• Nusantara
  • Proses Panjang Memberantas Kekerasan Seksual di Indonesia

Proses Panjang Memberantas Kekerasan Seksual di Indonesia

Tiap tahunnya angka kasus kekerasan seksual di Indonesia bertambah. Diperlukan proses panjang yang serius untuk menghapus kasus kekerasan seksual.

Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) Sedunia melalui diskusi Mewujudkan Kampus Bebas Kekerasan Berbasis Gender di gedung Bale Sawala Universitas Padjadjaran (Unpad), Jumat (9/12/2022). (Foto: Allaida Az Zahra/BandungBergerak.id)*

Penulis Allaida Az Zahra12 Desember 2022


BandungBergerak.idTidak bisa dipungkiri bahwa kasus kekerasan seksual telah berakar kuat di berbagai lini kehidupan, di luar maupun di lingkungan pendidikan. Ini terlihat dari hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang menunjukkan 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun di Indonesia mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.

Kasus kekerasan seksual di Indonesia terlihat menurun berdasarkan SPHPN 2021. Survei ini menyatakan sebesar 26,1 persen atau 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan.

Namun, Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) Republik Indonesia, mengatakan angka penurunan tersebut bukan berarti kasus kekerasan seksual berkurang secara signifikan. Sebab data setahun terakhir kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam untuk kasus kekerasan seksual.

Dengan data kekerasan seksual yang semakin meningkat, Ratna menjelaskan bahwa sudah ada payung hukum mengenai pencegahan, penanganan, hingga pemulihan korban untuk kasus kekerasan seksual dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

“Pelibatan dari lembaga legislatif dan kami dari pemerintah (eksekutif) serta dukungan dari masyarakat untuk mengawal proses ini menjadikan UU yang ditunggu oleh publik karena data dan fakta serta aspek regulasi memang kita masih memerlukan lahirnya Undang-Undang No.12 Tahun 2022,” ucap Ratna Susianawati.

Ratna menyampaikan hal tersebut dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) Sedunia melalui diskusi “Mewujudkan Kampus Bebas Kekerasan Berbasis Gender" yang digelar secara  hybrid di gedung Bale Sawala Universitas Padjadjaran (Unpad), Jumat (9/12/2022). 

Diskusi kemudian dilanjut interaksi antara Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Unpad dan Antik Bintari sebagai Ketua Satgas PPKS Unpad, Jovanna Tan sebagai Sekretaris Satgas PPKS Unpad, serta Ari J Adipurwawidjana sebagai Anggota Satgas PPKS Unpad.

Baca Juga: Budaya Patriarki, Sumber Utama Kekerasan Seksual
Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020
Kasus HW sebagai Kejahatan Seksual Luar Biasa

Kekerasan Seksual di Ranah Kampus

Kekerasan seksual di ranah kampus yang hingga saat ini masih menjadi hal krusial untuk dibahas dan diperjuangkan. Menurut Ari J Adipurwawidjana, kekerasan seksual bukan bagian dari aktivitas seksual yang sering kali menjadi mispersepsi masyarakat.

Permasalahan stigma kekerasan seksual terhadap laki-laki juga disorot oleh Ari, disebutkan olehnya bahwa kekerasan seksual tidak memandang gender, usia, jabatan, semua pihak dapat menjadi korban.

“Kekerasan seksual tidak ada hubungannya dengan seksualitas karena konteksnya itu kekerasan,” ujar Ari.

Ari menyebutkan bahwa stigma semacam ini didasari oleh budaya patriarki karena ketimpangan keseimbangan kekuasaan antara laki-laki, yang dianggap lebih unggul dari perempuan di arena sosial menjadikan laki-laki dipandang sebagai predator dan menjadi korban adalah hal tabu.

Selain dari stigma mengenai kekerasan seksual, hal lain yang menjadi sorotan isu diskusi adalah tentang relasi kuasa kasus kekerasan seksual dalam ruang lingkup akademik. Antik Bintari menjelaskan bahwa kekerasan seksual menjadi salah satu dari tiga dosa besar pendidikan.

“Pa Nadiem menyebutkan ada tiga dosa besar pendidikan, diantaranya ada intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual. Kekerasan seksual ini akhirnya yang di higlight dengan dikeluarkannya Permendikbud No. 30 Tahun 2020,” ucap Antik.

Antik juga menjelaskan bahwa landasan Permendikbud No.30 Tahun 2020 dipakai sebagai dasar dari pembentukan Satgas PPKS di Unpad. Universitas Padjadjaran berdasarkan Peraturan Rektor No. 41 tahun 2021 dan Amandemen No.8 Tahun 2022 telah menetapkan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unpad Periode 2022-2024 tanggal 29 Agustus 2022.

Namun, walaupun dengan diberlakukannya peraturan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus, Antik juga tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan pelaksanaan yang diantaranya ada relasi kuasa dengan stigma nama baik kampus.

Pembahasan terakhir yang disorot adalah mengenai penanganan dan pemulihan korban. Jovanna Tan menjelaskan bahwa salah satu tantangan penanganan kekerasan seksual adalah kondisi korban saat dijalankannya advokasi. Dengan kuatnya relasi kuasa kasus kekerasan seksual di ranah kampus, Jovanna mendukung untuk memanfaatkan fasilitas Satgas PPKS Unpad agar pelapor bisa mendapat penanganan yang sesuai kebutuhan. Kasus kekerasan seksual perlu ditangani dengan tepat karena harus adanya perspektif gender dalam penangannya.

“Apabila penanganannya tidak berperspektif gender nanti malah ditanya balik ‘lo kenapa diem aja? Lo seneng ya? Enak ya? Makanya kita ada Satgas PPKS ini untuk menghindari hal tersebut,” ucap Jovanna.

Diskusi mengenai kekerasan seksual untuk mendukung kampanye 16HAKTP ini pada akhirnya menjadi langkah awal untuk proses panjang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//