PENELITIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI BANDUNG RAYA #2: Pascakemerdekaan
Temuan arkeologi di Saguling, Manusia Pawon, serta Candi Bojong Menje dan Bojong Mas merupakan temuan peninggalan purbakala di Bandung Raya di era kemerdekaan.
Malik Ar Rahiem
Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung
27 April 2024
BandungBergerak.id – Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan tentang Peninggalan Purbakala di Bandung Raya sebelum era kemerdekaan yang dimuat di Bandung Bergerak pada tanggal 20 April 2024. Tulisan ini membahas mengenai penelitian purbakala di Bandung Raya sejak pasca kemerdekaan hingga zaman sekarang.
Mengingat keterbatasan referensi penulis, tentu ada banyak artikel ilmiah yang tidak penulis ketahui, atau terlewatkan. Namun diharapkan semoga tulisan ini dapat menggambarkan bagaimana penelitian purbakala telah begitu menggeliat di Bandung, sehingga begitu banyak hal baru yang kita ketahui, meskipun tetap lebih banyak misteri yang masih menanti dilaksanakannya penelitian-penelitian untuk membuka tabirnya.
Baca Juga: GEOWISATA BANDUNG RAYA: Curug Lanang dan Curug Kapek yang Hilang di Ci Tarum
GEOWISATA BANDUNG RAYA: Rekaman Sejarah Kehidupan di Bawah Genangan Saguling
PENELITIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI BANDUNG RAYA #1: Zaman Kolonial
Pasca Perang Kemerdekaan
Pada masa Perang Dunia ke-2 praktis hampir semua kegiatan penelitian di Bandung pun terhenti, termasuk juga penelitian peninggalan purbakala. Penelitian baru mulai dilakukan lagi pada dekade 1950, dengan ditugaskannya dua orang arkeolog berkebangsaan Swiss: Hans Georg Bandi dan W. Rothpletz.
Rothpletz dalam penelitiannya yang berjudul Alte siedlungsplatze beim Bandung (Java) und die Entdeckung, yang dimuat dalam jurnal Sudsee Studien tahun 1952, melaporkan tentang penelitian arkeologinya di Bandung, terutama di sekitar Dago Pakar. Dia menyatakan bahwa daerah Pakar merupakan bengkel senjata pada zaman Purba, mulai dari zaman Batu (Neolitikum) sampai zaman Perunggu (Kebudayaan Dong Son).
Kenapa ia berpendapat demikian? Karena di tempat ini, selain alat-alat dari obsidian, Rothpletz juga melaporkan temuan cetakan-cetakan alat penuang logam, sehingga ia berpendapat bahwa daerah Dago telah ditempati manusia Bandung pada periode kebudayaan yang cukup panjang.
Menurut Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), yang mengutip arkeolog R. P. Soejono (1967), Manusia Bandung diduga tinggal pada zaman Neolitik, sekitar 2500 SM, dan diduga hidup dalam perkampungan dengan rumah yang bercorak “gubuk bertiang“. Sistem sosial yang dianut adalah hidup bersama dalam satu perkampungan, di mana terdapat bengkel-bengkel penuangan barang perunggu dan pandai besi, di samping mereka masih mempertahankan tradisi pembuatan alat-alat sederhana dari batu obsidian.
Salah satu perkampungan purba yang diketahui adalah di dekat Kampung Kordon di sebelah utara Lapangan Golf Dago. Wilayah tersebut dikenal sebagai daerah Pakar, dan pada Peta Bandung tahun 1920 disebut sebagai titik kadaster KQ380. Nama Pakar dalam bahasa Sunda diambil dari kata “pakarang”, yang berarti senjata, karena di wilayah tersebut banyak ditemukan senjata, seperti ujung panah, tombak, belati, dan kapak, yang terbuat dari batu obsidian.
“Perkampungan purba lainnya terdapat di Pasir Kiara Jenggot, Pasir Panyandaan di utara Terminal Cicaheum, dan kemungkinan di sekitar Jalan Setiabudi,“ sebut Haryoto Kunto, yang mengutip pendapat R. P. Koesoemadinata dalam artikel Sekilas Sejarah Dataran Tinggi Bandung (1979). Dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya juga, Haryoto Kunto menampilkan sketsa Situs Pasir Panyandaan, yang merupakan suatu tempat pemujaan megalitik. Situsnya sekarang berada di suatu kompleks pesantren Baitul Hidayah. Syukurlah pengurus pesantren sudah memiliki kesadaran tentang makna sejarah situs tersebut bagi Cekungan Bandung dan telah menyampaikan komitmennya untuk menjaga dan melestarikan situs tersebut.
Sebuah sketsa bentang alam yang sangat penting yang entah digambar oleh Rothpletz, Bandi, atau Koenigswald (karena keterangan dalam sketsanya berbahasa Jerman) menunjukkan bahwa wilayah tinggian di sekitar Pasir Kiara Janggot, di utara Ujung Berung sudah merupakan wilayah yang terbuka dan dimanfaatkan sebagai kebun masyarakat sejak lama. Pada gambar ini pembuat sketsa ingin menunjukkan bahwa masyarakat melakukan modifikasi bentang alam dengan menggali cekungan-cekungan (graben) yang memotong lereng, yang menurutnya sama sekali tidak alamiah. Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan di kawasan ini telah terjadi begitu lama.
Mungkin selama ini kita keliru menduga bahwa Kawasan Bandung Utara itu dulunya ijo royo dan serupa belantara, serta merupakan penopang Dataran Bandung di hilirnya, padahal ternyata tidak. Kawasan itu sudah jadi kawasan budidaya sejak lama! Sementara Dataran Bandung baru berkembang belakangan, dengan mengurug sawah-sawah dan rawa-rawa untuk kemudian dikembangkan menjadi pemukiman dan perkotaan.
Temuan Arkeologi di Saguling
Dari Bandung Utara kita bergeser jauh ke Barat, tepatnya ke wilayah Saguling. Pada tahun 1978, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), yang pada waktu itu masuk ke dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mempublikasikan laporan survei yang berjudul Survei di Daerah Cililin Bandung. Tim penyusun laporan ini antara lain: Nies Anggraeni, Haris Sukendar, dan Kosasih S. A., sementara itu yang melakukan survei sebanyak 11 orang.
Meskipun laporannya berjudul Cililin, ternyata Anggraeni dkk. mendapat informasi yang keliru karena situs yang dimaksud ternyata berlokasi di sekitar proyek pembangunan Bendungan Saguling, sekitar 20 kilometer arah utara dari Cililin. Penemuan situs ini dilaporkan oleh petugas Proyek Bandungan Saguling berkebangsaan Jepang yang mengatakan bahwa di daerah ini ditemukan banyak pecahan batuan yang diduga merupakan tinggalan arkeologi. Sungguh mengagumkan kepedulian pekerja proyek terhadap tinggalan sejarah, sehingga tidak membiarkan dan menerabas membangun begitu saja.
Pada survei ini, Anggraeni dkk. melaporkan temuan di 7 situs, antara lain: Pasir Kadut, Pasir Asep Roke, Pasir Suramanggala, Pasir Kawung, Pasir Monggor, Pasir Suje, dan Pasir Tampian. Ada begitu banyak temuan yang dilaporkan dalam survei ini, antara lain: pecahan kuarsa, batu api, tulang yang sudah memfosil, alat serpih berbentuk serut, pecahan batu obsidian, beliung persegi, pecahan-pecahan keramik, beliung persegi yang masih dalam keadaan insitu. Beberapa artefak didapatkan tim dari masyarakat lokal. Kepada para peneliti, masyarakat mengatakan bahwa beberapa batu memiliki kesaktian karena merupakan ajimat yang dapat menyembuhkan anak-anaknya ketika sewaktu-waktu sakit, sehingga mereka enggan memberikan batu tersebut kepada para peneliti.
Kita bisa menduga bahwa manusia yang hidup di sini, mungkin hidup pada masa yang sama dengan manusia yang hidup di Dago.
Penemuan Manusia Pawon
Salah satu penemuan arkeologi paling penting yang terjadi pasca kemerdekaan terjadi pada permulaan milenium ketiga, yaitu pada awal tahun 2000. Sekelompok peneliti independen dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, yang sedang melakukan eksplorasi geologi di sekitar Gua Pawon melaporkan anomali-anomali geofisika dan juga beberapa artefak-artefak pada tanah di suatu ruang di Gua Pawon.
Temuan ini dilaporkan kepada Balai Arkeologi yang menindaklanjutinya dengan melakukan ekskavasi. Hasilnya adalah temuan pertama manusia purba di Bandung Raya, yang disebut Manusia Pawon. Dalam rentang waktu 2004-2017, Tim Ekskavasi Gua Pawon telah menemukan tujuh individu prasejarah yang berada dari berbagai lapisan dalam beberapa rentang umur.
Penulis mengutip liputan dari BBC Indonesia pada 4 Juni 2018, berjudul “Tim arkeologi temukan mata rantai manusia purba di gua Jawa Barat” yang merangkum mengenai temuan-temuan manusia di Gua Pawon.
