CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #90: Cicalengka di Bawah Riuh Renovasi Jalan
Kemajuan bukan hanya tentang berapa banyak jalan yang direnovasi, melainkan seberapa lapang hati masyarakat yang menempuhnya.

Andrian Maldini Yudha
Pegiat di Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka
13 Oktober 2025
BandungBergerak – Di antara lalu-lalang manusia yang kian tergesa, Cicalengka kini berpacu dengan waktu. Ia sibuk mempercantik wajahnya di tengah riuh deru renovasi. Setiap pagi di kota ini, ketika mentari belum sepenuhnya menumpahkan sinarnya dan ayam belum sempat berkokok sebagai penanda hari, dentuman dan deru kendaraan besar sudah lebih dulu menjadi alarm bagi kota itu.
Jalan-jalan besar di Cicalengka sedang menjalani proses renovasi sekitar satu bulan terakhir. Pekerjaan itu membawa dampak besar bagi denyut aktivitas sehari-hari warga. Kota ini terjerat dalam belenggu kemacetan, buah dari pembangunan dan renovasi jalan itu.
Mengingat Cicalengka sebagai kota yang berdenyut dengan aktivitas harian yang padat, pemandangan seperti ini seolah menjadi keniscayaan. Setiap pagi, saat warga bersiap menjemput rutinitasnya, mereka harus berdamai dengan hiruk-pikuk imbas renovasi pembangunan. Ada seorang ibu yang berjalan sambil menarik ujung kerudungnya untuk menyumpal hidung, menghindari debu yang menari di udara. Ada pelajar yang seragam putihnya berdebu sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Dan ada para ayah yang berpacu dengan waktu, menembus kepulan debu demi tiba tepat waktu di tempat kerja.
Jalan Raya Cicalengka–Majalaya, jalur penghubung dua wilayah yang di tengahnya terpotong oleh perlintasan kereta api, tidak luput menjadi langganan kemacetan. Salah satunya akibat imbas dari proyek renovasi jalan yang sedang berlangsung.
Lantas, terbetiklah satu pertanyaan di benak kita bersama: benarkah setiap pembangunan yang diidam-idamkan selalu membawa dampak baik bagi masyarakat? Bagaimana kesaksian warga Cicalengka menanggapi proyek ini? Dan apa saja implikasi yang mereka rasakan dari geliat pembangunan tersebut?
Jalan yang Diperbaiki, Waktu yang Terhenti
Bagi sebagian warga Cicalengka, geliat pembangunan itu terasa seperti ironi yang sunyi. Di satu sisi, mereka memahami bahwa perbaikan jalan adalah tanda kemajuan. Namun di sisi lain, kehidupan mereka justru terbelenggu oleh antrean kendaraan yang mengular dan debu yang menari tanpa jeda di udara. Jalan yang semestinya menjadi nadi pergerakan kini berubah menjadi simpul kemacetan, tempat waktu seolah berhenti berdetak.
Gencarnya pembangunan dan renovasi jalan di Cicalengka kini merambat di berbagai titik, seolah kota kecil ini tengah didera gelombang perubahan yang tak bisa ditunda. Namun di antara semua lokasi, yang paling kontras sekaligus paling menyita perhatian adalah ruas Jalan Raya Cicalengka–Majalaya, tepat di sekitar palang pintu kereta Stasiun Cicalengka.
Setiap pagi, klakson bersahutan bagai seruan yang lelah. Sopir angkot melampiaskan keluh di balik kaca buram kendaraannya, sementara pedagang kecil di tepi jalan mengibas-ngibaskan lap kain, berjuang menyingkirkan debu yang hinggap di dagangan.
“Naha ieu teh meni mararacet kieu, duh ieu teh rusuh rek gawe,” keluh seorang bapak yang berangkat kerja saban hari via jalur Cicalengka–Majalaya.
Keluhan semacam itu kini menggema saban hari, berpadu dengan suara mesin dan derit kendaraan. Warga yang dulu menempuh perjalanan dalam hitungan menit, kini harus menggadaikan waktu di tengah antrean yang tak kunjung menipis. Di balik gegap gempita proyek perbaikan itu, Cicalengka seperti sedang diuji kesabarannya. Sebagian mulai bertanya-tanya: apakah semua ini benar-benar wujud pembangunan, atau sekadar rutinitas renovasi yang tak berpihak pada kenyataan?
