• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kisah Badak di Gunung-gunung Bandung

NGULIK BANDUNG: Kisah Badak di Gunung-gunung Bandung

Ada satu masa gunung-gunung yang melingkari Bandung adalah daerah jelajah badak. Kini habitat yang tersisa ada di Ujung Kulon.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Foto kepala badak jantan yang tewas ditembak pemburu tanggal 31 Januari 1934 di Sindangkerta, Jawa Barat. Spesimennya kini disimpan di Museum Zoologi di Bogor. (sumber rhinoresourcecenter.com)

16 Desember 2021


BandungBergerak.id – Profesor Reinwardt, perintis pendirian Kebun Raya Bogor, terhitung nekat. Dia mendaki Gunung Guntur di Garut seminggu setelah gunung tersebut meletus.

Koran Bataviasche courant tanggal 7 November 1818 menceritakan dahsyatnya letusan Gunung Guntur pada pagi, 21 Oktober 1818. Guncangan akibat letusannya terasa hingga Tarogong, kota utama di Garut kala itu. Dua hari Gunung Guntur memamerkan letusannya dengan nyala api, kolom asap, serta semburan abu. Beruntung angin membawa material letusannya ke sisi gunung yang jarang dihuni.

Reindwardt, ahli botani asal Jerman, belum setahun ditunjuk menjadi anggota Dewan Komite Masyarakat Seni dan Ilmu Batavia oleh Gubernur Hindia Belanda (Bataviasche courant, 5 Juli 1817). Kabar meletusnya Gunung Guntur menarik perhatiannya.

Pada tanggal 28 Oktober 1818, Reindwardt tiba di Tarogong. Esoknya saat fajar pecah, Reindwardt ditemani beberapa orang lelaki untuk mendaki gunung itu. Rute pendakian jadi makin berat karena jalanan dipenuhi material sisa letusan. Satu per satu mundur karena kelelahan, dan ada yang nyalinya ciut. Hingga tersisa Reindwardt saja ditemani Noran Moenter saat tiba di dekat puncak gunung.

Reindwardt yang berkeras mendekati puncak untuk menyaksikan langsung bekas letusan gunung api yang masih segar akhirnya terpaksa terhenti. Dia tertahan batuan hitam material letusan yang menghalangi jalan. Karena sudah tidak mungkin lagi mendekat, Reindwardt akhirnya kembali.

Gunung-gunung dan Badak

Perjalanan menuju Gunung Guntur itu menjadi perkenalan Reindwardt yang pertama menjelajahi alam liar di Jawa Barat. Setahun kemudian dia kembali lagi ke Gunung Guntur. Kali ini sengaja menyambangi sejumlah gunung sebelum berkunjung kembali ke Gunung Guntur.

Bataviasche courant, tanggal 25 September 1819 merekam perjalanan Reindwardt. Dia menyusuri Tjisondarie, Banjaran, Tjiparay, Manabaya, Timanganten, dan Limbangan. Sepanjang perjalanan ia menyambangi gunung yang terletak di seputaran Bandung. Dia mendaki Gunung Patoeha, Tambak Roeijong (Tambak Ruyung), Gunung Tiloe, Malabar, Sumbong, Gadjah, Goenong Goentoer, serta Talaga Bodas.

Reindwardt bersama rombongannya memulai perjalanannya dari distrik Tjisondarie. Gunung pertama yang dijelajahinya adalah Patoeha. Di sana dia menemukan dua bekas kawah purba. Yang pertama berupa cekungan bundar besar yang memanjang dengan kedalaman lebih dari 700 kaki. Di dalamnya terdapat danau belerang putih besar. Kawah kedua berada di lokasi yang lebih tinggi, di utara puncak Patoeha berupa cekungan yang luas dan dalam dengan bagian dasar berisi vegetasi tipis.

Selanjutnya dia menyambangi Gunung Tombak Roeijong, Goenoeng Tiloe, serta pegunungan Malabar. Reindwardt sempat menyusuri sepanjang Tjitarum menuju bagian hulunya untuk mencapai pegunungan Malabar. Dia takjub dengan daerah hutan lebat yang ditemuinya di hulu Tjitarum. Di sana terdapat padang rumput yang dikelilingi hutan tempat beraneka hewan liar.

Gunung Gadjah, Masigit, dan Goenong Goentoer adalah persinggahan selanjutnya. Perjalanan yang lumayan berat dengan menerobos hutan belantara yang luas. Rombongan Reindwardt sempat melewati Kawa Karaha, ngarai yang berisi lubang-lubang yang menyemburkan uap putih air panas.

Rombongan Reindwardt pun tiba di sisi utara untuk mendaki puncak Goentoer. Rute mendaki kali ini tidak seberat pendakiannya setahun lalu saat mengejar letusan gunung tersebut. Waktu yang dihabiskan  menjelajahi Goenong Goentoer lumayan lama sebelum rombongan memutuskan turun dan melanjutkan penjelajahannya menuju Talaga Bodas di Wanaradja, Limbangan. Talaga Bodas tak kalah uniknya dari Patoeha dengan danau belerang dan sumber mata air panas yang muncul di celah bebatuan gunung.

