• Berita
  • Kelas Liar #7: Merangkul Perbedaan, Merajut Persaudaraan

Kelas Liar #7: Merangkul Perbedaan, Merajut Persaudaraan

Kelas Liar #7 mengangkat tema kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Mengungkap cara bersaudara dengan perbedaan.

Peserta Kelas Liar 7 yang mengangkat tajuk tentang keberagaman dan toleransi di Pasewakan Saka Binangun, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, 27 September 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Penulis Retna Gemilang30 September 2025


BandungBergerak - Jawa Barat masih menempati urutan pertama sebagai provinsi dengan jumlah kasus pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) tertinggi di Indonesia. Berdasarkan penelitian SETARA Institute, tahun 2023 setidaknya terdapat peristiwa pelanggaran KBB sebanyak 47 kasus dan pada tahun 2024 terjadi penurunan menjadi 38 kasus, meski tetap terhitung dengan kasus tertinggi.

Sebagai provinsi dengan populasi terbanyak di Indonesia, Jawa Barat rentan mengalami gesekan antarkelompok. Salah satu peristiwa dengan nuansa KBB terjadi pada penggunaan Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik, Bandung yang merupakan tempat ibadah milik umat Katolik. GSG Arcamanik diprotes oleh massa sejak dua tahun lalu. Massa menganggap adanya penyalahgunaan fungsi GSG. Berbagai dialog dan mediasi sudah ditempuh dengan melibatkan Pemerintah Kota dan DPRD Kota Bandung, tapi tak kunjung membuahkan kata sepakat.

Melihat kerentanan kasus-kasus intoleransi, Kelas Liar #7 mengangkat tajuk “Keberagaman Jawa Barat Menjadi Provinsi Paling Intoleran? Cara Merangkul Persaudaraan dalam Perbedaan”. Diskusi terbuka antarkeberagaman beragama berkeyakinan ini berlangsung di Pasewakan Saka Binangun, Lembang, Bandung, 27 September 2025.

Pasewakan Saka Binangun dipilih agar peserta Kelas Liar mengenal langsung pusat kegiatan bagi komunitas Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME Budi Daya yang merupakan bagian dari keberagaman keyakinan dan agama di Indonesia. Sebelumnya peserta Kelas Liar melakukan pemberangkatan bersama di beberapa titik jemput, mulai dari Perpustakaan Bunga di Tembok, Pintu Timur Stasiun Bandung, dan ada juga berangkat dengan kendaraan pribadi menuju lokasi Kelas Liar.

Menyikapi Jawa Barat sebagai daerah yang paling intoleran dalam KBB, Fadhil Reyhan, Wakil Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) menyatakan bahwa banyak kasus intoleran yang dilakukan kepada kelompok minoritas rentan.

Pada era Order Baru, misalnya, Fadhil memaparkan bahwa Indonesia pernah mengalami kebijakan penyeragaman budaya melalui program asimilasi, khususnya terhadap etnis Tionghoa. Terjadi pelarangan penggunaan nama Tionghoa menjadi nama berbahasa Indonesia sesuai Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967.

Indonesia diibaratkan sebagai gado-gado dengan berbagai kondimen yang disiram dengan bumbu kacang, beragam tapi tetap memiliki kesamaan. Fadhil menilai bahwa salah satu praktik asimilasi pada era Orde Baru layaknya gado-gado. Seluruh kondimennya dipaksakan sama dengan disiram bumbu kacang. Ini bukanlah menghargai keberagaman tapi penyeragaman.

"Nama-nama Chinese harus diubah ke dalam bahasa Indonesia. Nah ini tuh bukan keberagaman, tapi keseragaman atau yang disebut gado-gado," ulasnya saat membuka sesi pertama mengenai Kelas Liar dengan subjudul "Mengenal Keberagaman".
Ia mengingatkan, Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau sebagai rumah bagi ratusan kelompok etnis. Setiap daerahnya memiliki keberagaman budaya.

Fadhil kemudian mengulas teori Salad Bowl tentang menghargai dan toleransi dalam KBB yang dicanangkan oleh Horace Kallen. Teori ini bentuk kritik terhadap konsep melting-pot dalam melihat keberagaman.

Salad Bowl Theory, ujar Fadhil, menjelaskan bahwa perbedaan budaya pada suatu negara tidak semestinya dihilangkan dalam penyatuan. Melainkan diakomodasi dan dipelihara secara rutin, sehingga dapat menciptakan budaya nasional negara tersebut. Semua sayur dan kondimen lain menyimbolkan budaya yang saling melengkapi, mengisi tanpa harus dilebur atau disatukan, disiram dengan satu keseragaman.

"Menurut aku, melihat keberagaman Indonesia itu sebagai salad aja. Semuanya boleh masuk, enggak harus disiram biar merasa enak, yang penting wadahnya atau negaranya bisa menampung semuanya," ungkapnya.

Untuk menyikapi keberagaman agama di Indonesia, Fadhil menekankan tentang pentingnya mengedepankan ruang dialog.

Pada akhir penyampaian materi, peserta Kelas Liar diajak untuk berdialog dengan perwakilan komunitas agama atau keyakinan rentan melalui sesi Cafe Religi. Pada sesi ini terdapat kelompok kecil dari berbagai agama dan keyakinan mulai dari Bahai, Konghucu, penghayat, Kristen, hingga agnostik.

Kelas Liar 7 mengangkat tajuk tentang keberagaman dan toleransi di Pasewakan Saka Binangun, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, 27 September 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Kelas Liar 7 mengangkat tajuk tentang keberagaman dan toleransi di Pasewakan Saka Binangun, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, 27 September 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Mengenal Bahai

Masih cukup awam terdengar di Indonesia, ajaran Bahai dibawa oleh tokoh Baha'u'llah dari negara Persia, kini Iran. Clara Velicia, salah satu penganut Bahai, membagikan ceritanya dalam sesi Cafe Religi.

Bahai bukanlah bentuk dari sinkretisme yang berarti menggabungkan ajaran-ajaran lain yang sudah ada. Ajaran ini muncul sekitar tahun 1844.

"Jadi ini (Baha'i) usianya masih agak baru sih, masih 181 tahunan," cerita Clara.

Clara menuturkan, Bahai pertama kali tersebar di Indonesia pascakemerdekaan sekitar tahun 1950-1960-an. Pada saat itu, Indonesia sedang krisis dokter, sehingga didatangkanlah dokter-dokter dari Iran. Beberapa dari dokternya menganut Bahai dan menyebarkan ajarannya ke masyarakat Indonesia secara sembunyi-sembunyi.

"Waktu zaman itu butuh (banyak) dokter. Kebetulan (beberapa) dokter ini orang Bahai dan mungkin ajarannya belum terkenal luas. Jadi (mereka) diperintahkan untuk menyebarkan berita (agama Baha'i) walaupun enggak boleh terang-terangan, ya," ungkapnya.

Para penganut Bahai di Indonesia bergerak dan aktif di bawah bayang-bayang intoleransi masyarakatnya sendiri. Seperti yang dialami Clara saat dirinya masih kecil. Tak jarang Clara tidak mendapat kawan bermain karena larangan orang tua kawannya.

"Pernah dijauhin, kayak dulu gak dibolehin sama orang tuanya untuk main sama aku, takut dicuci otaknya," ungkapnya sambil tertawa santai mengingat kisah masa kecilnya.

Saat ini Clara menerima bahwa keberadaan komunitasnya adalah minoritas yang rentan. Ia cukup menyayangkan bahwa peran pemerintah yang tidak mengakui keberadaan Bahai.

"Jadi sampai sekarang pun, (agama kami) masih dipersekusi," singkatnya.

