• Liputan Khusus
  • MEMILAH BUKAN MEMBAKAR: Gerakan Hijau dari Kampus Mengadang Bandung Darurat Sampah

MEMILAH BUKAN MEMBAKAR: Gerakan Hijau dari Kampus Mengadang Bandung Darurat Sampah

Ketika mahasiswa dan dosen bersatu, pemilahan sampah bukan lagi sekadar wacana, tapi gerakan nyata menuju kemandirian kota.

Pemilahan sampah plastik daur ulang di kampus Telkom University, Bandung, 3 Oktober 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Tim Redaksi27 Oktober 2025


BandungBergerakWangi kaldu keluar dari dapur Asrama Masjid Salman ITB, Jalan Ganesha, Bandung. Riki Yansha sibuk membersihkan cangkang kentang, wortel, dan bekas bumbu kemasan sembari menunggu supnya matang. Sampah dapur ia buang ke tong sampah khusus organik, sedangkan sampah plastik dibuang ke tong sampah nonorganik.

Di balkon Asrama Masjid Salman ITB memang terdapat berbagai tong sampah khusus untuk memudahkan pemilahan, aturan yang diterapkan secara ketat bagi mahasiswa yang mondok di asrama. Riki sendiri tidak asing dengan aturan ini. Sebagai mahasiswa jurusan Teknik Lingkungan ITB ia telah mempelajari ilmu tentang pemilahan sampah.

“Dari awal itu emang sudah ditekankan untuk memilah sampah gitu,” ujar Riki, saat ditemui BandungBergerak, Jumat, 17 Oktober 2025.

Belum semua mahasiswa menjalankan pemilahan sampah. Maklum, sudah lama orang-orang membuang sampah tanpa metode ini, meski sebenarnya narasi pilah sampah sudah muncul sejak Bandung mengalami darurat sampah dua dekade lalu.

Dua puluh tahun lalu gas metana dan longsor sampah menewaskan 157 orang di TPA Leuwigajah. Sejak itu Bandung Raya, khususnya Kota Bandung, dihantui Bandung Lautan Sampah. Pembuangan sampah untuk Bandung Raya kemudian pindah ke TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat.

Namun darurat lautan sampah selalu berulang karena sistem penanganan sampah tidak banyak berubah, pemilahan sampah sebagai solusi ideal berjalan sangat lambat. TPA Sarimukti sudah lama penuh. Terbaru, kebakaran hebat yang melanda TPA Sarimukti selama 23 hari pada 2023 kembali membuat sistem persampahan Bandung Raya ambruk, sampai saat ini.

Pemilahan sampah di lingkungan Masjid Salman ITB lahir dari proses panjang Bandung darurat sampah. Menurut Riki, tanpa proses pemilahan permasalahan sampah di kota berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa ini akan semakin parah.

“Jadi ibaratnya semua itu harus pilah sampai sekecil apa pun,” jelasnya. 

Pemilahan sampah di Asrama Masjid Salman ITB, Bandung,  Jumat, 17 Oktober 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Pemilahan sampah di Asrama Masjid Salman ITB, Bandung, Jumat, 17 Oktober 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Cahaya dari Orang-orang Masjid

Masjid Salman ITB di Jalan Ganesha bukan hanya menjadi pusat spiritual umat Islam, tetapi juga ruang edukasi lingkungan. Di bawah Bidang Pengkajian dan Penerbitan (BPP) Masjid Salman ITB, tumbuh komunitas anak muda bernama Savior Rangers yang aktif mengkampanyekan isu lingkungan terutama pengelolaan sampah.

Embrio komunitas ini muncul pada tahun 2021 ketika panitia kegiatan Ramadan di masa pandemi membentuk Divisi Zero Waste. Setahun kemudian, pada Ramadan 2022, divisi tersebut resmi menjadi komunitas Savior Rangers yang bermarkas di Masjid Salman ITB. Komunitas ini bertugas mengedukasi sekaligus berdakwah kepada jamaah tentang pentingnya kesadaran terhadap sampah di lingkungan masjid.

Savior Rangers menyediakan lima jenis tempat sampah di area masjid dan juga bertanggung jawab atas pengelolaan sampah dari asrama. Komunitas ini terbagi dalam lima bidang, yaitu Zero Waste Rangers yang berfokus pada edukasi pemilahan dan pengelolaan sampah, Farming Rangers yang mengembangkan pertanian dan hidroponik di lingkungan masjid, Water Rangers yang mengelola air wudu dan limbah agar lebih efisien, Energy Rangers yang mendorong penggunaan energi terbarukan dengan panel surya, serta Cat Rangers yang mengurus kucing-kucing liar agar tetap aman dan tidak mengganggu jamaah.

Dalam aktivitasnya, para anggota mendirikan booth edukasi di sekitar masjid. Setiap jamaah yang hendak membuang sampah diarahkan sambil dijelaskan jenis sampah yang harus dipisahkan. Menurut Dhiniana Shara, Asisten Manajer Ekoliterasi Savior Rangers, edukasi menjadi kunci utama dalam membangun kebiasaan masyarakat.

“Akan susah, akan sulit masuk ke habits-nya masyarakat atau jemaah Salman kalau enggak dibarengi edukasi,” ujar Dhiniana Shara, Jumat, 17 Oktober 2025. “Apalagi jemaah Salman tuh kan datang dan pergi, silih berganti kan, ya.”

Masjid Salman menghasilkan sekitar 50 kilogram sampah setiap hari. Jumlah ini menjadi tantangan tersendiri bagi Savior Rangers dalam mewujudkan cita-cita nol sampah. Mereka memperkenalkan sistem pemilahan sampah berdasarkan warna tong sampah.

Tempat sampah berwarna kuning disediakan untuk botol dan logam seperti plastik, kaleng, atau kaca; biru untuk kertas seperti dus, koran, dan kotak makanan; oranye untuk plastik bersih seperti wadah mika dan plastik bening; abu-abu untuk residu seperti sachet, tisu basah, dan karet; serta hijau untuk sampah organik seperti buah, sayur, daun, atau tulang.

Mereka juga membentuk Duta Lingkungan Salman yang bertugas membuat edukasi digital tentang pengelolaan sampah. Sistem yang dijalankan Savior Rangers berusaha membentuk lingkaran keberlanjutan. Sampah yang terkumpul tidak langsung dibuang ke TPA, tetapi terlebih dahulu diolah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Sampah yang masih bermanfaat dipisahkan dan diserahkan kepada komunitas Maju Bersama Rongsok.

“Jadi kita ngajarin ke orang-orang gimana cara kita nge-treat sampah,” kata Shara.

Savior Rangers membagi pendekatan edukasi dalam tiga tingkat. Level pertama menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Level kedua mengajarkan cara membedakan sampah organik dan anorganik. Level ketiga menumbuhkan kemampuan memilah jenis sampah secara lebih spesifik sesuai peruntukannya.

Selain mengedukasi jamaah, komunitas ini membuka program sedekah sampah, di mana masyarakat bisa menyumbangkan sampah daur ulang atau minyak jelantah untuk diolah kembali. Aktivitas mereka tidak hanya terbatas di lingkungan Masjid Salman, tetapi juga menjangkau sekolah-sekolah dan kampus di Kota Bandung. Saat ini, anggota Savior Rangers mencapai sekitar 170 orang yang berasal dari berbagai institusi, termasuk siswa sekolah menengah atas.

Dengan semangat dakwah lingkungan, Savior Rangers berupaya mewujudkan Masjid Salman ITB sebagai tempat ibadah yang menumbuhkan keimanan sekaligus kepedulian pada bumi.

Pemilahan sampah plastik daur ulang di kampus Telkom University, Bandung, 3 Oktober 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Pemilahan sampah plastik daur ulang di kampus Telkom University, Bandung, 3 Oktober 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Dari ITB ke Babakan Siliwangi

Dua atau tiga kali pelemparan batu dari Masjid Salman ITB, di tengah rimbun hutan kota Babakan Siliwangi, berdiri Instalasi Pengelolaan Sampah Terpadu (IPST) Sabuga. Instalasi di pojok selatan Sabuga ini menampung dan mengolah sampah dari kampus ITB.

Dibangun pada 2011, IPST menempati lahan seluas 1.000 meter persegi. IPST Sabuga memiliki kapasitas 0,5-1 persen dari total sampah Kota Bandung yang setiap harinya mencapai lebih dari 1.500 ton. Keberadaan instalasi ini lagi-lagi sebagai jawaban dari rapuhnya sistem persampahan di Kota Bandung.

Perguruan tinggi atau kampus tentu tidak bisa tinggal diam dalam menghadapi darurat sampah di kotanya. Kalaupun diam, sikap mereka akan dipertanyakan. Posisi mereka sebagai pusat ilmu pengetahuan yang berguna bagi lingkungan diragukan.

ITB sebagai kampus negeri tertua dengan jumlah mahasiswa ribuan menghasilkan sekitar 2,3 ton sampah dengan komposisi terdiri atas 36 persen sampah daun dan tanaman, 24 persen sampah kertas, 16 persen sisa makanan, 11 persen sampah plastik, sisanya berupa logam, dan residu lainnya. Semua sampah ini diolah secara mandiri di IPST Sabuga.

Ketua Tim Penanganan Sampah ITB Pandji Prawisudha menjelaskan, metode utama pengelolaan sampah di IPST Sabuga adalah pemilahan sampah berdasarkan jenisnya. Meskipun cara ini dianggap rumit, pemilahan sangat penting. Tantangannya adalah banyak sampah yang masih tercampur, seperti kemasan nasi kotak, kardus berminyak, dan plastik kotor. Kondisi ini tidak hanya menyulitkan pemilahan, tetapi juga menurunkan nilai jual sampah yang sebenarnya masih bisa didaur ulang. Selain itu, sampah residu seperti kain, tisu, pembalut, dan bahan lain yang sulit diolah juga menjadi masalah tersendiri.

Jadinya prosesnya tidak tidak segampang yang terlihat,” kata Pandji, saat dihubungi BandungBergerak, Rabu, 1 Oktober 2025.

Sebelum dipilah dan diproses di IPST Sabuga, sampah-sampah dari kampus ditampung dalam wadah sampah berwarna yang sesuai dengan jenisnya. Sampah residu atau limbah B3 dikelola oleh masing-masing laboratorium, sebagian di antaranya digunakan sebagai bahan bakar kendaraan listrik pengangkut sampah.

Sampah-sampah yang sudah dipisahkan diangkut ke IPST Sabuga dalam tiga sesi setiap hari dan dipilah lebih lanjut oleh petugas kebersihan. Proses pengelolaan di IPST Sabuga meliputi pengomposan untuk sampah taman, sedangkan sampah yang tercampur dipilih oleh delapan operator yang memilahnya berdasarkan jenisnya. Sampah yang memiliki nilai ekonomi akan dijual ke Bank Sampah.

Sisa makanan dikumpulkan dalam ember putih dan diproses menggunakan larva Black Soldier Fly (maggot). Hasil pengolahan maggot digunakan sebagai media tanam. Sebagian lagi dikemas dan dikirim ke petani di Lembang.

Meski ITB sudah memiliki sistem pengelolaan sampah sendiri, kampus yang dikenal dengan logo Dewa Ilmu Pengetahuan dalam mitologi Hindu ini masih membuang sisa-sisa sampah residu ke TPA dalam skala kecil. Namun, ITB menargetkan untuk tidak lagi mengirim sampah ke TPA di masa depan.

Lokasi pemilahan sampah di kampus Telkom University, Bandung, 3 Oktober 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Lokasi pemilahan sampah di kampus Telkom University, Bandung, 3 Oktober 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Biaya Menjadi Kendala

Pengelolaan sampah mandiri menghadapi tantangan besar terutama dari sisi biaya operasional. Pandji menjelaskan, sistem pemilahan dan pengelolaan sampah yang lebih terstruktur di ITB mulai diterapkan sejak 2024. Dampaknya nilai material daur ulang mengalami peningkatan signifikan.

Pada 2023 ketika sistem belum berjalan penuh, volume sampah daur ulang hanya mencapai 17–18 ton per tahun dengan nilai sekitar 13-14 juta rupiah. Namun, dalam enam bulan pertama 2024, jumlahnya sudah mencapai 18,5 ton dengan nilai sekitar 21 juta rupiah. Dengan tren ini, ITB memperkirakan pendapatan dari material daur ulang bisa menembus 40 juta rupiah per tahun.

Meski begitu, peningkatan pendapatan belum cukup untuk menurunkan biaya operasional. Jumlah dan beban kerja operator justru meningkat. Sampah yang harus dipilah makin banyak, sementara investasi awal untuk fasilitas dan peralatan pengelolaan mencapai 1,6 miliar rupiah.

Dari hasil evaluasi tim, hanya tiga jenis material daur ulang yang cukup ekonomis dan mampu menutupi biaya gaji operator, yaitu logam, botol plastik air mineral, serta kertas atau kardus. Sementara itu, sampah seperti kantong kresek dan kaca belum memberikan nilai balik yang sebanding.

“Aspek ekonominya belum merata,” ucap Panji.

Meski secara ekonomi belum ideal, sistem baru membawa dampak positif bagi efisiensi pengelolaan sampah dan kesadaran lingkungan di kampus. Kebijakan kampus melalui SK Rektor dan Instruksi Rektor tentang pembatasan penggunaan plastik dan kertas sekali pakai, mendorong penggunaan wadah makanan pribadi, serta memperkuat sistem pemilahan sampah di semua unit kampus.

Pandji menilai, sebagian mahasiswa sudah mulai terbiasa dengan aturan kampus, tapi sebagian lainnya masih menganggap sistem pemilahan sebagai beban.

“Kita masih terus berevolusi,” jelas Pandji.

Pemilahan sampah di Asrama Masjid Salman ITB, Bandung,  Jumat, 17 Oktober 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Pemilahan sampah di Asrama Masjid Salman ITB, Bandung, Jumat, 17 Oktober 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Tanggung Jawab Utama Tetap pada Pemerintah

Pandji menegaskan, berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Sampah Nomor 18 Tahun 2008, tanggung jawab utama pengelolaan sampah sebenarnya berada di tangan pemerintah daerah. Peran masyarakat bersifat pendukung.

“Kalau masyarakat mau mengolah sampah, itu bagus. Tapi sebetulnya kewajiban utamanya tetap di pemerintah kota atau kabupaten,” ujarnya.

Upaya seperti program Zero Waste Campus yang dijalankan ITB bisa menjadi contoh baik bagi pengurangan sampah di tingkat masyarakat. Namun, Pandji menekankan bahwa program semacam ini tidak bisa menggantikan peran pemerintah dalam menyediakan layanan publik dasar, seperti pengangkutan dan pengolahan akhir sampah.

Menurutnya, sinergi antara pemerintah dan masyarakat adalah kunci. Pemerintah harus menjamin layanan dasar berjalan optimal, sementara masyarakat bisa berkontribusi melalui pemilahan dan pengurangan sampah dari sumbernya.

Untuk itu, IPST Sabuga tidak hanya fokus pada pengelolaan, tetapi juga pada edukasi lingkungan. Ke depan ITB menargetkan IPST menjadi model pengelolaan sampah komunal berkelanjutan yang bisa diterapkan di tingkat RW atau kelurahan.

“Kami terus berupaya agar ITB semakin dapat meningkatkan pemilahan sampah agar pengelolaan menjadi lebih efektif dan efisien, serta dapat mengurangi volume sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir,” imbuhnya.

Instalasi pengelolaan sampah di Sabuga ITB, Bandung, 3 Juni 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)
Instalasi pengelolaan sampah di Sabuga ITB, Bandung, 3 Juni 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Menuju Kampus Hijau

Di tengah situasi darurat sampah berkepanjangan memang akan sulit bagi kampus-kampus di Bandung mengandalkan sistem pengelolaan sampah dari pemerintah. Telkom University (Tel-U) tergerak mengendalikan sampah secara mandiri. Upaya ini dimulai sekitar tahun 2021, bertepatan dengan masa pandemi Covid-19. Saat sebagian besar warga kampus bekerja dari rumah karena pembatasan sosial pandemi, Tel-U memanfaatkan momentum tersebut untuk melakukan pembenahan sistem persampahan di internal kampus.

Sebelumnya, kondisi pengelolaan sampah kampus di Bandung selatan itu masih belum teratur. Dengan populasi sekitar 33.000 mahasiswa dan kurang lebih 2.000 dosen dan tenaga kependidikan, Tel-U menghasilkan sekitar 6 ton sampah setiap harinya, dengan rincian 3 ton sampah daun dan ranting, 2,5 ton sampah anorganik, dan 500 kg hingga 1 ton sampah sisa makanan. Tempat pembuangan sementara kerap kali menumpuk dan kampus harus mengeluarkan biaya sekitar kurang lebih 5 juta rupiah setiap bulan untuk mengangkut sampah.

Tel-U kemudian bergabung dengan UI GreenMetric, sebuah lembaga internasional yang menakar komitmen keberlanjutan universitas di seluruh dunia. Pengelolaan sampah di Tel-U mengacu pada konsep nol sampah (zero waste) dengan teknik pemilahan. Diyakini bahwa semua jenis sampah memiliki potensi pemanfaatan yang berbeda-beda.

Ada sampah yang dimanfaatkan untuk didaur ulang dengan mengubahnya menjadi karya seni, ada yang dijual ke pengepul-pengepul yang berbeda sesuai dengan permintaan. Contohnya, sampah ranting pohon yang dapat dimanfaatkan kembali sebagai karya seni dan digunakan sebagai pembatas ruang, sementara sampah ranting yang tidak dapat didaur ulang disalurkan ke pabrik tahu untuk digunakan sebagai bahan bakar.

Sampah organik lainnya seperti daun akan dikumpulkan di rumah kompos yang kemudian dicampur dengan sekam dan kotoran hewan untuk dijadikan pupuk organik dan dijual dengan harga 5.000 hingga 7.000 rupiah. Sampah sisa makan yang masih layak dimanfaatkan sebagai pakan ayam, sementara sisanya diolah menggunakan maggot yang kemudian juga digunakan kembali untuk pakan ternak hewan. Tak heran jika Tel-U memiliki ternak domba garut, ayam, merak, kelinci, merpati, hingga rusa.

Untuk sampah jenis botol plastik dan sejenisnya dikirim ke industri daur ulang. Hasilnya, empat hingga lima truk sampah setiap minggunya dapat dialirkan dan menjadi sumber ekonomi sirkular.

“Jadi sampah itu harus beres hari itu juga, karena besok akan ada lagi,” jelas Triwidarmanti, Kepala Urusan Lingkungan dan Sustainability Telkom University, kepada BandungBergerak.

Selain itu, Tel-U juga mengelola Green House yang memproduksi sayur-sayuran seperti kangkung dan pakcoy, serta hasil ternak seperti ayam dan telur. Semua itu kemudian mereka jual kepada warga kampus.

Tidak hanya sampah yang dihasilkan dari dalam kampus, Tel-U juga bertanggung jawab akan sampah-sampah yang dihasilkan para pedagang yang berjualan di wilayah sekitar kampus. Mereka menghasilkan sampah kurang lebih 1 ton setiap harinya.

Dengan sistem ini Tel-U berhasil mengelola seluruh sampahnya secara mandiri selama 5 tahun tanpa mengirimkannya ke TPA. Meskipun demikian, program keberlanjutan Tel-U menghadapi sejumlah tantangan terutama dari faktor manusia.

Tel-U menerima kurang lebih 8.000 mahasiswa baru setiap tahunnya yang memiliki latar belakang kebiasaan yang berbeda-beda, terkhusus dalam hal perlakuan mereka terhadap sampah. Proses edukasi dan pembiasaan pun harus dilakukan tanpa henti. Petugas kebersihan, dosen, dan warga kampus lainnya yang sudah lebih lama perlu ikut berperan secara aktif dalam menanamkan budaya memilah sampah.

Persoalan lain, Tel-U masih menggunakan pendekatan pembakaran sampah. Tahun 2020 kampus BUMN ini mengeluarkan kebijakan Surat Keputusan Rektor tentang pengelolaan sampah ramah lingkungan dan berbasis teknologi yang diberi nama Integrated Waste Management (I-WANT).

Dalam buku “Kiprah Telkom University Mengolah Sampah” yang diterbitkan Bagian Logistik dan Aset Telkom University, diperinci bagaimana sistem pengelolaan sampah di Tel-U termasuk penggunaan insinerator yang diklaim ramah lingkungan. Buku riset ini menyebut, setiap hari dua ton dedaunan diproses, sementara sisa daun yang tidak terolah dikeringkan dan dibakar dalam insinerator tanpa asap. Abu hasil pembakaran dimanfaatkan untuk bahan baku batako, paving block, dan pot bunga. Sebagian sampah anorganik juga ada yang dibakar dalam insinerator berbahan bakar solar dan air, dengan hasil pembakaran berupa karbon yang digunakan sebagai pupuk.

Terlepas dari kontroversi insinerator yang banyak ditentang aktivis lingkungan, Triwidarmanti mengatakan hingga saat ini Tel-U terus berupaya untuk menjaga keberlanjutan programnya. Saat ini kampus tengah melakukan riset insinerator agar dampak asap tetap aman bagi manusia dan hewan. Sebagai langkah lanjutan, Tel-U melakukan penanaman pohon untuk menyeimbangkan emisi karbon yang dihasilkan dari proses pembakaran.

Sementara buku “Kiprah Telkom University Mengolah Sampah” juga mengklaim dampak sistem I-WANT tidak hanya dirasakan di dalam kampus, tetapi juga melibatkan masyarakat sekitar. Pengelolaan sampah ini menjadi bagian dari strategi pembangunan Kampus Hijau dan Lestari (Green & Sustainable Campus). Sistem ini juga menciptakan pemasukan non-tuition fee melalui pengolahan dan penjualan produk sampah.

Pada 2021, Tel-U meraih peringkat ke-9 nasional versi UI GreenMetric dan menjadi perguruan tinggi swasta terbaik di Indonesia dalam kategori kampus hijau.

“Green campus di Tel-U bukan sekadar penghijauan dengan menanam aneka pepohonan, namun menjadikan berbagai elemen di kawasan kampus ramah lingkungan, sehingga prosesnya berkelanjutan (sustainable) dan memberikan kebermanfaatan,” kata Andijoko Tjahjono, Wakil Rektor II Bidang Sumber Daya, dalam keterangan resmi.

Instalasi pengelolaan sampah di Sabuga ITB, Bandung, 3 Juni 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)
Instalasi pengelolaan sampah di Sabuga ITB, Bandung, 3 Juni 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Unpar: Biogas, Kompos, dan Waste Station

Unpar tak tinggal diam dalam menghadapi darurat sampah. Kampus swasta di utara Bandung ini memulai langkah pengelolaan sampah mandiri sejak 2020. Tiap hari, sekitar 5–7 kilogram sampah organik diolah menjadi biogas dalam tabung tong besar. Gas yang dihasilkan dialirkan lewat pipa, sementara air lindi digunakan untuk menyiram tanaman.

Menurut Ade, Tim Leader Aeon Delight Indonesia, biogas sempat digunakan oleh kantin sebelum pandemi dan kini difungsikan untuk kebutuhan internal.

Pemilahan juga dilakukan setiap pagi. Sampah anorganik seperti kardus, kaleng, dan botol plastik dikumpulkan dan disetor ke bank sampah setiap Selasa. Sampah daun dicacah di halaman belakang Fakultas Teknologi Rekayasa (FTR) dan digunakan untuk membuat pupuk kompos.

“Sampah yang paling dominan biasanya daun, kardus, plastik kemasan, dan kaleng. Itu punya nilai ekonomis juga,” kata Ade.

Kolaborasi Unpar dengan Rekosistem dan Blu by BCA menghasilkan inovasi berupa waste station di halaman Gedung Rektorat. Stasiun ini menerima sampah anorganik dan minyak jelantah yang dapat ditukar menjadi poin digital. Poin akan dikonversi menjadi uang digital, voucher belanja, atau donasi bagi pemilah sampah.

“Sampah yang bisa ditukar hanya yang anorganik. Untuk minyak, dapat sekitar 6.000 rupiah per kilogram,” kata Bagja dari Rekosistem.

Unpar juga menjadi universitas pertama di Bandung yang bekerja sama dengan Rekosistem dalam pengelolaan sampah elektronik. Pada 2022, program Kubika Nawasena diluncurkan untuk menampung limbah e-waste dari lingkungan kampus. Edukasi terus digencarkan, termasuk melalui talkshow bersama Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung, yang mengajak kampus lain menerapkan prinsip pemilahan sampah Kang Pisman.

“Kita baru sampah organik dan anorganik yang mampu diolah. Jika residu itu belum, kita sedang upayakan sambil berjalan metode yang baik untuk diterapkan,” kata Wakil Rektor Unpar Catharina Badra Nawangpalupi.

Komitmen ini juga sejalan dengan penandatanganan kesepakatan bersama 75 perguruan tinggi di Bandung untuk mengelola sampah mandiri.

Baca Juga: MEMILAH BUKAN MEMBAKAR: Seribu Pilihan Mengolah Sampah di Bandung, Selain Insinerator

Seniman Isa Perkasa usai upacara Hari Kemerdekan RI ala seniman dengan tema Upacara Kemerdekaan Runtah di TPST dan insinerator di komplek Sabuga dan Hutan Kota Dunia Babakan Siliwangi, Bandung, 17 Agustus 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)
Seniman Isa Perkasa usai upacara Hari Kemerdekan RI ala seniman dengan tema Upacara Kemerdekaan Runtah di TPST dan insinerator di komplek Sabuga dan Hutan Kota Dunia Babakan Siliwangi, Bandung, 17 Agustus 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Unpad Hejo: Mendorong Kebijakan Ramah Lingkungan

Upaya menuju kampus nol sampah juga dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Padjadjaran (Unpad). Melalui Departemen Lingkungan Hidup, BEM membentuk Unpad Hejo, sebuah gerakan yang berfokus pada pengurangan sampah dan peningkatan kesadaran lingkungan di lingkungan kampus.

