• Kolom
  • PENELITIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI BANDUNG RAYA #1: Zaman Kolonial

PENELITIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI BANDUNG RAYA #1: Zaman Kolonial

Jejak peninggalan purbakala di Bandung Raya bisa ditelusuri dari berbagai laporan peneliti Eropa di zaman kolonial Belanda.

Malik Ar Rahiem

Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung

Arca yang dilaporkan Mueller di Ciwidey (kiri) dan arca yang dilaporkan Mueller di Gunung Lumbung, Cililin (kanan). (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

20 April 2024


BandungBergerak.id – Waktu penulis sekolah SMP dan SMA dulu (2003-2009), pelajaran sejarah Indonesia yang diajarkan, terutama berkutat pada periodisasi kerajaan-kerajaan mulai dari Hindu-Buddha, Islam, VOC, perang kemerdekaan, hingga pasca kemerdekaan. Pelajaran mengenai sejarah kota tempat sekolah penulis berada, Kota Bandung, masih sangat minim. Yang penulis ketahui hanyalah keberadaan Candi Cangkuang di Garut. Itu pun tak pernah sekalipun ada ide untuk berkunjung ke sana.

Padahal ada di dalam kodrat manusia untuk mencari tahu mengenai asal-usulnya, sehingga mengajarkan sejarah dengan mengenalkan kepada yang jauh (misal di provinsi lain, di negara lain), itu seharusnya dilakukan ketika pengenalan terhadap sejarah sendiri sudah diberikan, sehingga ada rasa kedekatan. Harapannya dengan begini, siswa menjadi lebih dekat dan awas dengan lingkungannya.

Penulis baru mulai dikenalkan terhadap sejarah Kota Bandung dalam sesi-sesi kuliah Geologi Cekungan Bandung yang disampaikan oleh Dr. Budi Brahmantyo (alm.), dari ITB. Dalam kuliah ini, Pak Budi menceritakan mengenai konteks geologi yang memungkinkan peradaban bermekaran di Bandung. Dalam tulisan ini kita akan lihat apa saja peninggalan purbakala yang ditemukan di Bandung, dan bagaimana konteks geologinya.

Baca Juga: JEJAK JUNGHUHN: Sebelum Menutup Mata di Lembang
GEOWISATA BANDUNG RAYA: Curug Lanang dan Curug Kapek yang Hilang di Ci Tarum
GEOWISATA BANDUNG RAYA: Rekaman Sejarah Kehidupan di Bawah Genangan Saguling

Laporan Salomon Mueller dan Pieter van Oort (1833 dan 1856)

Sejauh yang penulis ketahui, jejak tinggalan purbakala di Bandung pertama dilaporkan oleh Salomon Mueller dan Pieter van Oort. Keduanya adalah anggota dari Komisi Ilmu Alam Hindia Belanda Natuurkundige Commissie voor Nederlandsch-Indie. Laporan Mueller dan Van Oort dalam perjalanannya ke Bandung ini telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh penulis dalam buku Naturalis Jerman di Tanah Priangan.

Dalam laporan perjalanan pada tahun 1833 ini, Mueller menyampaikan penemuan antara lain: sebuah arca bertipe megalitik di Ciwidey; patung, gerabah, menhir di Gunung Lumbung; patung gajah di Desa Gajah tepi Ci Tarum; patung sapi, banteng, lumpang, yoni di Situs Tjoepoe, sekitar Rancamanyar; serta patung Ganesha yang ditemukan di sekitar Landejan, juga di tepi Ci Tarum; pedestal di Sapan, Majalaya; dua buah patung monyet dan angsa di dekat mata air panas Desa Cipanas, Cipeunjeuh, Cicalengka; patung Ganesha di kaki timur Gunung Malabar.

Selain laporan perjalanan ini, Mueller juga melaporkannya kembali 23 tahun kemudian dalam publikasi berjudul: Peninggalan di Jawa dan Sumatera Oudheden van Java en Sumatra yang diterbitkan di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, pada tahun 1856.

Beberapa arca dan ornamen Hindu yang ditemukan di sekitar Negarawangi. (Foto oleh Isidore von Kinsbergen, Sumber: KITLV)
Beberapa arca dan ornamen Hindu yang ditemukan di sekitar Negarawangi. (Foto oleh Isidore von Kinsbergen, Sumber: KITLV)

Laporan Franz Junghuhn (1844)

Laporan kedua yang bisa ditelusuri adalah publikasi Franz Junghuhn yang berjudul: Peninggalan Hindu di Karesidenan Priangan Hindoe-oudheden in de Preanger-Regentschappen, door. F. Junghuhn. Laporan ini terbit dalam buku Indisch Magazijn tahun 1843. Dalam laporan pendek 4 halaman ini, Junghuhn melaporkan temuan artefak di dua tempat: Pasir Cipanjalu (Tjipansaloe) dan Pasir Pamoyanan (Pamojannang). Keduanya berada di sekitar Ujung Berung, tepatnya di lereng antara Gunung Manglayang dan Gunung Palasari.

