Franz Wilhelm Junghuhn dan Bandung
Di Bandung nama Franz Wilhelm Junghuhn begitu harum. Ia dikenal sebagai pembudidaya kina atau pengklasifikasi zona iklim, tapi Junghuhn lebih dari itu.
Malik Ar Rahiem
Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung
26 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Hari ini, 26 Oktober, 216 tahun yang lalu, Franz Wilhelm Junghuhn, si Humboldt dari Jawa, lahir di kota Mansfeld, sebuah kota kecil di kaki sebelah timur Pegunungan Harz di Jerman. Untuk merayakan kelahirannya, sekaligus mengobati rasa rindu saya kepada kampung halaman saya di Bandung, yang juga baru berulang tahun ke 214, bulan September kemarin, mari kita membahas tentang Junghuhn dan Bandung, mulai dari pertama Junghuhn datang, hingga sekarang, bagaimana penghormatan warga Bandung terhadap Junghuhn masih bisa kita rasakan.
Franz Junghuhn pertama kali menginjakkan kakinya di Bandung pada tahun 1837, tepatnya pada tanggal 23 Juli. Bagaimana keadaan Bandung pada waktu itu? Yang pasti Bandung bukanlah kota yang besar, bahkan Junghuhn hanya menyebutnya sebagai desa, “sebuah desa indah di dataran tinggi pada ketinggian 2350 kaki di atas permukaan laut, tak jauh dari kaki sebelah selatan Gunung Tangkuban Parahu”.
Tujuan perjalanan Junghuhn ke Bandung pada waktu itu adalah sebagai ajudan dari Dr. Fritze, yang merupakan Kepala Urusan Kesehatan Koloni di Hindia Timur, yang berkewajiban untuk melakukan inspeksi kesehatan secara rutin ke daerah-daerah yang dihuni orang Eropa, selain juga mengamati kesehatan penduduk koloni.
Pada kunjungan pertamanya ini, Junghuhn tidak datang dari arah Jalan Raya Pos, melainkan dari arah Ciwidey. Ini karena Junghuhn dan Fritze memilih jalur yang gila. Mereka berangkat dari Cianjur kemudian pergi ke Situ Patengan lewat Sukanegara. Melewati curug-curug di perbatasan Kabupaten Bandung dan Cianjur. Jika sekarang pun jalur itu masih jalur yang sulit, bayangkan jalur tersebut pada tahun 1837.
Namun itulah Junghuhn dan Fritze, keduanya memiliki ketertarikan kepada perkembangan sains, sehingga mereka meluangkan waktu untuk berekskursi, menjelajah gunung, dan mengobservasi alam.
Di laporannya, Junghuhn menyebut bahwa perjalanan dari Ciwidey ke Bandung sangatlah indah. Di sepanjang perjalanan sudah penuh kehidupan dan begitu banyak sawah-sawah yang subur. Namun ketika mereka sampai di tengah-tengah dataran Bandung di dekat Ci Tarum, ia menyebut bahwa daerah ini tidak ditempati, bahkan ditinggalkan sama sekali, bahkan hanya menjadi tempat kerbau merumput. Penyebabnya adalah banjir yang sering terjadi di daerah ini, terutama pada musim hujan, ketika Ci Tarum meluap dari tanggulnya dan membanjiri sekitarnya.
Di perjalanan ia menyadari bahwa di Bandung adalah sangat jarang ada pohon kelapa. Padahal kelapa adalah pohon yang selalu ditemukan Junghuhn di mana-mana di Jawa. Di sini katanya, masyarakat menggunakan kacang-kacangan untuk membuat minyak.
