BUKU BANDUNG #52: Lawatan Sejarah yang Paling Sunyi
Novel Melukis Jalan Astana karya Iman Herdi menjadi bacaan alternatif dalam mengisi kekosongan pengisahan ihwal tragedi Petrus di Bandung yang terjadi 40 tahun lalu
Penulis Ryan Zulkarnaen23 November 2022
BandungBergerak.id — Melalui novel Melukis Jalan Astana, Iman Herdi, sang penulis, mengajak para sidang pembaca untuk berziarah ke lembaran peristiwa kota Bandung 1980-an. Sebuah episode sejarah yang akan mempertemukan pembaca dengan dua tema besa:r ‘pembangunan’ dan ‘perburuan’.
Kedua tema ini dielaborasi oleh penulis sebagai tema kontekstual pada babak rezim Orde Baru berkuasa di panggung sejarah Indonesia. Pada tahun-tahun inilah, pembangunan infrastruktur menjadi megaproyek utama pemerintah melalui program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Judul novel ini diambil oleh penulis sebagai representasi tokoh sentral bernama Samoja, seniman lukis desa yang menempuh jalur kesenian sebagai jalan hidup dan wahana perlawanan terhadap pembangunan.
Kisah novel Melukis Jalan Astana memuat 3 bagian: bab pertama 14 judul, bab kedua 9 judul, dan bab ketiga 11 judul. Ketiga bab ini mengambil latar tempat di Utara Bandung dan kota Bandung. Pertama, desa Astana merupakan tempat bersemainya perlawanan warga terhadap penutupan jalan Astana. Kedua, Bandung merupakan titik lokus para siluman mencari para gali (gabungan anak liar), atau bromocorah yang berkeliaran di terminal dan tempat perjudian.
Pada mulanya, masing-masing latar tempat memuat peristiwa secara terpisah. Pertama, pembangunan merupakan tema sentral novel ini. Pembangunan adalah tamu besar warga Astana yang membawa pada kemajuan sekaligus perpecahan. Di satu pihak, Kuwu Tohar dan ketua DKM Ustad Mantri mendukung proyek pembangunan dan penutupan jalan Astana. Di lain pihak, Samoja dan warga Astana menolak adanya penutupan jalan Astana. Adapun irisan ihwal tradisi ngabungbang atau mandi kembang dengan ajaran agama Islam. Tak lain, sebagai pembentuk harmoni novel ini, sekaligus gerakan kultural yang dapat membendung arus modern.
Kedua, perburuan. Tragedi kemanusiaan di mana para gali (gabungan anak liar), dan orang bertato menjadi sasaran petrus (penembak misterius). Tokoh-tokoh itu Agus Begal, Sule, dan Hendra Doleng. Melalui tembakan, sayatan, dan tusukan mereka menemui ajalnya. Biasanya, mayat gali dibuang ke Sungai Cikapundung, trotoar jalan, bahkan pintu rumah. Adapun program SDSB (sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) atau (sekarang togel), merupakan sumber harapan warga Astana untuk mencari peruntungan dengan jalan instan, alih-alih untuk mengentaskan kemiskinan, melainkan cara pemerintah menambang uang recehan dengan risiko—ekses yang kecil.
Demi stabilitas keamanan Negara dan masyarakat, begitu mudah suatu kekuasaan melancarkan perburuan terhadap mereka yang dituding melanggar keamanan dan ketertiban masyarakat. Operasi petrus berimplikasi dengan nasib para pengkritik kebijakan orde baru. Konsekuensi logis apa dialamatkan kepada mereka. Lihat, perlawanan Samoja dan warga Astana, menggalang petisi dan menggelar pameran seni lukis berbuntut petaka. Betapa heroiknya gerakan kesenian dianggap mengancam suatu kekuasaan.
Meskipun novel ‘’Melukis Jalan Astana’’ ini memuat tema pembangunan dan perburuan terjadi pada 40 tahun lalu. Relevansi kedua tema masih senada dengan derap zaman wajah pembangunan hari ini. Tak sedikit pembangunan bergeliat tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan lingkungan, cagar alam, bahkan tindakan represif semiotika agen bencana. Meminjam istilah Gramsci, kekuasaan Kuwu Tohar mencitrakan sebuah ‘Negara Integral’, kombinasi dua kekuatan antara hegemoni dan dominasi untuk memperoleh konsensus warga Astana terhadap pembangunan.
Unsur Intrinsik
Meskipun novel Melukis Jalan Astana memuat isu-isu krusial pada zamannya, bukan berarti isinya membebani bentuk atau daya ungkap penulis. Kendati saya tidak banyak menemukan unsur-unsur puitis, tapi tidak adil jika saya melantarkan kode dan konvensi sastra dalam novel ini.