Di Cipanjalu Junghuhn melaporkan penemuan 2 patung Siwa dan sebuah patung Nandi. Kedua patung tidak berkepala. Sementara itu di Pamoyanan, Junghuhn melaporkan penemuan yoni (altar berbentuk kubus dengan ornamen indah di sisinya, digunakan untuk menampung air hujan), dua patung Siwa yang tidak begitu lapuk sehingga masih bisa diidentifikasi, sebuah patung Durga atau Parawati (menurut Junghuhn patung ini dia temukan juga di Candi Prambanan dan disebut sebagai Loro Jonggrang).

Patung-patung itu dibuat dari batu andesit yang dipahat. Berdasarkan tingkat pelapukannya, Junghuhn menduga bahwa pastilah patung ini lebih tua daripada patung-patung yang ada di Dieng, yang kita tahu (patung-patung di Dieng) juga lebih tua dari patung di Prambanan. Menurut Junghuhn, sudah tidak ada jalan setapak menuju tempat patung itu berada. Bahkan tempat itu sudah jadi sarang harimau. Di tempat itu Junghuhn membayangkan sebagaimana patung-patung itu melapuk dihantam cuaca, bahwa peradaban yang gilang-gemilang pun pada saatnya akan sirna, musnah ditelan oleh alam.

Beberapa arca dan ornamen Hindu yang ditemukan di sekitar Cikakak. (Foto oleh Isidore von Kinsbergen, Sumber: KITLV)
Beberapa arca dan ornamen Hindu yang ditemukan di sekitar Cikakak. (Foto oleh Isidore von Kinsbergen, Sumber: KITLV)

Laporan Jan Frederik Brumund (1868)

Laporan yang ketiga bisa didapat dari laporan Jan Frederik Gerrit Brumund, yang berjudul: Kontribusi Pengetahuan Agama Hindu di Jawa Bijdragen tot de kennis van het Hindoeisme op Java. Laporan ini terbit pada tahun 1868. Brumund sebenarnya adalah seorang Pastor Gereja Evangelis di Batavia, namun karena ia telah lama melakukan penelitian mandiri terhadap artefak, pada 1862, pemerintah kolonial menugaskan Brumund untuk mengecek semua laporan arkeologi yang tersedia dan melakukan kunjungan kepada situs-situs tersebut, salah satunya ke Bandung.

Pertama yang dilakukan Brumund adalah mengunjungi situs-situs yang dilaporkan Van Oort dan Mueller serta Junghuhn. Sayang sekali ketika Brumund datang ke Cipanjalu dan Pamojanan, semua artefak telah dipindahkan. Dia menemukan beberapa patung berserak di jalan menuju Pesanggrahan Nagarawangi, namun keadaannya cukup menyedihkan, karena patung itu akan dipindahkan lagi entah kemana. Hanya ada tiga patung yang tersisa, yatu patung Ganesha, Nandi, dan patung Buddha. Semua patung dalam keadaan kepala yang terpenggal. Pesanggarahan Negara Wangi terletak sekitar 5 km ke arah utara dari Alun-Alun Ujung Berung.

Akhirnya di Pesanggrahan Negara Wangi, Brumund menemukan patung-patung lainnya. Yang pertama adalah patung Durga, yang kedua adalah patung Ganesha. Patung Durga ini menurut Brumund termasuk dipahat cukup baik, meskipun masih jauh jika dibandingkan Durga dari bagian Jawa lainnya. Meski demikian, patung ini termasuk patung dengan pahatan terbaik yang ditemukan di Bandung.

Brumund juga mendeskripsikan tiga patung yang disimpan di rumah Residen Priangan di Cianjur, yang konon berasal dari daerah Bandung. Tiga patung ini atara lain: Durga, Ganesha, satu lagi adalah patung yang memegang gada, Secara total Brumund menemukan tiga patung Ganesha, dua patung Durga, patung yang memegang gada, patung bertangan empat dengan posisi duduk Buddha. Tidak ada patung Siwa.

Dalam perjalanannya, Brumund juga melaporkan penemuan arca di Kampung Tjikaka yang terletak 1 km ke arah barat dari Kampung Tjipaganti, kampung utama di Distrik Ujung Berung Kulon. Di sini ditemukan patung Ganesha, patung yang memegang gada, patung seorang wanita, dan Yoni.  Satu lokasi lain yang dilaporkna oleh Brumund adalah temuan Ganesha dan Lingga di kaki Gunung Tampomas.

Gambar-gambar dari semua artefak telah diabadikan oleh fotografer, Isidore van Kinsbergen, yang merekam begitu banyak artefak di seluruh Jawa pada tahun 1862. Koleksi-koleksi ini telah di digitalisasi dan bisa diakses oleh publik melalui berbagai macam website di internet, misal di situs geheugen.delpher.nl, collectie.wereldmuseum.nl, atau digitalcollections.universiteitleiden.nl.

Cuplikan Peta Temuan Tinggalan Purbakala di Jawa, Rogier Verbeek (1891). (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Cuplikan Peta Temuan Tinggalan Purbakala di Jawa, Rogier Verbeek (1891). (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

Laporan Rogier Verbeek (1896)

Laporan keempat yang bisa kita baca adalah laporan dari seorang geolog, Rogier Verbeek. Verbeek yang ketika itu ditugaskan untuk membuat Peta Geologi Pulau Jawa, sekaligus juga melakukan pendataan peninggalan purbakala, yang kemudian ia rangkum dalam bukunya Peninggalan Jawa: daftar peninggalan terpenting dari zaman Hindu di Jawa dengan peta arkeologi Oudheden van Java: lijst der voornaamste overblijfselen uit den hindoetijd op Java met eene oudheidkundige kaart. Dalam laporan ini, Verbeek merangkum begitu banyak data peninggalan arkeologi sekaligus mengeplot temuannya dalam satu peta yang cukup presisi.

Ada beberapa lokasi baru yang belum disebutkan sebelumnya dan kini muncul dalam laporan Verbeek, yaitu antara lain: temuan 16 patung perunggu di Leuwigajah; 16 patung di perkebunan kina di hulu Cikapundung; temuan patung di Cibodas Distrik Cicalengka; temuan patung di Desa Tenjolaya, Distrik Cicalengka; serta patung-patung tipe Pajajaran, 40 kuburan dengan nisan batu, tulang, pecahan gerabah, dan kapak batu, yang ditemukan di salah satu puncak Gunung Wayang. Secara total Verbeek melaporkan 19 lokasi temuan di sekitar Bandung, termasuk dari laporan-laporan terdahulu.

Pemutakhiran terhadap data dari Rogier Verbeek dilakukan oleh N.J. Krom, yang laporannya terbit pada tahun 1914. Penulis tidak mempunyai akses terhadap dokumen ini sehingga tidak mendapat informasi terkait artefak lain yang ditemukan di Bandung.

Temuan Artefak Obsidian dari Dago. Gambar dari Von Koenigswald (1936). (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Temuan Artefak Obsidian dari Dago. Gambar dari Von Koenigswald (1936). (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

Laporan Koenigswald dan Van Bemmelen (1934-1936)

Pada tahun 1936, seorang paleontologist G.H.R. von Koenigswald berkebangsaan Jerman, yang bekerja untuk Badan Geologi Hindia Belanda di Bandung, mempublikasikan tulisannya yang berjudul Zaman Neolitikum di Bandung dan Sekitarnya Das Neolithikum der Bandung und Umgebung. Jadi dalam makalah ini Koenigswald melaporkan temuan-temuan artefak obsidian di Bandung di begitu banyak tempat, antara lain: di sekitar Bosscha, Cikidang, Pagermanuk, Pakar, Dago, Negla, Lebaksiu, Cilimus, Ciharalang, Bojongkoneng. Di tempat-tempat ini fragmen obsidian bisa ditemui dengan mudah, karena warna hitam berkilaunya yang memantulkan cahaya matahari. Situs paling bagus berada di Dago Timur, oleh Koenigswald situs ini diberi nama Dago II dan Dago III. Di sini ia menemukan hingga 10.000 pecahan obsidian. Di sekitar Bandung, sumber batuan obsidian berasal dari sekitar Nagreg dan sekitar Gunung Kiamis.