Reindwardt mendapati banyak tetumbuhan aneh, serta beragam hewan liar di dalam perjalanannya. Termasuk badak, hewan langka yang ternyata ditemukannya menjelajahi gunung-gunung yang disambanginya. Di antaranya, di Papandaijan dan Talaga Bodas.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Observatorium Lembang
NGULIK BANDUNG: Amelia Earhart Mampir di Bandung (1)

Lukisan hewan-hewan tropis koleksi Royal Institute of Linguistics and Anthropology di Leiden (sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Lukisan hewan-hewan tropis koleksi Royal Institute of Linguistics and Anthropology di Leiden (sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Perburuan Badak

Badak adalah hewan buruan pada masanya. Hewan itu menjadi buruan bagi warga pribumi, juga orang-orang Eropa yang menjelajahi kedalaman hutan-hutan di Jawa Barat. Perburuan yang serupa hiburan. Memburu badak bisa menghabiskan waktu hingga berminggu-minggu lamanya.

“Bagi yang lemah, hiburan ini, yang melibatkan bermalam berminggu-minggu di hutan dan kesulitan lainnya, tidak dianjurkan,” tulis koran Bataviaasch nieuwsblad, tangga 30 September 1895.

Koran De locomotief tanggal 19 September 1898 menyebutkan daerah hutan di Tjibetoeng, di kaki Goenoeng Wajang menjadi lokasi perburuan banteng, badak, rusa, dan hewan besar lainnya. “Pemburu profesional Sunda pergi keluar seperti ini selama satu atau dua bulan dan jarang kembali dengan tangan kosong, terutama di Tegal-padung, yang di sekitarnya penuh dengan hewan seperti itu,” tulis koran itu.

Untuk berburu badak, peluru biasa tidak akan mempan. Pemburu bisanya sengaja memukul-mukul ujung peluru agar menjadi pipih dan runcing agar bisa menembus kulit badak yang tebal. Jika hanya berbekal peluru bisa, senapan hanya boleh ditembakkan jika pembidiknya sudah yakin akan mengenai mata hewan tersebut dari jarak dekat.

“Selama berminggu-minggu orang Sunda bisa mengejar badak; dia kemudian hidup dari apa yang dihasilkan hutan. Dan tidak ada yang lebih senang daripada dia, ketika akhirnya binatang itu telah jatuh. Tanduk hewan ini dikenal memiliki kekuatan penyembuhan yang hebat untuk beberapa penyakit,” tulis Koran De locomotief tanggal 19 September 1898.

Sejak dulu, perburuan badak memang mengincar culanya. Masyarakat kala itu meyakini ada banyak tuah dari cula badak. Di antaranya sebagai penawar racun. Cula yang dibentuk menjadi cangkir misalnya, diyakini akan menetralkan racun apa pun yang ada dalam cairan di dalamnya.

Perburuan badak juga tidak melulu untuk menjatuhkannya. Banyak yang senang sengaja menyelusup ke hutan-hutan hanya untuk menyaksikan dua ekor badak berkelahi. Dua ekor badak yang berkelahi  dengan saling mengincar menghunjam cula pada lambung lawannya. Kulit badak yang tebal bisa sobek oleh tandukan lawan. Pertarungan dua ekor badak bisa berlangsung satu hari penuh.

Detail perburuan badak kala itu digambarkan dalam petikan berita koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad yang terbit tanggal 14 November 1898. Berikut petikannya:

“Seekor badak tua, penghuni hutan Djampang yang terkenal dan diyakini kebal, telah menahan ratusan peluru tanpa cedera dalam perjalanan waktu, baru-baru ini diburu secara kebetulan dan berakhir di desa Tjidamos. Siapa pun yang hanya bisa memiliki satu senjata—dan ada seratus di antaranya—bergegas menuju raksasa itu. Hujan peluru senapan dan tombak menikamnya. Dan ketika beberapa dari mereka mengenai bagian-bagian yang halus, setelah melawan sepanjang hari, dia akhirnya kedinginan karenanya. Tanduk itu beratnya empat kilo dan dibeli oleh tjamat penduduk Desa seharga f 200, tetapi dijual kepada seorang Cina dari Cheribon seharga 350 gulden.”

Hingga di awal abad 20, sudah tidak lagi terdengar badak yang masih hidup liar di hutan-hutan di gunung-gunung yang memutari Bandung. Badak di Pulau Jawa kini hanya tersisa di habitatnya yang terakhir di Ujung Kulon, Banten. Kementrian Lingkungan Hidup merilis jumlahnya hanya tersisa 75 ekor kini.

Rasanya pas memang jika halaman kantor wali kota di Balai Kota Bandung memasang patung badak putih, patung yang diresmikan Oktober 1981 oleh Wali Kota Bandung kala itu, Husen Wangsaatmadja.

"Tidak salah kiranya jika dibuat suatu monumen badak putih, untuk mengenang kelestarian alam yang sempurna pada masa lalu, sambil mencoba mengembalikan kembali kondisi itu bagi masa kini dan mendatang,” kata Husen Wangsaatmadja, mengutip laman humas.bandung.go.id.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//