Di tengah riuh kendaraan yang tak pernah reda, pemandangan lain menambah sesak udara. Beberapa oknum tampak mondar-mandir di sekitar proyek, mengatur arus lalu lintas seolah membantu, tapi di ujungnya menadahkan tangan kepada pengendara. Alih-alih memperlancar jalan, keberadaan mereka justru mempertebal kemacetan. Sopir yang tergesa hanya bisa mengelus dada, menahan kesal di bawah terik yang memancing peluh, sementara deru mesin tak jua berhenti meraung.
Yang tak kalah ironis, justru di lokasi inilah beberapa warga berkomentar bahwa jalan tersebut sebenarnya masih layak pakai, tidak begitu rusak. Lalu mengapa bagian ini yang dibongkar dan diperbaiki? Pertanyaan itu menggantung di udara, membentuk gema ambiguitas—bahkan kemubaziran—di tengah praktik pembangunan yang katanya untuk kemaslahatan.
“Padahal mah jalan di dieu teh masih alus, teu parah-parah pisan. Tapi ieu malah dibongkar deui, lebar-lebar biaya,” tutur seorang warga tak jauh dari lokasi proyek.
Ucapan ini menyingkap pertanyaan yang lebih besar: apakah pembangunan ini benar lahir dari kebutuhan masyarakat, atau sekadar proyek yang harus berjalan tanpa menengok kenyataan di lapangan?
Kini, Cicalengka seakan menjadi cermin kecil dari wajah pembangunan yang serba tergesa. Di atas jalan yang diperbaiki, waktu justru berhenti berputar. Di antara debu yang berterbangan, warga hanya bisa menunggu. Entah kapan perbaikan ini benar-benar memberi arti bagi kehidupan mereka.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #89: Di Bawah Langit Kampung Simpen, di Atas Tanah Leluhur
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #88: Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu di Cicalengka
Ketika Debu Mulai Reda
Pada akhirnya, setiap pembangunan memang selalu meninggalkan dua wajah: satu yang tampak gagah di permukaan, dan satu lagi yang menanggung lelah di baliknya. Warga Cicalengka kini belajar berdamai dengan keduanya: antara harapan akan jalan yang mulus dan kenyataan bahwa proses menuju ke sana tak selalu seindah yang dijanjikan.
Debu akan memang reda, beton akan mengering, dan deru mesin akan kembali normal oleh manusia-manusia yang menjemput rutinitas. Namun, ada hal yang tak mudah disapu: rasa jengah yang tumbuh dari pembangunan yang sering kali lupa menatap wajah warganya sendiri.
Cicalengka, dalam riuh perbaikannya, seolah sedang mengingatkan kita bahwa kemajuan bukan hanya tentang berapa banyak jalan yang direnovasi, melainkan seberapa lapang hati masyarakat yang menempuhnya.
Namun, seperti halnya jalan yang tak selalu lurus, pembangunan pun menyimpan liku-liku yang kerap luput dari pandangan. Di antara gemuruh alat berat dan rencana besar yang ditulis di atas kertas, ada kehidupan kecil yang mesti berputar di tengah ketidakpastian. Warga terus berjalan, meski langkah mereka kadang terseok oleh genangan lumpur dan debu. Mereka menunggu, bukan hanya jalan yang rampung, tapi juga janji yang sungguh ditepati.
Barangkali kelak ketika Cicalengka kembali tenang dan jalan-jalannya terbuka tanpa hambatan, warga akan mengenang masa ini bukan sebagai sekadar fase pembangunan, melainkan sebagai ujian kesabaran yang mengajari arti keteguhan. Sebab dalam setiap butir debu yang kini berterbangan, tersimpan doa yang sederhana namun dalam: agar pembangunan benar-benar berpihak pada manusia, bukan hanya pada papan nama proyek dan seremoninya.
Dan ketika semua ini usai, mungkin kota kecil itu akan tampak lebih bersih. Bukan hanya karena debunya hilang, tapi karena kita belajar arti perjalanan yang sesungguhnya: bahwa tak semua yang diperbaiki benar-benar mengobati, dan tak semua yang berdebu selamanya mesti disapu.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB