• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Obat Gosok Kuda dan Pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda 1918-1919

NGULIK BANDUNG: Obat Gosok Kuda dan Pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda 1918-1919

Di tengah pandemi flu Spanyol di Hindia Belanda seabad lalu, obat gosok kuda "Elliman’s Embrocation” pernah diyakini ampuh melawan virus.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Di tengah pandemi flu Spanyol di Hindia Belanda, obat gosok Elliman's Embrocation, yang banyak digunakan untuk menghilangkan kaku pada otot kuda setelah berlatih, pernah diyakini ampuh melawan virus. (Sumber foto: (www.postcards-from-slough.co.uk, www.amazon.co.uk, dan hc.andornot.com)

26 Agustus 2021


BandungBergerak.id - Koran De Locomotief tanggal 10 Juli 1919 menurunkan berita berjudul “Een paardenmiddel tegen Spaansche Influenza”, yang terjemahan bebasnya ”Obat Kuda untuk flu Spanyol”. Koran itu memberitakan isi laporan kepala pemerintah di Sumedang pada Kepala Inspektur Dinas Kesehatan Sipil (Burgerlijken Geneeskundigen Dienst/BGD) yang berkantor di Weltevreden Batavia, kini kawasan Jakarta Pusat. Kepala pemerintah Sumedang mengklaim berhasil menyembuhkan banyak warganya yang tertular flu Spanyol dengan menggunakan obat gosok kuda dengan merek “Elliman’s Embrocation”.

Mengutip Wikipedia, “Embrocation” atau “Liniment” adalah obat gosok penghilang rasa sakit dan kaku pada otot dan sendi. Obat gosok tersebut biasa dibalurkan pada kuda setelah berlatih, terutama pada bagian kakinya. Umumnya obat gosok tersebut dipergunakan dalam cuaca panas untuk membantu mendinginkan otot-otot kuda setelah bekerja. Situs Slough History Online (sloughhistoryonline.org.uk) melansir “Elliman’s Embrocation” adalah obat gosok untuk hewan produksi Elliman, Sons & Co., perusahaan obat milik keluarga Elliman di Slough, Inggris, yang memasarkannya pertama kali pada tahun 1847.

Pada 1850 keluarga Elliman mulai menjualnya sebagai obat gosok pada manusia untuk meredakan nyeri otot hingga radang sendi. Tahun 1911 obat gosok “Elliman’s Embrocation” sudah dipasarkan di 42 negara di dunia. Bahan pembuatan obat gosok untuk penggunaan pada manusia sama dengan untuk hewan, yakni telur, terpentin, dan cuka.

Obat gosok kuda “Elliman’s Embrocation”  dipakai dengan cara membalurnya pada dada dan punggung pasien yang tertular flu Spanyol. Mengutip De Locomotief, waktu pemakaian paling tepat adalah saat gejala demam pertama muncul. Obat gosok kuda itu diklaim ampuh mencegah pneumonia, penyebab umum kasus kematian pada penderita flu Spanyol kala itu, bahkan tanpa penggunaan obat-obatan yang biasa dipergunakan seperti tablet Aspirin dan Doveri.

Belum ada penjelasan medis pada pasien yang sembuh dengan menggunakan obat gosok kuda tersebut. Namun kepala pemerintah Sumedang merekomendasikan agar BGD menggunakan obat gosok kuda “Elliman’s Embrocation” untuk perawatan warga pribumi yang tertular flu Spanyol. Alasannya harganya murah, sehingga biaya perawatan penduduk yang tertular flu Spanyol bisa ditekan.

Komisi Influenza

Saat itu sudah lebih dari setahun sejak pandemi flu Spanyol menghantam Hindia Belanda pertama kalinya pada pertengahan tahun 1918. Belum ada obat yang benar-benar ampuh untuk mengobati warga yang tertular flu Spanyol.  BGD sendiri baru mengeluarkan daftar obat yang bisa dipergunakan para dokter untuk perawatan pasien Flu Spanyol pada penghujung  tahun 1918. Rekomendasi daftar obat tersebut diberikan oleh Komisi Influenza, mencakup kamper (kapur barus) untuk membantu organ pernafasan,  doveri untuk mengobati batuk, dan aspirin pereda nyeri dan demam.

Laporan Komisi Influenza tersebut tertuang dalam buku “Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie? (1920), terbitan G Kolff & Co. di Batavia-Weltevreden. Buku tersebut disusun oleh sebagian anggota Komisi Influenza yakni Cornelis Douwe de Langen, Paul Christiaan Flu, Abraham Allard Hulshoff, dan J. Huizinga. Dua anggota Komisi lainnya yang tidak disebutkan adalah Georges Otto Emile Lignac serta satu-satunya pribumi, yakni Mas Sardjito.

Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie?”  adalah publikasi dari pelayanan medis sipil yang dilakukan BGD di Hindia Belanda yang diterbitkan setahun sekali. Pada seri buku yang terbit tahun 1920 ada satu bab berjudul “Rapport over de Influenza-Epidemie in Nederlandsch-lndië 1918” (Laporan Epidemi Influenza di Hindia Belanda 1918), yang berisi laporan hasil kerja Komisi Influenza sepanjang 1918-1919.

Komisi Influenza dibentuk oleh Kepala Inspektur BGD kala itu lewat Surat Keputusan Nomor 11767 tanggal 16 November 1918. Komisi tersebut diberi tugas menyelidiki semua aspek yang terkait dengan flu Spanyol di Hindia Belanda. Mulai dari penyebab penyakit, gejalanya, tingkat perluasan, kematian yang terjadi, serta beragam pengalaman penanganan perawatan pasien, hingga tindakan pencegahan yang perlu diambil sekaligus pengobatannya. 

Anggota Komisi Influenza memang bukan nama-nama sembarang. Cornelis Douwe de Langen, Ketua Komisi, adalah Chef de Clinique di Ilmu Penyakit Dalam di Universitas Groningen yang didatangkan khusus pemerintah Belanda untuk menangani wabah di Hindia Belanda. Selama tinggal di Hindia Belanda, Langen menyambi mengajar calon dokter di STOVIA, satu-satunya sekolah kedokteran di Hindia Belanda. Paul Christiaan Flu adalah peneliti ternama untuk penyakit-penyakit tropis asal Suriname yang didatangkan dari Belanda, sekaligus Direktur Laboratorium Medis di Batavia. Abraham Allard Hulshoff adalah Direktur Rumah Sakit Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ), sekaligus perancang rumah sakit terbesar tersebut yang terbesar di Hindia Belanda kala itu. J. Huizinga, guru besar sejarah di Universitas Leiden, sementara  Georges Otto Emile Lignac, pengajar patologi bagi calon dokter di STOVIA. Mas Sardjito, satu-satunya pribumi, dokter Jawa lulusan STOVIA yang kemudian kita kenal sekarang sebagai pahlawan nasional yang namanya disematkan menjadi nama rumah sakit di Yogyakarta.

Komisi memulai pekerjaannya dengan mengirimkan surat berisi 13 daftar pertanyaan pada seluruh dokter yang bertugas di semua penjuru wilayah Hindia Belanda, untuk menggali pengalamannya menangani flu Spanyol. Surat yang ditandatangani Langen dikirimkan pada Desember 1918. Jawaban tertulis diminta dikirimkan ke Pusat Pelayanan Medis Sipil di di Jalan Parapattan 45, Weltevreden, Batavia. Hingga di batas tenggatnya, 1 Mei 1919, terdapat 83 laporan tertulis oleh seluruh dokter yang berasal dari berbagai daerah di Hindia Belanda yang menjadi dasar penyusunan laporan Komisi, termasuk di dalamnya adalah kajian epidemiologi penyebaran flu Spanyol di Hindia Belanda.   

Kantor Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) di Jalan Parapattaan di Weltevreden, Batavia. Kantor inilah yang membentuk Komisi Influenza yang beranggotakan para pakar dan peneliti untuk menanggulangi wabah flu Spanyol.(Sumber foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Kantor Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) di Jalan Parapattaan di Weltevreden, Batavia. Kantor inilah yang membentuk Komisi Influenza yang beranggotakan para pakar dan peneliti untuk menanggulangi wabah flu Spanyol.(Sumber foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Gelombang Penyebaran Virus

Koran yang terbit di Hindia Belanda melaporkan kasus flu Spanyol pertama pada pertengahan Juli 1918. “Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?” terhitung yang pertama memberitakannya. Tanggal 16 Juli 1918 koran itu menurunkan berita dengan judul “Da geheimzinnige ziekte heeft Indië bereikt!” (Penyakit misterius itu telah mencapai Hindia!). Namun Komisi menerima laporan kasus pertama muncul di Pankattan di Pantai Timur Sumatera pada Juni 1918. Selanjutnya pada 1 Juli 1918 flu Spanyol muncul di Tandjong Pandan berasal dari penumpang kapal dari Singapura. Kasus flu Spanyol di Weltevreden pada waktu yang nyaris bersamaan, juga akibat tertular penumpang kapal yang baru tiba dari Singapura. Dua tempat di Kalimantan yakni Banderjmasin dan Stagen (Pulu Laut) juga tertular flu Spanyol dari Singapura. Penularan yang terjadi di Medan berbeda. Penyakit tiba dari Penang. 

