Kebangkitan Fasisme dan Runtuhnya Negara Hukum Kita
Gejala-gejala fasisme berimplikasi pada pengingkaran sistematis terhadap konstitusi dan hukum yang berlaku.

Ardhyansyah
Mahasiswa STHI Jentera
27 Desember 2025
BandungBergerak.id – Telah dua puluh tujuh tahun (1998–2025) Indonesia terbebas dari belenggu otoritarianisme melalui aksi demonstrasi besar-besaran yang menumbangkan rezim fasis Orde Baru di bawah Soeharto. Soeharto telah terlalu lama berkuasa dengan tangan besinya yang penuh darah dan bertanggung jawab atas berbagai peristiwa kejahatan kemanusiaan di eranya, bahkan sejak di fase awal menjabat sebagai Presiden. Sebagai sebuah negara yang belum satu abad berdiri, dinamika perpolitikan di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan, mulai dari perubahan sistem parlementer ke presidensial, demokrasi liberal ke Demokrasi Terpimpin, Orde Lama ke Orde Baru, era reformasi dan hingga amandemen UUD.
Setelah demonstrasi besar pada tahun 1998, tuntutan reformasi mewarnai berbagai agenda politik dengan tujuan mewujudkan Indonesia baru yang lebih baik, dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Oleh karena itu, prinsip-prinsip negara hukum harus dijalankan, seperti pemisahan kekuasaan, adanya kontrol dan kekuatan penyeimbang (check and balance), supremasi hukum, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Konsep negara hukum atau rechstaat atau rule of law berkaitan dengan nomokrasi yang diambil dari bahasa Yunani, nomos yang berarti norma dan kratos yaitu kekuasaan dan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang didasarkan pada norma atau hukum (Asshiddiqie, 2005). Dalam prinsipnya terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah negara hukum. Prof. Jimly Asshiddiqie (2005) merumuskan 12 prinsip pokok negara hukum berdasarkan pandangan para ahli, yaitu:
- Supremasi hukum (Supremacy of law),
- Persamaan kedudukan dihadapan hukum (Equality before the law),
- Asas legalitas (due process of law),
- Pembatasan kekuasaan,
- Organ-organ eksekutif independen,
- Peradilan bebas dan memihak,
- Peradilan Tata Usaha Negara,
- Peradilan Tata Negara (Constitutional Court),
- Perlindungan HAM,
- Bersifat demokratis (Democratische Rechtsstaat),
- Berfungsi sebagai penyelenggara negara untuk mencapai tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat),
- Transparansi dan kontrol sosial.
Pemenuhan prinsip-prinsip pokok tersebut menjadi syarat bagi terwujudnya sebuah negara hukum modern yang menempatkan hukum sebagai pemimpin tertinggi (supreme), bukan kekuasaan belaka, demi menjamin pembatasan kekuasaan, perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan untuk mencapai raison d’etre atau tujuan utama bernegara.
Ancaman Kebangkitan Fasisme Baru
Namun, dalam perkembangannya, kendati menjadi negara yang secara formal demokratis dan menjamin hak asasi manusia, realitas politik sering kali menyimpang dari apa yang diharapkan. Penulis akan memfokuskan tulisan ini pada gejala kebangkitan fasisme dan potensi keruntuhan negara hukum di era rezim penguasa saat ini. Gejala-gejala tersebut tidak lahir dalam waktu cepat, melainkan telah dibangun secara bertahap sejak rezim sebelumnya.
Fasisme, sebagai konsep yang diperkenalkan oleh diktator Italia Benito Mussolini, berpandangan bahwa setiap elemen dalam sebuah negara haruslah terpusat atau terkontrol penuh oleh negara, dan tidak memperbolehkan adanya perlawanan atau kelompok oposisi yang dianggap mengganggu stabilitas politik. Prinsip ini sangatlah bertentangan dengan trias politica dalam demokrasi sebagai upaya pembagian atau pemisahan kekuasaan agar prinsip check and balance bisa dilakukan secara efektif.
