• Kolom
  • CATATAN PERJALANAN PRIANGAN ABAD KE-19 #1: Kisah Antoine Payen di Cipatik, Melukis Dua Curug yang Hilang di Citarum Tahun 1819

CATATAN PERJALANAN PRIANGAN ABAD KE-19 #1: Kisah Antoine Payen di Cipatik, Melukis Dua Curug yang Hilang di Citarum Tahun 1819

Pelukis Antoine Payen yang kelak menjadi guru Raden Saleh, mendokumentasi begitu banyak hal mengenai Bandung Raya. Salah satunya daerah Cipatik, di sekitar Citarum.

Malik Ar Rahiem

Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung

Curug Kapek. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

2 September 2024


BandungBergerak.id – Pada tahun 1819, seorang pelukis dari Belgia yang bernama Antoine Payen sedang ditugaskan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk mendampingi tim peneliti yang sedang melakukan dokumentasi alam koloni. Tim ini ketika itu dikepalai oleh Caspar Reinwardt, seorang Jerman yang kini dikenal sebagai tokoh pendiri Kebun Raya Bogor. 

Antoine Payen yang kelak menjadi guru dari pelukis ternama Indonesia, Raden Saleh, melakukan ekspedisi ke Bandung dan mendokumentasi begitu banyak hal mengenai Bandung Raya. Namun hanya satu yang akan kita bahas kali ini yaitu mengenai kunjungannya ke daerah Cipatik, di sekitar Citarum. 

Cipatik kini adalah sebuah desa di Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Letaknya di sebelah selatan Ci Tarum setelah Curug Jompong. Di Cipatik terdapat dua air terjun, Curug Lanang dan Curug Kapek, dua air terjun yang telah hilang karena tenggelam oleh genangan Waduk Saguling. Beruntunglah kita karena Antoine Payen pernah merekam dan melukisnya.

Payen tinggal di Cipatik cukup lama. Dalam catatan hariannya, dia menyebut bahwa ia tinggal di Cipatik antara tanggal 29 Mei 1819 hingga tanggal 10 Juni 1819, atau 12 hari. Catatan harian Payen telah ditranskripsi oleh Marie-Odette Scalliet dalam buku Peintre des Indes Orientales, yang terbit di Leiden pada tahun 1995. Ada beberapa lukisan/sketsa penting yang digambar Payen di Cipatik, antara lain: Peta sekitar Cipatik, Sketsa Gunung-Gunung yang tampak dari Cipatik, Pemandangan lanskap gunung, dua orang musisi yang sedang bermain tarawangsa dan kecapi, Curug Lanang, Curug Kapek, serta sketsa seekor ikan.

Kisah berikut adalah cuplikan terjemahan dari buku Peintre des Indes Orientales karya Scalliet, sementara gambar-gambarnya diperoleh dari koleksi Wereldmuseum Belanda.

Baca Juga: GEOWISATA BANDUNG RAYA: Rekaman Sejarah Kehidupan di Bawah Genangan Saguling
PENELITIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI BANDUNG RAYA #1: Zaman Kolonial
PENELITIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI BANDUNG RAYA #2: Pascakemerdekaan

29 Mei 1819

Aku tiba di Cipatik pada jam 8 pagi. Temanku Augusto mengalami demam tinggi. Dia kehujanan semalam sehingga sekarang dia sakit. Ketika aku tiba, seorang lelaki dan seorang wanita tua (dukun desa tersebut) sedang memijat Augusto. Cara mereka menyembuhkannya adalah dengan membuatnya berkeringat. Aku mempercayakan temanku itu pada wanita yang berambut putih ini, lalu aku pergi dengan kudaku untuk melihat air terjun, yang jaraknya hanya satu mil dari desa ini. Di jalan aku melihat beberapa pohon-pohon yang indah.

Kami menuruni lereng terjal Ci Tarum untuk menuju Curug Kapek. Sungai mengalir melewati batuan yang menjadi alasnya. Sebuah jembatan bambu yang tingginya tidak lebih dari delapan meter berada di atas sungai ini, begitu indah sebagai suatu pemandangan. Jembatan ini panjangnya 4-5 batang bambu, tidak memiliki pagar pembatas dan hanya memiliki titik tumpu pada sepertiga panjangnya, membuatnya cukup ngeri. Semua bagian bambu ini diikat dengan tali rotan.

