• Kolom
  • RUANG RENUNG #12: Tangga Nada Temporal Balok-balok Not Kehidupan

RUANG RENUNG #12: Tangga Nada Temporal Balok-balok Not Kehidupan

Perupa Johana memeras kepekaan kita pada kehidupan lewat karyanya dalam pameran tunggalnya bertajuk Belulang Daun di galeri Orbital Dago, Bandung.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Suasana pameran tunggal perupa Johana yang bertajuk Belulang Daun di galeri Orbital Dago, Bandung, yang berlangsung dari 24 Februari hingga 19 Maret 2023. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak)

17 Maret 2023


BandungBergerak.id – Kehidupan memang segalanya, tapi kehidupan selalu dimulai dari kematian. Sejarah kolosal semesta – “big history” – menyajikan sebuah narasi tentang evolusi biologis yang sangat evolusioner: bahwa pada hakikatnya kehidupan yang paling hidup dari satu pihak membutuhkan pengorbanan dari pihak lain. Kita mengenalnya dengan nama rantai makanan; sebuah istilah dari bangku sekolah menengah yang mungkin sulit kita lupakan. Seorang manusia yang hidup berarti kematian atas bulir padi, seekor ayam, seekor ikan, dan sehelai daun selada. Johana Permana persis mengingatkan kita atas arus Thanatos – kematian – yang sebenarnya sangat intim dengan segala angan kita tentang kekitaan yang hidup.

Dalam sebuah pameran tunggal bertajuk Belulang Daun di galeri Orbital Dago, Bandung, yang berlangsung dari 24 Februari hingga 19 Maret 2023, Johana mencoba untuk menghadirkan tangga nada yang sangat temporal – yang disusun yang dibiarkan mengalun dalam sebuah simfoni yang tidak pernah dipaksa untuk tampil. Sang seniman yang memiliki latar belakang kriya ini berusaha untuk mewujudkan cintanya pada kehidupan dengan memberikan kita ingatan yang sangat mendasar tentang kematian dedaunan – fondasi instrumental fotosintesis yang memberikan kita sejarah evolusi selama miliaran tahun. Karya-karya yang dihadirkan seniman yang lahir di tahun 1996 ini seolah memberi ruang Nishidean – seturut filsuf Jepang Nishida Kitaro – yang mengangkat tentang pentingnya “waktu kerendahan hati” yang kontras berbeda dengan “waktu keangkuhan”.

Nishida menggagas sebuah gagasan mendalam tentang perbedaan antara kerajinan dan seni, dari perspektif yang sama sekali berbeda dengan cara pandang Barat. Timur, kata sang pemikir Jepang, tidak mengenal perbedaan antara pengrajin dengan seniman. Kedua istilah itu dalam pemikiran Timur adalah sinonim. Salah satu titik pemisah fundamental antara pemikiran Barat dan Timur adalah tentang waktu. Bagi Barat, waktu adalah milik kita yang kita paksakan dalam penguasaan kita atas yang lain: kita membagi waktu menjadi jadwal yang dicacah dari tahun hingga detik – dan bentang alam kita cincang menjadi irisan-irisan kartografis yang mengisi aplikasi Google Maps yang memberi kita rasa nyaman meski sekalipun harus berada di negeri orang.

Para empu pembuat pedang dan pisau di Jepang tahu persis bahwa logam punya rentang waktu sendiri yang tidak bisa kita kebiri; sama seperti tanaman yang juga punya siklus temporal yang harus kita hormati. Barat sebenarnya juga punya fenomena yang sama, saat anggur tidak bisa dipaksa untuk meragi dan biji kopi tidak bisa dituntut bergegas untuk harum beraroma. Namun demikian, kenyataan ini tidak menjadi sebuah gaya berpikir yang dominan di Barat – yang menjadi sentral dalam berbagai kajian akhirnya persoalan efisiensi dan efektivitas – yang lagi-lagi berujung pada pemangkasan waktu dan pemadatan proses. Singkatnya, bila seandainya ladang gandum akan panen lebih cepat bila ditodong dengan senjata, maka petani di Barat sudah pasti membawa senjata ke lahan pertanian dan mengancam tanaman mereka dengan kekerasan.

Timur, sebaliknya, persis yang dilakukan oleh Johana. Salah satu karyanya bahkan dibuat dalam waktu delapan tahun – setahun lebih lama dari waktu yang dibutuhkan biji kopi untuk digiling menjadi bahan dasar kopi tubruk yang harum dan bercita rasa tinggi. Sederhananya, seorang Johana dengan sikap Nishidean semacam ini mungkin baru akan berpameran tahun 2031 yang akan datang – karena  Johana menolak untuk memaksa dan memaksakan proses yang ia tekuni. Dan bukan hanya persoalan waktu, Johana juga memenuhi garis Nishidean yang kedua: pameran ini bukan untuk dirinya. Ia hanya tampil sebagai instrumen untuk membantu dedaunan itu menyampaikan pesannya pada kita.

Pesan Johana pada Belulang Daun

Nishida Kitaro dengan lantang menegaskan bahwa pengalaman terbaik kita dalam menghasilkan karya apapun hanya mungkin dicapai bila yang kita kerjakan adalah untuk mengangkat yang lain. Seorang koki di sebuah restoran sushi di Jepang adalah sebuah jalan – do – bagi pelanggan untuk bisa merasakan pesan pengorbanan dari ikan salmon yang sudah memberikan dirinya bagi kehidupan manusia. Tepat di alur berpikir yang serupa, pameran ini adalah pameran dari para daun, yang dibantu oleh seorang Johana. Di dalam gelaran personal nan reflektif kali ini, yang menjadi sang perupa adalah alam dengan keagungannya yang menaungi kita, dan sang seniman adalah artisan mencoba membalas budi atas kehidupan yang sudah ia terima sejak ia dilahirkan. Dalam pengertian Timur, seniman dan artisan adalah sinonim yang memiliki peran yang sama pentingnya.

Pesan yang digulirkan oleh Johana pun cukup tegas: oksigen yang kita hirup dan anggap biasa adalah berkat daun-daun yang sekarang tinggal belulang. Ia mencoba untuk menyentak kepekaan kita dan menyadari bahwa dari rangka-rangka dedaunan ini menaungi lembaran klorofil yang menghasilkan udara yang mutlak bagi kita. Pemikir bernama Steven Luper yang mengkaji refleksi atas kematian secara mendalam pernah mengatakan bahwa menua dan mati adalah sesuatu yang beda. Dengan menegaskan sisi “fosil” dari daun-daunan yang pernah hijau ini, ia memberi catatan mendalam bahwa nafas kehidupan kita adalah berkat kematian tumbuhan yang tidak perlu kita sangsikan lagi. Mereka – sekali lagi – hidup dan sekaligus mati untuk memberi kesempatan kita bernafas dan berkarya.

Belulang Daun adalah sebuah gelaran ucapan terima kasih yang dilantunkan dalam sebuah komposisi dari balok-balok not kehidupan yang sampai kapan pun tidak akan pernah usang. Rasa syukur tidak pernah terlambat apalagi kadaluwarsa. Sang seniman yang juga tidak mengejar angka penjualan dari tampilan rupa yang ia tawarkan ini memang menolak untuk hadir di lampu sorot. Yang sedang kita alami di galeri ini adalah sebuah pengosongan diri dan pemenuhan kesemestaan dalam keseharian kita.   

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//