Pertentangan tersebut didasari oleh pandangan Lord Acton yang populer: Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan memiliki kecenderungan untuk korup, dan ketika sebuah kekuasaan berjalan secara absolut maka korupnya juga akan absolut). Dalam konteks ini, korupsi tidak hanya diartikan sebagai tindakan mengambil uang negara, tetapi lebih luas daripada itu. Menurut kamus Merriam-Webster korup diartikan sebagai to change from good to bad in morals, manners, or actions (untuk mengubah dari baik ke buruk dalam moral, perilaku, atau tindakan) atau to degrade with unsound principles or moral values (untuk menurunkan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral yang tidak sehat). Oleh karena itu, pemisahan kekuasaan sebagai alat kontrol (termasuk oleh oposisi di dalam parlemen) sangatlah penting. Dalam sebuah rezim fasis, pemerintahan didasarkan atas prinsip sentralistik totaliter: Everything within the state, none outside the state, and none against the state (Semua ada di dalam negara, tidak ada yang di luar negara, dan tidak ada yang melawan negara) – (Mussolini, 1927).
Carl Friedrich dan Zbigniew Brzezinski menjelaskan bahwa rezim totaliter (termasuk fasisme) memiliki beberapa ciri, yaitu:
- Ideologi pengarah.
- Sistem partai politik tunggal yang biasanya dipimpin oleh seorang diktator.
- Penggunaan instrumen teror, seperti kekerasan dan polisi rahasia untuk mengendalikan warga atau oposisi.
- Monopoli pemerintah atas persenjataan.
- Kontrol penuh atas saluran komunikasi oleh pemerintah.
- Model ekonomi terpimpin, di mana negara mengendalikan ekonomi (Asshiddiqie, 2022).
Konsep lama tentang fasisme saat ini mengalami perkembangan atau model baru. Ancaman kembalinya fasisme tidak lagi diawali dengan mobilisasi sipil bersenjata atau kudeta militer, atau dengan adanya partai tunggal. Akan tetapi dengan upaya mengkonsolidasikan kekuasaan partai politik di parlemen sebagai kartel politik, dan menggunakan celah mekanisme hukum yang telah ada dalam sebuah negara. Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang lebih halus, sulit diprediksi, dan berbahaya, yaitu kemunduran demokrasi (democratic backsliding) yang berselimutkan legalitas. Jalur elektoral menjadi pintu masuk dan awal kemunduran demokrasi.
Gejala di Indonesia
Pada era saat ini, beberapa gejala yang mengancam prinsip negara hukum (rechtsstaat) dan mengarah pada kebangkitan fasisme terlihat jelas:
- Konsolidasi kekuasaan
Pada awal pemerintahan Prabowo-Gibran, rezim berkuasa berupaya untuk merangkul hampir semua partai politik di parlemen untuk bergabung ke dalam koalisi pemerintahan yaitu Koalisi Indonesia Maju (KIM). Bahkan wacana untuk menghilangkan oposisi juga diucapkan dengan jelas oleh Prabowo dalam Kongres ke III Partai NasDem yang menyatakan bahwa “Kita harus kerjasama. Kita harus kolaborasi, jangan kita mau ikut-ikut budaya lain. Budaya barat atau budaya mana itu mungkin suka oposisi-oposisi, gontok-gontokan, oposisi, nggak mau kerjasama itu mungkin budaya mereka,”. PDI-P sendiripun yang semula menjadi lawan bagi KIM (yang kemudian berubah menjadi KIM Plus) pada akhirnya beralih haluan, melalui instruksi Ketua Umumnya yaitu Megawati Soekarnoputri kepada seluruh kader PDI-P untuk mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Maka dengan demikian, tidak ada lagi partai oposisi yang dapat menjalankan kontrol dan check and balance yang efektif terhadap kekuasaan eksekutif. Dampaknya, potensi hukum dan kebijakan yang dihasilkan akan cenderung sewenang-wenang dan hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
- Hadirnya legalisme Otokratis (Autocratic Legalism)
Dengan koalisi besarnya yaitu KIM Plus dan ketiadaan partai oposisi dalam parlemen, para penguasa yang diberikan kewenangan untuk membuat Undang-Undang dan kebijakan dapat membuatnya secara sewenang-wenang sesuai kepentingan agenda politik tertentu. Sering kali, perumusan undang-undang maupun kebijakan tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), sehingga dapat membahayakan prinsip-prinsip demokrasi. Fenomena ini disebut Legalisme Otokratis (Autocratic Legalism), sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Kim Lane Scheppele (2018). Scheppele menjelaskan bahwa “...pemimpin karismatik yang baru terpilih menggunakan mandat elektoral mereka untuk membongkar dengan hukum sistem-sistem konstitusional yang mereka warisi. Para pemimpin ini bertujuan untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan untuk tetap menjabat tanpa batas waktu, pada akhirnya menghilangkan kemampuan publik demokratis untuk menggunakan hak-hak demokratis dasar mereka, untuk meminta pertanggungjawaban pemimpin, dan untuk mengganti pemimpin mereka secara damai.” (Scheppele, 2018).
Salah satu hasil dari legalisme otokratis di era ini adalah pengesahan Undang-Undang (UU) TNI yang dinilai bermasalah, baik dari segi substansi berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI, maupun dari segi prosedural yang terbilang terburu-buru dan nir-partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). UU ini memberi peluang bagi anggota TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, yang jelas bertentangan dengan supremasi sipil dan amanat reformasi. Dengan hadirnya UU ini dikhawatirkan dapat membawa kembali militerisme ke dalam jabatan sipil serta menjadi ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Militer tidak sepatutnya mengurusi urusan-urusan sipil dikarenakan raison d’être atau prinsip utama dari peran militer adalah untuk melawan musuh (enemy) dalam peperangan (Huntington, 1993). Bahkan Albrecht, Schnabel dan Marc Krupanski berpendapat bahwa dampak negatif pelibatan militer dalam ranah sipil dapat menghilangkan kontrol sosial (social control) sipil atas militer, banyaknya tuntutan peran militer pada ranah sosial-politik, lunturnya pemisahan otoritas sipil dan militer, terjadinya militerisasi pada ranah sipil, penyalahgunaan (abuse and misconduct) kekuataan militer di lapangan – karena pelatihan militer bukan ditujukan untuk “tugas-tugas domestik”; dan kurangnya pemahaman terkait sistem hukum dan prosedur yang berlaku pada konteks domestik, dan terakhir dapat mengurangi kesiapan militer dalam melaksanakan tugas atau peran utamanya yaitu menghadapi perang (Schnabel, Albrecht, and Krupanski, 2012, hal. 131-132).
Selain itu, RUU Polri, RUU Penyiaran, dan UU KUHAP juga menuai kontroversi karena substansinya dinilai dapat memperluas kewenangan aparat kepolisian, memberangus kebebasan pers, dan melanggar HAM. Pengesahan UU KUHAP beberapa hari lalu menandakan bagaimana negara ingin memperkuat kekuasaan dan mengontrol masyarakat secara penuh dengan banyaknya kewenangan yang diberikan kepada aparat hukum. Kewenangan aparat dalam UU KUHAP tersebut, berimplikasi pada dilanggarnya hak asasi manusia, tidak memberikan kepastian hukum, dan rasa keadilan kepada setiap warga negara. Produk-produk hukum tersebut tidaklah adil dan bermoral dikarenakan substansi dan prosedur yang bermasalah. Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, menekankan pentingnya partisipasi publik yang bermakna (meaningfull participation). Bahwa, warga negara sebagai stakeholder atau pihak yang akan terkena dampak atas diberlakukannya sebuah Undang-undang, berhak dan harus dilibatkan dalam proses pembuatan peraturan perundangan-undangan, karena warga memiliki hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan diberi penjelasan atas pendapatnya.
- Represifitas dan Impunitas Aparat
Hadirnya UU dan RUU kontroversi yang dibuat oleh rezim memantik protes dari berbagai kalangan baik buruh, petani, mahasiswa, akademisi, aktivis pro-demokrasi, dan lainnya. Aksi demonstrasi yang dilakukan bukannya mendapatkan sambutan baik dan menjadi bahan evaluasi bagi para pembuat peraturan perundang-undangan, malah justru dihadapkan dengan segala bentuk represifitas baik secara fisik maupun psikis. Dalam satu tahun pemerintahan fasis Prabowo-Gibran, telah terjadi beberapa kali aksi demonstrasi dan yang terbesar pada aksi penolakan pengesahan UU TNI, May Day 2025, dan aksi Agustus-September lalu di berbagai kota. Berdasarkan laporan Amnesty International Indonesia, aksi demonstrasi besar tersebut mengakibatkan 4.453 korban penangkapan, 774 korban kekerasan fisik, dan 341 korban penyalahgunaan water canon dan gas air mata. Berdasarkan keterangan pers Lembaga Hak Asasi Manusia, Komnas HAM mencatat bahwa terdapat 10 korban meninggal dunia dalam aksi demonstrasi Agustus-September 2025.
Jatuhnya banyak korban dalam aksi demonstrasi selama satu tahun rezim Prabowo-Gibran oleh aparat. Hingga kini, tidak ada anggota polisi maupun TNI yang menerima hukuman pidana yang berat dan adil atas tindakan abuse of power dalam penanganan aksi demonstrasi. Sebagai contoh, dalam kasus tewasnya Affan Kurniawan–seorang pengemudi ojol yang ditabrak rantis Barracuda–anggota Brimob yang terlibat hanya menerima sanksi etik. Sanksi tersebut hanya berupa permintaan maaf secara lisan dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Proses ini dipandang dapat mencederai prinsip keadilan dan hak asasi manusia, serta melanggengkan impunitas bagi aparat yang melakukan kekerasan.
Kendati melakukan evaluasi di internal Kepolisian, Kapolri yaitu Listyo Sigit malah mengeluarkan Perkap Polri No. 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerang terhadap Kepolisian Republik Indonesia, yang memberikan legitimasi kepada anggota Polri untuk menggunakan senjata api berpeluru karet maupun tajam dalam keadaan tertentu yang dijelaskan di dalamnya. Ketidakjelasan definisi "mengancam" dalam peraturan tersebut berpotensi memicu meningkatnya eskalasi kekerasan dan jatuhnya korban. Frasa yang bersifat multitafsir ini memberikan ruang bagi anggota Polri untuk menafsirkan sendiri situasi secara subjektif dan sepihak. Hal ini membuka celah berbahaya bagi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan penggunaan kekuatan yang berlebih atau tidak proporsional oleh aparat terhadap demonstran. Pada akhirnya, peraturan ini secara nyata menjadi ancaman bagi prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang telah dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.
- Penggiringan narasi sebagai sarana propaganda rezim
Dalam sebuah negara fasis yang menuntut ketundukan masyarakat secara total terhadap rezim. rezim tidak hanya menggunakan instrumen kekerasan untuk mengontrol, akan tetapi menggunakan media massa dan pendengung (buzzer)–personal atau sekelompok individu yang memiliki peran sebagai kreator isu atau wacana agar bisa mendapatkan perhatian dan diperbincangkan di media sosial–sebagai corong propaganda untuk mempengaruhi masyarakat untuk mendukung rezim berkuasa. Hal ini kerap terjadi, bagaimana media dan buzzer dengan narasi populis dan pencitraannya memoles kekuasaan seolah baik, profesional, serius dalam melayani rakyat, dan menjalankan pemerintahan dengan baik. Padahal dalam realitasnya berkebalikan dengan apa yang dicitrakan. Sebagai contoh dalam satu tahun rezim Prabowo-Gibran berkuasa, mereka menggunakan media massa untuk mempropagandakan keberhasilan berbagai kebijakan, salah satunya kebijakan MBG, yang dalam realitanya kebijakan MBG tersebut malah justru menyebabkan masalah. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan, per 5 Oktober 2025 sebanyak 12 ribu penerima MBG mengalami keracunan massal. Orang-orang kritis yang mengutarakan kritiknya terhadap kebijakan pemerintah di media sosial seringkali dihadapkan dengan buzzer yang mencoba memutar balikkan fakta atau narasi kritis yang sedang dibangun dan sering kali menyerang secara personal orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Rezim fasis Prabowo-Gibran sama seperti rezim-rezim fasis sebelumnya menggunakan stigma untuk menjatuhkan kelompok yang berlawanan atau bersinggungan dengan pemerintahan dan berupaya mengambil simpati publik dengan memonopoli narasi dan menerapkan labelling, seperti ‘antek-antek asing’, ‘perusuh’, ‘provokator’, ‘anarko’, hingga ‘iblis’.
Narasi-narasi tersebut bukan terucap sekali dua kali, bahkan keluar di beberapa momen. Contohnya, pidato Prabowo pada Hari Pancasila yang menyebutkan adanya kekuatan asing yang mencoba mengganggu kestabilan politik Indonesia dengan membiayai lembaga swasembada masyarakat (LSM) dan media massa, dan pidato Prabowo dalam Munas PKS ke-VI, 29 September 2025 di Jakarta yang menyatakan bahwa “Membuat kerusuhan, membuat bom molotov, ini adalah kejahatan, ini bukan aktivis, bukan pejuang demokrasi, bukan pejuang keadilan. Mereka hatinya jahat, they are evil, mereka zalim”. Alih-alih melakukan evaluasi, introspeksi diri, dan membenahi pemerintahan, rezim ini justru menggunakan narasi populisnya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan pengaruh. Peristiwa aksi Agustus-September lalu dipandang sebagai reaksi publik terhadap ketimpangan, sekaligus tanda hilangnya legitimasi penguasa. Situasi ini berakhir dengan kekecewaan publik karena suara mereka tidak didengar, yang kemudian berujung pada kerusuhan. Hal ini senada dengan pernyataan Martin Luther King Jr. 58 tahun lalu: A riot is the language of the unheard (Kerusuhan adalah bahasa dari mereka yang tidak didengar).
Menurut Goffman, stigma adalah sebuah "atribut yang sangat mendiskreditkan" dan sebagai sesuatu yang mereduksi pemiliknya "dari pribadi yang utuh dan biasa menjadi pribadi yang ternoda dan terabaikan." (dalam Martin, Varga, Folker. 2022). Definisi ini kemudian diperkuat dengan karakteristik yang dijelaskan oleh Link and Phelan’s (2001), yaitu pemberian label terhadap mereka yang berbeda, menghubungkan label tersebut dengan karakteristik atau stereotip negatif, membangun garis pemisah tertentu antara “kita” dan “ mereka”, dan yang terakhir orang yang mendapat label akan mengalami hilangnya status, serta diskriminasi (dalam Martin, Varga, Folker. 2022).
Rezim saat ini menggunakan stigma sebagai instrumen kontrol sosial yang secara sistematis digunakan untuk mendelegitimasi kelompok gerakan rakyat yang kritis, menarik dukungan atau simpati publik terhadap mereka, dan pada akhirnya mengkonsolidasikan kekuasaan atas narasi publik “kita vs mereka” menjadi instrumen kontrol sosial yang secara sistematis digunakan untuk mendelegitimasi kelompok kritis, menarik dukungan publik terhadap mereka, dan pada akhirnya mengkonsolidasikan kekuasaan atas narasi publik “kita vs mereka”.
Runtuhnya Negara Hukum
Berbagai gejala fasisme yang telah diuraikan sebelumnya–seperti konsolidasi kekuasaan, menghilangkan oposisi, penggunaan hukum sebagai alat legitimasi (autocratic legalism), peningkatan represifitas aparat dan pemeliharaan impunitas, narasi populis, serta propaganda yang memonopoli narasi kebenaran–bukanlah sekadar peristiwa politik biasa. Gejala-gejala tersebut merupakan ancaman serius dan fundamental bagi prinsip-prinsip negara hukum (rechtsstaat atau rule of law) yang telah dijelaskan sebelumnya sebagai syarat sebuah negara hukum modern. Secara kolektif, semua itu berimplikasi pada pengingkaran sistematis terhadap konstitusi dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, ini bukanlah hanya “kemunduran” atau “masalah” dalam sistem demokrasi. Akan tetapi sebuah proses destruktif untuk membongkar fondasi negara hukum yang kemudian mengarah kepada fasisme dan negara berdasarkan kekuasaan segelintir orang (machtstaat).
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

