• Kolom
  • KELAKUAN NETIZEN: Mudik Virtual

KELAKUAN NETIZEN: Mudik Virtual

Ada istilah “pareumeun obor”, sebuah nasihat bahwa jiwa manusia akan mati jika terputus dengan akar leluhurnya. Teknologi digital memungkinkan mudik virtual.

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Gelombang pemudik yang terjebak kemacetan di Cibiru, Kota Bandung, Kamis (6/5/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 April 2023


BandungBergerak.id – Dunia virtual selalu penuh kejutan. Di suatu magrib waktu Brisbane, seorang sahabat tiba-tiba mengirim foto kondisi terkini dari tempat dulu saya ngekos di Negla, Bandung. Tampak kamar saya di lantai dua, dengan sepasang jendela menghadap ke halaman. Melihat foto yang dikirim, saya langsung ingat banyak kenangan di sana. Bunga, gigil badan, gemuruh air selokan, dan lompatan ingatan lainnya. Memori bisa tiba-tiba hidup saat melihat layar kaca. Rasanya seperti mudik virtual, menjelajah kenangan.

Soal mudik virtual, saya takjub pada video berjudul Looking for a Malaysian ANCESTOR's home in Anxi, Fujian dari kanal Youtube “Little Chinese Everywhere!”. Suatu hari, Uncle Lim, seorang China perantauan di Penang, Malaysia, mengirimkan komentar pada kanal Youtube tersebut. Isi komentarnya meminta agar pemilik akun Youtube itu mengunjungi sebuah desa tempat leluhurnya tinggal.

“Apakah kamu berkenan untuk berkunjung dan membuat video tentang Anxi, Fujian? Tempat itu adalah tempat leluhur saya. Rumah itu masih berada di sana, berusia lebih dari 150 tahun,” tulis Uncle Lim dalam bahasa Inggris.

Uncle Lim adalah generasi keempat imigran Tiongkok di Penang, dan sudah lebih dari sepuluh tahun ia tidak pernah berkunjung lagi ke desa leluhurnya. Karena tak jauh dari tempatnya di Quanzhou, sang Youtuber pun memutuskan untuk pergi menelusuri rumah leluhurnya Uncle Lim. 

Dengan beberapa petunjuk dari Uncle Lim, ia mulai melakukan pencarian. Misalnya, sebutan Dragon Gate Village untuk lokasi yang dimaksud. Menggunakan kecanggihan Google Earth dan Google Map, Youtuber tersbeut menemukan titik Dragon Gate Village dan melakukan perjalanan selama 2-3 jam. Hujan rintik-rintik sambut kedatangannya di Anxi, kota yang terkenal dengan teh olongnya.

Selepas makan, dia kemudian bertanya kepada seorang pemilik grosir. Setelah melihat foto kuil milik Unlce Lim, secara mengejutkan pemilik toko tersebut berasal dari klan yang sama: Lim. Kemudian pemilik kelontong itu menanyakan ke group chat Keluarga Besar Lim tentang detail lokasi yang dicari. Pemilik toko pun menelusuri leluhurnya Uncle Lim lewat Zupu, sebuah buku pohon keluarga klan yang telah mencatat 600 tahun perjalanan dan lebih dari 10.000 jiwa secara runut di dalamnya. Mereka juga membedah tiga jilid tebal buku silsilah Keluarga Lim dari Dragon Gate Village. Buku itu mencatat keluarga Lim lebih dari 20 generasi, baik yang tinggal di China maupun di perantauan (termasuk Indonesia). Hingga akhirnya ditemukan bahwa Uncle Lim adalah generasi ke-15, dan pemilik toko tersebut generasi ke-16.

Setelah ditemukan rumah leluhur Uncle Lim, sang Youtuber dan Uncle Lim beserta istrinya melakukan virtual tour lewat video call. Mulai dari pesawahan di depan rumah, ke gudang tempat penyimpanan kayu bakar, sudut pembakaran dupa, atau kandang babi. Mereka pun mengamati sudut rumah yang hampir rubuh karena tidak ada yang merawat. Kemudian mengagumi sebuah pohon leci depan rumah yang seumur dengan bangunan rumah tersebut, lebih dari seratus tahun. Sepanjang virtual tour, Uncle Lim dan istri sangat antusias. Mereka bertanya, tersenyum, mengernyitkan dahi, dan raut bahagia tak pernah hilang dari wajah mereka.

Pareumeun Obor

Video berdurasi 20 menit tersebut, menggambarkan salah satu dampak teknologi. Ia mampu menghangatkan sepasang jiwa sepasang yang sudah renta dengan berziarah pada kampung muasalnya. Dalam istilah Sunda, terdapat istilah pareumeun obor (matinya obor). Sebuah nasihat bahwa jiwa manusia akan mati jika terputus dengan akar leluhurnya sendiri. Melalui teknologi digital terkini, sebenarnya silaturahmi bisa terus terjalin dengan emosi hampir selengkap bertemu fisik. Mulai dari kedip mata, nada bicara, raut wajah, detail pakaian, dan seterusnya.

Saya teringat sebuah penelitian yang ditulis oleh Prof. Shuang Liu, guru besar komunikasi lintas budaya yang mengajar saya di University of Queensland. Dalam jurnal berjudul Contributors to social well-being from the perspective of older migrants in Australia (2021), ia bersama tim meneliti orang-orang lanjut usia yang tinggal di Australia dan berasal dari beberapa negara, salah satunya China. Dalam penelitiannya, Shuang menyebut bahwa orang migran yang telah berumur sangat rentan untuk mengalami depresi jika terputus dengan lingkungan sosialnya, termasuk identitas kultural. Melalui wawancara, orang China lanjut usia yang tinggal Queensland merasakan bahwa komunitas sosial sangat penting untuk kesehatan mental mereka. Karenanya, mereka sering kali melakukan aktivitas bernyanyi lagu-lagu lawas China, beribadah dengan bahasa China, dan bentuk sosialisasi lainnya. Mereka yakin, aktivitas itu menguatkan mereka di negeri asing.

Penelitian itu cukup memotret betapa berat hidup di rantau jika tercerabut dari kultur budaya yang kuat. Karenanya, sering saya dengar perkataan, bahwa cara terbaik membuat bahagia orang tua yang sudah sepuh adalah membawa ingatannya kembali pada kenangan manis yang pernah mereka lakoni. Teknologi virtual, tampaknya bisa cukup membantu untuk mengelola keterikatan akan leluhur tersebut, menjaga emosi, membuat kesehatan mental lebih baik.

Jangankan orang tua, jika sedang lelah, saya sering kali mendengarkan tembang rajah Aki Dadan sebelum tidur sambil menatap lampu pembangunan jembatan sungai Brisbane dari kamar.

Teknologi Nir-Empati?

Memang, bagaimanapun bertemu secara fisik adalah cara terbaik untuk mengecas jiwa dan cinta pada diri kita. Namun, ketika hal itu tak memungkinkan, memanfaatkan teknologi tak salah dicoba. Teknologi maju pesat. Didukung infrastruktur jaringan internet yang makin tersebar dan kuat, penyimpanan awan (cloud storage) kian besar, serta gawai yang cepat bertambah canggih, silaturahmi dengan keluarga di kampung halaman bisa semakin memungkinkan terasa seperti nyata.

Hal pertama yang paling mudah dilakukan ialah dengan cara memanfaatkan kontak langsung dengan orang yang berada di kampung halaman. Bisa melalui video call, ataupun bentuk lainnya, sebagaimana Uncle Lim meminta tolong seorang Youtuber. Bisa juga menyelenggarakan silaturahmi virtual menggunakan platform pertemuan, atau siaran langsung halalbihalal keluarga besar di Hari Raya. Kedua, hal yang juga mudah dilakukan adalah dengan cukup melongok arsip-arsip digital soal keluarga yang tersedia di perangkat kita, atau di platform digital. Contoh menarik, seorang warganet di Twitter, @abdlrzzq, membuka jasa untuk mengubah data-data video fisik (misal dari DS) untuk menjadi arsip digital yang dapat dibagikan kepada keluarga besar. Menengok beberapa contohnya, terasa hangat melihat sebuah keluarga bertumbuh Bahagia.

Ketiga, hal yang berkembang cukup canggih ialah dengan menelusuri peta digital yang kian sempurna, hingga memiliki teknologi jelajah secara 360 derajat (seperti tiga dimensi). Dengan memanfaatkan teknologi yang sudah tersedia seperti Google Map, kita bisa melihat kondisi lingkungan di jalan tertentu dengan rentang waktu berbeda. Atau bisa secara sengaja membuat data map virtual. Contohnya pengabdian dan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Kristen Maranatha dengan membuat data virtual destinasi Cagar Budaya Tionghoa di Kampung Jamblang Cirebon. Seperti juga yang dikatakan Benjamin H. George dalam salah satu penelitiannya, tur virtual dapat menghemat anggaran dengan tetap meraih manfaat dari pengamatan sebuah wilayah.

Pertanyaan kritis tentu bisa diangkat mengenai konsep mempertahankan akar keterikatan keluarga dan kultur secara virtual ini. Apakah semua keluarga di berbagai wilayah sudah memiliki akses yang sama? Bagaimana perbandingan kelengkapan dan kualitas arsip digital antara keluarga berada dan keluarga tak berdaya? Apakah sekali lagi, dunia virtual ini hanya mempertegas bahwa hanya keluarga kaya dan akrab dengan teknologi tinggi yang mampu meraih kesehatan mental berkah kecanggihan virtual?

Tentu pertanyaan-pertanyaan itu juga layak diajukan. Apalagi sambil memberi zakat fitrah atau mendengar suara takbir dan perut lapar dari kaum miskin. Menengok mereka yang tercerai dari orang tua, yang ditinggal anak-anak merantau bekerja. Dan teknologi, apakah bisa menghadirkan kehangatan keluarga dan keadilan negara ke gubuk mereka?

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//