• Kolom
  • RUANG RENUNG #25: Bulir-bulir Layar Embunan Citra Diri

RUANG RENUNG #25: Bulir-bulir Layar Embunan Citra Diri

Pameran Self-Portrait #2 di Sanggar Olah Seni, Babakan Siliwangi Bandung, yang dikuratori oleh Rizki Lutfi Wiguna menandai Bandung Art Month ke-6; menyisakan tanya.

Mardohar B.B. Simanjuntak

Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.

Suasana pameran Self-Portrait #2 di Sanggar Olah Seni, Babakan Siliwangi Kota Bandung. (Foto: Mardohar B.B. Simanjuntak)

4 September 2023


BandungBergerak.id – Pakar Linguistik percaya bahwa dunia berhutang pada peradaban maritim yang menghasilkan berbagai titik sembul kebudayaan yang terbentang dari Asia Tenggara – termasuk Indonesia dan Filipina – hingga gugusan kepulauan di Samudra Pasifik. Hutang pemberadaban ini salah satunya mengerucut pada konstruksi verbal “layar” – sebagai pijakan embrionik dari abad eksplorasi; yang salah satunya masih menubuh pada imaji ikonik dalam “pinisi”, sebuah ramuan artefaktual dari “nenek moyangku seorang pelaut” yang masih akrab di telinga kita sampai sekarang.

Dalam penubuhan budaya populer lainnya kita bisa melihatnya di film animasi Moana besutan Disney, yang persis menggambarkan kembara diasporik masa awal sebaran-terestrial manusia di ranah Asia-Pasifik.

Cermin sebagai Layar Pembuka

Pameran Self-Portrait #2 (Sanggar Olah Seni, 20 Agustus – 20 September 2023) yang dikuratori oleh Rizki Lutfi Wiguna ini dapat kita sandingkan dengan cermin tanda dan tanya. Sebagai tanda, pameran ini menandai Bandung Art Month ke-6, sebuah pernyataan lugas tentang ketekunan dan kecintaan pada karya cinta yang tekun: yang “jalan kaki” dari venue ke venue sebagai sebuah ziarah – bak Via Dolorosa atau perjalanan spiritual apa pun yang menegasi “potong kompas” dalam menghidupi sebuah kehidupan yang penuh makna. Merakyat dan membenamkan kakinya di dalam sesak jerat kehidupan khas rakyat, sergapan kultural jujur semacam ini menyisakan tanya.

Tanya yang tersisa adalah sebuah tanya yang tidak pernah tidak menarik: siapa kita dan apa yang salah dengan kita. Pertanyaan pertama menjadi sangat relevan karena kita sekarang menghadapi siklus rutin seni rupa, tentang seniman, kurator, kolektor, galeris, dan balai lelang, dan kembali ke seniman. Tanya kedua yang segera mengiang adalah tentang apa yang salah dengan kita. Saat memeriksakan eksistensi visual ke dokter bisu bertubuh kaca dan bertulang belakang lapisan perak, kita segera bertanya tentang apa yang salah dengan kita, dan malas bertanya sebaliknya – apa yang “benar.

Menyewakan Kaset Betamax Usang

Sebelum internet menginvasi hidup manusia dengan sentakan disruptif yang tidak pernah surut menuai buai, industri film ada di lingkaran setan yang itu-itu saja. Awalnya kuasa ada di sutradara; lambat laun aktor menuntut kue mereka dan menjadi digjaya. Kemudian perusahaan film berpolah seperti “the seven sisters” (tujuh konglomerasi minyak di jaman keemasan industri ini). MGM, Fox, Warners, Paramount, dan RKO mengendalikan semua lini industri perfilman, dari sebelum hulu hingga setelah hilir. Namun setelah 29 Agustus 1997, Marc Randolph dan Reed Hastings menebar benih pembebasan: kita tidak lagi harus membayar sewa puluhan ribu untuk belasan film kaset Betamax era 80an yang mesti dikembalikan dalam tiga hari.

Netflix hanya mewajibkan seorang saya untuk membayar 54 ribu Rupiah untuk ribuan film, sehingga bila ada seribu judul di Netflix – dan memang ada seribu judul di Netflix – maka harga sewa per judul adalah 54 Rupiah: setara dengan “0” Rupiah di tahun 2023. Anehnya, dengan 54 Rupiah per judul, sutradara, produser, aktor, dan semua yang terlibat di dalamnya tersenyum lebar dan bahagia.

