• Buku
  • RESENSI BUKU: Pramoedya Menggugat Praktek Feodalisme dalam Novel Gadis Pantai (2)

RESENSI BUKU: Pramoedya Menggugat Praktek Feodalisme dalam Novel Gadis Pantai (2)

Suatu hal yang perlu diingat oleh masyarakat di masa sekarang sebab feodalisme belum hilang dalam kehidupan sehari-hari.

Buku Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer terbit tahun 2000 oleh penerbit Hasta Mitra. (Foto: Andika Yudhistira Pratama)

Penulis Andika Yudhistira Pratama8 Desember 2022


BandungBergerak.id—Karya fiksi Gadis Pantai mengisahkan mengenai kehidupan feodalisme di Jawa. Tokoh Gadis Pantai berasal dari masyarakat pesisir yang mayoritas mengandalkan kehidupannya sebagai nelayan dan dianggap status sosialnya rendah, sekalipun Gadis Pantai terlahir sebagai bunga Kampung Nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang.

Sedangkan tokoh Bendoro Bupati, seorang bangsawan dan representasi dari Priyayi Jawa yang dalam kehidupan feodalisme Jawa kedudukannya tinggi dan berhak untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia yang berasal dari daerah pesisir. Roman Keluarga Gadis Pantai ini termasuk dalam edisi pembebasan dan terbagi ke dalam 4 bagian kisah perjalanan dari si Gadis Pantai.

Pada tulisan bagian pertama memaparkan sebagian kisah tersebut. Bagian dua ini adalah kelanjutannya.

Bagian Ketiga

Kehadiran Mardinah mantan istri pembesar di Demak sebagai bujang (pelayan) baru Gadis Pantai (Mas Nganten) menggantikan mBok yang terusir nyatanya menimbulkan ancaman dan keonaran bagi Gadis Pantai (Mas Nganten). Dalam bagian ketiga ini, Gadis Pantai mendapat izin dari Bendoro untuk menengok kedua orang tuanya di kampung nelayan. Selama dalam perjalanan, Gadis Pantai tidak merasakan ketenangan yang disebabkan kehadiran Mardinah yang diutus Bendoro untuk menyertai Gadis Pantai. Sebagai seorang mantan istri pembesar di Demak Mardinah menonjolkan arogansinya kepada majikannya, Gadis Pantai (Mas Nganten). Namun, di bagian ketiga ini perlawanan Gadis Pantai yang berasal dari kampung kepada orang kota muncul dan ditujukan kepada Mardinah.

 

“Benar kau dari Demak?”

“Sahaya, Mas Nganten.”

“Tidak apa dari Demak sana?”

Suara Mardinah menggigil dan ragu-ragu tapi paksakan diri bicara terus, “Panjang ceritanya Mas Nganten. Tapi sahaya Cuma dapat perintah.”

“Perintah, buat usir aku?”

“Persaudaran sekandung dan sepupu di Demak sangat malu, Mas Nganten, karena sampai sekarang Bendoro masih perjaka.”

“Perjaka? Jadi aku ini apanya?”

“Apa mesti sahaya katakan? Bendiori masih perjaka sebelum beristrikan wanita berbangsa.”

“Kau berbangsa, apa kau ingin diperistri Bendoro.”

“Sahaya, Mas Nganten.”

“Biarpun Bendoro Pamanmu sendiri?”

“Sahaya, Mas Nganten tapi saya Cuma seorang janda.”

Kembali Gadis Pantai bertanya, “Jadi aku bukan istri Bendoro?”

“Istri, ya, istri, Mas Nganten, Cuma namanya istri percobaan.”

“Lantas kau dapat perintah mengusir aku: Biar Bendoro dapat kawin dengan wanita berbangsa, bukan? Ah, ah, aku bisa menetap di kampung ini, kampungku sendiri. Kau boleh pulang. Jangan ikut masuk ke kampung.”

“sahaya tajut, Mas Nganten.”

“Takut? Di mana kelebihan orang kota, orang berbangsa?  Orang kampungan seperti aku ini tidak tidak takut.”

“Jangan biarkan sahaya seorang diri Mas Nganten.”

“Lebih dua tahun aku tinggal di kota, sampai akhirnya kau datang. Dan baru sekarang ini aku tahu, orang-orang kota, orang-orang berbabngsa itu, begitu takutnya kalaun orang tidak lagi menghormatinya. Dan mereka begitu takutnya kalau terpaksa menghormati orang-orang kampung.” (hlm. 128-129).

 

Selain perlawanan orang kampung terhadap orang kota yang ditunjukan oleh Gadis Pantai kepada Mardinah, terlihat hal yang menunjukan betapa rendahnya harga diri dan martabat seorang dari kampung dihadapan orang kota dan priyayi. Pernikahan dengan orang kampung hanya sekedar “simulasi” untuk “proses pendewasaan” sebelum mempersunting seorang yang memiliki status sosial yang setara. Alam feodal menilai harga seseorang berdasarkan dari status sosial dan tempat tinggal seseorang.

