dijangkau warga Kota Bandung untuk berobat, yakni Rumah Sakit Tjilentah, Rumah Sakit Militer Tjimahi di kompleks militer di Cimahi, serta Rumah Sakit Immanuel. Dari tiga rumah sakit tersebut, Rumah Sakit Tjilentah, yang menjadi andalan warga.
Rumah Sakit Tjilentah yang berada di Jalan Tjilentah (kini Jalan Karapitan), saat ini lokasinya ditempati oleh Universitas Langlangbuana. Rumah Sakit Tjilentah adalah rumah sakit milik pemerintah. Kendati sudah dikelola oleh dokter yang kompeten dan mempraktekkan ilmu pengobatan modern di zamannya, tapi perawatan pasien dilakukan oleh tenaga ala kadarnya. Perawat di sana merangkap pegawai yang bekerja serabutan di rumah sakit. Mulai dari merawat pasien, hingga mengurus rumah sakit. Perawat kala itu merangkap sebagai tukang sapu, dan pelayan. Tak jarang narapidana juga turut diperbantukan untuk mengurus pasien. Walhasil, keluarga pasienlah yang sebenarnya yang merawat pasien di rumah sakit.
Sjoerd Zondervan dalam tesisnya untuk program doktor di Universitas Maastricht Belanda (Patient of the Colonil State The rise of a hospital system in the Netherlands Indies 1890-1940:2016) meneliti perjalanan panjang tumbuhnya rumah sakit modern di Nusantara selama masa pendudukan Belanda. Sejak VOC memperkenalkan rumah sakti militer bagi personelnya hingga di awal tahun 1940, terdapat lebih dari 600 fasilitas kesehatan yang mempraktikkan perawatan kesehatan ala Barat yang melayani semua ras suku bangsa di Nusantara. Periode 1910-1930 adalah masa kebangkitan pengobatan modern di Nusantara. Berakhirnya Perang Dunia 1, pandemi influenza 1918, dan gerakan politik etik menumbuhkan kesadaran mental yang mengubah wajah Hindia Belanda. Zondervan mencatat selama periode tersebut berdiri 78 rumah sakit baru, sehingga total di penghujung tahun 1930 terdapat 301 rumah sakit di seluruh Hindia Belanda. Rumah sakit modern di Kota Bandung yang menjadi mimpi Bosscha dan kawan-kawannya adalah satu di antaranya.
Sedikitnya ada tiga faktor yang memicu tumbuhnya rumah sakit modern di Hinda Belanda, yakni motif ekonomi pemilik perkebunan yang ingin memelihara pekerjanya tetap sehat, politik etik yang mendorong masyarakat sipil memaksa pemerintah membenahi layanan kesehatan, serta adanya ancaman wabah penyakit yang mendera bertubi-tubi Hindia Belanda. Semua faktor tersebut bertaut hingga pemerintah membuka diri untuk menerima bantuan pendanaan dari publik untuk membenahi rumah sakit yang sudah ada.
Dibangun oleh Inisiatif Warga
Bosscha dan sejawatnya yang sehaluan melihat kesempatan itu, lalu mendirikan perkumpulan “Bandoengsche Zieken-verpleging”. Koran “Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? “ merekam pendirian perkumpulan itu dalam berita tanggal 3 Juni 1914 berjudul “Een algemeen Ziekenhuis te Bandoeng” (Rumah Sakit Umum di Bandung). “Tidak hanya Bandung, seluruh Preanger sangat membutuhkan rumah sakit umum, seperti halnya Rumah Sakit Juliana Semarang,” tulis koran tersebut.
“Bandoengsche Zieken-verpleging” adalah perkumpulan untuk mewadahi inisiatif warga yang menginginkan rumah sakit yang layak untuk Kota Bandung. Berdiri pada tanggal 6 Mei 1914, Bosscha menjadi ketuanya. Selain Bertus Coops, anggota lainnya di antaranya J Bosscha, Thion, G Lengan, A Bryan, TJ Janssen, de Kock, V Leuweun, AE Reynst, R Schoemaker, Tjei Djie Tong, Utermöhlen, serta AEO Vervooren.
