• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (2)

NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (2)

Mimpi membangun koloni pertanian ala desa Eropa kandas. Namun, ekspemerin ini telah mengenalkan Lembang pada beragam tanaman holtikultura dan sapi perah.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Boerderij Vrijheidslust Lembang berada lahan perkebunan kina terlantar milik pemerintah. Di rumah ini, 19 orang Boer tinggal untuk menggarap lahan di rintisan koloni pertanian di Lembang. (Sumber foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

9 September 2021


BandungBergerak.id - Keputusan pemerintah Hindia Belanda mendatangkan orang-orang Boer, sebutan bagi warga imigran Belanda di Afrika Selatan, sejak awal memantik sensasi. Pemberitaan koran di Hindia Belanda makin menjadi saat Johan G. van Ham dan 18 rekannya, orang-orang Boer yang ditahan Inggris di Ceylon (Sri Lanka), tiba di Batavia pada 15 April 1903. Orang-orang Boer itu disambut bak pahlawan.

Begitu besar perhatian warga Belanda dari beragam kalangan pada kedatangan 19 pria kulit putih berusia 20-35 tahun itu. Para pemuda itu dipandang sebagai pionir yang akan mewujudkan mimpi romantis kehadiran desa-desa ala Eropa di Hindia Belanda. Pada tanggal 18 April 1903, orang-orang Boer itu tiba di Bandung, dan langsung melanjutkan perjalanan menuju Lembang.

Koran De Preanger Bode yang terbit di Bandung, dan De Locomotief yang terbit di Semarang, paling getol memberitakan kiprah orang-orang Boer di Lembang. Nyaris tiap pekan sepanjang tahun 1903 tersebut selalu ada berita mengenai keseharian orang-orang Boer di Lembang. Koran-koran lainnya yang terbit di Hindia Belanda pun rajin mengutipnya.

De Preanger Bode pada terbitannya tanggal 20 April 1903 merekam kedatangan orang-orang Boer itu sejak turun dari kereta di Bandung, hingga meneruskan perjalanan menumpang pedati menuju perkebunan kina pemerintah Hindia Belanda di Lembang yang selanjutnya menjadi tanah garapan mereka. Perjalanan menuju perkebunan kina yang sudah telantar itu, karena usia pohon-pohonnya sudah tua, diceritakan seperti parade.

Komite Sementara yang dipimpin  Asisten Residen Maurenbrecher menyiapkan bangunan tua yang dulu ditempati administratur perkebunan kina pemerintah di Lembang. Direktur Perusahaan Kina Pemerintah P Van Leersum, salah satu anggota Komite, meminjamkan 40 sapi, termasuk seekor banteng Eropa. Leersum yang bersimpati atas nasib orang-orang Boer tersebut hanya meminta imbalan sejumlah botol susu segar diantarkan setiap hari ke rumahnya.

Rumah yang ditempati orang-orang Boer itu berada di lereng selatan Gunung Tangkuban Perahu, tak jauh dari makam Junghuhn. Orang-orang Boer itu sudah menyiapkan nama “Boerderij Vrijheidslust” untuk rumah pertanian mereka. Komite Sementara yang selanjutnya akan mengawasi pekerjaan orang-orang Boer di Lembang, sekaligus bertugas menyiapkan semua kebutuhan koloni tersebut.

Menolak Warga Pribumi, Menerima Pemuda Indo

Dua bulan pertama orang-orang Boer itu harus bersusah payah menaklukan tanah garapannya yang dipenuhi akar-akar pohon-pohon kina tua. Tak jarang tanaman yang disemai rusak oleh ulah anjing liar. Orang-orang Boer itu bekerja dalam dua sif. Pagi antara pukul 6 sampai 10 pagi, dan siangnya dari pukul 2 sampai 5 sore.