Pertama kali aku mencoba menyeberanginya, aku harus memegang tangan orang yang berjalan di depanku. Aku membayangkan orang-orang muda bangsa kita menyeberangi jembatan ini. Lucu sepertinya melihat mereka menyeberangi jembatan ini. Aku rasa mereka akan sulit menjaga ekspresi muka mereka tetap tenang seperti ketika mereka sedang berjalan di Jalan Soupir.

Aku menemukan tempat untuk melakukan pengamatan dan menggambar. Aku menyeberangi sungai lagi untuk melihat Curug Lanang. Tempat ini juga layak mendapatkan perhatian. Air terjun ini sama seperti yang sebelumnya, namun lebih tinggi dan lebih sempit. Bukaan tempat sungai ini mengalir lebarnya tidak lebih dari 22 meter dan tingginya 12 meter. Segera setelah melewati air terjun itu, sungai menghempas dan membawa begitu banyak reruntuhan ke seberangnya, sehingga mengakibatkan suara yang keras dan mendorong air yang berbusa dari air terjun tersebut. Aku merasa tempatku tidak begitu bagus untuk bisa melihat efek dari air terjun tersebut. Aku berjanji akan kembali besok untuk melihat dari teras sungai di seberang.

Aku kembali ke Cipatik untuk menyiapkan kebutuhanku. Lalu aku berjalan-jalan di desa untuk mencari pemandangan indah. Di jalan aku menembak seekor burung, yang baru pertama kali aku lihat, yang aku duga merupakan burung hitam, de merle. Pada sore hari aku meminta beberapa batang pohon untuk ditebang karena menghalangi pemandangan matahari terbenam.

Aku menulis untuk Tuan Profesor, lalu bersiap untuk tidur karena aku sangat lelah. Selamat tidur Emilie, Pauline. Selamat tidur untukmu.

30 Mei 1819

Kahiran pergi tadi pagi membawa surat ke Ciwidey. Pagi tadi Raden, kepala desa Cilokotot datang mengunjungi dan menemaniku hari ini. Kami menyusuri jalan untuk mencapai tempat yang bagus untuk menggambar Curug Lanang.

Ketika aku kembali aku mengunjungi Dongdangku, yang aku temukan rusak. Aku tidak senang dan marah. Aku tidak bisa mengontrol amarahku ini yang membuatku merasa menyesal. Memikirkan lagi betapa aku marah-marah tadi sambil menendang-nendang seperti bocah! Aku merona karena malu. Betapa kecilnya orang ini! Dia mau menyuruh orang lain, tapi tidak bisa menguasai dirinya sendiri. Orang yang malang! Alasannya adalah karena pecahnya wadah minyak biji ramiku. Aku ingin membuat beberapa warna, tapi aku tidak punya minyak. Hanya ada  sedikit tersisa di wadahku, yang ternyata kini pecah. Lantas aku harus bagaimana?

31 Mei 1819

Aku tidak bisa melakukan apa-apa pagi ini. Cuaca sangat tidak bagus. Matahari tidak mau muncul. Aku menangkap Ngengat Elang dan ngengat yang indah yang baru keluar dari kepompongnya. Di jalan menuju air terjun pagi tadi aku menembak seekor merak. Aku mengukurnya dari paruh sampai ujung ekornya yaitu 2,1 meter, sangat panjang sekali. Di jalan pulang aku juga menembak seekor elang yang badanya putih dan berbulu coklat kemerahan. Aku rasa ini adalah jenis dari yang aku temukan di Batavia, yaitu Elang Jawa Buffon. Matanya berwarna hitam.

Sore hari aku habiskan dengan memeriksa dan menyayat burung merak. Operasi ini sepertinya cukup berhasil. Pada malam hari aku makan dagingnya, yang terasa cukup empuk, tapi sedikit kering. Aku segera mendapatkan bahan-bahan yang aku minta kepada Profesor, yang juga memberiku surat yang berisi keluhan bahwa  dia juga kesulitan mendapat barang-barang itu. Bala bantuan belum tiba juga dari Cianjur, tapi menurut Kahiran, dia bertemu mereka di Gajah. Profesor menulis padaku dari Patuha, dari ketinggian 5.000 kaki.

Curug Lanang yang dilukis Payen. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Curug Lanang yang dilukis Payen. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

1 Juni 1819

Pagi ini aku melanjutkan studiku. Pada jam 10 aku mulai melukis Curug Lanang. Aku mengirim orang ke Bandung untuk mengambil minyak lukis dari orang Cina. Dia pergi tapi tidak mendapatkan apa-apa. Aku mengirimnya kepada Tuan Steitz de Wilde, namun beliau tidak ada. Aku sangat malu dan tidak senang karena ini mengganggu pekerjaanku. Besok aku akan mengirim orang lagi ke Ciwidey. Mungkin Jean Bik punya persediaan, karena aku tahu bahwa dia juga ingin menggambar.

Siang ini aku mulai dengan gambar pohon. Sulit sekali. Aku tidak bisa menemukan pola goresan pensil untuk menggambarkan dedaunannya dengan baik. Aku harus berusaha mempelajari teknik ini. Aku ingat bahwa pamanku Plateau sering bilang padaku bahwa dia melihat pelukis lanskap yang dia tahu mampu melukis berbagai bentuk dedaunan yang berbeda, karena mereka tidak mampu mengenali perbedaan spesies tanaman yang ingin mereka lukis. Dia selalu berpesan agar aku mempelajari ini.

Aduhai pamanku yang terhormat, yang selalu menyemangati segala upayaku. Aku mengapresiasi talentamu dan aku mendedikasikan kalimat ini atas ingatanku kepadamu. Andai saja aku bisa bersamamu lebih lama. Hanya dalam setahun saja aku kehilangan ayahku, bibiku, pamanku! Semua ini berlalu seperti mimpi. Anak tertua dari 7 bersaudara, yang semua kini yatim piatu, di Jawa, 6.000 leagues dari tanah airnya tercinta, dari segala yang dia cintai, membuatku menangis.

Aku mohon, kalian yang berbahagia sekarang, para orang tua, berkatilah anak-anakmu, berikanlah mereka inspirasi kekuatan dan keberanian yang mereka butuhkan dalam hidupnya. Berdoalah kepada Tuhan untuk mereka.

2 Juni 1819

Augusto pergi ke Bandung untukku. Jika dia tidak berhasil mendapatkan minyak, maka aku harus meminta Jean Bik. Pagi ini aku sudah menggunakan hampir semua dari sedikit minyak yang tersisa. Lukisanku menunjukkan ciri bahwa lukisan ini dibuat dengan sulit. Warnanya agak berat, dan tonanya sedikit lebih baik daripada di Sanghyang Tikoro, meskipun masih terlalu hijau dan terlalu dingin. Kuasku sepertinya membeku. Pembantuku membawakanku minyak yang terbakar, yang tidak bisa digunakan.

Pagi tadi Augusto, yang keluar dari kebun kopi antara Cipatik dan Gajah, melihat seekor badak yang mengikuti jalur yang sama yang ia lalui. Dia harus menunggu badak itu masuk ke dalam gelagah sebelum melanjutkan perjalanannya. Dua hari yang lalu dalam perjalanan kerjaku, aku melihat jejak baru, yang jaraknya mungkin hanya sekitar 100 langkah dari ujung desa. Dekatnya desa ini dengan alam liar membuatku menjadi meragu, meskipun sebenarnya ini sudah sia-sia. Besok aku tidak akan bisa melukis. Aku akan memulai lagi gambar pohonku malam ini.

Aki Gombong bermain tarawangsa dan Si Samir bermain kecapi. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Aki Gombong bermain tarawangsa dan Si Samir bermain kecapi. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

3 Juni 1819

Aku berburu pagi ini dan mendapatkan dua ekor merpati, seekor elang, dan seekor lutung. Di jalan aku bisa melihat bukit-bukit yang hijau dan yang tandus di sebelah kanan jalan, yang menyembunyikan dataran luas yang telah begitu kaya dengan persawahan yang subur. Tempat ini dibatasi oleh pepohonan buah-buahan yang menyembunyikan rumah para petani. Kampung-kampung yang terdiri dari 3, 4, atau 5 rumah ini merupakan orang-orang yang keluar dari desa Cipatik. Desa ini sendiri memiliki 40 rumah atau keluarga. Semua penduduk mempunyai sawahnya masing-masing. Mereka bilang kepadaku bahwa mereka mempunyai seratus ekor kerbau, yang biasa mereka gunakan untuk membajak.

