• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (1)

NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (1)

Jumlah kematian di Hindia Belanda melonjak dari 70 ribu orang pada 1917 menjadi 486 ribu orang di tahun berikutnya. Diduga, pandemi flu Spanyol jadi penyebabnya.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Suasana awal pembangunan Gemeentelijk Ziekenhuis te Bandoeng (rumah sakit pemerintah Kota Bandung), cikal bakal RSHS. Potret ini merupakan bagian dari album foto yang diserahkan Bertus Coops, wali kota Bandung kala itu, sebelum perjalanannya ke Eropa, Agustus 1920. (Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/908911)

29 Juli 2021


BandungBergerak.id - Tanggal 26 Agustus 1918 malam, di salah satu kamar Hotel Homan, Kota Bandung, Karel Albert Rudolf Bosscha berpidato di tengah pertemuan “Bandoengsche Zieken-verpleging”. Anggota perkumpulan tersebut adalah pemilik perkebunan, tuan tanah, dokter, serta pengusaha yang tinggal di Bandung. Yang berbeda, Bertus Coops, salah satu anggotanya hadir di sana sebagai wali kota Bandung.

“Pak Walikota, saya akhiri (pidato) dengan harapan agar kesehatan Bandung dan sekitarnya di masa depan dapat menjadi sangat baik sehingga rumah sakit dapat sering kosong. Tetapi bahwa setiap saat siap untuk memberikan perhatian penuh kasih kepada umat manusia yang menderita dalam hal epidemi dan perang—dari mana Ned. Indie dapat dipertahankan,” kata Bosscha.

Pidato Bosscha disambut tepuk tangan. Ia kemudian menyerahkan selembar cek 100 ribu gulden, setara 1 ton emas, pada Coops. Uang itu hasil kolekan anggota “Bandoengsche Zieken-verpleging”.

Coops malam itu menjanjikan semua yang menyumbang akan mendapat potongan bea saat memerlukan perawatan di rumah sakit kelak. Rumah sakit akan dibangun secepatnya. “Batu pertama akan diletakkan tahun depan. Proyek akhir sedang diproses dan akan segera selesai,” katanya.

Pertemuan malam itu terekam dalam berita De Locomotief tanggal 29 Agustus 1918 dengan judul sensasional, “Een ton voor het Bandoengsch Gemeenteziekenhu” (Satu Ton untuk Rumah Sakit Bandung). Tak lama setelah pertemuan malam itu, pemerintah Kota Bandung memulai pembangunan rumah sakit modern, cikal bakal Rumah Sakit dr Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

Bosscha malam itu menyebut epidemi dan perang. Dua hal yang menghantui warga Belanda di Hindia Belanda kala itu. Epidemi adalah frasa yang identik dengan flu Spanyol, penyakit mematikan dengan gejala mirip flu. Belum sebulan penyakit misterius itu tiba di Hindia Belanda. Dan perang, adalah ancaman yang bisa pecah setiap saat.

Belanda seperti tinggal menunggu waktu untuk terseret dalam perang besar, Perang Dunia 1 yang sudah berlangsung sejak 28 Juli 1914. Belum ada tanda-tanda perang yang menggulung Eropa berakhir. Ratu Wilhelmina memang mengumumkan pada dunia bahwa Belanda sebagai negara yang netral dalam perang itu, tapi semua tahu simpatinya pada Perancis dan Belgia. Sementara suaminya, pangeran Duke Henry dari Mecklenburg-Schwerin, asli Jerman, secara terbuka mengumumkan memihak  negara asalnya. Memilih netral pun tidak sepenuhnya aman. Saat Perang Dunia 1 makin sengit, Belanda akhirnya memobilisir tentara untuk menjaga perbatasannya dari amuk perang yang membakar Eropa.

Hindia Belanda kena imbasnya. Blokade Inggris dan Amerika Serikat  pada pelabuhan-pelabuhan Belanda untuk melemahkan Jerman, membuat kapal dagang tertahan. Hindia Belanda terisolir dari dunia.

Bosscha dan semua yang hadir di kamar Hotel Homan malam itu tidak akan pernah menyangka bahwa Perang Dunia 1 akan berakhir dua minggu kemudian. Di belahan dunia sana, pada tanggal 11 November 1918, Jerman bersedia melakukan gencatan senjata yang mengakhiri perang. Namun yang sesungguhnya menjadi penentu berakhirnya perang adalah pandemi influenza 1918. Pandemi yang menghantam dunia dalam empat gelombang sejak Februari 1918 sampai April 1920, menginfeksi 500 juta orang, sepertiga populasi dunia saat itu, serta menewaskan puluhan juta di antaranya. Pandemi yang sama juga menggulung Nusantara.

Penyakit Misterius

Sebagian besar peneliti meyakini dampak flu Spanyol pada dunia mirip seperti pandemi Covid-19 sekarang. Pemerintah Belanda mencatat pandemi influenza di Jawa dan Madura sepanjang 1918-1919 merengut nyawa sedikitnya 1,5 juta orang. Sebagian peneliti meyakini jumlahnya jauh lebih besar dari catatan Belanda. Siddharth Chandra (“Mortality from the influenza pandemic of 1918-1919 in Indonesia”: 2013), misalnya, membuat pemodelan serangan pandemi flu Spanyol di Pulau Jawa dan menghasilkan estimasi korban yang jauh lebih besar, mencapai  4,26-4,37 juta jiwa.