Peserta Kelas Liar 7 yang mengangkat tajuk tentang keberagaman dan toleransi di Pasewakan Saka Binangun, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, 27 September 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)
Peserta Kelas Liar 7 yang mengangkat tajuk tentang keberagaman dan toleransi di Pasewakan Saka Binangun, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, 27 September 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Kebebasan Beragama Berkeyakinan dan Interseksional

Sesi Kelas Liar selanjutnya disampaikan Dian Andriasari, dosen tetap Fakultas Hukum Unisba. Ia menjelaskan pentingnya membuka akses keadilan bagi kelompok marginal dan rentan, khususnya kelompok kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) melalui pendekatan interseksional.

Menurut Dian, interseksionalitas adalah gabungan berbagai bentuk diskriminasi yang saling berinteraksi dan berdampak pada kehidupan sehari-hari seseorang. Diskriminasi ini bisa berasal dari berbagai latar belakang, seperti etnis, agama, status perkawinan, pendidikan, hobi, usia, kepribadian, identitas gender, bahasa, kelas sosial, lokasi, budaya, dan lainnya.

Dengan memahami berbagai latar belakang tersebut, pendekatan interseksional bisa digunakan untuk mendorong lahirnya gerakan sosial yang lebih inklusif. Dalam konteks ini, lanjut Dian, pemerintah dapat menerjemahkan pendekatan ini ke dalam kebijakan atau peraturan yang melindungi kelompok rentan.

"Interseksional bisa menjadi lensa baru untuk mendefinisikan suatu hal, yang saat ini adalah KBB," jelasnya.

Interseksional lahir dari gerakan feminisme. Dalam konteks ini, perempuan masih menjadi bagian dari kelompok yang tidak diuntungkan karena mereka miskin, terbelakang, berasal dari ras, etnik, dan agama minoritas.

“Dari keberagaman personal itulah, apakah itu akan menjadi previlage atau penambahan pelapisan penindasan?” Dian menuturkan.

Sebagai contoh, kata Dian, jika seseorang berasal dari ras minoritas, memeluk agama minoritas, dan memiliki orientasi seksual yang dianggap berbeda oleh masyarakat, maka ia bisa mengalami berbagai bentuk penindasan sekaligus dari lingkungan sosialnya. Karena itu, penting untuk membangun sikap toleransi dengan memahami pengalaman setiap individu melalui kacamata interseksional.

Peserta dari Beragam Latar Belakang

Peserta Kelas Liar memiliki latar belakang yang beragam. Salah satunya Ilham Nur Rohman, lulusan Hukum Ekonomi Syariah Unisba. Dengan latar belakang muslim dan etnis Sunda, sepupu neneknya memiliki darah peranakan yang beragama Konghucu. Ia paham dan memiliki kesadaran penuh soal isu keberagaman.

"Di lingkungan keluarga saya juga plural, ada yang nonmuslim juga. Jadi saya cukup memahami isu-isu soal keberagaman, apa pun intoleransi tentang agama itu," cerita Ilham.

Peserta lainnya, Shendi, memeluk Kristen. Orang asal Karawang ini pernah menjadi atheis saat masih kecil. Namun, setelah beranjak dewasa dan dikenalkan unsur ketuhanan oleh sang Ibu, ia kembali lagi memeluk Kristen.

Shendi baru mengetahui alasan mengapa Jawa Barat menjadi provinsi yang paling intoleran se-Indonesia, yaitu karena beberapa lapisan masyarakat termakan dogma dari ajaran kaum mayoritas.

Shendi juga makin paham bahwa di beberapa titik Kota Bandung terdapat penghayat kepercayaan yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia sepakat bahwa masyarakat bisa memandang penghayat kepercayaan sebagai salah satu bentuk menjaga kebudayaan.

"Kita bisa memandang dari suatu kebudayaan, ya, tujuan mereka toh untuk melestarikan yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Jadi harus bisa lebih menghargai antarsesama aja sih," pesan Shendi.

Di akhir acara, seluruh peserta Kelas Liar #7 mendapat buku pegangan berjudul “Agama dan Kesadaran Kontemporer” sebagai referensi untuk makin memahami keberagaman di Indonesia.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//