Menurut Fathan Zaky, Kepala Departemen Lingkungan Hidup BEM Unpad, Unpad Hejo hadir sebagai wadah edukasi bagi sivitas akademika untuk memahami isu-isu lingkungan, terutama persoalan sampah. Edukasi itu disebarkan melalui berbagai cara, mulai dari kampanye poster di tempat strategis seperti kantin hingga melalui media sosial. Tujuannya agar seluruh warga kampus lebih sadar pentingnya membuang sampah pada tempatnya dan membiasakan diri memilah sampah.

“Masalah di Unpad sendiri tentang sampah karena bisa dibilang ini permasalahan struktural, mulai dari kebijakan yang kurang hingga kebiasaan pola hidup mahasiswa yang tak membiasakan memilah sampah,” ujar Fathan kepada BandungBergerak, Selasa, 21 Oktober 2025.

Fathan menyadari bahwa masih banyak mahasiswa yang belum terbiasa menjaga kebersihan lingkungan. Jangankan memilah sampah, membuangnya ke tempat yang benar pun masih sering diabaikan. Karena itu, Unpad Hejo rutin mengadakan kegiatan bersih-bersih kampus dan berkolaborasi dengan berbagai komunitas di luar kampus untuk memperluas edukasi lingkungan.

Namun, masalah utama justru ada pada kebijakan kampus sendiri. Ia menilai sistem pengelolaan sampah di Unpad belum berjalan optimal. Sampah yang sudah dipilah oleh mahasiswa kerap kali disatukan kembali di Tempat Pembuangan Sementara (TPS).

Pantauan di lapangan masih terjadi pembakaran sampah terbuka di area TPS Ciparanje. Melihat kondisi tersebut, Unpad Hejo mendorong pihak kampus untuk mengoptimalkan Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS 3R) agar sampah dari aktivitas sivitas akademika dapat terkelola dengan lebih baik. 

“Unpad Hejo selain mengedukasi kepada Kema (keluarga mahasiswa) Unpad harapannya kita bisa mengajukan keresahan juga ke rektorat,” terang Fathan. “Karena rasanya kalau Unpad Hejo hanya melakukan kegiatan tanpa ada perubahan struktural atau perubahan tindakan dari rektorat, sia-sia aja.”

Sebagai bentuk kepedulian dan ajakan refleksi, Unpad Hejo kini mengadakan lomba penulisan artikel dan opini bertema kritik terhadap kebijakan kampus dalam pengelolaan sampah. Harapannya, tulisan-tulisan tersebut dapat membuka mata pihak kampus untuk menindaklanjuti persoalan sampah secara lebih serius dan berkelanjutan.

Kampus Unpad Jatinangor mencatat produksi sampah harian mencapai 3 hingga 5 ton, terdiri atas 60–70 persen sampah organik dan 30–40 persen sampah anorganik. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1,2 ton per hari berasal dari sampah daun dan ranting. Sisanya mencakup 45,87 kg/hari sampah organik domestik, 30,11 kg/hari limbah laboratorium, dan 162,12 kg/hari limbah kayu dari perkantoran.

Pengelolaan sampah Unpad saat ini dilakukan di TPA Ciparanje. Namun keterbatasan tenaga dan teknologi membuat tumpukan sampah belum seluruhnya dimanfaatkan optimal. Beberapa diolah menjadi pupuk, sebagian dijadikan bahan bokashi atau pakan maggot, namun sisanya masih dibakar, yang berpotensi menambah polusi udara akibat pelepasan karbon dioksida.

Tim peneliti dari Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem FTIP, serta Departemen dan Program Studi Fisika FMIPA Unpad, pernah meneliti metode pengomposan, yakni mengubah sampah organik daun dan ranting menjadi "biobriket", sumber energi alternatif yang diklaim ramah lingkungan. Menurut tim peneliti dalam jurnal berjudul "Pembuatan Biobriket dari Sampah Daun dan Ranting di Kampus Unpad Jatinangor"  (2025), biobriket dari biomassa memiliki potensi menjadi bahan bakar alternatif yang bersih dan terbarukan, karena emisinya jauh lebih rendah dibanding bahan bakar fosil.

Penggunaan biobriket berbasis sampah organik dinilai sebagai solusi strategis di tengah meningkatnya volume sampah dan keterbatasan pengelolaan di TPA. Selain meminimalkan pembakaran terbuka yang mencemari udara, pendekatan ini juga menciptakan nilai ekonomi dari limbah yang sebelumnya tidak termanfaatkan.

“Telah berhasil dibuat biobriket dari sampah organik dedaunan dan ranting-ranting pohon yang diperoleh di sekitar kampus Unpad Jatinangor,” tulis tim peneliti dalam laporannya.

Penelitian ini diharapkan menandai langkah awal transformasi energi terbarukan di lingkungan kampus, sejalan dengan semangat green campus yang diusung Unpad.

Belajar dari Kampus, Bukan dari Asap

Kota Bandung menghasilkan sekitar 1.500 ton sampah per hari, menyumbang hampir 70 persen dari total kiriman ke TPA Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat. Kapasitas TPA telah terlampaui hingga 1.000 persen dengan tinggi tumpukan mencapai lima meter. Menurut Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), 44,51 persen dari sampah tersebut adalah organik. Minimnya pengolahan dari sumber membuat kondisi semakin genting. Sementara itu, sarana pemilahan masih minim dan kesadaran publik belum merata. Pola lama "kumpul-angkut-buang" tetap dominan.

Pengelolaan sampah di tengah situasi darurat masih terbelah antara dua pendekatan: mendorong pemilahan di sumber atau mengandalkan pembakaran dengan teknologi thermal seperti insinerator dan RDF (Refuse-Derived Fuel) yang berbahaya bagi lingkungan hidup. Pendekatan thermal menuai kritik dari berbagai organisasi lingkungan seperti Walhi, GAIA, dan AZWI. Mereka menilai pembakaran hanya menggantikan masalah lama dengan polusi dan risiko kesehatan baru.

Selain itu, dampak besar dari buruknya pengelolaan sampah adalah gas metan yang menyumbang pemanasan global dan krisis iklim. Pengelolaan sampah dengan pendekatan pembakaran akan semakin parah meningkatkan polusi di atmosfer yang memicu pemanasan global.

Alida Naufalia dari YPBB mengingatkan, pendekatan pengelolaan sampah dengan teknologi pembakaran akan merusak lingkungan dan ekosistemnya, selain memperparah perubahan iklim.

“Air, ekosistem, pangan, pesisir, dan kesehatan adalah dampak utama yang bisa kita rasakan akibat perubahan iklim,” kata Alida.

Program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan) di Kota Bandung yang pernah menjadi harapan kini dinilai mengendur pelaksanaannya. Sementara bank sampah pun menghadapi kendala seperti keterbatasan tenaga kerja, persaingan harga dari bandar sampah, dan rendahnya literasi warga dalam memilah. Padahal potensi sistem ini besar.

Ketika pemerintah terus mempromosikan insinerator dan RDF sebagai solusi jangka pendek dan tidak ramah lingkungan, kampus-kampus seperti ITB, Unpar, Telkom University, dan Unpad memberikan teladan pengelolaan sampah yang berbasis edukasi, partisipasi, dan efisiensi. Mereka menunjukkan bahwa pemilahan dari sumber, keterlibatan komunitas, serta penggunaan teknologi tepat guna adalah jalan keluar yang berkelanjutan.

Dari sistem pewadahan, pengangkutan, pemilahan, kampus negeri dan swasta tersebut tidak hanya memproses sampah, mereka membangun budaya. Ketika gunungan sampah di Sarimukti dan Leuwigajah menjadi simbol dari kebijakan yang gagal, kampus menjadi simbol harapan.

Pengelolaan sampah yang benar tidak memerlukan tungku pembakar, tetapi pemikiran jernih dan keberanian membangun sistem dari hulu. Dengan pendekatan yang konsisten dan komitmen lintas unsur, empat kampus ini membuktikan bahwa solusi darurat sampah dapat dimulai dari institusi, mendidik, dan membangun kultur pemilahan.

***

*Reportase ini hasil liputan reporter BandungBergerak Fitri Amanda, Yopi Muharam, dan Muhammad Akmal Firmansyah. Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//