Junghuhn menulis bahwa di Bandung pada waktu itu terdapat pabrik teh kecil, yang dikelola oleh orang Cina. Tehnya sangat enak dan rasanya sangat murni. Perpustakaan Digital Universitas Leiden memiliki satu koleksi lukisan berjudul Het huis Oedjong Bron bij Bandong met het gezicht op de theetuinen Tjoemboeloeiet. Mungkin ini adalah pabrik teh yang sama yang dimaksud oleh Junghuhn
Tak jauh dari pabrik itu, terdapat juga kebun murbei dan tempat budidaya ulat sutra. Junghuhn menyindir dengan sinis bahwa jumlah pegawai yang bekerja sama banyaknya dengan jumlah ulat sutra yang dipelihara, alias sama sedikitnya. Ulat-ulatnya sedikit, kepompongnya kurus. Junghuhn menyebut bahwa kegagalan budidaya ulat ini kemungkinan karena ulat perlu variasi suhu, sementara di Jawa suhunya relatif seragam sepanjang tahun.
Baca Juga: JEJAK JUNGHUHN: Hidup dan Karyanya
JEJAK JUNGHUHN: Seorang Geolog dari Mansfeld
JEJAK JUNGHUHN: Sebelum Menutup Mata di Lembang
Mendaki Gunung-gunung dan Meneliti Artefak Hindu
Dari Bandung Junghuhn bermaksud mendaki Gunung Tangkuban Parahu. Dia dan Fritze menyusuri jalan ke arah utara. Dia menulis tentang air terjun di aliran Ci Mahi, namun tidak begitu detail, mungkin itu adalah Curug Cimahi. Kemudian dia menyebut juga tentang sebuah danau di dekat Ci Beureum, namanya Telaga Warna, panjangnya sekitar 60 meter, lebarnya 30 meter. Danau ini seperti cekungan yang dikelilingi hutan. Menurut pemandunya, danau ini baru muncul setahun yang lalu, sebelumnya tidak ada. Junghuhn mengambil sampel air danau ini lalu mengirimkannya kepada koleganya di Batavia, A. Walz.
Junghuhn mulai mendaki Tangkuban Parahu pada fajar tanggal 26 Juli 1837. Dia menyebut beberapa pohon-pohon yang umum ditemukan: Pohon ek Quercus depressa tumbuh begitu lebat dan buah-buahnya memenuhi jalan setapak yang sempit. Kemudian pohon cemara yang tinggi, Kimerak (Podocarpus amara), yang tersebar di mana-mana. Cabangnya menyebar seperti pohon berdaun lebar dan membentuk mahkota yang melingkar. Batangnya tinggi menjulang 25-35 meter tingginya, dililit oleh liana yang merambat.
“Hutan tropis umumnya tak terdiri dari satu jenis pohon saja” kata Junghuhn, “Selalu hutan ini merupakan campuran dari ratusan jenis pohon yang hidup berbagi lahan dengan damai.”
Semakin tinggi elevasinya, Junghuhn merasakan bahwa jenis pohon-pohon mulai berganti. Pohon menjadi semakin kecil, lalu kemudian pakis tumbuh semakin banyak, hingga akhirnya hanya tumbuh tanaman semak. Perlu mendaki puluhan gunung di Jawa hingga Junghuhn bisa merumuskan bahwa terdapat empat zona vegetasi berdasarkan elevasi di Jawa. Sebuah ilmu yang dihafal cangkem oleh pelajar-pelajar di Indonesia, setidaknya hingga era saya sekolah SMP dua puluh tahun yang lalu. Pada tahun 1837, Junghuhn masih dalam tahap mengobservasi perbedaan jenis tanaman berdasarkan posisi elevasinya. Setelah mendaki Tangkuban Parahu, Junghuhn kembali ke Bandung. Di perjalanan pulang ia melewati air terjun di Ci Kapundung. Kemungkinan air terjun ini adalah Curug Dago. Dari Bandung, Junghuhn dan Fritze melanjutkan perjalanan ke Garut.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1839, Junghuhn kembali lagi ke Bandung. Kali ini ia bermaksud mendaki Gunung Malabar, Wayang, dan Tilu, di Bandung selatan. Sejauh yang saya ketahui, laporan perjalanannya Junghuhn ini merupakan laporan pertama yang menyebut bahwa Dataran Tinggi Bandung kemungkinan besar dulunya adalah dasar dari sebuah danau. Ada empat alasan yang dipakai Junghuhn untuk memperkuat pendapatnya. Pertama adalah dataran yang nyaris sempurna ke semua arah. Kedua adalah tepiannya yang dikelilingi oleh pegunungan dan kaki gunungnya terpisah sepenuhnya dari dataran. Ketiga adalah keberadaan rawa-rawa yang sangat luas. Dan keempat adalah cekungan sebesar Bandung, dengan gunung-gunung yang diselimuti hutan lebat, dan begitu banyak sungai-sungai, namun semuanya bermuara ke satu sungai, Ci Tarum, yang keluar melewati celah sempit di sekitar Rajamandala.
