Kehidupan Biner Nol Sang Hikikomori di Tengah Megapolitan
Bahkan boleh jadi kita yang hidup di Bandung ini sejatinya adalah para hikikomori terselubung yang yang dipaksa menelan pahitnya kehidupan modern.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
8 September 2021
BandungBergerak.id -Petikan dokumenter dari stasiun televisi nasional Jepang NHK berikut mengangkat seutas fragmen kehidupan: Makioka Jiro, seorang supir taksi, mendapat kabar tentang saudara sedarahnya yang meninggal karena kelaparan. Sang kakak, Makioka Sinichi, adalah hikikomori – mereka yang terlempar dari derap keras kehidupan urban Tokyo yang dibangun di atas slogan efisiensi dan efektivitas. Jiro kemudian marah dan menggugat ulang semangat hidup Sinichi di atas makamnya. Ia seolah tidak rela memiliki saudara laki-laki seorang pecundang.
Namun semua itu berubah saat sang adik datang dan membersihkan bekas rumahnya di Yokosuka, Prefektur Kanagawa. Sinichi ternyata adalah bagian dari tipikal masalah “80-50” yang kini menghantui Jepang: orang-orang tua 80 tahunan harus tetap mengurus anak mereka yang berumur 50 tahun lebih. Saat mereka menutup hayatnya, sang anak segera menyusul – tewas karena malnutrisi. Survei dari berbagai lembaga kesejahteraan masyarakat lokal dalam ulasan tersebut mengindikasikan bahwa tahun 2020 sekitar 333 orang berisiko mati dalam kesendirian di tengah hiruk pikuknya metro dan megapolitan Jepang.
Seiring dengan emosinya yang mereda, Jiro pelan-pelan mulai membuka lembaran demi lembaran dari kehidupan sang kakak yang sudah mengurung diri di kamar selama lebih dari 30 tahun. Setelah timbunan plastik makanan yang menutupi lantai disisikan, perlahan muncul jejak-jejak catatan harian sang hikikomori. Dari telusurannya yang pahit dan berseling air mata, Jiro menemukan bahwa Sinichi bukan seorang pecundang. Ia sebenarnya telah berjuang sampai akhir.
Lima tahun terakhir perjuangan Makioka Sinichi hanya dilakoni di dalam sebuah rumah, tanpa listrik dan gas – dengan perut yang hanya diisi bantuan ala kadarnya dari dinas sosial Jepang. Ia ternyata ditolak di mana-mana saat berjuang menjadi pramuniaga, setelah bekerja tanpa henti di sebuah rumah sakit sebagai pegawai arsip dan mundur karena masalah kesehatan akut. Sinichi bahkan telah meminta bantuan seorang psikiater; namun malangnya, tekanan sosial memangkas setiap opsi bangkit yang ia miliki.
Di akhir renungannya, Jiro sang adik menyimpulkan bahwa Sinichi tidak mati sia-sia, sebaliknya, ia justru disia-siakan oleh konvensi normatif yang tertanam dalam kepala orang Jepang (Dying Out of Sight: Hikikomori in an Aging Japan – Dokumenter NHK, terakhir diakses 26 Agustus 2021).
Seorang pengamat budaya dan konsultan bisnis Jepang, Boyé Lafayette De Mente, mencatat tidak kurang dari sekitar 230-an lebih tuntutan norma-norma semacam ini yang menjejali sejarah dan beban hidup harian orang Jepang. Mereka dituntut, misalnya, dengan tabiat ippo machigao to – sekali salah melangkah, tebasan pedang menyalak. Hidup menjadi damoklik – seperti mitos raja Damokles yang bisa mengecap nikmatnya anggur di bawah sebilah pedang tajam tergantung di langit-langit yang hanya ditahan oleh sehelai bulu ekor kuda.
Ada juga paham jugen jigoku, yang memberi penekanan pada penderitaan “neraka” medan perang sebagai keseharian yang sejati. Dari siswa hingga mahasiswa mereka diikat lehernya oleh norma ini, hingga mereka pun tidak bisa lagi kreatif karena ribuan jam yang mereka habiskan di ruang-ruang les mata pelajaran. Ada pula kato kyoso, sebuah semboyan untuk bertarung atau mati; setara dengan konvensi sosial “go big or go home” yang ada di masyarakat Barat (De Mente, Boyé Lafayette. Japan’s Cultural Code Words, 233 Key Terms That Explain the Attitudes and Behavior of the Japanese. Tuttle:2004. Hh.106-107, 119-120, 138-139). Nilai seratus atau nol – demikianlah sikap ini bila diterjemahkan dalam pemahaman kita sehari-hari di Indonesia.
Michel Foucault, seorang pemikir Perancis, menggagas sebuah teori bahwa kekuasaan – yang sekarang berada di tangan negara – berasal dari tindak pendisiplinan warganya yang bekerja secara metodik dalam berbagai instrumen banal kebudayaan. Pemikiran Foucault ini bertautan dengan sebuah pepatah Jepang: “Paku yang menonjol ke luar harus dihantam sampai rata”; demikianlah Jepang menjaga kedisiplinan penduduknya dengan sebuah gerinda etos kerja nasional yang sublim dan halus namun fatal. Sejak era feodal resmi dibukukan oleh Daimyo Oda Nobunaga dari kerajaan kecil Owari di abad ke-16, persoalan kekuasaan di Jepang tidak pernah lepas dari budaya disiplin keras dalam hal sekecil apapun.
Proses pendisiplinan dalam kekerasan itu kemudian menjadi seolah lebih manusiawi dan tersembunyi, persis seperti yang digagas Foucault. Berbeda dengan sebuah negara tangan besi – police state – yang memantau setiap gerak warganya dengan pentungan, Jepang menempuh jalur paradoksal berbeda: lembut tapi keras. Para “pecundang yang tidak efektif dan efisien” disudutkan dan dihimpit mengakhiri hidupnya dalam jeratan sapu tangan sutra jaring pengaman sosial yang tidak pernah mereka ambil. Di Jepang sebagai gambaran terdapat 28.819 kasus kematian bunuh diri di tahun 2017, angka itu belum ditambah mereka yang berakhir hidupnya dengan perut kosong (healthdata.org, terakhir diakses 26 Agustus 2021).
Munculnya fenomena orang mati kelaparan di tengah surplus pangan abad ini – terutama negara-negara maju dengan program jaminan sosialnya – mengindikasikan merasuknya kekerasan dalam kehidupan urban di negara modern yang bertopang pada asas-asas modernitas. Bambang Sugiharto, filsuf Indonesia, dalam sebuah diskusi dengan penulis pernah mengatakan bahwa ciri dari modernitas adalah kekerasan yang melibas dan menggilas apapun yang tidak sejalan.
Dengan kata lain, modernitas memaksa siapa pun untuk masuk ke kotak-kotak predeterministik yang telah disediakan. Mereka yang tidak bisa mengikuti standar yang ada akan disingkirkan, meski tidak dibunuh karena kesendirian dan keterkucilan ala hikikomori-lah yang pelan-pelan akan membunuh orang-orang termarjinalkan itu. Agar tidak terpinggirkan, Anda harus ada untuk sesuatu: eksistensi Anda adalah untuk memenuhi standar tertentu yang keras dan kaku.
Mencermati gejala ini, ada poin menarik yang bisa kita kaitkan dengan roh dari informasi dan data: pasangan biner 0 dan 1. Komputer yang penulis pergunakan untuk mengetik ini bekerja dengan graphical user interface, high level programming language, dan machine learning. Tiga istilah teknis yang baru penulis sebutkan sebenarnya adalah sebuah cara untuk mengelola gerbang logika AND dan OR yang ada di papan sirkuit. Kedua sistem tersebut bekerja dengan mempergunakan prinsip angka 0 (arus terputus) dan 1 (arus tersambung). Pencapaian apa pun yang kita raih sebenarnya terdiri dari kombinasi milyaran atau trilyunan kombinasi 1 dan 0.
Bila prinsip komputasi semacam ini penulis pindah-terapkan pada realitas sosial, masyarakat modern dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian: individu yang bernilai 0 dan 1, yang menghidupi kehidupan 0 dan 1. Sejalan dengan itu, kemenangan pribadi (nilai 1) adalah kepastian yang hanya dimungkinkan dengan memijakkan kaki di atas kekalahan dalam kesendirian (nilai 0).
Akhirnya, penulis mencoba mencoba mengangkat fenomena lokal hikikomori sebagai sebuah kecenderungan global abad ini. Sekali lagi, mereka boleh jadi merupakan konsekuensi dari sebuah masyarakat yang menggantungkan hidupnya di atas pijakan biner 0 dan 1 di milenium ketiga ini yang pada akhirnya menghasilkan “kehidupan 0” dan “kehidupan 1”. Seorang hikikomori adalah bagian dari kehidupan 0 (go home) dan kehidupan manusia modern ideal adalah kehidupan 1 (go big).
Di Jepang mereka adalah pihak-pihak yang kalah dan mati kelaparan di tengah melimpahnya makanan, sementara di Indonesia mereka mungkin tidak sampai mati – tapi juga tidak hidup secara utuh sebagai manusia. Bahkan boleh jadi kita yang hidup di Bandung ini sejatinya adalah para hikikomori terselubung yang sebenarnya sudah selalu kalah dan dipaksa menelan pahitnya kehidupan 0 tanpa ada pilihan apa pun di antara 0 dan 1.