Ketujuh individu itu diwakili tiga temuan bagian rangka, yakni Rangka I, Rangka II berupa bagian tulang tengkorak sebelah belakang, dan Rangka V berupa bagian rahang atas dan bawah. Ketiga individu ini ditemukan di lapisan budaya berumur sekitar 5.600 tahun yang lalu.
Sementara empat individu lain ditemukan di kedalaman yang berbeda dalam posisi terlipat atau flexed burial.
Rangka III dengan kronologi budaya 7.300 tahun yang lalu, ditemukan dalam kondisi yang paling utuh. Sekitar 20 sentimeter di bawahnya, terkubur Rangka IV yang berusia 9.500 tahun yang lalu.
Semakin dalam menggali, tim menemukan rangka manusia yang umurnya semakin tua. Di kedalaman 235 sentimeter, Rangka VI yang berumur 10 ribu tahun yang lalu, ditemukan. Sedangkan Rangka VII yang berusia 11 ribu tahun lampau, terkubur di kedalaman 245 sentimeter.
Situs Gua Pawon menjadi sumber informasi untuk menguak bagaimana manusia Bandung zaman baheula hidup. Cara menguaknya adalah dengan menggali fakta-fakta yang ada dengan menggunakan alat-alat ilmu pengetahuan yang kita miliki, dari segala macam bidang ilmu yang bisa terlibat. Lutfi Yondri, arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung (sekarang bagian dari BRIN), secara giat mengupayakan kerja sama interdisipliner untuk menguak misteri Manusia Pawon dengan kacamata sains. Segala bidang ilmu yang bisa berkontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di Gua Pawon diajak ikut serta.
Hasilnya, siapa yang menyangka bahwa ilmu kedokteran gigi bisa membantu menganalisis kehidupan masa lampau? Misal penelitian Elizabeth dkk. yang berjudul Estimasi Usia Manusia Pawon Melalui Identifikasi Gigi dengan Metode Johanson pada Radiograf CBCT 3D, yang dimuat pada Jurnal Amerta volume 36 nomor 1 tahun 2018. Pada penelitian ini diketahui bahwa manusia dari Rangka 1 berumur antara 32-33 tahun, Rangka 3 berumur antara 33-36 tahun. Membaca hasil ini mereka yang punya rasa penasaran yang tinggi tentu menjadi bertanya-tanya, kenapa mereka mati pada usia yang begitu muda? Atau mungkin memang orang pada masa itu hanya punya harapan hidup hingga 33-36 tahun saja?
Penelitian gigi lainnya dilakukan oleh Amalina Ahmad dkk. dalam makalah berjudul Deskripsi Karies Gigi dan Pengaruh Makanan pada Kerusakan Gigi pada Kerangka Manusia Pawon, yang dimuat di Jurnal Purbawidya Vol. 6 tahun 2017, menunjukkan bahwa dari pemeriksaan klinis gigi manusia Pawon, hanya 12.5% dari sampel 32 gigi tengkorak Manusia Pawon mengalami karies gigi. Kesimpulan yang mereka ambil dari penelitian ini adalah sedikitnya karies pada gigi Manusia Pawon karena diet mereka yang rendah gula, yaitu dari buah-buahan dan tanaman kaya gula. Konsumsi makanan keras dengan bukti keberadaan gigi binatang dan moluska telah memberikan kontribusi terhadap persentase atrisi gigi yang lebih tinggi dibandingkan karies gigi.
Manusia Pawon memiliki rahang yang besar, tebal, dan padat karena manusia Pawon sering memakan makanan yang keras dan bertekstur kasar, karena pengolahan makanan mereka yang masih sangat sederhana. Menurut Lutfi Yondri dalam tesisnya yang berjudul Kubur Prasejarah Temuan dari Gua Pawon (2005), ini karena makanan yang paling sering dikonsumsi oleh Manusia Pawon kemungkinan besar berasal dari kelompok kerang-kerangan air tawar, mamalia, reptilia, dan burung-burungan. Hal ini juga sebagaimana hasil dari analisis rekonstruksi prasejarah situs Gua Pawon berdasarkan kajian identifikasi gigi hewan-hewan yang dipublikasikan oleh Adinda Tasya Namira dkk. di Jurnal Kalpataru Vol.31 no 2 tahun 2022.
Peneliti Balai Arkeologi pun pada ekskavasi antara tahun 2003-2013 belum menemukan keberadaan wadah atau sesuatu gejala wadah yang mudah hancur, yang bisa digunakan untuk menyimpan makanan, mencirikan bahwa Manusia Pawon terbiasa langsung mengonsumsi makanan hasil buruannya.
Penemuan Candi Bojong Menje dan Bojong Mas
Sejak lama orang Bandung bertanya-tanya, kenapa di Bandung tidak ada candi-candi seperti di Jawa Tengah atau di Jawa Timur? Keraguan ini terbantahkan ketika pada Agustus 2002 secara tidak sengaja seorang warga di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, menggali lahan dan menemukan struktur batu, yang kemudian di ekskavasi oleh Balai Arkeologi pada bulan September 2002, dan ditemukan candi yang terbuat dari batuan vulkanik.
Menurut Nanang Saptono dalam makalah Penelitian Puncak-Puncak Peradaban Di Pantai Utara Jawa Barat dan Proses Perjalanan Masyarakat Hindu, yang dimuat dalam Jurnal Kalpataru volume 21 tahun 2012, dari pemugaran Candi Bojongmenje ditemukan batu bagian tubuh candi, fragmen arca nandi, dan kemuncak. Ia menyimpulkan bahwa Candi Bojongmenje merupakan bangunan yang lengkap mulai dari kaki, tubuh, dan puncak, serta dengan ditemukannya fragmen arca nandi, maka candi ini menunjukkan sifat Hinduistis.
Analisis penanggalan C14 pada tanah yang mengandung karbon, menghasilkan penanggalan Candi Bojongmenje pada 1300 tahun yang lalu, atau 650 Masehi.
Kemudian di Kampung Sukapada, Kelurahan Bojongmas, Kecamatan Solokan Jaya juga terdapat runtuhan bangunan candi. Lokasi ini berada di tepi barat Ci Tarum lama, sekitar 500 meter sebelah hulu pertemuan antara Ci Tarik dan Ci Tarum. Batuan-batuan candi ini tersingkap karena proyek normalisasi Ci Tarum. Menurut Endang Widyastuti dalam makalahnya yang berjudul Bukti-bukti Masa Klasik (Hindu-Buddha) di Sekitar Cekungan Bandung (2006), bagian candi yang masih tersisa adalah pipi tangga, ambang pintu, dan balok-balok batu. Mengenai bentuk dan ukurannya sudah tidak bisa dilacak lagi.
Jadi, ya, peradaban Hindu juga berkembang di Bandung, sebagaimana penemuan arca-arca dan artefak-artefak Hindu yang dilaporkan sebelum era kemerdekaan. Nenek moyang kita melewati begitu banyak zaman dan periode kehidupan hingga masa kita sekarang.
Geliat Penelitian Arkeologi
Jika kita menerawang kembali ke masa lampau ketika Mueler dan Van Oort pertama kali melaporkan temuan artefak di Bandung pada tahun 1833, sudah hampir dua ratus tahun sejak waktu itu. Masih begitu banyak tanda tanya besar tentang leluhur orang Bandung, tapi banyak juga hal-hal baru yang kita ketahui.
Selama puluhan tahun para arkeolog dan sejarawan dari Balai Arkeologi, yang meskipun namanya terus berganti-ganti, termasuk juga Kementerian yang menaunginya, terus melakukan penelitian dan upaya untuk menjawab tabir misteri dari masa lampau. Tujuannya semata-mata untuk memahami masa lalu, menghindarkan kita dari pemikiran takhayul, serta mengajarkan untuk memahami sejarah dari kacamata sains.
Begitu banyak “katanya” dalam sejarah bangsa kita. Bahkan kita masih mempercayai pseudosains, yang tentu tidak akan bisa dibuktikan melalui metode sains yang rigid. Keyakinan terhadap sains semu ini kemudian membuat kepercayaan terhadap otoritas akademik menjadi berkurang, akhirnya kita menjadi mudah dibodohi dan dimain-mainkan.
Arkeolog dan Sejarawan dari Bandung sangatlah berkompeten untuk mengurai misteri-misteri sejarah Bandung yang masih begitu banyak tidak kita ketahui ini, meskipun dengan segala keterbatasan, tapi perlahan namun pasti satu per satu benang kusut diurai dan kepingan-kepingan puzzle digabungkan. Tidak ada penelitian yang instan, semua perlu proses. Apalagi dengan biaya yang terbatas.
Penulis sangat mengagumi karya arkeolog-arkeolog kontemporer, yang meskipun tren menulis dalam bahasa Inggris begitu kuat terjadi belakangan ini, tapi para arkeolog ini tetap menulis makalahnya dalam bahasa Indonesia. Apa artinya menguak misteri bangsa sendiri untuk disajikan kepada pembaca asing, sementara bangsa sendiri tak mudah membaca hasil penelitian yang didanai pajak ini?
Jutaan warga Cekungan Bandung menanti misteri-misteri lain untuk dipecahkan.
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem, atau artikel-artikel lain tentang Situs Geologi