Junghuhn menulis bahwa pada waktu itu penduduk Bandung mencapai 188.000 jiwa dan sudah dibudidayakan 31 juta batang pohon kopi, dengan 22 juta batang yang sudah berbuah. Pada tahun itu 110.000 pikul kopi dipanen. Satu pikul setara dengan 62.5 kg. Harga satu pikul kopi pada waktu itu adalah 3.5 Gulden.
Mungkin salah satu hal menarik dari pendakian Junghuhn ke Malabar, Wayang, dan Tilu, adalah bagaimana ia menjadi saksi deforestasi besar-besaran yang terjadi di Jawa pada periode itu. Dalam buku Java I, Junghuhn menyebut bahwa pada kunjungan pertamanya ke Pengalengan tahun 1839, daerah itu merupakan hutan belantara, yang tanahnya mungkin hampir tak pernah terkena sinar matahari saking gelapnya rimbun pepohonan yang menutupinya. Namun delapan tahun kemudian, pada tahun 1847, ketika Junghuhn kembali ke sana, sebagian besar hutan telah ditebang. Dataran tinggi ini begitu berubah kenampakannya, dari yang sebelumnya ditutupi bayang-bayang kanopi hutan, kini menjadi area terbuka, dengan 750.000 batang pohon dadap dan 15 juta batang pohon kopi yang menggantikannya. Daerah yang sebelumnya tak pernah sama sekali terkena sinar matahari selama berabad-abad kini terbuka, sehingga dari sana bermekaranlah berbagai macam gulma yang tumbuh tak terkendali, membuat para penduduk menjadi kewalahan untuk membersihkannya. Jiwa botaninya begitu penasaran kenapa tanaman gulma ini tumbuh begitu tiba-tiba, dan terutama hanya mau tumbuh di area yang terbuka, dan tidak di area yang berbayang di bawah tajuk hutan yang menaunginya.
Sekitar tahun 1842-1843, Junghuhn tinggal di Cianjur untuk menyelesaikan manuskrip ekspedisinya ke Tapanuli. Di sela-sela waktu ini, ia beberapa kali juga datang ke Bandung. Namun kali ini ia tak melaporkan pengamatan botani atau geologi, melainkan melaporkan tinggalan artefak era Hindu. Penemuan ini ia laporkan dalam makalah singkat berjudul Hindoe-Oudheden in de Preanger Regentschappen.
Dalam laporan ini ia menyebut bahwapada tanggal 18 Agustus 1843, ia menemukan dua tempat tinggalan artefak di Bandung, yaitu di Pasir Cipanjalu dan di Pasir Pamoyanan, keduanya terletak di sekitar Ujung Berung. Lokasi penemuan artefak ini bisa dilihat juga pada peta Jawa skala 1:350.000 yang dibuat Franz Junghuhn pada tahun 1855,
Di Pasir Cipanjalu, Junguhn menemukan dua patung Siwa, yang tingginya 1 dan 1.5 kaki. Keduanya sudah sangat tua, rusak, kepalanya dipenggal, dan sudah sulit diidentifikasi. Sekitar 200 langkah jauhnya, ia menemukan juga patung seekor sapi, atau nandi, juga sudah dipenggal kepalanya.