Kemudian di sebelah timur dan selatan Bandung, kita juga bisa temukan alat obsidian di Paseh, di Pacet, kemudian dia Pameumpeuk, Soreng, Ciparay, dan seterusnya. Ketika lokasi titik-titik ini diplot pada peta topografi, bukan kebetulan bahwa salah satu kesamaan semua titik ini adalah semua berada pada elevasi lebih tinggi dari 725 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Dua tahun sebelum publikasi ini, kolega Koenigswald di Badan Geologi, Reinout van Bemmelen telah mempublikasikan Peta Geologi Lembar Bandung (1934), di mana ia menyintesis urut-urutan kejadian terbentuknya Bandung. Bemmelen mengamini pendapat Reinder Fennema (1896) dan Taverne (1926) yang menyebut bahwa telah terjadi pembendungan pada Ci Tarum lama, sehingga terjadi pembendungan Ci Tarum yang membentuk Danau Bandung. Bemmelen, yang familiar dengan Legenda Sangkuriang, yang menyebut bahwa Sangkuriang membendung Ci Tarum dalam satu malam, kemudian menduga bahwa manusia Sunda menyaksikan letusan Tangkuban Perahu yang membendung Ci Tarum, dan menganalogikan kejadian tersebut dalam dongeng Sangkuriang.

Kembali lagi ke Koenigswald, yang juga tentu membaca hasil penelitian Bemmelen (karena mereka bekerja di satu kantor yang sama, Badan Geologi). Dia berinterpretasi bahwa karena artefak-artefak obsidian hanya ditemukan pada elevasi yang lebih tinggi dari 725 mdpl, maka sangat mungkin bahwa manusia purba hidup menyaksikan Danau Bandung. Elevasi ini sebenarnya merupakan elevasi maksimal Danau Bandung, jika seluruh Bandung tergenang oleh danau, karena pada elevasi 723 mdpl air danau akan luber di sekitar Padalarang.

Yang menarik menurut Koenigswald adalah di Cekungan Bandung sebelah barat (Cililin, Rongga, Saguling), tidak ditemukan artefak-artefak dari obsidian, melainkan dari kalsedon. Di sini imajinasi Koenigswald mulai bermain. Sumber obsidian di Kendan berada di sekitar garis pantai Danau Bandung Purba, sangat mungkin bahwa material ini berpindah karena dibawa oleh orang Bandung Purba yang berperahu melewati danau raksasa ini. Kenapa tidak ditemukan di Cililin? Karena antara Cekungan Bandung bagian timur dan bagian barat terpisahkan oleh jeram yang tidak bisa diarungi perahu, yaitu Curug Jompong.

Koenigswald juga melaporkan temuan dinding-dinding yang melingkar di sekitar perkebunan Arjasari di Bandung Selatan, yang mungkin dulunya merupakan tempat tinggal manusia purba. Tak jauh dari Arjasari, juga Koenigswald melaporkan temuan patung-patung tipe polinesia dan makam yang berada di sekitar Gunung Wayang, kemungkinan lokasi yang sama dengan yang dilaporkan oleh Verbeek.

Kita akan lanjutkan bahasan mengenai temuan-temuan arkeologi pasca kemerdekaan pada tulisan selanjutnya.

Penutup

Ada sebuah cerita menarik yang dikisahkan oleh J. F. G. Brumund (1868) dalam perjalanannya. Ketika sedang berkuda ke arah selatan menuju Ci Tarum menuju situs yang terletak di tepi Ci Sangkuy. Brumund dibekali laporan yang berisi gambar-gambar artefak yang pernah dilaporkan sebelumnya. Ketika seorang pejabat lokal yang ditugaskan untuk menemani Brumund melihat gambar itu, dia terkejut, karena dia tidak mengerti bagaimana bisa ada gambar tersebut, sementara ia meyakini bahwa tidak ada orang Eropa lain yang pernah melihat situs itu.

Brumund memberitahunya bahwa dia mendapatkan gambar itu dari Raja Belanda. Raja mengetahui segalanya tentang Jawa, bahkan tentang arca-arcanya, meskipun Raja belum pernah ke Jawa. Mereka (pejabat lokal) kemudian menjadi terkagum-kagum pada Raja Belanda, bahkan seperti percaya bahwa Raja Belanda punya kesaktian yang hebat sehingga dia tahu segalanya dan mengenal semua orang.

Cerita ini begitu menggelitik saya, karena membayangkan seorang Raja Belanda punya rasa penasaran terhadap peninggalan-peninggalan yang ada di koloninya. Sementara itu pemimpin-pemimpin kita, entah seberapa tertarik mereka pada sejarah bangsa Indonesia. Kita bisa melihat ini dari seberapa besar investasi yang diberikan pada penelitian-penelitian arkeologi dan sejarah. Topik yang begitu penting, tapi sering kali dipandang sebelah mata.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem, atau artikel-artikel lain tentang Situs Geologi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//