Selanjutnya flu Spanyol menyebar dengan cepat hingga pelosok Hindia Belanda. Di Jawa, flu Spanyol menyelusup ke Bandung, Purworedjo, Kudus, Kertoksono, Surabaya, dan Djatiroto. Di Sumatera tersebar di Lampung dan Palembang. Pada Agustus-September 1918 sebagian besar Sumatera, Jawa, dan Kalimantan sudah terserang flu Spanyol. Bagian timur Hindia Belanda baru belakangan terpapar wabah flu Spanyol, yakni di penghujung akhir tahun 1918.

Flu Spanyol menulari Hindia Belanda mengikuti moda transportasi laut. Virus menular lewat organ pernafasan, masa inkubasi yang singkat, kerentanan penduduk terhadap perburukan infeksi akibat gizi buruk memperparah penyebaran flu Spanyol di Hindia Belanda.

“Rumah-rumah ditutup, jalan-jalan sepi; di dalam rumah anak-anak menangis karena kekurangan makanan dan minuman, dan tidak ada yang bisa membantu. Mereka yang berdiri kembali terlalu lemah untuk menyediakan begitu banyak air dan makanan. Itu adalah hari-hari dengan kesengsaraan terbesar. Bahkan hewan peliharaan pun mati karena kelaparan. Keadaan tragis yang disebabkan oleh influenza ini, dilaporkan dari banyak tempat di Maluku, Bali dan Lombok dan tempat-tempat lain,” dikutip dari laporan Komisi Kesehatan (Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie?”, tahun 1920).

Tahun 1918, Hindia Belanda mengalami dua gelombang serangan pandemi flu Spanyol. Virus yang relatif lebih jinak muncul di sepanjang Juli hingga awal September dan mayoritas melanda bagian barat Nusantara. Gelombang kedua yang sangat ganas muncul sejak akhir Oktober hingga penghujung tahun yang melanda hampir semua wilayah Hindia Belanda.

Tahun 1919, situasinya relatif lebih baik. Serangan flu Spanyol masih dilaporkan bermunculan di sejumlah wilayah di Hindia Belanda. Yang berbeda, yang bermunculan adalah kasus-kasus lokal yang tidak menyebar luas. Komisi Influenza mendapati spekulasi mulai munculnya kekebalan alami penduduk yang selamat dari amukan flu Spanyol sebelumnya.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (1)
NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (2)

Produksi Obat dan Protokol Kesehatan

Sejak kemunculan pertamanya, para dokter di seluruh Hindia Belanda mengupayakan sejumlah pengobatan bagi pasien flu Spanyol. Komisi mencatat upaya para dokter tersebut dari jawaban survei yang terkumpul. Sebagian dokter yang mengirim laporannya merinci upaya perawatan dan pengobatan yang dilakukan. Bermacam obat dipergunakan. Mulai dari uap minyak kayu putih, Tinctura Iodii, suntikan Elekctargol Emetin, kina, kodein, aspirin, kapur barus, hingga narkotika. Belakangan, Kepala Inspektur BGD meminta Komisi merumuskan obat-obatan yang bisa menjadi patokan dokter di Hindia Belanda untuk mengobati pasien yang tertular flu Spanyol.

Tiga bahan obat yang menjadi rekomendasi Komisi yang dikumpulkan dari catatan penanganan pasien flu Spanyol dari para dokter dari seluruh nusantara, yakni kapur barus, doveri, serta aspirin. Pemerintah Hindi Belanda selanjutnya memproduksi tablet influenza (dengan komposisi 0,250 aspirin, 0,150 pulvis doveri, dan 0,100 camphora) untuk obat resmi pasien yang terpapar flu Spanyol. Obat yang berfungsi untuk meredakan gejala umum para pasien yang tertular flu Spanyol.

Dalam publikasi “Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie?” tahun 1922, BGD melaporkan sepanjang tahun 1919 sebanyak 927.300 tablet influenza (dengan komposisi 0,250 aspirin, 0,150 pulvis doveri, dan 0,100 camphora) dibagikan gratis untuk pengobatan flu Spanyol oleh pemerintah Hindia Belanda.

Tentu saja tindakan pencegahan, mirip dengan protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19, juga diumumkan saat itu. Komisi merekomendasikan sejumlah langkah pencegahan untuk menekan penularan flu Spanyol. Di antaranya isolasi pada orang sakit, larangan pertemuan publik, penutupan gedung publik dan sekolah, pengurangan pekerja, anjuran menghindari bekerja dalam hujan, perbaikan ventilasi rumah, berkumur, dan penggunaan masker. 

Soal pemakaian masker, BGD sendiri ragu. Hingga tahun 1920, BGD masih belum memutuskan rancangan masker yang cocok. BGD masih menyiapkan pesanan masker. “Gambar masker influenza masih dikirim berdasarkan permintaan. Beberapa lamaran masuk, namun diragukan apakah pernah ada kampung yang biasa memakai topeng ini oleh penduduk,” dikutip dari publikasi “Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie?” tahun1922.

Penduduk di Nusantara dengan beragam adat dan kepercayaannya juga mengupayakan pengobatan dengan caranya masing-masing. Berita koran De Preanger Bode tanggal 15 April 1919 menuliskan laporan dari Tapanuli yang terjadi di bulan Januari tahun itu. Masyarakat adat setempat harus berurusan dengan hukum karena melakukan penyembelihan ternak diam-diam. Tidak ada larangan menyembelih ternak, asal taat aturan dengan membayar pajak pemotongan ternak. Masyarakat adat setempat menggelar upacara adat dengan menyembelih  sapi, kerbau, dan babi sebagai persembahan untuk menghindarkan warganya serangan wabah flu Spanyol, sekaligus memohon panen tetap melimpah. Ini bukan kali pertama, sebelumnya masyarakat adat setempat pernah berurusan dengan petugas hukum dengan alasan sama, saat penyakit cacar dan kolera mewabah.

Publikasi BGD dalam “Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie?” tahun 1922, melaporkan terjadinya penurunan tingkat kematian penduduk pada tahun 1920, ini yang disimpulkan sebagai mulai meredanya pandemi flu Spanyol di Hindia Belanda. Gantinya penyakit endemis yang sudah lama bercokol kembali bermunculan. Penyakit kolera, cacar, pes, kusta, hingga malaria kembali menyibukkan para dokter di Hindia Belanda.

Tahun 1920, saat serangan flu Spanyol mereda, pemerintah Hindia Belanda akhirnya baru mengesahkan Influenza Ordonantie, protokol yang menjadi panduan untuk menangkal penyakit flu Spanyol. Staatsblad 1920 No. 793 tentang Influenza Ordonantie mewajibkan warga untuk patuh atas tindakan pemerintah untuk mencegah penyebaran penyakit flu Spanyol, seperti larangan pertemuan, menutup sekolah, pembatasan penumpang kapal, dan lain-lain.

Namun, jutaan jiwa kadung melayang. Sepanjang 1918-1919 sedikitnya 1,5 juta orang meninggal dunia di Hindia Belanda akibat flu Spanyol. Sebagian peneliti meyakini jumlahnya berkali lipatnya. Tahun-tahun selanjutnya wabah flu Spanyol memang belum benar-benar reda. Tahun 1920, misalnya, Semarang, Lampung, Jambi, Tapak Tuan Aceh, Makasar, Mentawai, Sampit, Beontok, Makasar, dan Bolang Mongondou masih melaporkan kasus kematian akibat flu Spanyol kendati jumlahnya tidak banyak. Ratusan ribu tablet influenza yang diimpor pemerintah Hindia Belanda, masih terus dikirimkan ke seluruh penjuru Nusantara.

Nasib Obat Gosok Kuda

Apa kabar obat gosok kuda yang diklaim ampuh mengobati flu Spanyol kala itu?

Tidak menjadi salah satu obat rekomendasi bagi pengobatan flu Spanyol, tidak membuat pamor obat tersebut surut. “Elliman’s Embrocation” terus diproduksi, sampai perusahaan keluarga Elliman tersebut tutup pada tahun 1961 karena pemiliknya meninggal dunia. Perusahaan keluarga dan aset pabrik milik keluarga Elliman di Sough, Inggris, diambil alih oleh Horlicks.

Obat gosok dengan nama paten “Elliman’s Embrocation” sendiri hingga saat ini masih diproduksi. Sejumlah perusahaan farmasi yang memegang patennya meneruskan produksi obat gosok tersebut. Di antaranya terdapat raksasa farmasi dunia GlaxoSmithKline. Terakhir Actavis Group PTC ehf. yang bermarkas di in Hafnarfirdi, Iceland, memproduksi Elliman's Embrocation dengan merek dagang Elliman Universal Muscle Rub.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//