• Kampus
  • Mahasiswa Inaba Diskors Setelah Demonstrasi Minta Keringanan UKT

Mahasiswa Inaba Diskors Setelah Demonstrasi Minta Keringanan UKT

Mahasiswa terdampak pandemi Covid-19 melakukan demonstrasi meminta keringatan UKT dan menuntut keterbukaan anggaran. Aksi ini berbuntut skorsing.

Mahasiswa Inaba melakukan demonstrasi di kantor LLDIKTI Wilayah IV Kota Bandung, Senin (5/4/2021). Mereka meminta pihak Dikti itu agar bertindak tegas atas sikap kampus yang dianggap sewenang-wenang. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau6 April 2021


BandungBergerak.id - Tiga bulan sudah, 20 mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Membangun (STIE Inaba), Kota Bandung tidak bisa kuliah. Mereka dijatuhi sangsi skorsing selama dua semester oleh kampusnya. Hukuman ini buntut dari aksi yang menuntut pihak kampus menurunkan UKT selama pandemi Covid-19 dan meminta transparansi anggaran Desember 2020 lalu.

Alih-alih menerima jawaban dan mengajak mahasiswa beraudiensi, kampus langsung menjatuhi hukuman sangsi skorsing secara sepihak. Segala upaya audiensi yang dimintai oleh mahasiwa tidak ditanggapi dengan baik oleh pihak kampus.

Atas dasar itulah, sejumlah mahasiswa tersebut menggelar aksi di depan kantor Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah IV Kota Bandung, pada Senin (5/4/2021). Mereka meminta LLDIKTI bertindak tegas atas sikap kampus yang dianggap sewenang-wenang.

Pantauan BandungBergerak di lapangan, setelah beberapa menit menggelar aksi di depan kantor, akhirnya pihak LLDIKTI mau menemui mahasiswa. Para mahasiswa ditemui beberapa staf, salah satunya Subkoordinator Akademik, Agus Supriyatna.

Audiensinya dilakukan di peletaran halaman LLDIKTI. Mahasiswa meminta LLDIKTI agar bertindak terhadap tindakan  sewenang-wenang kampus INABA yang memberikan sangsi skrosing. “Kami kebingungan (karena diskorsing), orang tua kami terpukul, kami kembali menagih janji dari LLDIKTI untuk bertindak, agar menekan kampus Inaba agar bisa mencabut skorsingnya,” ungkap Bemo, salah satu peserta aksi, sekaligus mahasiswa yang dikenai skorsing.

Setelah bernegosiasi, akhirnya dihasilkan sejumlah keputusan. Pertama, LLDIKTI Wilayah IV siap menyelenggarakan mediasi antar pihak kampus INABA dan mahasiswa paling lambat Rabu (7/4/2021). Kedua, Dikti dapat memastikan permasalahan 20 mahasiwa yang diskorsing dapat selesai pada Kamis (8/4/2021).

Ketiga, jika pada Rabu masalah tidak menemukan titik terang, maka Dikti siap melayangkan surat ke Kemendikbud untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini.

Ditemui usai audiensi, Agus Supriyatna mengungkapkan pihaknya berupaya semaksimal mungkin menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dibuktikan dengan kedatangan Kepala LLDIKTI Wilayah IV pada 5 Maret 2021 ke kampus untuk meminta pencabutan skorsing. Pada implementasinya perintah tersebut tidak diindahkan oleh pihak INABA.

Agus mengaku tidak mengetahui informasi lebih lanjut usia pihaknya mengunjungi kampus INABA. Karena sejak beberapa minggu terjadi kekosongan kepemimpinan di lingkup LLDIKTI. Ketua LLDIKTI yang dijabat oleh Profesor Uman Suherman dinyatakan telah demisioner beberapa waktu lalu.

Meski begitu, pihaknya berkomitmen menyelesaikan permasalahan yang menimpa 20 orang mahasiswa INABA. LLDIKTI wilayah IV akan berupaya mencarikan titik temu. “Memang ini amanah yang cukup berat, kami akan berupaya menyelesaikan kasus ini,” kata Agus.

Beda Versi Mahasiswa dan Kampus

Kronologi skorsing mahasiswa INABA yang disampaikan mahasiswa berbeda versi dengan kronologi dari pihak kampus. Menurut aporan yang masuk ke LLDIKTI Wilayah IV, pihak kampus mengklaim sejumlah mahasiswa yang melakukan aksi ketika itu melakukan tindakan pelanggaran kode etik. Para mahasiswa dituduh telah melakukan penyekapan terhadap sejumlah pimpinan kampus. Sehingga penjatuhan skorsing dinilai sebagai langkah akhir yang diambil.

“Berdasar laporan yang masuk, memang masalahnya pelanggaran kode etik, adanya penyekapan (kepada beberapa pimpinan kampus). Dugaan kami itu sudah pelanggaran serius. Makanya sangsi kode etik dua semester,” kata Agus.

Agus juga menyinggung bahwa, pihak kampus mengklaim 15 orang mahasiswa yang diskorsing telah mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada pihak kampus. Hanya 5 orang mahasiswa yang masih bertahan tidak menerima hukuman skorsing.

Mengenai tudingan penyekapan ini, salah seorang mahasiswa yang juga terkena sangsi skorsing, Muhamad Ari, mengatakan hal berbeda. Pihaknya mempertanyakan kampus yang tidak menjelaskan secara rinsi dalam surat skorsing terkait alasan dikenai sangsi skorsing.

Ari menjelaskan, ketika aksi pada Desember 2020 lalu, mahasiswa menggelar aksi sesuai dengan prosedur aksi. Di dalam ruangan sesuai ketentuan diperbolehkan aksi sampai pukul 22.00 WIB, sementara aksi di luar ruangan sampai 18.00 WIB. Ketika itu, karena kondisi cuaca hujan deras mahasiswa hanya menggelar aksi hingga puku 19.30 WIB.

Pihak kampus sama sekali tidak mau menemui mahasiswa sepanjang aksi digelar. Hingga pada pukul 02.00 dini hari, Ketua INABA keluar dari kampus. Setelah sebelumnya puku 19.00 salah satu staf kampus juga meninggalkan area kampus tanpa dihalang-halangi oleh mahasiswa.

“Jika penyekapan menjadi sangsi, Inaba tidak berani menemui mahasiswa. Pada SK skorsing juga tidak dijelaskan, terkait dengan penyekapan. Kenapa mereka tidak berani ngobrol dengan kami tentang pembuktian penyekapan mereka,” ungkapnya.

Sementara itu, terkait dengan klaim 15 mahasiswa yang telah mengakui kesalahan dan meminta maaf, pihaknya mengakui bahwa awalnya ke 15 mahasiswa tersebut berupaya mengikuti arahan kampus dengan iming-iming akan dicabut skorsingnya. Namun, hingga saat ini kampus tidak pernah memberi kejelasan.

“Iya, waktu itu berusaha mengikuti kampus, ingin diplomasi baik-baik tapi ternyata kampus tetap tidak mau cabut skorsing. Bahkan mediasipun tidak mau, kita sudah mengalah tapi tetap kampus tidak mau melakukan dialog. Kita sudah mengalah lebih dulu kampus tetap menginjak kita,” ungkap Bemo.

Hingga saat ini, 20 mahasiswa sepakat terus memperjuangkan hak mereka. BandungBergerak telah mencoba mengkonfirmasih permasalahan tersebut kepada Ketua STIE Inaba Yoyo Sudaryo, namun hingga berita ini ditulis, pesan dari reporter BandungBergerak hanya dibaca tanpa ada balasan.

Kronologi Skorsing

Skorsing terhadap 20 mahasiswa STIE Inaba selama dua semester berawal dari aksi mahasiswa yang meminta kejelasan UKT dan keringanan atau pemotongan UKT. Pihak kampus berdalih telah terjadi pelanggaran kode etik mahasiswa, yakni menggelar aksi demonstrasi pada 12 Desember 2020 lalu.

Dalam surat keputusan nomor 1/I/SK-STIE/2021 tentang Sangsi Terhadap Pelanggaran Kode Etik Mahasiswa di lingkungan STIE Inaba, pada putusan poin dua memutuskan memberikan sangsi akademik berupa skorsing selama dua semester terhitung semester ganjil 2020/2021 dan semester genap 2020/2021.

Hal tersebut berdasar pada beberapa pertimbangan yakni Surat Keputusan Ketua STIE Inaba No. 5/XII/SK-STIE/2020 tanggal 22 Desember 2020 Tentang Pelanggaran Kode Etik Mahasiswa. Kedua, berdasar pada Surat Rekomendasi Tim Komisi Etika Mahasiswa Nomor 01/TKEM-3/XII/2020 tanggal 21 Desember 2020 Tentang Pelanggaran Kode Etik Mahasiswa STIE Inaba.

Surat keputusan tersebut diberikan kepada mahasiswa namun sayangnya SK ini tidak memuat rincian pelanggaran etik yang dilakukan mahasiswa. Disebutkan bahwa Tim Etika Mahasiswa menyatakan alasan 20 orang mahasiswa tersebut diskorsing yakni  karena telah menggelar demonstrasi pada tanggal 12 Desember 2020 di lingkungan kampus.

Muhamad Ari, mahasiswa manajemen angkatan 2017 yang terkena sangsi mempertanyakan sikap kampus yang dinilai dilakukan secara sepihak dan terjadi tindakan sewenang-wenang. Pasalnya alasan pelanggaran kode etik yang disangsikan kepada mahasiswa hanya karena melakukan demostrasi menuntut adanya transparansi anggaran UKT.

“Kami menilai ini tindakan sewenan-wenang, secara sepihak, tanpa adanya surat peringatan terlebih dahulu, kampus membungkam aspirasi mahasiswa,” ungkapnya.

Menurut Ari, surat keputusan skorsing yang diberikan kepada mahasiswa juga dinilai mendadak, yakni dua hari sebelum pemanggilan mahasiswa dan orang tua oleh pihak kampus. Surat keputusan dan pemanggilan orang tua tertanggal 8 Januari 2021 itu baru diberikan kepada mahasiswa pada 11 dan 12 Januari 2021. Lalu kemudian pada 13 Januari mahasiswa dipanggil untuk bertemu dengan petinggi kampus.

Ari menjelaskan dalam proses pemanggilan tersebut, terjadi tindakan intimidasi yang dilakukan oleh pihak kampus kepada mahasiswa dan orang tua. Mereka diminta menandatangani surat perjanjian tidak akan melanggar kode etik dan tidak akan demontrasi.

Ari menjelaskan bahwa demonstrasi yang dilakukan kurang lebih 50 mahasiswa pada tanggal 12 Desember 2020 lalu itu yakni meminta kejelasan dan transparansi anggaran UKT dari pihak kampus yang tiap tahunnya naik. Mahasiswa merasa keberatan dengan naiknya UKT tanpa ada informasi anggaran.

Selain itu, sebelum digelar demonstrasi, mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa INABA juga telah melayangkan surat permohonan mediasi kepada kampus agar mau menemui mahasiswa untuk menjelaskan transparansi anggaran.

“Namun beberapa kali kali dilayangkan tidak pernah digubris, dan tidak pernah mau menemui mahasiswa untuk memberikan penjelasan. Akhirnya kami menggelar demostrasi pada tanggal 12 Desember dari pukul 13.00 hingga 22.00 WIB di kampus,” ungkapnya.

Massa aksi sempat ditemui oleh Ketua STIE Inaba Yoyo Sudaryo namun tidak ada kesepakatan kedua belah pihak. Kampus berdalih, transparansi anggaran tidak berhak diketahui dan bukan informasi umum.

“Namun yang mahasiswa terima yakni surat keputusan secara sepihak, yakni 20 orang diskorsing selama dua semester,” imbuhnya.

Anggaran Kampus adalah Informasi Publik 

Komisioner Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Barat, Dadan Saputra menjelaskan bahwa tindakan meminta informasi yang dilakukan oleh mahasiswa sah secara undang-undang. Berdasarkan Undang-Undang no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, bahwa informasi publik diwajibkan bagi lembaga publik.

Menurutnya lembaga publik adalah yang menyelenggarakan urusan negara, yakni seluruh penyelenggara negara, eksekutif, yudikatif dan legislatif. Selanjutnya, lembaga yang menggunakan anggaran sebagian atau seluruhnya dari APBN atau APBD.

Kemudian, yang ketiga yakni badan publik yang mengumpulkan pendanaan dari masyarakat. “Dengan demikian kampus itu sudah dipastikan dia badan publik mau negeri mau swasta. Karena dia juga pasti mengumpulkan dana dari masyarakat,” ungkapnya.

Kampus memiliki kewajiban kepada mahasiswa atau masyarakat perihal keterbukaan informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam hal ini mahasiswa. Informasi yang berkaitan denga publik itu merupakan informasi yang seharusnya diberikan serta merta.

Selain itu, ada informasi berkala yang juga bebas perlu diketahui publik. Seperti laporan pertanggung jawaban tahunan, rencana anggaran pendapatan dan belanja kampus (APDK). Informasi ketiga adalah, informasi yang disediakan setiap saat.

“Seperti yang tadi, mahasiswa biasanya itu terkait dengan informasi yang disediakan setiap saat,” ungkapnya.

Menurutnya, mahasiswa dapat meminta permohonan informasi dengan tata cara dan prosedur yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Memohon informasi kepada pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) kampus.

PPID punya waktu 10 hari untuk memberikan atau menjawab. Jika tidak dijawab, keberatan terhadap atasan PPID mungkin atasan PPID bisa jadi kabag humas yang melayani pelanan publik, atau pimpinan tertinggi kampus.

“Atau ke Rektor langsung kalau dia tidak menanggapi dalam 30 hari kerja, atau dia menanggapi kemudian mahasiswanya tidak puas terhadap tanggapan maka dia bisa melakukan sengketa informasi yang diregistrasi di Komisi Iformasi Jabar,” ungkapnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//