Kelompok tersebut menginginkan Kota Bandung memiliki rumah sakit modern seperti yang dimiliki kota-kota besar di Hindia Belanda. Rumah sakit untuk semua bangsa, terjangkau, memiliki alat kesehatan yang lengkap dan modern, mempekerjakan perawat yang profesional, dan tentu saja memiliki arsitektur gedung yang indah.
Namun, mewujudkan mimpi itu tidak gampang. Baru empat tahun kemudian “Bandoengsche Zieken-verpleging” berhasil menggenapkan kolekan modal awal pendirian rumah sakit yang dipersyaratkan pemerintah Kota Bandung. Uang itu yang akhirnya diserahkan Bosscha secara resmi pada pemerintah Kota Bandung tanggal 26 Agustus 1918.
Rencana lokasi rumah sakit pun sempat berpindah-pindah. Awalnya di Dagoweg, tapi belakangan pilihan jatuh di atas lahan seluas 6 hektare di Pasteurweg (sekarang Jalan Pasteur). Rumah sakit tersebut mulai dibangun tahun 1919. Gedungnya dirancang oleh Biro Arsitek Algemeen Ingenieursen dari Batavia. Biaya pembangunan rumah sakit itu membengkak. Mulanya ditaksir 480 ribu gulden, belakangan berlipat dua. Pembangunannya pun sempat tersendat. Fisik bangunan sesungguhnya sudah rampung tahun 1921, tapi butuh waktu dua tahun untuk mengumpulkan seluruh peralatan dan isi perut rumah sakit itu agar bisa mulai beroperasi.
Rumah sakit yang kemudian dinamai “Het Juliana-Ziekenhuis der Gemeente Bandoeng” (kini RSHS Bandung) akhirnya mulai beroperasi pada tanggal 1 Agustus 1923. Di tanggal yang sama, Rumah Sakit Tjilentah di Jalan Tjilentah (kini Jalan Karapitan) yang sudah bertahun-tahun melayani warga Kota Bandung akhirnya ditutup, dan 25 pasien yang sedang dirawat dipindahkan dan menjadi pasien pertama rumah sakit baru tersebut. Bangunan eks Rumah Sakit Tjilentah diserahkan pada polisi Kota Bandung untuk dipakai mendidik calon polisi.
“De Indische courant” tanggal 18-10-1923 menurunkan berita berjudul “Een nieuw Ziekenhuis” (Sebuah Rumah Sakit baru) yang merekam pesta peresmian rumah sakit yang digelar pagi hari, Senin, 15 Oktober 1923. Aula rumah sakit dipenuhi undangan. Pejabat militer, pemerintah, pengede dan tokoh, serta sosialita kota hadir di sana. Legercommandant Gen. Kroesen, Generaal Gerth van Wijk, Overste dr. Nauta, Direktur Rumah Sakit Roelofsen, Insp. BGD (Dinas Kesehatan Sipil Belanda) dr. Winckel, Resident Preanger Regentschappen, De Leidster van Het Leger des Heils (Pemimpin Bala Keselamatan) Kol. Van de Werken, de ass. Res. van Bandoeng, Depatih van Bandoeng, De burgemeester van Bandoeng, Anggota Dewan Kota, seluruh panitia rumah sakit, dokter lokal, dokter militer, perwakilan komunitas Tionghoa, serta tentu saja warga kehormatan Bandung Karel Albert Rudolf Bosscha.
Anggur kehormatan disajikan. Tepuk tangan mengikuti setiap pidato. Semua hadirin lalu berkeliling ke gedung-gedung besar yang dikelilingi halaman luas di salah satu rumah sakit yang terbesar di Nusantara itu.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman