• Berita
  • Kemiskinan di Bandung Meningkat Sejak Pandemi Covid-19

Kemiskinan di Bandung Meningkat Sejak Pandemi Covid-19

Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Bandung meningkat selama pandemi Covid-19. Akar persoalannya kemiskinan.

Jasa foto selfie berkostum hantu di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Minggu (24/1/2021). Maraknya PHK dan kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19 meningkatkan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Bandung. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Penulis Emi La Palau13 April 2021


BandungBergerak.id - Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Bandung meningkat selama pandemi Covid-19. Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bandung mencatat kenaikan PMKS sebesar 25 persen, khususnya gelandangan dan pengemis. Dinsos juga menjaring 227 orang penyandang PMKS dalam patrolinya.

Meningkanya PMKS berbanding lurus dengan naiknya angka kemiskinan Kota Bandung. Awal Maret 2021, Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan (Dinsosnangkis) Kota Bandung mencatat ada sebanyak 3.000 warga kota Bandung yang dilaporkan jatuh miskin karena pandemi Covid-19.

Sementara Data Terpadu kesejahteraan Sosial (DTKS) pada awal pandemi 2020 mencatat 136.000 warga miskin dan tidak mampu. Kemudian, Januari 2021 angka tersebut naik menjadi 139.000. Artinya, ada kenaikan sekitar 3.000 PMKS anak jalanan, anak terlantar, pengemis dan gelandangan, serta fakir miskin.

Dinsos Bandung menyebutkan beberapa faktor yang melatarbelakangi meningkatnya angka PMKS yang kini disebut Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) di Kota Bandung. Umumnya, faktor tersebut terkait dengan ekonomi yang diperparah dengan pandemi Covid-19.

Di antaranya, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak pada awal-awal pandemi Covid-19, sehingga mereka kebingungan mencari pekerjaan, dan akhirnya mencari peruntungan dengan meminta-minta di jalan.

Kepala Bidang Rehabilitas Sosial Dinsos Kota Bandung, Dadang Aziz Salim, mengatakan di antara korban PHK karena pandemi Covid-19, ada yang ikut-ikutan mencari nafkah di jalan. “Kaitan dengan adanya pandemi Covid-19, bertambah sekarang, bukan berkurang,” kata Dadang Aziz Salim dalam Bandung Menjawab di Balai Kota Bandung, Selasa (13/4/2021).

Faktor lainnya, masih terkait ekonomi, yakni kebutuhan memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarga. Meski ada juga faktor psikologis berupa sikap atau perilaku, pola pikir, dan mentalitas yang tergantung pada pemberian orang lain.

Selain itu, kata Dadang, ada juga faktor budaya dan lingkungan. Misalnya, ada orang tua yang membiatkan anaknya menjadi peminta-minta di jalan. Jumlah mereka diprediksi akan meningkat pada Ramadan tahun ini.

Dinsos mengakui menghadapi sejumlah kendala dalam menangani persoalan PPKS di Kota Bandung. Antara lain, terbatasnya sarana dan prasarana. Misalnya, meningkatnya penyandang PMKS di Kota Bandung bikin jumlah hunian di fasilitas rumah singgah kewalahan. Fasilitas ini sebenarnya telah melebihi kapasitas sejak sebelum pandemi Covid-19.

Kendala lain adalah keterbatasan jumlah SDM juga membuat jangkauan petugas pun terbatas. Misalnya, terjadi kucing-kucingan antara gelandangan, pengemis, dan petugas penjangkau. “Kalau petugas kami ke lokasi A, maka mereka berpindah ke B,” ungkap Dadang.

Meski demikian, menurut Dadang, penyandang PMKS tidak seluruhnya berasal dari Kota Bandung. Penghuni rumah singgah Dinsos 50 persen di antaranya warga Bandung, dan selebihnya pendatang dari daerah sekitar Jawa Barat, seperti Purwakarta, Karawang dan sekitarnya.

Dadang membeberkan, dalam mengatasi kendala SDM, pihaknya bekerja sama dengan aparat kewilayahan dan juga Satpol PP yang tergabung dalam Unit Sosial Respons (USR) yang berjumlah 30 personel. Mereka berasal dari 7 personel Tagana, 7 PSM, 7 Karang Taruna, 7 PMI, 2 kepolisian. Selain itu, Dinsos juga bekerjasama dengan Dinas Kesehatan untuk memeriksa kesehatan PMKS sebelum dibawa ke rumah singgah atau dipulangkan ke daerah asal.

Akar Kemiskinan Kota Bandung

Sebagai Ibu Kota provinsi, Bandung yang dihuni 2,5 juta lebih penduduk, menjadi magnet ekonomi dan tidak bisa menghindari masalah PMKS. Pemkot Bandung telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9/2019 tentang Ketertiban Umum, Ketenteraman dan Perlindungan Masyarakat yang mengatur PMKS.

Perda, misalnya, melarang kegiatan sebagai pengamen, pedagang asongan, pengemis dan gelandangan, serta pembersih kendaraan di jalan dan fasilitas umum (Pasal 16 ayat 1 poin (a)). Pada poin (d) disebutkan setiap orang dilarang memberikan sejumlah uang dan atau barang kepada pengamen, pengemis, gelandangan, orang terlantar, dan atau pembersih kendaran di jalan dan fasiltas.

Jika terbukti melanggar ayat 1 poin d, maka akan dikenakan pembebanan biaya paksaaan penegakkan atau pelaksanaan hukuman sebesar Rp 500 ribu rupiah. Menurut Dadang, sanksi ini membutuhkan kerja sama dari masyarakat.

“Jadi kami harapkan semua pihak jajaran masyarakat dan semua harus mengindahkan Perda tersebut untuk menangani kaitan dengan PMKS yang ada di jalan,” kata Dadang.

Namun pengamat sosial dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Budi Rajab, melihat faktor kemiskinan sebagai akar penyebab PMKS di Kota Bandung. Pemkot Bandung tidak bisa hanya berpedoman pada Perda yang mengatur PMKS tanpa menyelesaikan akar persoalannya.

“Selain penegakan Perda, Pemkot Bandung harus menyelesaikan akar persoalan kemiskinannya. Yakni penyediaan lapangan pekerjaan, pelatihan untuk mengasah keterampilan juga dibutuhkan,” tandas Budi, kepada BandungBergerak.id, melalui sambungan telepon, Selasa (13/4/2021).

Budi lalu menyoroti penegakan Perda yang masih lemah. “Masalahnya, pelaksanaannnya dilarang ditanggkap atau tidak? Diawasi dimonitor, itu pekerjaan wajib pemerintah kalau sudah ada Perda,” ungkapnya.

Menurutnya, dengan adanya aturan berupa Perda, maka pemerintah harus tegas menjalankannya. “Ini yang harus diperjelas saja. Kalau dilarang diberi sangsi, dimonitor, itu pekerjaan pemerintah harus menertibkan, membina, kalau ditertibkan pasti ada membina,” kata Budi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//