• Liputan Khusus
  • PERGUMULAN MENJADI TRANSPRIA: Dituduh Mempermainkan Agama sampai Halal untuk Dibunuh

PERGUMULAN MENJADI TRANSPRIA: Dituduh Mempermainkan Agama sampai Halal untuk Dibunuh

Kawan-kawan transpria mengalami pergumulan hidup tak pernah mudah sejak dari keluarga. Berharap diterima masyarakat dan bisa beraktivitas dengan tenang.

Retsu, seusai beribadah di Madjid Al Furqon, kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. (Foto: dokumentasi Retsu)

Penulis Emi La Palau6 April 2023


BandungBergerak.id – Setiap kali suara-suara pengantar azan berkumandang menandakan waktu salat Jumat tiba, Retsu (29 tahun) harus menyiapkan beragam alasan kepada ibunya. Sekali waktu ia meminta izin pergi ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Di lain waktu, ia berkata hendak fotokopi berkas.

Waktu terus berulang. Setiap kali hendak menjalankan salat Jumat, Retsu selalu mengajukan alasan ke sang ibu. Tidak pernah ia menyampaikan yang sebenarnya.

“Bu pengen keluar dulu ya. Mau ke bank, entah mau ketemu teman, pokoknya tiap salat Jumat gua ada aja alasan untuk keluar,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id, Rabu (13/3/2023).

Sampai sekarang Retsu belum berani menunjukkan cara ibadahnya secara Islam sudah tidak lagi menggunakan atribut perempuan mukena. Ketika sedang pulang kampung ke rumah keluarga di Bekasi, Jawa Barat, ia memilih beribadah di kamar dengan pintu tertutup meski sudah dengan atribut laki-laki berupa peci dan sarung.

Menurut Retsu, keluarganya masih membutuhkan waktu untuk menerima ia tak lagi menggunakan mukena ketika salat. Ia berani terbuka hanya kepada adik bungsunya ketika ada momen ia salat subuh berjamaah di masjid pada saf yang sama.

“Tapi kayaknya ibuku juga pernah nggak sengaja lihat aku salat. Soalnya pernah pas lagi sujud, ada yang buka pintu kamar terus ditutup lagi,” kata Retsu. “Feeling-ku, itu ibuku.”

Sudah sejak 2015 Retsu mulai mengakui dirinya sebagai seorang transpria. Ketika mulai belajar tentang sexual orientation, gender identity, expression, sex characteristic (SOGIESC) bersama jaringan Arus Pelangi, usianya sudah menjelang 21 tahun tapi belum paham betul apakah ia perempuan atau laki-laki. Retsu masih dirundung kebimbangan tentang gendernya. Secara perlahan, dia mulai memahami bahwa ia memiliki kecenderungan suka dengan perempuan, namun berbeda dengan lesbian. Retsu merasa bukan sebagai perempuan.

Retsu terlahir sebagai perempuan yang tumbuh dan besar di keluarga yang tak begitu harmonis. Orang tuanya bercerai ketika ia duduk di kelas empat sekolah dasar. Meski sempat rujuk kembali, keduanya kemudian benar-benar berpisah. Retsu tertekan, nilai sekolahnya jeblok.

Di masa kecil Retsu sempat bercita-cita menjadi seorang tentara, mengikuti jejak sang ayah. Lalu berubah ingin menjadi astronot, dan kemudian ingin menjadi dokter. Pada akhirnya Retsu berkuliah di jurusan pariwisata di salah satu kampus negeri di Bandung, sembari merintis bisnis sendiri.

Sejak kecil dalam bayangan Retsu, ketika menjadi orang dewasa ia akan menjadi seorang bapak, bukan ibu. Ia belum tahu bapak itu laki-laki, ibu itu perempuan. Saat itu ia masih duduk di bangku taman kanak-kanak (TK). Sedikit berbeda dengan anak kebanyakan yang pada usia 3 hingga 5 tahun sudah memahami gender mereka.

“Aku nggak tahu (genderku). Cuman tahunya kalau besar mau jadi bapak,” ungkapnya. “Tapi soal pakaian aku termasuk yang tidak berontak. Aku dikasih baju apa aja dipakai. Rok, gaun, walaupun pakai celana lebih enak, nyaman.”

Ketika beranjak dewasa, Retsu mengalami pubertas. Pengalaman pertama kali menstruasi membuatnya sangat terguncang. Terlebih ketika sang ibu menyodorkan pembalut. Harapannya untuk bisa memiliki kelamin ganda, sebagaimana mulanya ia bayangkan tentang seorang transgender, pupus.

“Masuk kamar mandi aku ngamuk-ngamuk sendiri. Rasanya kayak kiamat. Harapan dan impianku berkelamin ganda tidak tercapai,” ungkapnya.

Perjalanan spiritual Retsu cukup panjang. Ia sempat mengalami pergumulan batin atas kepercayaannya dan dirinya sebagai perempuan atau laki-laki. Retsu adalah seorang muslim. Atribut beribadah membuatnya kerepotan. Bahkan sempat membuatnya malas untuk mengaji.

Dalam pergumulannya, Retsu juga sempat mencoba belajar agama di luar Islam. Pada 2014, ia akhirnya memilih untuk mulai mendalami islam. Retsu merasa menemukan kedamaian di sini. Secara mandiri ia belajar membaca Alquran. Ia mulai menghafal surat-surat pendek agar bacaan salatnya lebih bervariasi.

“Gua nyari Alquran yang ada tulisan latinnya. Jadi kalau gua gak bisa baca, gua baca yang latinnya,” katanya. “Terus untuk salat juga, ya gua belajarnya sendiri.”

Dituduh Mempermainkan Agama, Diberi Stigma

Dalam perjalanan panjangnya menjadi seorang transpria, Retsu harus menerima berbagai stigma. Ketika masih duduk di bangku kuliah, ketika gelombang hijrah di Indonesia sedang kencang-kencangnya dalam kurun 2013 hingga 2015, ia turut dipaksa menggunakan jilbab panjang oleh teman-teman perempuannya.

Retsu, yang saat itu sedang menjalankan juga bisnis Multilevel Marketing (MLM), mengikuti desakan teman-temannya. Salah satu pertimbangan utamanya adalah demi kelancaran usaha.

“Dan ternyata lama-lama gua malah stres,” ujarnya. “Malah semakin tidak menemukan diri sendiri dan semakin tidak menjadi diri sendiri.”

Bertahan untuk beberapa waktu, Retsu tidak bisa terus-terusan membohongi diri sendiri. Ia lelah menggunakan topeng, sampai akhirnya memutuskan untuk melepas jilbab. Oleh rekan bisnis yang menyodorkan jilbab kepadanya, Retsu dituduh mempermainkan agama. Ia kemudian ditegur dan disuruh untuk kembali menggunakan hijab dengan benar.

“Terus gua dibilang, Teteh kalau (pakai) jilbab yang bener. Jangan lepas pakai, lepas pakai. Jadi gua dituduh mempermainkan agama,” tuturnya.

Menjadi seorang transpria berarti menjadi berbeda dari kebanyakan gender pada umumnya. Stigma dan diskriminasi muncul di berbagai lokasi. Dari transportasi umum sampai ke layanan kesehatan. Retsu sempat merasa trauma naik kereta api karena petugas mempersoalkan namanya yang terlalu feminin, sementara penampilannya sudah maskulin. Akses layanan ke bank juga masih sulit.

Retsu sudah sempat mengajukan persidangan penggantian nama di pengadilan Bekasi, namun sidangnya batal karena sang ayah tak hadir di persidangan. Akhirya ia mesti terus berhadapan dengan kondisi tak mengenakkan akibat perbedaan nama di KTP dan penampilannya yang sudah berubah.

Restu, seorang transpria dengan pergumulan panjangnya, terlibat  dalam kegiatan trust building program dari Initiative of Change pada tahun 2022. (Foto: dokumentasi pribadi Retsu)
Restu, seorang transpria dengan pergumulan panjangnya, terlibat dalam kegiatan trust building program dari Initiative of Change pada tahun 2022. (Foto: dokumentasi pribadi Retsu)

Dari Pesantren Menjadi Agnostik

Jarum jam menunjuk angka dua dini hari ketika ZA (20 tahun) terbangun dengan perasaan cemas. Ia tak nyaman dengan kondisinya sebagai seorang perempuan. Dari waktu ke waktu, kecemasan ini terus datang. Terus berulang.  

ZA bekerja menjaga toko dan kos-kosan di kawasan Cibiru, Bandung, terkadang sampai malam. Pulang, ia tak bisa nyenyak tidur karena sering terbangun oleh kecemasannya. Lewat salah satu kawan dari komunitas yang ia temukan lewat pencarian mandiri, tahulah ZA tentang apa yang ia alami. Sejak itu ia mulai memberanikan diri untuk berekspresi sebagai seorang transpria.

“Sampai ya udahlah, aku pengin melakukan apa yang membuat aku nyaman,” ungkapnya ketika berbincang dengan Bandungbergerak.id, Minggu (26/3/2023) malam.

ZA lahir dan tumbuh dari lingkungan keluarga yang cukup ketat soal agama. Ayahnya seorang marbot masjid, sementara sang ibu seorang guru ngaji.

Sejak kecil ZA sudah dibiasakan oleh sang ibu untuk memakai hijab. Kerudung mulanya ia anggap sebagai aksesoris semata. Namun lama-kelamaan ia makin tidak nyaman berpenampilan layaknya perempuan.

“Cuman pas dari SMP itu aku ya itu, ngerasa dengan lingkungan yang semuanya sama, tapi aku ngerasa beda sendiri,” katanya. 

ZA belajar di lingkungan pendidikan yang islami, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara sekolah dasar. Lulus, ia melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat. Selama mondok, pergumulan identitas ZA semakin kuat. Ia tak nyaman dengan kondisinya yang berbeda dengan perempuan lain pada umumnya.

Sejak kecil ZA memiliki bayangan ketika dewasa akan menjadi sosok laki-laki yang tinggi besar, berotot, dan berjakun. Namun itu tak pernah terjadi. Ia malah terjebak harus memakai hijab dan tinggal di asrama perempuan. Di pondok pesantren, proses beradaptasi dengan lingkungan seperti itu amatlah berat. ZA memilih untuk lebih banyak menyendiri.

Dua tahun mondok, ZA sempat kembali ke sekolah di daerah Cimahi, masih dari yayasan yang sama, tetapi tidak bisa mengikuti ujian nasional karena tak memiliki rapor. Ia harus kembali ke Tasikmalaya untuk menyelesaikan pendidikan jenjang sekolah menengah pertamanya di pondok.

Setelah lulus SMP, ZA tak lagi melanjutkan sekolah. Sekitar tahun 2017, ia mencari pekerjaan di daerah Cibiru, Bandung. Menjadi penjaga toko dan kos-kosan, ZA dibayar dengan gaji 1 juta rupiah per bulan. Ia hidup sendiri dan putus komunikasi dengan keluarganya.

“Emang udah planning sih. Justru malah planning-nya itu beres lulus SD itu, penginnya langsung kerja. Cuman kan jelas gak dibolehinkan ya. Terus ya mau kerja di mana juga anak SD,” ungkapnya.

Dalam pencariannya, ZA akhirnya mampu mengekspresikan dirinya sebagai laki-laki. Tentu saja orang tua, terutama sang ibu, masih menentang. ZA terpaksa sempat memutus kontak dengan keluarga. Perdebatan selalu muncul.

“Pasti kayak Tuhan tuh sayang. Coba mulai salat lagi, mulai baca alquran lagi. Kayak mulai perbanyak lagi ibadah,” ujarnya.

Kini ZA memilih menjadi agnostik. Tidak beragama, meski masih mempercayai Tuhan. Ini membuatnya merasa lebih tenang.

“Aku bisa melihat semuanya dengan lebih jelas,” ucapnya. “Aku bisa memposisikan diri sebagai seorang yang netral, nggak memihak sana sini.”

Sampai hari ini ZA belum benar-benar diterima oleh lingkungan. Pernah ada orang yang menyebut bahwa dirinya, sebagai seorang agnostik, “halal untuk dibunuh”. ZA dibuat marah, sedih, campur aduk. Ia bertanya pada diri sendiri, memangnya ia melakukan kesalahan apa sampai harus dibunuh.

ZA hanya menginginkan ketenangan. Ia punya harapan besar untuk bisa diterima oleh masyarakat, tapi jika itu tidak bisa, setidaknya jangan diganggu. Ia hanya ingin hidup tenang dengan orang-orang yang mau menerimanya.

“Kalian berharga,” ujarnya ditujukan bagi para transpria lain.

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (22): Cerita Fiona, Transpuan yang Sukarela Membantu Vaksinasi Covid-19
PROFIL SRIKANDI PASUNDAN: Wadah Aspirasi dan Aksi Transpuan Jawa Barat

Setara di Hadapan Allah

KH Marzuki Wahid, rektor Institut Islam Fahmina, menjelaskan bahwa secara teologis kedudukan transpria sama halnya makhluk Tuhan lainnya: sama di mata Tuhan. Apapun jenis kelaminnya, setiap orang memiliki posisi setara di hadapan Allah.

Dijelaskan Marzuki, dalam firman Allah, sesungguhnya orang yang paling mulia di hadapan Allah adalah orang yang paling bertakwa. Jadi kemuliaan manusia di hadapan Allah bukan karena jabatan, bukan karena jenis kelamin, bukan karena apapun, tapi yang menentukan dia mulia atau tidak adalah ketakwaannya.

“Maka setiap orang apapun jenis kelaminnya itu punya posisi yang sama untuk menjadi mulia di hadapan allah, karena kualitas ketakwaannya,” ungkapnya kepada Bandungbergergerak.id, Minggu (2/4/2023) melalui sambungan telepon.

Institut Islam Fahmina merupakan salah satu lembaga pendidikan islam yang berfokus pada kajian gender dan hak asasi manusia. Marzuki Wahid dikenal sebagai salah seorang kiai yang berpandangan progresif.  Ia mendorong agar setiap orang berlaku adil dan ramah, anti kekerasan, anti perundungan, serta anti diskriminasi. Seorang transpuan adalah juga sama-sama warga negara.

Marzuki menyatakan bahwa semua orang punya hak yang sama untuk memeluk agama islam, dan jika sudah memilih islam, dia memiliki kewajiban yang sama sebagai orang islam. Islam tidak pernah membedakan jenis kelamin.

Tentang posisi trans di dalam Islam, sang kiai menjelaskan bahwa belum ada keputusan final tentang penerimaan atau penolakan. “Saya memegangnya pengakuan yang bersangkutan,” ungkapnya.

Marzuki menegaskan bahwa tidak ada satupun makhluk yang boleh dibunuh hanya karena pilihan agamanya. Islam menghargai hak asasi manusia dan kemuliaan manusia.

“Apalagi membunuh, menyakiti saja tidak boleh. Mem-bully tidak boleh, mengurangi hak-haknya juga nggak boleh, melakukan diskriminasi juga nggak boleh. Soal dia mau beragama apa, itu masing-masing punya hak masing-masing. Jadi tidak ada paksaan di dalam agama,” tuturnya.

Dijelaskan Marzuki, keragaman jenis kelamin itu realitas yang ada dan terjadi. Prosesnya macam-macam. Motifnya juga macam-macam. Namun apapun pilihan gender seseorang atau jenis kelamin seseorang, kita tetap harus saling menghormati, saling menghargai, tidak boleh menyakiti atau mem-bully, tidak boleh melakukan diskriminasi, serta tidak melakukan kekerasan yang mengurangi hak-hak mereka. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//