Lingkaran kaku seniman, kurator, kolektor, galeris, dan balai lelang mungkin seperti model bisnis Betamax, yang sama canggihnya dengan mesin ketik dan sama aktualnya dengan televisi analog. Mungkin kita perlu model yang benar-benar berbeda. Mungkin kita perlu investor, yang mengubah relasi paternal dengan pemerintah menjadi hubungan fraternal dengan mereka yang benar-benar berbisnis sepenuh hati.

 Pajangan Mahal, Knalpot Rombeng, dan WOW!

Setelah pertanyaan pertama tentang siapa kita, mungkin agenda berikutnya adalah mencentang pertanyaan kedua, apa yang salah dengan kita. Pameran kali ini unik, dan ujar penyelenggara Toni Antonius, ia membuka keran yang cukup lebar untuk siapapun yang mau bercermin. Uniknya, bila di Self-Portrait #1 Yogie Ginanjar misalnya datang bertandang, kali ini ia mengutus murid-muridnya untuk mengetuk pintu dan memamerkan jurus-jurus visual – bahkan salah satunya mengirim kanvas dari Jerman untuk tampil dengan narasi mendalam tentang relasi agama dan identitas diri. Di tempat ini yang senior, medior, dan junior melebur dalam keriuhan untuk menatap bayang di cermin.

Membuka kanal kreativitas dengan modus operandi semacam itu memang penuh risiko, karena semua arus bisa menerjang masuk. Karya seni mungkin dengan kesemena-menaan epistemologis bisa dibagi menjadi tiga: pajangan mahal, knalpot rombeng dan WOW. Galeri-galeri langitan mengambil jatah semua yang mahal yang bisa dipajang di kamar tidur sambil minum teh dan berbicara tentang pergerakan harga Bitcoin. Di luar galeri segala bentuk gugatan untuk memaksa panggil bak deru bising knalpot rombeng anak nakal yang krisis identitas. Terakhir seni akademik dengan pendekatan aesthesis – sensual – yang merenggut dan memanjakan setiap indera dengan pukauan, sehingga setiap karya seni wajib berakhir dengan satu kata: WOW.

Ketiganya berisiko menjadi titik buntu dampak seni pada kemanusiaan. Pajangan mahal akan menjadi artefak bisu yang bicara lantang di sangkar emas, knalpot rombeng akan menarik garis pemisah bising yang bahkan lebih tebal dari kiri dan kanan, sedang ke-WOW-an, seperti yang juga ditikamkan oleh kritikus Jerry Saltz The New York Times pada seniman AI Refik Anadol – hanya akan tersisa sebagai WOW tanpa dampak apa pun pada pemanusiaan; bak pesona lampu air mancur di Las Vegas yang cuma berakhir sebagai tepuk tangan, selesai.

Kecemburuan seni pada sains bisa semakin menjadi, karena dengan kerendahan hati seperti yang dikatakan Karl Popper, sains tidak segan-segan mengatakan blak-blakan: saya tidak tahu. Kerendahan hati ini membuat sains tidak terkalahkan – karena memang sains sudah mengaku kalah sebelum pertandingan dimulai.

Berlayar dengan Embunan Citra Diri

Titik-titik embun ini yang mungkin ingin dihadirkan oleh sang kurator: kerendahan hati. Titik-titik tanggung memang berisiko membuat kita enggan untuk bergerak lebih jauh. KAWS tengah tahun 2023 ini berlibur ke kompleks candi Prambanan, dan sang kelinci pemalu setinggi 45 meter ini sudah melampaui pesona WOW, mengubahnya menjadi “WOW Banget” – dan sang seniman bahkan tidak peduli dengan namanya.

Dalam wawancara dengan Fareed Zakaria dari CNN, Anadol mengatakan bahwa titik pencerahan estetiknya justru anti-estetik: ia melanjutkan pameran dengan babak selanjutnya. Ia mengungkap algoritma AI seperti tukang sulap yang mengungkap trik-triknya. Anadol rela membunuh ke-WOW-an karyanya dengan edukasi neo-korteks.

Titik ini yang mungkin perlu kita renungkan lagi: bahwa dalam keangkuhan kita untuk bercermin dengan bertanya apa yang salah tentang siapa kita, kita mungkin perlu dengan kerendahan hati mengagumi kemanusiaan kita yang paling mendasar. Kebenaran fundamental tentang citra diri manusia tidak membutuhkan nama, dan itu bukan berarti petaka.

Netflix membuktikan bahwa setiap orang bisa tetap hepi menonton apa pun yang mereka sukai hampir tanpa mengeluarkan sepeser pun, dan industri film tetap hepi dan jaya. Tidak perlu terburu-buru menyebut NFT dan segala pernak-pernik infantilnya; biarkan embun-embun jati diri ini melebur menyatu, dan mengalir tanpa henti untuk menghidupkan imaji.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//