Diskusi Metode Jakarta, Menyikapi Narasi Tunggal dari Negara dengan Buku
Buku Metode Jakarta karya jurnalis Brazil Vincent Bevins menganalisa tragedi 1965 dalam rangkaian peristiwa global.
Penulis Virliya Putricantika30 September 2025
BandungBergerak - Di awal 1990-an anak-anak yang duduk di kelas 4 - 6 SD diminta datang ke satu tempat, bioskop bekas di salah satu wilayah Jawa. Lembap, gelap dengan bau tak sedap. Di sana mereka dipertontonkan film propaganda dari pemerintah Orde Baru tentang malam 30 September 1965.
Film tersebut memang menyeramkan untuk anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar, tapi sebetulnya jeritan yang memenuhi ruangan itu disebabkan karena kaki-kaki tikus yang berjalan di atas kaki-kaki para siswa.
Cerita itu tidak akan didapatkan jika kita tidak hadir dengan seksama saat mendengarkan kisah kecil dari Tri Joko, pemantik diskusi buku Metode Jakarta di Toko Buku Pelagia, Bandung, Sabtu, 27 September 2025. Kisah pembantaian di Indonesia pada tahun 1965 pula tidak akan didapatkan jika tidak membaca buku karya Vincent Bevins ini.
Bevins, jurnalis asal Brazil, memang tidak menggambarkan seperti apa penculikan dan pembantaian yang dialami oleh masyarakat Indonesia yang terafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, ia memaparkan fakta-fakta hasil penelusuran arsip-arsip dan narasumber dari berbagai negara dengan hipotesis bahwa apa yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia juga terjadi secara global.
Penelusuran ini bukan disebabkan karena negara Brazil pernah dipimpin Jair Bolsonaro yang alergi pada komunis, tentu tidak sesederhana itu. Bevins menunjukkan bahwa Amerika Serikat sebagai negara adikuasa terlibat pada peristiwa 1965 di berbagai negara dengan menggunakan teror “Jakarta is coming”.
Masa itu teknologi tidak semutakhir saat ini yang sering diandalkan para gen z dan alpha untuk menggali dan mengkritik suatu informasi. Propaganda-propaganda di masa lalu begitu mudah membius masyarakat. Begitu juga yang terjadi di Indonesia di bawah kendali Suharto, seseorang “kesayangan” Amerika Serikat.
Suharto pernah mengikuti pelatihan militer di Texas. Ia dianggap berhasil menumpas komunis pada 1965 di Indonesia. Keberhasilan Suharto menjadi blue print untuk diduplikasi di negara lain. Sementara militer semakin di atas angin, tak tersentuh.
Hal itu juga yang memudahkan rezim militer Orde Baru untuk mengendalikan negara dengan narasi-narasi tunggalnya yang disodorkan kepada publik. Peristiwa terbunuhnya enam jenderal mendominasi pelajaran sejarah pasca-1965.
Selama enam periode lebih Orde Baru berkuasa. Kemarahan mahasiswa tahun 1998 tentu tidak sebanding dengan apa yang Suharto lakukan selama 32 tahun kepemimpinannya.
“Suharto mati baik-baik, kita tidak sempat menuntut keadilan atas 1,5 juta jiwa yang saat itu (1965 - 1966) mati sia-sia,” cerita Pradewi Tri Chatami, penerjemah buku Metode Jakarta sekaligus pemantik diskusi.
Lewat buku Metode Jakarta juga pertanyaan Pradewi di masa kecil dan remajanya sedikit demi sedikit terjawab. Anggota CIA (Central Intelligence Agency) yang tertangkap di Maluku menjadi petunjuk bahwa rasa takut terhadap komunis yang dikampanyekan Amerika Serikat benar adanya.

“Hantu” Indonesia: Dulu Komunis, Hari Ini Anarko
Membunuh sepertinya sudah menjadi tabiat mereka yang saat ini menduduki wilayah Amerika Serikat. Dulu mereka mengusir paksa suku Amerika asli dengan berbagai cara. Di tahun 1965 mereka melancarkan operasi Jakarta Method di negara-negara yang di dominasi paham komunis. Genosida yang terjadi sejak 2023 di Palestina yang dilakukan Israel pun didukung Amerika Serikat.
Selalu ada cara bagi mereka untuk menciptakan “hantu-hantu” dan ketakutan bagi publik. Sementara pelenyapan nyawa dalam tragedi 1965 dilupakan begitu saja. Stigma terhadap PKI masih melekat kuat hingga kini.
Propaganda narasi tunggal masih terus dijalankan. Pukul 11 malam, di hari yang sama dengan diskusi buku Metode Jakarta, film Penumpasan Pengkhianatan G 30S - PKI masih diputar dengan label “film spesial” di salah satu saluran televisi nasional.
Sebagian media setia masih menjaga kepentingan penguasa dan pemilik medianya. Ini bisa dilihat dari peristiwa mutakhir 29 - 31 Agustus 2025 lalu, ketika sejumlah media turut memberikan label anarko yang sebenarnya narasi yang berulang sejak 2019. Padahal ada ribuan masyarakat yang turun ke jalan untuk menyuarakan hak-hak mereka.
Labelisasi itu menjadi jalan bagi kepolisian untuk melakukan penyisiran dan penangkapan mereka yang dicap anarko karena berpakaian hitam. Tanpa surat tugas, tanpa bukti yang jelas, dan masyarakat sipil yang ditangkap sulit mendapatkan pendampingan hukum. Padahal sebelumnya ada tindakan kekerasan yang dilakukan aparat negara: tubuh Affan Kurniawan dilindas pada Jumat malam, 28 Agustus 2025.
Lewat tragedi demi tragedi setidaknya masyarakat sipil tahu bahwa penyelenggara pemerintahan Indonesia inkompeten dalam mengurus negara. Bahwa sejak lama kecacatan di tubuh karyawan rakyat ini masih bisa ditemukan sampai hari ini. Temuan Bevins dalam buku Metode Jakarta yang diterbitkan Marjin Kiri menjadi penting untuk diketahui banyak orang.
Diskusi buku ini bagian dari menyelami narasi-narasi yang selama ini dipinggirkan oleh narasi tunggal yang disodorkan negara. Melalui buku Metode Jakarta peserta atau pembaca diajak untuk bersikap dan berpikir kritis.
“Jangan takut baca buku, jangan takut untuk mengemukakan pendapat dan teruslah bersenang-senang,” tutup Pradewi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB