Pengguna Narkoba Berhak Mengakses Layanan Rehabilitasi
Salah satu program rehabilitasi yang bisa diakes pengguna napza bisa melalui program Skrining dan Intervensi Lapangan (SIL).
Penulis Dini Putri2 Februari 2023
BandungBergerak.id - Pengguna narkoba bukanlah kriminal. Mereka merupakan korban peredaran narkoba. Mereka berhak mendapatkan layanan rehabilitasi yang bebas dari diskriminasi dan stigma.
Salah satu program rehabilitasi ini dikenal SIL, kependekan dari Skrining dan Intervensi Lapangan (SIL). Program ini digagas Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat yang didampingi Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Jawa Barat.
Kegiatan terbaru SIL berlangsung di Communal Cafe Dago, Selasa (31/1/2022) lalu. Melalu program SIL diharapkan bisa menjangkau pengguna guna narkoba yang ingin mendapatkan program rehabilitasi.
Program Skrining dan Intervensi Lapangan dilakukan guna mendukung hak pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba untuk mendapat akses layanan kesehatan dan rehabilitasi di instansi pemerintah dan komponen tatanan masyarakat.
Salah seorang penyintas, HE (30 tahun), mengaku sudah mengikuti program SIL sejak 2019. HE menyatakan, faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap penggunaan narkotik.
Besar dalam keluarga yang mayoritas merupalan pengguna narkoba menjadikan HE turut terjun dalam penggunaan narkotika sejak duduk di bangku sekolah menengah petama (SMP). HE bertekad ingin terus konsisten mengikuti program SIL ini agar tidak terus mengalami ketergantungan pada narkotika.
“Karena lingkungan. Emang sekeliling, semua pake narkoba. Saya punya kesadaran saya ingin sembuh, saya udah ga mau ketergantungan dengan yang damanya drugs. Pikiran saya ingin kaya orang lain normal,” kata HE, di sela-sela kegiatan SIL.
Penyintas narkoba lainnya berinisial CYD mengaku menggunakan narkoba dari coba-coba, kemudian ketagihan hingga menjadi pecandu. CYD hingga saat ini masih berjuang untuk bisa pulih dari kecanduan narkoba. Dan program SIL ini menjadi alternatif rehabilitasi narkoba yang dipilihnya.
“Ingin berubah, kadang mikir. Kenapa sih aku teh gini terus, bisa ga sih aku jadi normal, berhenti nyari (narkoba). Saya ngerasa sangat terbantu dengan ini (Program SIL),” kata CYD.
Pengguna Napza (narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya) merupakan populasi tidak tampak di masyarakat. Keberadaan mereka ibarat gunung es yang tersembunyi dan sulit ditemukan. Para pengguna narkoba cenderung menutup diri sehingga sulit mendapatkan layanan rehabilitas yang disediakan oleh pemerintah.
Program SIL diharapkan memudahkan mereka untuk mengakses layanan rehabilitasi. Angka penyalahgunaan narkoba di Indonesia sendiri telah menyebar secara luas. Narkoba dipakai oleh pelbagai kalangan di masyarakat, terutama di kota-kota besar termasuk Kota Bandung.
Menurut UU Narkotika pasal 1 ayat 1 Nomor 35 tahun 2009, narkotika merupakan zat atau obat baik yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman yang bersifat alamiah, sintetis atau semisintetis sehingga menimbulkan penurunan kesadaran, halusinasi, dan rasa rangsang.
Zat-zat tersebut dapat menimbulkan efek kecanduan terhadap penggunaan yang berlebihan. Berdasarkan data Indonesia Drugs Report Badan Narkotika Nasional (BNN) 2022, jumlah kasus dan tersangka tindak pidana narkoba pada tahun 2021 di Indonesia berjumlah 53.405 tersangka.
Prevalensi penyalahgunaan narkoba pada 2021 yaitu 1,95 persen atau sekitar 3,6 juta orang pada rentang usia 15-64 tahun. Jenis narkoba yang paling banyak digunakan di Indonesia ialah ganja 41,4 persen, sabu 25,7 persen, nipam 11,8 persen, dan dextro 6,4 persen.
Pemerintah maupun swasta telah menyediakan layanan rehabilitasi bagi pengguna narkoba. Namun, upaya yang dijalankan belum optimal dikarenakan beberapa faktor penghambat seperti rendahnya akses layanan rehabilitasi dan juga mempertimbangkan aspek nondiskriminasi dalam kemudahan akses layanan.
Cap buruk atau stigma terhadap pecandu narkoba telah membatasi mereka untuk dapat memanfaatkan berbagai layanan yang tersedia. Mereka khawatir jika menggunakan layanan rehabilitasi bisa berurusan dengan hukum.
Konselor BNNP Jawa Barat Sampaguita Syafrezani mengatakan, masalah adiksi atau penggunaan zat merupakan masalah kesehatan, bukan masalah hukum atau moral.
Pengguna Napza dipandang melanggar dan harus dihukum agar jera. Dari sisi moral, mereka dicap melanggar moral yang berlaku.
“Nah, sementara kalau dari sudut pandang kesehatan masalah adiksi atau pengunaan zat ini dipandang sebagai masalah kesehatan atau penyakit. Jadi sebenernya adiksi itu adalah maslah kesehatan, dia butuh layanan kesehatan, butuh ditangani adiksinya,” terang Sampaguita Syafrezani, pada acara yang sama.
Untuk mengakses layanan SIL, masyarkat bisa langsung membawa klien langsung ke klinik rehabilitasi yang tersedia di kota masing-masing ataupun menghubungi kontak media sosial @Infobnnprovjabar atau @rehab.jabat untuk Provinsi Jawa Barat.
Pengguna Narkoba dari Sudut Pandang HAM
PBHI Jabar, organisasi yang aktif mendampingi penyintas narkoba untuk mendapatkan haknya, menyoroti hukuman sewenang-wenang pada para pengguna napza. Mereka mengalami penangkapan secara paksa dengan atau pun tanpa bukti, juga sering kali tanpa ada surat penangkapan.
“Pendekatannya, kalau ngomongin untuk isu napza itu perkembangannya sekarang nggak menimbulkan efek jera karena harus dilakukan pendekatan-pendekatan dengan pengetahuan atau ilmu lainnya, misalkan ada psikologi, sosial, bagaimana latar belakang sosialnya, ekonominya, bagaimana si orang bisa menggunakan Napza. Apakah ada faktor traumatik, atau kah ada faktor misalkan lingkungan sosial,” papar Deti, advokat dari PBHI Jabar.
Menurutnya, penguna narkoba merupakan tanggung jawab negara. Dalam konteks HAM, mereka adalah warga negara yang harus dilindungi.