Pertama, penokohan. Tokoh utama Samoja, jika menimbang berdasarkan kadar realisme-sosialis, penulis gagal mengonstruksi tokoh Samoja dalam memperjuangkan nasib jalan Astana. Ditambah, dia mengalami nasib serupa preman, menjadi target penculikan siluman. Akan tetapi, jasa-jasa Samoja mengajarkan lukisan anak-anak di sanggar, menyiratkan bahwa ia tengah mewariskan kesadaran dan kepekaan anak-anak terhadap persoalan-persoalan menyehari—sosial.
Kedua, elemen bahasa. Penulis Iman Herdi menampilkan sebuah frase khusus yang melatari kedua tema novel ini. Pertama, ‘’Jalan yang sudah dibuka tak boleh ditutup lagi’’ berisyarat bahwa perjuangan mendiang Abah Iskandar musti diperjuangkan melalui api perlawanan. Kedua, ‘’Orang yang dicari tak lama lagi akan mati’’ bermakna lonceng kematian bagi para gali dan bromocorah. Kedua klausa tersebut muncul secara repetitif meliputi masing-masing peristiwa dan antar-tokoh.
Ketiga, alur cerita. Jika cinta dapat mempertemukan sekaligus memisahkan nasib manusia. Maka pelarian Arum menuju Astana merupakan isyarat berbaurnya kedua tema, hingga berkelindan membentuk kesatuan alur cerita. Ada Samoja memandang Arum ibarat ‘puisi yang hilang’, sedangkan Arum menemukan seseorang yang menghidupkan mimpinya sebagai juru tembang. Tanpa kehilangan esensi dari masing-masing tema, di sini penulis berhasil mengintegrasikan kedua peristiwa berbeda melalui perjumpaan antar tokoh, dan keutuhan cerita yang bertolak—bermuara di Astana.
Tak ada gading yang tak retak. Tanpa bermaksud menggarami lautan lepas. Barang tentu, peribahasa itu berkenan untuk menyapa dua kesalahan tipografi dalam novel ini. Pertama, bab 1 judul ‘’Jebakan’’ halaman 69, paragraf ketiga terdapat kalimat, ‘’kata tetangga, dua tamunya laki-laki bersetelah gelap, tubuh mereka kuat dan kekar’’. Pada kalimat tersebut terdapat tipografi dari kata ‘bersetelah’, yang semestinya ‘’bersetelan’’, sebab kata tersebut merupakan frase yang menunjukkan atribut dari subjek jamak atau dua tamu itu.
Kedua, bab 3 judul ‘’Jalan Seni’’ halaman 231, paragraf tiga terdapat kalimat ‘’Namun, yang penting lagi, ia berharap kembali mendapat pujian dari Samoja, pujian yang menghidupan getaran-getaran aneh yang cuma ia rasakan di masa gadis’’. Pada kalimat tersebut terdapat tipografi ‘’menghidupan’’ seharusnya ditulis ‘’menghidupkan’’. Kata kerja ‘menghidupkan’ diambil dari kata dasar ‘hidup’, merupakan jenis bound morfem yang diberi imbuhan awal ‘meng’ dan akhiran ‘kan’. Sebab, secara stuktur kalimat, kata benda ‘hidup’ itu berposisi sebagai kata kerja.
Dengan wajah sampul depan menampilkan sebuah lukisan bangunan tua karya Alexandria Indri Wibawa. Paduan tata letak dan desain sampul sederhana menimbulkan kesan keindahan dan pelambang keasrian sebelum memasuki rimba halaman. Tentu, kehadiran novel ini laiknya lentera di tengah remang-remang penelusuran jejak petrus, sekaligus jembatan bagi generasi milenial dan masyarakat informasi.
Di samping itu, novel Melukis Jalan Astana tepat menjadi bacaan alternatif dalam mengisi kekosongan ihwal tragedi Petrus di Bandung. Menyitir pandangan Tri Joko Her Riadi, pimred Bandung Bergerak, dalam diskusi bedah buku di Pasar Biru 3 Cinambo, buku-buku seputar Bandung kebanyakan membahas era kolonial dan pascakemerdekaan. Novel Iman Herdi ini memberi perspektif baru untuk menggali peristiwa-peristiwa Bandung lainnya terutama di era 1980-an yang masih langka terceritakan.
Informasi Buku
Judul: Melukis Jalan Astana
Penulis: Iman Herdi
Penerbit: ProPublic.info, Bandung.
Cetakan: Kedua, Juli 2022
Tebal: 290 Halaman
ISBN: 978-623-93907-6-1