Orang-orang Boer itu menolak bekerja dengan penduduk pribumi. Mereka memilih mengerjakan dengan tangannya sendiri. Namun orang-orang Boer itu memberi pengecualian pada pemuda Indo, warga turunan Belanda dan pribumi, itu pun hasil seleksi Komite Sementara. Pemuda Indo-lah yang pertama tertarik untuk bergabung dengan orang-orang Boer untuk belajar bertani.

“Sangat menyenangkan bagi tuan-tuan untuk melihat "pria kulit putih" ini bekerja sangat keras, menggali begitu banyak dengan cara "Eropa" dengan sekop,” tulis De Preanger Bode pada terbitannya tanggal 24 April 1903.

Organisasi koloni Vrijheidslust meniru militer. Hukuman disiplin berupa denda berlaku bagi anggota koloni yang melanggar aturan. Salah satu aturan yang dipegang anggota koloni adalah tidak mengobrol saat bekerja.

Johan G. van Ham dipilih menjadi komandan. Penghuni koloni dibagi dalam dua divisi, yakni peternakan dan pertanian. Namun, ada kelompok khusus yang membawahi pembagian tugas mengikuti keahliannya masing-masing. Di antaranya, CJ Uijs dan JF van Straaten bertugas memimpin divisi pengelolaan peternakan dan pengembangan tanamanan hortikultura, WJ Hefer dan TJ Roos menggarap pertanian, EJ Tremlett menangani pengembangan peternakan unggas, lalu JF Bothma secara khusus menggarap peternakan lebah.

Pemerintah Hindia Belanda memberikan akses seluas-luasnya pada orang-orang Boer itu untuk menggarap tanah perkebunan kina pemerintah di Lembang. Termasuk penyediaan bibit tanaman, ternak, serta unggas. Sebagian dipenuhi oleh Komite Sementara, sebagian dibeli dari hasil lelang penjualan olahan kerajinan orang-orang Boer. 

Tremlett, salah satu orang Boer di rintisan koloni pertanian di Lembang, sedang memerah sapi. (Sumber foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Tremlett, salah satu orang Boer di rintisan koloni pertanian di Lembang, sedang memerah sapi. (Sumber foto: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Dari Jagung hingga Budidaya Lebah

Orang-orang Boer dibantu pemuda Indo itu mencoba menanam berbagai macam tanaman. Di antaranya jagung, kentang, kacang merah, kacang polong, kiaver (kelor), boerenkool, stroberi, wortel, tomat, bawang, jelai (barley), soba, theosin, hingga gandum (termasuk gandum hitam). Berbagai usaha ternak pun dijajal, mulai dari sapi perah, domba, babi, ayam (termasuk usaha menyilangkan ayam Kedu dan Leghour), bebek, hingga lebah.

Lebah secara khusus didapat dengan mengumpulkan lebah liar dari hutan di lereng Gunung Tangkuban Parahu. Orang-orang Boer sempat membuka “Bijenpark Vrijheidslust” atau taman lebah Vrijheidslust yang bisa dikunjungi setiap hari minggu sejak pukul 10 pagi hingga 12 siang (De Preanger Bode tanggal 28 Agustus 1903). Pengunjung dikutip biaya untuk melihat lebah mengolah sarangnya dari balik lapisan kaca di kotak kayu untuk memelihara lebah.

Orang-orang Boer itu memelihara kuda dan kerbau untuk membantu mengolah tanah. Mereka pun mulai menjajal memasok panen hasil pertanian, sayuran, susu segar, madu, dan telur yang dikirimkan dua hari sekali ke pasar di Bandung.

Penduduk pribumi kala itu sudah bertani, tapi dengan jenis tanaman yang masih terbatas. Mayoritas menanam padi, di luarnya di antaranya kentang, bawang, atau sayuran lokal. Karena keterbatasan modal dan akses pada bibit, hasil pertanian penduduk pribumi kebanyakan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun orang-orang Boer dengan segenap dukungan yang diperoleh, membuka peluang pertanian holtikultura yang menjanjikan.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Jejak Bangsa Boer di Lembang (1)
NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (2)
NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (1)

Perpecahan Koloni

Kemajuan yang dibuat oleh orang-orang Boer di Lembang membuat pemerintah Hindia Belanda makin serius mengembangkan koloni pertanian. De Preanger Bode, tanggal 30 April 1903 mencatat rencana pemerintah kala itu membahas rekomendasi Komite Pauperisme yang disahkan dalam Boonblad (Lembar Negara) nomor 315, tentang usul pemberian kredit bagi warga Eropa yang ingin membangun pertanian skala kecil. Pemberian kredit tersebut kemudian dicoba dengan menawarkannya pada orang-orang Boer. Namun, tawaran inilah yang justru menjadi pemicu perpecahan orang-orang Boer. 

Koran De Locomotief yang pertama mencium perpecahan yang terjadi pada koloni orang-orang Boer di Lembang. Dalam terbitannya tanggal 15 Januari 1904, koran itu mengabarkan sebagian penghuni koloni hengkang dari Vrijheidslust, dan menempati lahan baru di Tjisaroewa, masih di daerah Lembang. Van Ham menyatakan mundur sebagai pimpinan koloni. Dalam kesehariannya, koloni kedua orang-orang Boer di Tjisaroewa justru makin berkembang mengejar kemajuan Vrijdelust, induknya.  

Komiten Sementara yang dipimpin Asisten Residen Maurenbrecher akhirnya buka suara membeberkan kisah setahun perjalanan koloni orang-orang Boer di Lembang lewat koran De Preanger Bode. GL La Bastide, pemimpin redaksi De Preanger Bode sekaligus anggota Komite Sementara, mewakili menjelaskannya dalam dua seri tulisan yang terbit di koran itu masing-masing tanggal 6 dan 7 April 1904. Saat itu hampir genap setahun orang-orang Boer menghuni Lembang.

Di koran itu Komite menjelaskan bahwa dalam setahun orang-orang Boer menghabiskan dana mencapai 8.500 Gulden, sebagian berasal dari penjualan lelang barang  kerajinan pahatan kayu orang-orang Boer. Setahun berjalan, dana itu hampir habis untuk membiayai pembelian barang rumah tangga, alat pertanian, pertukangan, peralatan dapur, membangun barak, mendirikan taman unggas, taman hewan, membeli bibit tanaman, pendirian Rumah Tani di Djamboedipa, dan membeli obat. Seorang anggota koloni, Van Straaten meninggal dalam perawatan di Tjimahi karena tertular kolera.

Komite membenarkan pendirian koloni baru Tjisaroewa karena perpecahan di antara orang-orang Boer. Perpecahan tersebut sudah terlihat sejak awal pendirian koloni di Lembang karena berbagai perselisihan yang terjadi di antara orang-orang Boer. Macam-macam sebabnya, termasuk masalah uang. Sebagian menginginkan mendapat pinjaman kredit untuk membangun lahan pertanian di tempat lain yang lebih bebas, serta pembagian keuntungan yang lebih adil. Namun, permusuhan sudah terjadi dan membelah koloni menjadi dua: kelompok Van Ham yang bertahan di Vrijheidslust, serta 10 lainnya yang hengkang ke Tjisaroewa. Van Ham selanjutnya mengundurkan diri, dan memilih melanjutkan pendidikannya di Belanda. Koloni Vrijheidslust, diambil alih oleh Maurenbrecher sendiri.

Koloni kedua orang Boer di Tjisaroewa  ini juga berada di bawah pengawasan Komite. Koloni tersebut mendapat pinjaman lahan bekas kebun kopi pemerintah. Mereka menamakan kelompoknya "Generaal de Wet". Hirschland yang ditunjuk menjadi pemimpinnya. Anggotanya AJ O'Brien, Strating, JD de Villiers, MJ Olivier, CJ van Zjjl, W van Zijl, IJ Roos, serta JF van Rooyen. Koloni orang Boer di Tjisaroewa ini malah menunjukkan perkembangan sangat pesat dalam waktu yang relatif singkat. Koloni ini, misalnya, bisa mengambil alih pemeliharaan sapi yang dipinjamkan Leersum, serta menanam beragam sayuran, jagung, kentang, serta soba. Orang Boer di Tjisaroewa mulai melirik usaha menanam buah-buahan.