Di Pasir Pamoyanan, ia melaporkan temuan sebuah altar, yang bentuknya kubus. Tinggi dan lebarnya 1 kaki, dan berhias ornamen di semua sisinya, serta terdapat lubang kotak di atasnya. Dalam lubang ini 1 kaki, dan air hujan menggenang di dalamnya. Kemudian ia menemukan juga dua patung Siwa, tingginya 1,25 kaki dan 2,25 kaki. Keduanya sangat tua dan permukaannya sudah diselimuti lapisan lumut. Kepala kedua patung ini sudah dipenggal. Terakhir ia menemukan satu patung Durga, yang dari atributnya mirip dengan yang pernah ia lihat di Prambanan, yang disebut Loro Jonggrang oleh orang Jawa. Patung ini dipahat pada sebuah batu, dan menunjukkan figur perempuan dengan anatomi tubuh yang sempurna dan proporsinya sesuai. Ia berdiri di atas nandi. Di sebelah kanannya terdapat Mahisasura yang berlutut. Patung ini hampir tidak rusak, bahkan hiasan-hiasan di kakinya masih bisa diidentifikasi dengan baik. Belakangan saya mendengar dari Kang Gan Gan Jatnika, bahwa konon masyarakat di sekitar Ujung Berung mengenal kisah mengenai Nini Maranak, yang mungkin terkait dengan kisah ini.
Ketika Junghuhn datang ke sana (ke Pasir Cipanjalu dan Pasir Pamoyanan), tempat itu sudah diselimuti hutan belantara. Harimau sudah bersarang di sana. Tak ada jalan setapak lagi yang mengarah ke sana, bahkan orang-orang pun sudah lupa bahwa pernah ada kehidupan, yang dulu mungkin begitu berkembang. Seperti ketika ia melihat reruntuhan candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ia memikirkan tentang kefanaan, bahwa segalanya, bahkan yang paling indah sekalipun, suatu hari kemudian akan runtuh, sirna, dan hilang.
Menjelajah Objek Geologi dan Meneliti Fosil
Antara tahun 1845-1848, Franz Junghuhn adalah salah satu ilmuwan paling terpandang di Hindia Belanda. Ia menjadi anggota dari Natuurkundige Kommissie voor Nederlandsch-Indië, dan salah satu tugas utamanya adalah untuk mencari batu bara untuk industrialisasi di Hindia, terutama untuk bahan bakar kapal uap. Junghuhn menetap di Cianjur dan melakukan pencarian terutama di Jawa bagian barat, karena tugasnya mencari batu bara, maka ia terlibat banyak dalam penelitian geologi, salah satunya di Bandung.
Ia menulis cukup banyak tentang objek geologi di Bandung. Ia terutama mengeksplorasi wilayah Bandung bagian barat, terutama di sekitar Cililin, Sindangkerta, Gununghalu, Rongga, Saguling, Rajamandala. Ke semua daerah ini, pada era Junghuhn masuk ke dalam satu distrik besar, yang disebut sebagai Distrik Rongga. Ada banyak yang diteliti oleh Junghuhn. Pertama ia mengelompokkan batuan berdasarkan jenis-jenisnya, kemudian ia mencoba mengurutkan mana yang muda dan mana yang tua. Dari observasinya ia berimajinasi dan berinterpretasi, ia mencoba merekonstruksi urut-urutan batuan yang telah mengalami perlipatan atau pemiringan, agar kembali menjadi datar. Ini adalah aplikasi prinsip stratigrafi, sebuah ilmu yang dipelajari Junghuhn secara otodidak dari observasi dan membaca karya-karya geologi pada era tersebut.
Objek paling menarik tentu adalah singkapan-singkapan batuan yang ada di sepanjang Ci Tarum, terutama dari Curug Jompong hingga ke Rajamandala. Di dekat Curug Jompong ia menyebut keberadaan dua air terjun lain yang sekarang sudah tenggelam oleh genangan Saguling, yaitu Curug Lanang dan Curug Kapek. Dua air terjun ini juga disebut oleh Antoine Payen, yang berkunjung ke sana lebih dari 25 tahun sebelum Junghuhn.
Dari Curug Jompong kita terus menyusur Ci Tarum hingga tiba di Cukang Rahong, sebuah tempat di mana lebar lembah Ci Tarum paling sempit. Jika sebelum Cukang Rahong lebar lembah Ci Tarum mencapai lebih dari 60 meter, di Cukang Rahong lebarnya menyempit menjadi hanya 10 meter saja! Bayangkan seluruh aliran air Ci Tarum, yang mengumpulkan air dari Cekungan Bandung yang begitu luas, kini mengalir melalui celah yang sebegitu sempit. Pada waktu itu penduduk dari daerah Cacaban, jika ingin pergi ke Batujajar harus menyeberangi sebuah jembatan bambu, yang menggantung di atas lembah sempit ini. Secara harfiah, Cukang Rahong sendiri berarti jembatan (cukang) dan ngarai sangat sempit (rahong).
Yang menarik dari observasi geologi Junghuhn di Pegunungan Rajamandala adalah pendapatnya mengenai perbedaan kedudukan lapisan batuan. Jika di Pegunungan Rajamandala batuannya memiliki kemiringan yang sangat terjal (seperti bisa diamati di Sanghyang Heuleut), namun ketika memasuki Dataran Bandung, maka lapisan batuannya menjadi mendatar, horizontal. Ini juga menjadi alasan Junghuhn untuk menduga bahwa hamparan danau yang luas membentang di Dataran Tinggi Bandung. Ia menyebut lembah Ci Tarum dari Sanghyang Heuleut hingga ke Curug Jompong terbentuk ketika air danau meluber atau bocor, lalu alirannya mengerosi ke hulu, membentuk lembah tersebut dan juga jeram-jeram dan air terjun yang ada di dalamnya. Hal yang keliru adalah dugaannya bahwa pembentukan lembah ini terjadi bersamaan dengan pengangkatan pegunungan ini oleh gaya dari dalam bumi. Belakangan kita mengetahui bahwa periode Danau Bandung dan Pegunungan Rajamandala berbeda puluhan juta tahun lamanya dan penjebolan Danau Bandung Purba terjadi belakangan setidaknya 16.000 tahun yang lalu.
Selain mengamati bebatuan, Junghuhn juga mengamati fosil-fosil. Salah satu tempat Junghuhn menemukan fosil yang paling berlimpah adalah di sekitar Gununghalu, tepatnya di aliran Ci Lanang. Di seluruh Jawa, Junghuhn mengelompokkan lokasi penemuan fosil-fosil dengan kode A-Z. Oleh Junghuhn tempat ini dikelompokkan sebagai Lokasi O. Di sungai ini, yang pada tahun 2013 menjadi tempat tugas akhir saya di jurusan Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung, Junghuhn menemukan ratusan spesimen fosil kerang laut, yang kemudian dianalisis oleh seorang Paleontolog dari Jerman, Karl Martin. Jika kita berkunjung ke Museum Geologi Bandung, terdapat satu ruangan yang berisikan penjenjangan periode lapisan batuan di Jawa. Jadi dalam ilmu geologi, lapisan batuan yang berlimpah fosil bisa menjadi penanda suatu era. Jika kita menemukan di tempat lain lapisan batuan yang mengandung jenis fosil yang serupa, maka kita bisa berkesimpulan bahwa umur lapisan ini sama, lebih muda, atau lebih tua. Ini adalah kerja kolektif yang dilakukan para geolog dan paleontolog, untuk bisa menjelaskan bagaimana alam berkembang. Dari sini kita tahu bahwa Junghuhn pun ikut merintis perkembangan ilmu ini di Hindia.
Pada tahun 1848, Junghuhn memutuskan untuk kembali ke Eropa. Kesehatannya menurun, fisiknya tak lagi sama seperti ketika ia pertama tiba di Hindia. Ia memang tak pernah benar-benar pulih dari sakit yang ia alami di Tapanuli 7 tahun sebelumnya. Bisa kita tebak gunung terakhir yang ia daki sebelum kepulangannya ke Eropa, ya, Gunung Tangkuban Parahu. Gunung ini juga yang nanti menjadi gunung terakhir yang ia lihat, sebelum ia menutup mata untuk selamanya.
Mendapat Tugas Mengembangkan Kina
Junghuhn menghabiskan 7 tahun di Eropa. Ia tak pernah benar-benar menikmati waktunya di Eropa. Ia begitu mendamba kembali ke Jawa, ke negeri tropis yang ia cintai. Ini tergambar dalam kata pengantar dalam bukunya, Java,
“Aku sangat ingat hutan di sana yang berhias warna hijau yang abadi, ribuan bunga dengan semerbak wangi yang tak pernah pudar. Dalam pikiranku terdengar angin laut yang berdesir melewati rerimbun pohon pisang dan pucuk pohon kelapa. Terdengar gemuruh air terjun yang berundak turun dari dinding gunung tinggi di pedalaman negeri. Seolah-olah aku sedang menghirup udara pagi yang dingin. Seolah aku sedang melangkah di depan pondok orang Jawa yang ramah. Keheningan yang sunyi dari hutan belantara mengepungku dari segala sisi. Tinggi di langit di atasku terlihat kepakan kelelawar yang berkerumun, beterbangan kembali ke tempat mereka pulang di siang hari. Perlahan kehidupan bergerak semakin dalam ke hutan. Burung merak berteriak berlomba saling pamer suara. Monyet-monyet melanjutkan permainan mereka dan teriakannya menggema dalam sunyi hutan pegunungan, seolah membangunkan hutan dengan nyanyian paginya. Ribuan burung benyanyi merdu. Bahkan sebelum matahari menampakkan warnanya di timur langit, puncak-puncak gunung telah menyala keemasan. Dari ketinggiannya yang agung, mereka seolah melihatku sebagai seorang kawan lama. Betapa rindu dan membuncah keinginanku untuk mendaki, hingga pada hari nanti di mana aku bisa bilang, Salam padamu, Wahai Gunung-Gunung!
Ia akhirnya kembali ke Jawa pada bulan November tahun 1855 dan mengemban tugas mahaberat, yaitu untuk membudi daya kina, salah satu obat paling mahal yang ada di bumi pada waktu itu. Kali ini ia membawa istrinya, Maria Louisa Koch, yang ia nikahi pada tahun 1850.
Pada mulanya kina dibudidaya oleh pemerintah kolonial di Cibodas, mungkin dekat Kebun Raya Cibodas sekarang. Namun Franz Junghuhn menyadari bahwa Cibodas bukan tempat yang tepat. Maka hal pertama yang dilakukan Junghuhn ketika menerima tugas sebagai Direktur Budidaya Kina adalah memindahkan lokasi persemaian ke Cinyiruan. Alasan utama pemindahan itu adalah perbedaan curah hujan dan analisis pustaka Junghuhn terhadap lokasi alami tanaman kina, yang salah satunya berasal dari laporan Alexander von Humboldt, salah satu orang yang paling dikagumi oleh Junghuhn. Salah satu hal penting lain yang dikembangkan oleh Junghuhn adalah penggunaan pohon peneduh untuk menaungi tanaman kina muda. Ia percaya bahwa kina harus tumbuh di bawah tajuk. Mulanya praktik ini membuat Junghuhn dihina oleh banyak musuh-musuhnya, namun kelak ini terbukti berhasil.
Ada satu paradoks dalam diri Junghuhn mengenai perannya sebagai perintis budidaya kina. Dalam dirinya ia menolak deforestasi, yang menurutnya terjadi akibat ekspansi tanaman komoditas, seperti kopi, teh, dan kini sekarang kina. Namun di sisi lain ia juga menganggap bahwa pengenalan budidaya tanaman komoditas ini baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Jawa. Inilah dahsyatnya kolonialisme. Pelakunya tak menyadari mereka menjadi bagian dari suatu kejahatan kemanusiaan yang keji, bahkan mereka merasa sedang memberikan kebaikan pada orang-orang yang tak perlu bantuan. Karena Junghuhn berada dalam bagian pelaku kolonialisme, ia tak mampu melihat permasalahan ini. Hal ini sangat berbeda dengan Alexander von Humboldt, yang banyak memprotes kejahatan kolonialisme Kerajaan Spanyol di Amerika Selatan.
Pada bulan Juli 1857, Junghuhn pindah ke rumah barunya di Lembang, di dekat perkebunan yang telah ditanam beberapa bulan sebelumnya. Pada tanggal 24 Agustus 1857 putra satu-satunya lahir, Frans Lodewijk Junghuhn. Junghuhn menulis surat pada ibu dan adiknya di Silesia,
“Aku harap kalian bisa melihatnya. Ia adalah diriku, wajahnya adalah wajahku, rambutnya adalah rambutku. Meski dia baru tiga bulan, tapi dia sangat kuat! Istriku begitu gembira, karena kini ia punya teman untuk menemaninya di sini”.
Mungkin ini adalah satu-satunya rumah yang ia tempati cukup lama. Sejak kabur dari penjara di Ehrenbreitstein di Koblenz tahun 1832 ia tak pernah tinggal lama di satu tempat. Ia selalu berpindah-pindah. Bahkan setelah menikah pun ia masih terus berpindah-pindah. Dari Leiden ke Amsterdam, dari Amsterdam ke Cianjur, kemudian ke Lembang. Mungkin di Lembang lah satu-satunya tempat ia bisa menetap cukup lama, bahkan hingga ia meninggal dunia 7 tahun kemudian.
Dalam satu tulisannya pada tahun 1844 di perjalanannya dari Garut ke Sumedang, Junghuhn pernah menulis tentang kesepian sebagai seorang petualang.
“Orang-orang hidup berbahagia, dikelilingi dengan segala kenyamanan dunia. Mereka punya rumah dan perapian yang hangat. Tapi aku? Aku tak punya rumah, tak punya tempat berpulang. Tak satu pun manusia di pulau ini menanti kepulanganku. Aku bepergian ke mana-mana sendiri. Aku meninggalkan kebahagiaan di belakangku dan kepuasan tak pernah mampu menyusul kecepatan langkahku. Aku akan terus berjuang dan terus mengembara, meskipun hatiku gelisah, hingga akhirnya aku tiba di lembah terkecil, yang mengakhiri seluruh anganku.”
Kini di Lembang ia telah tiba di lembah itu. Lembah kecil yang hangat, dengan istri yang tercinta dan putra yang menyerupai dirinya.
Berpulang di Lembang
Junghuhn membuat Bandung mendunia! Desa kecil ini menjadi begitu tersohor karena keberadaan naturalis hebat yang menelurkan karya hebat, mungkin salah satu yang terhebat dari seluruh karya di bumi bagian selatan. Ada beberapa nama yang jauh-jauh menyempatkan diri khusus datang ke Bandung untuk menemui Junghuhn, antara lain: Fedor Jagor, Ferdinand von Hochstetter dan Karl Scherzer, Ferdinand von Richthofen, Duncan Mac Pherson, dll.
Mungkin kita harus mendengar testimoni mereka, misal Richthofen yang pada tahun 1861 menulis bahwa jika kita membaca buku Junghuhn, lalu kita mengunjungi tempat paling terpencil sekali pun di Jawa, maka kita bisa melihat bahwa tempat tersebut telah tergambarkan dalam deskripsinya! Richthofen adalah salah satu orang beruntung yang merasakan ekskursi bersama Junghuhn. Pendapat ini tentu bukan ia sampaikan sembarangan, karena pada September-Oktober 1861, Richthofen berkesempatan untuk pergi berekskursi bersama Junghuhn untuk mengelilingi Jawa. Dalam salah satu foto (ya, Junghuhn adalah salah satu orang pertama di Jawa yang menggunakan foto untuk mendokumentasikan perjalanannya), tampak Junghuhn dan Richthofen yang sedang duduk bersama di tepi Situ Patengan.
Sebagaimana kejayaan negeri-negeri yang agung akan menemui akhirnya, begitu pula naturalis yang hebat pun harus kembali kepada penciptanya. Tahun-tahun terakhir Junghuhn dicatat dengan baik oleh Dr. Isaac Groneman, yang menjadi dokter pribadinya. Penyakit disentri yang diidapnya semakin parah. Pada akhir tahun 1863 hingga awal 1864, ia mulai menderita radang hati. Ia mencoba untuk memulihkan dirinya dengan meminta Bupati Sumedang, sahabatnya, untuk menyediakan rumah tinggal sementara, karena baginya Lembang terlalu dingin. Tidak jelas apakah ia sempat menyepi di Sumedang atau tidak.
Ketika merasa agak pulih, Junghuhn membandel dan minum setengah botol anggur untuk merayakan kesehatannya. Sakitnya menjadi semakin parah hingga akhirnya pada pagi hari tanggal 24 April 1864, naturalis besar ini memanggil Groneman. Kalimatnya begitu mengharukan, “Gronemanku yang baik, bisakah kau bukakan jendela ruang kerjaku? Aku ingin melihat sekali lagi gunung dan hutan yang aku cintai, sekaligus menghirup udara segar pegunungan”.
Begitulah pemikir besar ini berpulang. Ia kemudian dikuburkan di Lembang, tak jauh dari rumahnya. Di makamnya dibangun sebuah tugu obelisk, berwarna putih bersih dan dikelilingi oleh tanaman kina yang menjadi karya besarnya yang mendunia, yang mencegah kematian berjuta orang di bumi. Di Bandung nama Junghuhn begitu harum. Orang-orang mengenalnya dan selalu memberi respek yang besar, meskipun mereka tak pernah benar-benar mengapresiasi keseluruhan karyanya. Ia dikenal sebagai pembudidaya kina atau pengklasifikasi zona iklim, tapi Junghuhn lebih dari itu.
Pada tahun 1909, dalam rangka merayakan hari lahirnya yang ke-100, Pemerintah Kolonial Belanda membuat buku memoir. Dalam buku ini terdapat 19 tulisan dari orang-orang yang mengagumi Franz Junghuhn. Ia adalah salah satu polymath terakhir, yaitu orang yang menguasai beberapa cabang ilmu sekaligus. J.J.A. Muller menyebut Junghuhn sebagai pemeta; Karl Martin menyebut Junghuhn sebagai ahli sedimentologi; Verbeek menyebut Junghuhn sebagai seorang geolog; van der Stok menyebutnya sebagai seorang ahli klimatologi; Nieuwenhuis menyebutnya sebagai seorang etnografer; Koorders mengagumi keahlian botaninya; Alting mengagumi pemikiran filosofisnya; Niermeyer mengagumi karya fotografinya.
Seratus tahun kemudian pada tahun 2009, dalam rangka merayakan 200 tahun kelahirannya dilaksanakan pameran di Institut Teknologi Bandung, di Erasmus Huis di Jakarta, dan di Mansfeld kota kelahiran Junghuhn. Orang hebat ini tak pernah benar-benar mati. Selalu ada orang yang mengapresiasi dan mencoba memahami karyanya, serta memadankannya pada konteks kekinian.
Tibalah saya di hari ini, 216 tahun kemudian, di Braunschweig, begitu jauh dari tanah kelahiran saya. Terbayang dalam diri saya kerinduan Junghuhn pada alam Jawa yang ia tulis pada kata pengantar bukunya tahun 1850, membuat saya ingin berkata:
“Betapa rindu dan membuncah keinginanku untuk kembali ke Bandung, hingga pada hari nanti di mana aku bisa bilang,
Salam padamu, Wahai Gunung-gunung!”
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem, atau artikel-artikel lain tentang Situs Geologi