Melestarikan Budaya Rumah Tradisional dengan Arsitektur Vernakular
Gaya arsitektur vernakular berpijak pada budaya dan tradisi rumah adat tradisional. Kalah bersaing dengan gaya arsitektur modern yang minimalis.
Fera Yuniana
Mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
19 Januari 2023
BandungBergerak.id—Dunia arsitektur tidak terlepas dari bermacam-macam gaya yang ada, seperti gaya arsitektur vernakular, modern, post-modern, klasik, dan masih banyak lagi. Salah satu gaya arsitektur yang menyesuaikan budaya, tradisi, serta iklim lokal adalah arsitektur vernakular. Namun, keberadaan gaya arsitektur tersebut di Indonesia sudah semakin langka, sebab jumlah bangunan tradisional asli semakin sulit ditemukan seiring berjalannya waktu.
Pada era arsitektur post-modern, muncullah arsitektur neo vernakular sebagai respons dari kritik para arsitek terdahulu terhadap gaya arsitektur modern yang selalu mengutamakan teknologi tetapi melupakan budaya. Arsitektur neo vernakular menjadi berkembang di zaman sekarang karena gaya ini memadukan gaya arsitektur modern dan arsitektur vernakular. Maka dari itu, arsitektur neo vernakular harus menjadi solusi kelangkaan arsitektur vernakular di Indonesia pada zaman sekarang karena arsitektur neo vernakular memiliki desain yang lebih unik, modern, dan kokoh tanpa meninggalkan unsur budaya lokal.
Cukup berbeda dengan gaya arsitektur lainnya, arsitektur neo vernakular memiliki desain dan makna yang unik di setiap bangunannya, baik itu tersirat maupun tersurat. Perpaduan antara gaya modern dan arsitektur vernakular menjadikan desain arsitektur neo vernakular di Indonesia menjadi unik karena mengadaptasi rumah adat tradisional asli Indonesia.
Salah satu contohnya ada pada desain arsitektur Bandara Soekarno-Hatta. Desain atap Terminal 1 dan 2 mengadaptasi desain atap rumah joglo serta atap pelana yang tersusun secara berdekatan untuk mencerminkan rumah adat suku Badui. Dan bentuk bangunannya terinspirasi dari pendopo rumah adat tradisional Indonesia. Adaptasi gaya arsitektur vernakular di Terminal 1 dan 2 terlihat sangat jelas, tidak seperti Terminal 3 yang hanya mengadaptasi tinggi atap rumah adat Indonesia sehingga atap Terminal 3 memiliki ukuran yang tinggi juga.
Selain itu, arsitektur neo vernakular memiliki ciri khas yang mudah diingat seperti Hotel Balairung di daerah Matraman, Jakarta Timur. Bangunan tersebut memiliki ciri khas bangunan modern yang memiliki atap seperti atap rumah tradisional Minangkabau yang membuat bangunan tersebut sangat mudah diingat bagi siapa pun yang melintas karena bentuknya yang unik.
Salah satu alasan arsitektur vernakular menjadi langka yaitu generasi zaman sekarang lebih menyukai desain bangunan yang modern. Mereka, tak terkecuali saya sendiri beranggapan bahwa semakin minimalis bangunannya, semakin keren juga bangunan tersebut. Ketika mendengar kata “modern” maka yang terlintas di pikiran anak muda generasi sekarang adalah gaya minimalis. Fenomena tersebut dapat disebabkan oleh meluasnya bangunan modern yang minimalis di Indonesia, terutama di DKI Jakarta semenjak tahun 2000-an dan pola pikir generasi muda menjadi terbiasa dengan hal tersebut.
Melestarikan Budaya
Arsitektur vernakular juga menjadi kurang populer di zaman sekarang karena eksterior bangunan yang bergaya vernakular memiliki desain yang cukup rumit. Rumah tradisional Indonesia memiliki banyak ornamen-ornamen yang membuat kesan ramai seperti yang ada di Rumah Aceh, sehingga bertentangan sekali dengan gaya minimalis. Jadi, solusi nyata dari permasalahan tersebut adalah memadukan gaya modern dan gaya tradisional seperti yang ada di gaya arsitektur neo vernakular.
Salah satu kelebihan selanjutnya dari arsitektur neo vernakular adalah memiliki ketahanan yang jauh lebih baik. Material yang digunakan pada arsitektur vernakular Indonesia masih sangat ramah lingkungan dan tergantung dengan bahan yang ada di sekitar lingkungannya yaitu kayu dan batu. Sedangkan arsitektur neo vernakular mengikuti material bangunan modern zaman sekarang, seperti beton bertulang, baja ringan, kaca, dan batu bata yang lebih tahan lama karena tidak lapuk walaupun sering kena air hujan dan lebih stabil jika terkena beban angin kencang yang sering terjadi di wilayah Indonesia.
Kualitas material kayu pada rumah tradisional Indonesia dapat menurun seiring berjalannya waktu dan kurang stabil jika terkena beban horizontal yaitu angin. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat rumah panggung tradisional di Indonesia yang kayunya sudah mulai melapuk akibat terkikis oleh air. Jika kayu tersebut dibiarkan saja, maka lama-kelamaan akan runtuh karena tidak kuat untuk menahan beban vertikal. Ilmu penghitungan struktur bangunan zaman sekarang juga sudah berkembang pesat dan lebih terukur dibandingkan rumah tradisional yang masih menggunakan metode penghitungan struktur sederhana, sehingga bangunan yang bergaya neo vernakular sudah pasti memiliki ketahanan yang lebih baik.
Kelangkaan gaya arsitektur vernakular di Indonesia sudah tidak dapat dihindari lagi karena munculnya gaya modern yang dianggap lebih keren oleh generasi muda Indonesia. Tetapi kita dapat mengantisipasi permasalahan tersebut dengan lebih banyak menggunakan gaya arsitektur neo vernakular. Gaya tersebut perlu digunakan karena memiliki desain dan makna yang berkarakteristik sehingga mudah diingat, struktur yang lebih stabil dan terukur, serta mengikuti perkembangan gaya desain. Saya menyarankan agar sebaiknya diadakan pembahasan secara khusus tentang gaya arsitektur neo vernakular melalui seminar maupun mata kuliah umum pada mahasiswa arsitektur agar semakin banyak arsitek maupun calon arsitek yang tertarik dengan gaya arsitektural tersebut.
Kita juga tidak boleh melupakan rumah tradisional Indonesia dengan begitu saja. Sebagai generasi penerus bangsa, marilah kita mulai melestarikan dan peduli dengan warisan-warisan rumah dan adat tradisional, salah satunya adalah dengan menggunakan gaya arsitektur neo vernakular.