Pada jam 2 siang, orang yang aku kirim ke Ciwidey telah kembali dan membawa minyak serta surat dari Bik. Dia bilang kepadaku bahwa mereka masih di Patuha, tapi mereka agak tertinggal karena kakinya terluka.  Aku menggunakan minyak ini segera untuk memulai menggambar matahari terbenam, sehingga membuatku bisa mencoba melukis pantulan objek-objek pada genangan air. Sepertinya aku memulai lukisan ini dengan baik.

Hari ini sepertinya adalah hari keberuntunganku karena pada malam hari aku dihibur dengan sebuah konser. Seorang lelaki tua datang kepadaku dan menyanyikan lagu sepanjang dua jam, yang berisikan kisah atau sebuah puisi yang bercerita tentang seorang pangeran Kerajaan Pajajaran. Bapa Nilam dari Cianjur dia menemani lelaki tua itu dan memainkan kecapi.

4 Juni 1819

Aku tidak begitu senang. Aku telah menyelesaikan lukisan Curug Kapek, tapi pohon di depan terlalu besar dan warnanya tidak begitu harmonis dengan sekitarnya. Batuannya terlalu kasar.  Pohonnya juga tidak pas. Dan terutama dedaunannya, membuatku begitu tersiksa! Aku harus tidur. Selamat malam.

5 Juni 1819

Tidak ada yang spesial. Aku cukup senang dengan pekerjaanku. Lukisan matahari terbenam sepertinya cukup baik. Aku juga menemukan seekor belalang cantik berwarna abu. Tidak ada kupu-kupu sama sekali di sisi ini. Koleksiku tidak bertambah. Kalau aku tidak mengantuk aku akan bercerita tentang asal nama Kapek, dari mana ia bermula dan kenapa jeram di Citarum itu dinamakan demikian. Tapi kamu harus menunggu sampai besok.

Aku menembak seekor elang pagi ini. Burung yang sama seperti yang ditembak Profesor di Ciketuk. Sayang burung ini rusak dan bersimbah darah. Punggungnya berwarna abu kebiruan, bagian atas sayapnya yang sangat panjang berwarna hitam, leher dan perutnya berwarna putih, matanya merah terang, kakinya berwarna kuning dan mempunyai cakar yang sangat kuat. Dari paruh hingga ke ujung kakinya sepanjang 35 cm. Paruhnya hitam, juga bagian ujung depan dari matanya. Aku baru mendapat surat dari Profesor, dia telah turun dari Patuha. Begini bunyinya:

Kami kembali dari Patuha pada tanggal 4 Juni. Perjalanannya sangat menyakitkan, yang membuatku sangat kelelahan. Gunung ini elevasinya 7.050 kaki di atas permukaan laut. Kami melihat kawah yang mengandung belerang dan memiliki air yang berwarna putih. Pemandangannya sangat indah, namun kalah indah dengan Telaga Bodas, karena di sini tidak ada arusnya. Jalan untuk ke sana sangat berat dan perlu tiga hari berjalan dari Ciwidey.

Memeriksa elang ini membuatku serasa iblis. Begitu banyak darah yang bersimbah. Mengoperasi elang ini merusak spesimennya, membuatku hanya punya cadangan sampel yang buruk.

Kepek digantung di bawah jembatan untuk menangkap ikan. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Kepek digantung di bawah jembatan untuk menangkap ikan. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

6 Juni 1819

Aku melanjutkan lukisan Curug Lanang. Aku yakin ini lebih baik daripada Curug Kapek, terutama warna dan sapuan kuasnya. Di jalan pulang aku menembak seekor merak yang sangat indah, namun yang lebih kecil dari yang sebelumnya. Aku menyelesaikan gambar pohonku, meskipun agak kurang bagus. Kalau saja menggambar batangnya tidak memberiku begitu banyak masalah, ingin betul aku mengulangnya.

Kapek adalah semacam keranjang yang bagian atasnya berbentuk kisi-kisi tegak lurus. Di bagian bawahnya terdapat keranjang memanjang, bagian atasnya terbuka. Pada musim kemarau, ketika air sedang jernih, ikan-ikan yang disebut oleh penduduk asli dengan nama Melam (Melang), naik ke hulu sungai, begitu melimpah jumlahnya. Mereka melompati air terjun yang merintangi jalur mereka. Ini adalah waktunya kita menggunakan keranjang yang tadi aku sebut. Keranjang ini digantung menghadap ke hilir di sepanjang jembatan bambu yang diletakkan di atas air terjun. Ikan yang melihat rintangan air terjun akan melompat dan jatuh ke dalam keranjang. Pada hari itu dengan cara ini sebanyak 3000 ekor ikan ditangkap. Tangkapan pertama dikirimkan kepada Bupati Bandung. Sisanya dijadikan makanan warga sekitar yang berkumpul di air terjun pada waktu itu. Setiap orang membawa nasinya, sirihnya, gamblangnya, rebananya. Kami bernyanyi, tertawa. Angklung dimainkan sesuka hati. Ini adalah festival rakyat yang bersantai setelah selesai musim panen selesai. Inilah kenapa jeram ini atau air terjun ini disebut Curug Kapek. Selamat malam!

7 Juni 1819

Di jalan pulang aku menangkap dua ekor elang dari spesies yang sama dengan yang saya tangkap kemarin lusa. Salah satunya masih kecil. Aku perhatikan warnanya belum semerah mata burung yang lain. Warnanya abu-abu kemerahan. Yang pertama aku tembak, sayapnya patah. Aku memasukkannya ke dalam sangkar. Mungkin aku bisa memberinya makan, tapi dia sangat pemalu.

Malamku tidak menyenangkan dan progres lukisanku tidak maju. Malam ini aku menerima surat dari Profesor. Dia memintaku untuk membelikannya Ikan Melam. Dia mengirimi sebotol Madeira yang tidak aku terima. Sepertinya seseorang meminumnya demi kesehatanku. Aku menulis kepada Kolonel Paravicini malam ini.

Sketsa ikan Nilam oleh Antoine Payen. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Sketsa ikan Nilam oleh Antoine Payen. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

8 Juni 1819

Aku menyelesaikan lukisan Curug Lanang dan entah bagaimana pemandangan matahari terbenamku menjadi sangat buram. Profesor sangat beruntung karena kami menemukan 6 ekor Melam di Curug Kapek. Dalam bahasa Sunda ikan ini disebut Nilam. Waktu aku kembali aku menggambar seekor dengan ukuran yang persis aslinya. Professor memintaku untuk menggambar sketsa gunung-gunung dan gambaran sekitar. Ini akan membuatku sibuk. Aku menulis surat kepada Mayor De Capellen.

Sketsa gunung-gunung di Bandung utara, dari kiri ke kanan: 1. Tangkouban Prauw 2. Massegit 3. Boukit Toengoel 4. Boukit Djarian 5. G. Boubout. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Sketsa gunung-gunung di Bandung utara, dari kiri ke kanan: 1. Tangkouban Prauw 2. Massegit 3. Boukit Toengoel 4. Boukit Djarian 5. G. Boubout. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

9 Juni 1819

Aku melihat-lihat sekitar pagi ini. Aku membuat rencana kasar apa yang akan aku gambar. Pada malam hari, aku membuat sketsa gunung-gunung di sekitar. Aku akan menulis kepada Profesor dan besok pagi aku akan pergi ke Kampung Cilegon dekat Curug Jompong. Aku ingin menggambar pemandangan kampung-kampung yang indah dan juga menggambar beberapa pohon, namun itu akan perlu waktu lebih lama, padahal ada perintah penting yang harus aku kerjakan. Aku membayar tagihanku malam ini, tanpa minuman anggur, total biayanya selama 13 hari adalah 4 rupiah (8 f, 20 sen). Perhatikan bahwa untuk ini saya mendapat tiga ekor ayam setiap hari, buah-buahan, ikan, sayur-sayuran, dan minyak untuk lampu.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem, atau artikel-artikel lain tentang Situs Geologi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//