Sebulan sebelum malam pertemuan di Hotel Homan Bandung itu, tepatnya tangal 16 Juli 1918, koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie? menurunkan berita dengan judul “Da geheimzinnige ziekte heeft Indië bereikt!” (Penyakit misterius itu telah mencapai Hindia!). Isinya pendek, tampil mencolok dengan bentuk huruf lebih besar. Berita di halaman 2 koran itu mengabarkan penyakit misterius yang mengamuk di Singapura telah muncul di Medan. Sedikitnya 60 polisi tertular dan 100 kuli dari etnis Tionghoa meninggal. Tenaga medis tidak berdaya. Koran itu menyebutnya sebagai flu Rusia.

Besoknya koran itu melanjutkan dengan berita lebih panjang di halaman 2 dengan judul “De geheimzinnige ziekte” (Penyakit Misterius). Di Singapura penyakit misterius menulari seluruh kru mesin kapal Maetsuycker, setengah awal kapal Singkara,serta 36 kru kapal Melchior yang baru tiba. Pekerja dermaga di Singapura juga banyak yang tertular. Penyakit misterius itu punya gejala demam tinggi selama 7-8 hari, dan sudah pasti bukan malaria. Penyakit yang sama sebelumnya muncul di Shanghai, Cina. Dan koran itu memperbarui fakta bahwa Medan bukan satu-satunya daerah yang terjangkiti di Hindia Belanda. Penyakit misterius itu juga ada di Semarang, menulari tentara dalam “jumlah sangat banyak”. Penyakit itu juga ditemukan di Batavia dengan korban “luar biasa besar”. Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie? menyebutkan skala penularannya sebagai wabah.

Koran lain pun mulai memberitakan penyakit misterius itu. Bataviaasch nieuwsblad edisi 18 Juli 1918 menurunkan berita dengan judul “De Epidemie” (Wabah) di halaman 3. Koran itu memberikan gambaran yang lebih rinci tentang penyakit misterius itu dengan menyebutkan gejalanya mirip influenza . Di Batavia, tertularnya 100 tentara Belanda membuat rencana latihan di Soenter batal. Penyakit serupa juga dilaporkan muncul di daerah pantai di timur Sumatera. Koran itu mengutip, Direktur Stadsverband, rumah sakit kota di Batavia, yang menyatakan penyakit mirip influenza itu menyebabkan demam 5 hari, tapi tidak berbahaya. Semua pasiennya sembuh. Wabah itu menarik perhatian Burgerlijken Geneeskundigen Dienst atau BGD (Dinas Kesehatan Sipil Belanda) yang mengumumkan memulai penyelidikan atas penyakit misterius itu.

Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 20 Juli 1918 kembali menuliskan kelanjutannya dalam berita pendek di halaman 1 berjudul “De Influenza”. Isinya campur aduk. Koran itu menyebutkan 90 orang tertular influenza (termasuk warga Eropa) di penjara Batavia, Tuan V yang baru datang dari Bandung ditemukan meninggal sakit kolera, influenza mewabah di Tjimahi menulari belasan tentara dari Batalion IV Belanda yang terpaksa dirawat di rumah sakit, serta serangan wabah influenza di Soerabaja yang sudah menurun.

Koran Het Niews van den Dag voor Nederlandsch Indie yang pertama memberi nama pada penyakit misterius itu. Dalam berita pendek tanggal 24 Juli 1918 koran itu memperkenalkan nama flu Spanyol untuk penyakit misterius itu.

Dua pekan kemudian flu Spanyol menyambangi Kota Bandung.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (2)

Laporan dari Wlingi Blitar

De Preanger-bode tanggal 1 Agustus 1918 memberitakannya di halaman 1 dengan judul “Influenza”. Penyakit flu tersebut dilaporkan sudah mewabah berhari-hari lamanya di Kota Bandung. Warga Eropa, baik sipil ataupun militer, serta pribumi tertular. Penyakit flu tersebut juga menulari dokter yang merawat. Tapi yang berbeda, koran itu mengutip pendapat dokter Borst, yang mengatakan bahwa tidak ada yang misterius pada penyakit itu. “Kita berurusan dengan influenza biasa, yang memanifestasikan dirinya dalam berbagai cara. Gejala yang paling khas adalah demam tinggi dan nyeri pada persendian,” kata dia.

Kabar tentang wabah influenza atau flu Spanyol tak gencar masuk berita koran. Dia serupa hantu. Lama hilang, lalu datang mengejutkan.

Tanggal 14 Desember 1928, De Preanger-bode kembali memberitakan wabah itu dalam dua berita pendek. Seratus kuli di perusahaan Tandjoeng Slamat meninggal tertular influenza, dan Distrik Wlingi Blitar yang berpenduduk 200 ribu orang kehilangan 16.700 warganya dalam 40 hari akibat tertular influenza sehingga tentara harus dikerahkan mengerjakan sawah milik penduduk.

Di awal tahun 1919, media mulai mendapatkan gambaran dampak wabah influenza atau flu Spanyol di Hindia Belanda.  Koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 13 Januari 1919 mengutip data yang dilansir Burgerlijken Geneeskundigen Dienst, atau Dinas Kesehatan Sipil Belanda sepanjang 1918 dalam artikelnya yang berjudul “Spaansche influenza” (Flu Spanyol). Koran itu menyajikan data perbandingan angka kematian sepanjang tahun 1918 dan 1917.

Pada tahun 1917 jumlah kematian di seluruh Hindia Belanda sebanyak 70 ribu orang. Setahun kemudian angkanya melonjak berkali lipatnya menjadi 486 ribu orang. Lonjakan jumlah kematian di seluruh Hindia Belanda tersebut kuat dugaan disebabkan oleh wabah influenza.

Esoknya, tanggal 14 Januari 1919, Heht Nieuws van den Dag voor Nederlandsch- Indie? kembali menurunkan berita tentang wabah influenza. Koran itu mengambil kisah wabah influenza yang belum lama menyerang Wlingi dengan menurunkan laporan panjang berjudul “Verkoop van vee in het Wlingische (Penjualan ternak di Wlingi). Koran tersebut merekam, Wlingi tidak hanya kehilangan ribuan warga, tapi juga ternak.

Semua bermula dari adat penduduk setempat menggelar upacara “Selametan” untuk menolak bala, agar keluarga yang ditinggal selamat. Biaya yang dibutuhkan tidak murah. Harta benda pun rela dijual. Sapi yang paling gampang dijual. Harganya dibanting agar cepat laku. Puluhan ribu orang yang meninggal, ribuan sapi yang terjual.

Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch- Indie? menampilkan data korban meninggal di Wlining yang berbeda. Koran itu mencatat sepanjang Oktober-Desember 1918 ada 4.800 orang warga pribumi meninggal akibat wabah influenza. Jumlah penduduk Wlingi hanya 111.045 orang. Sapi yang terjual di tahun 1918 memang memecah rekor, tercatat 1.735 ekor terjual. Tahun 1917 hanya 1.594 ekor sapi yang terjual.

Publikasi Dinas Kesehatan Sipil Belanda (BGD) mengenai aktvitasnya sepanjang tahun 1918 yang diterbitkan tahun 1920. Tabel tersebut memuat previlensi dan durasi wabah di setiap distrik yang dicatat oleh BGD pada tahun 1918.  (Sumber: delpher.nl)
Publikasi Dinas Kesehatan Sipil Belanda (BGD) mengenai aktvitasnya sepanjang tahun 1918 yang diterbitkan tahun 1920. Tabel tersebut memuat previlensi dan durasi wabah di setiap distrik yang dicatat oleh BGD pada tahun 1918. (Sumber: delpher.nl)

Ibarat Hantu

Wabah penyakit bukan hal baru di Hindia Belanda. Malaria, cacar, kolera, penyakit pes, dan disentri sudah lebih dulu bercokol dan memakan korban nyawa. Kehadiran flu Spanyol menambah deretan penyakit menular yang melanda Nusantara.

Flu Spanyol ibarat hantu. Penyakit dengan gejala mirip flu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda tertular secara fisik yang spesifik. Komplikasi yang menyerang paru-paru yang umumnya berujung maut. Bandingkan dengan cacar yang merusak kulit, malaria yang membuat korbannya mengamuk, diare akut pada serangan kolera, atau ciri perdarahan hebat pada penyakit pes.

Laporan semi arsip publikasi Dinas Kesehatan Sipil Belanda (BGD) tahun 1920 (“Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie? no 10”; 1-1-1920) mencatat serangan wabah flu Spanyol sepanjang tahun 1918-1919 di Hindia Belanda. Wabah flu Spanyol menyerang dalam dua gelombang. Gelombang pertama, yang terjadi sepanjang Juli-November 1918, memakan paling banyak korban. Hampir tidak ada kota di Hindia Belanda yang tidak terjangkit. Umumnya serangan wabah berlangsung 4-6 minggu di satu wilayah.

Serangan wabah ditandai dengan lonjakan angka kematian yang tinggi, jauh di atas rata-rata serangan wabah penyakit yang pernah terjadi di satu wilayah. Sepanjang tahun 1918 misalnya, 9.956 orang meninggal tertular kolera, 909 orang karena cacar, dan 733 terkena penyakit pes. Bandingkan, pada November 1918 saja tercatat 402.163 orang tewas akibat wabah influenza di Hindia Belanda. BGD tidak bisa mencatat jumlah korban sesungguhnya yang meninggal akibat wabah influenza 1918-1919, penyebabnya jumlah korban yang tidak bisa ditentukan dengan akurat karena banyak kasus yang tidak dilaporkan.

Bagaimana dengan jumlah korban flu Spanyol di Kota Bandung?

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//