Komite menyimpulkan bahwa pengembangan pertanian skala kecil membutuhkan setidaknya tiga syarat. Pengetahuan mengenai bisnis, administrasi yang baik, serta tenaga kerja yang terampil. Pemasaran hasil pertanian masih menjadi persoalan karena pasarnya yang terbatas, tapi peluang paling besar ada pada usaha peternakan. Komite akan meneruskan pengawasan untuk pengembangan koloni pertanian.

Nama Vrijheidslust perlahan tenggelam. Koloni orang Boer “Generaal de Wet” di Tjisaroewa perlahan makin dikenal luas dengan usaha pertanian dan peternakan. Koran Het vaderland tanggal 06 April 1905 mencatat, dari usaha peternakannya orang Boer di Tjisaroewa bisa mendapat penghasilan 200 Gulden sebulan.

Di tengah Van Zijl (kiri) dan Hirschland, pemilik pertanian Generaal de Weh di Lembang dan ke-2 dari kiri P.J. van Winter.
Di tengah Van Zijl (kiri) dan Hirschland, pemilik pertanian Generaal de Weh di Lembang dan ke-2 dari kiri P.J. van Winter.

Mengubah Wajah Lembang

Setahun kemudian Lembang makin berkembang. Lembang yang dulu dikenal sebagai kawasan perkebunan kina, kopi, dan teh selanjutnya dikenal sebagai penghasil sayuran dan susu segar.

De Preanger Bode tanggal 27 Desember 1906 menerbitkan tulisan panjang berjudul Tuinboudorp (Desa Taman) yang berkisah tentang wajah Lembang kala itu. Pertanian holtikultura berkembang pesat di Tjibodas. Tercatat 915 petak kebun bertebaran di sana. Isinya tanaman jagung, kacang polong, buncis, kentang, kacang hijau, kacang panjat, salsify, lobak, wortel, tomat, bawang, kol putih, kembang kol, serta kubis Brussel. Pemerintah menawarkan pinjaman 15 ribu Gulden dengan bunga 3 persen bagi warga Eropa yang tertarik membuka pertanian holtikultura di Lembang. Pemerintah menyediakan seorang ahli untuk konsultasi. Hasil panennya bisa dijual eceran, atau dipasok ke pabrik pengalengan di Tjipaganti (ongkos angkut dibayar pabrik).

“Kami yakin, bagaimanapun, bahwa sayuran yang lebih baik akan ditanam untuk umum selain sayuran pabrik. Dan niatnya nanti, begitu produksi sudah dimulai, untuk mendirikan kios di Bandung di mana, pada waktu-waktu biasa, tersedia sayuran,” tulis De Preanger Bode (27 Desember 1906). 

Bagaimana nasib orang-orang Boer yang tersisa di Tjisaroewa?

Mereka sukses menjalankan bisnis peternakan sapi dengan menghasilkan ribuan liter susu segar. Koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 24 Januari 1918 memberitakan tentang Hekema, pemilik Hotel Sangoriti di Malang, yang mengumumkan pendirian usaha baru, yakni pembiakan sapi yang dinamainya Sidodadi di Batu. Halkema sengaja belajar mengenai seluk-beluk usaha tersebut pada peternakan sapi di Tjisaroewa yang sanggup memasok 2.400 liter susu ke Semarang.

Belakangan Hirschland sukses memimpin koloni "Generaal de Wet" menjadi salah satu pemasok utama susu segar di Hindia Belanda. Hirschland  bersama W van Zijl, orang Boer yang tersisa, menjadi perintis berdirinya “Bandoengsche Melk Centrale, satu-satunya pusat pengolahan susu di Hindia Belanda.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//