Bagian Keempat

Di bagian keempat (bagian terakhir) dalam novel Gadis Pantai ini, pernyataan Mardinah dalam bagian ketiga mengenai status Gadis Pantai yang dianggap bukan sebagai istri dari Bendoro dapat ditemukan dalam satu percakapan seorang Tionghoa yang bekerja di salah satu surat kabar yang menemui Bendoro langsung untuk menanyakan keributan yang disebabkan kehadiran kelompok bajak di Kampung Nelayan.

 

“Pada suatu hari yang cerah datang seorang Tionghoa yang diterima menghadap Bendoro di Pendopo. Mereka berdua duduk diatas kursi goyang. Gadis Pantai sedang memebersihkan perabot di ruang tengah. Dan ia dengarkan percakapan dalam bahasa Jawa tinggi yang kini sudah dikuasainya.”

“Bendoro sahaya dengar ada bajak meneyerbu kampung nelayan ...”

“Kampung nelayan yang mana?”

“Kampung ... beribu ampun. Bendoro .... kampung nyonya Bendoro.”

“Nyonyaku?” Bendoro menjawab setengah berteriak. “Aku belum punya nyonya!”

“Beribu ampun, Bendoro. Beribu ampun. Sahaya diutus surat kabar sahaya dari Semarang buat datang ke mari, menghadap Bendoro dan menanyakan soal ini. Kantor pusat sahaya yang kasih keterangan.

“Pergi, sebelum aku marah.”

“Sahaya, Bendoro, Beribu-ribu ampun.” (hlm. 203-204)

 

Gadis Pantai mulai menyadari bahwa apa yang dijelaskan Mardinah benar. Sampai pada bagian akhir ini, Gadis Pantai melahirkan seorang bayi perempuan hasil buah perkawinan yang tidak diakui oleh Bendoro sendiri, dalam bagian ini budaya Patriarki muncul kembali, Gadis Pantai sebagai wanita yang melahirkan bayi perempuan tersebut dipaksa meninggalkan bayinya yang baru berusia beberapa hari. Budaya patriarki terlihat jelas ketika Bendoro tidak “bersuka” atas kelahiran bayi perempuan.

 

“Bendoro, ampunilah sahaya, inilah anak Bendoro ....,” tapi suara itu tak ke luar dari mulutnya ia terlalu takut.

“Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?”

“Sahaya, Bendoro.”

“Jadi Cuma perempuan?”

“Seribu ampun, Bendoro.”

Bendoro membalikan badan, keluar dari kamar sambil menutuo pintu kembali. Ia ingin mempersembahkan anak ini pada bapaknya. Ia ingin anak dan bapak berpandang-pandangan mesra. Tapi Bendoro tak pernah menengoknya. (hlm. 215).

 

“Dia akan jadi priyayi. Dia anakku. Dia akan tinggal di gedung. Dia akan memerintah. Ah, tidak. Aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan. Tak ada orang mau dengarkan tangisanya. Kalau anak itu besar kelak, dia pun takan dengarkan keluh-kesah ibunya. Dia akan perintah dan perakukan aku seperti orang dusun, seperti abdi. Dia perlakukan aku seperti bapaknya memperlakukan aku kini dan selama ini. Ya Allah, pergunakanlah kekuasaanMu, buatlah dia tidak mengenal emaknya. Buatlah aku takkan bertemu dengannya kelak. Tapi lindungilah dia. Dia anakku yang tak mengenal emaknya, tak kenal lagi air susu emaknya.” (hlm. 228). Dan pada akhirnya Gadis Pantai pulang menuju kampung halamannya bersama ayahnya yang sebelumnya sudah datang dipanggil Bendoro untuk menjemput putrinya. Dalam perjalanan Gadis Pantai mengubah arah kemudi dari Dokar dan berniat ke Blora menemui mBok bujangnya (pelayan) dulu yang terusir karena berusaha mengusut kedzaliman agus-agus di pendopo Bendoro.

Itulah kisah dalam roman keluarga Gadis Pantai yang memberikan gambaran jelas mengenai praktik feodalisme juga novel ini menjadi media untuk kritik terhadap feodalisme, suatu hal yang perlu diingat oleh masyarakat di masa sekarang, sebab feodalisme belum hilang dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, pembaca akan bingung terhadap istilah-istilah yang jarang ditemukan dalam kehidupan sekarang serta tidak adanya ilustrasi gambar yang menggambarkan kehidupan dari si Gadis Pantai.

 

Identitas Buku

Judul: Gadis Pantai

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Tahun terbit: April, 2000

Penerbit: Hasta Mitra, Jakarta

Editor: Joesoef Isak

Desain Buku: Marsha Anggita

Jumlah Halaman: 231 Halaman

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//