Jejak Oppa Korea dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Yang Chil Seong satu dari ribuan pemuda Korea yang dibawa Jepang ke Indonesia. Ia membelot saat Jepang hengkang, bergabung dengan tentara Indonesia melawan Belanda.
Alda Agustine Budiono
Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris
18 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Kalau mendengar kata Korea, mungkin yang langsung terpikir adalah artis-artis K-Pop seperti BTS, Blackpink, atau Junsu. Padahal dulu, di masa perjuangan, ada orang Korea yang berperan membantu negara kita lepas dari cengkeraman penjajah Belanda.
Kang Han-na adalah seorang aktris asal Korea generasi ke-4 yang tinggal di Jepang. Saat masih SMA, dia penasaran dengan negara asalnya setelah membintangi film Spirit Homecoming, yang bercerita mengenai wanita-wanita Korea pemuas nafsu tentara Jepang. Dengan setting Perang Dunia II, tahun 1943, Kang berperan sebagai Jung-min, gadis 14 tahun yang dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang di Manchuria. Banyak orang Jepang yang tidak tahu hal ini dan aktris ini merasa bahwa dia harus mengungkapkan kebenaran. Dia kemudian mengikuti suatu seminar sejarah di Universitas Sophia, Tokyo, dengan pembicara Profesor Aiko Utsumi.
Profesor Utsumi kemudian bercerita bahwa pada bulan November 1975 diadakan upacara pemindahan makam 3 orang Jepang yang dianggap pahlawan di Indonesia di Taman Makam Pahlawan Garut, Jawa Barat. Namun, ada beberapa kejanggalan dalam upacara itu.
Dalam sebuah surat pernyataan yang dikeluarkan oleh Markas Cabang Legiun Veteran Kabupaten Bandung, Letnan Kolonel Purnawirawan Tjutju Adiwinata menulis bahwa ada tiga orang bekas tentara Jepang yang pada tahun 1946 bergabung dengan Pasukan Pangeran Papak, di bawah pimpinan R. M. Kosasih. Mereka bernama Abubakar (Dr. Aoki Massa Shiro), Usman (Hasegawa Katsuo), dan Komarudin (Yanagawa Shichisei). Belakangan diketahui bahwa yang terakhir bukan orang Jepang, melainkan orang Korea bernama asli Yang Chil Seong (1919-1949).
Kisah Yang Chil Seong
Bagaimana Yang Chil Seong bisa menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, Kang Han-na merantau ke Indonesia, dan mengunjungi Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut. Ditemukannya sebuah makam persegi panjang dari batu. Di batu nisan makam itu tertulis “Komarudin Yang Chil Seong, Korean. Angg. (anggota) Pangeran Papak. Gugur 10 Agustus 1949”.
Yang Chil Seong dilahirkan di Kabupaten Wanju, Provinsi Jeolla, pada tanggal 29 Mei 1919. Kala itu Korea masih menjadi jajahan Jepang. Pemuda-pemuda Korea harus menjalani wajib militer dan mengganti nama mereka dengan nama Jepang. Pada usia masih belia, 23 tahun, dia direkrut paksa menjadi tentara Dai Nippon, bersama lebih dari 3.000 pemuda Korea lainnya. Lee Hak Rae, yang kini berusia 93 tahun, masih ingat betul pengalamannya menjalani latihan militer ala Jepang. “Pipiku ditampar tiap hari. Aku tidak tahu kalau ini adalah cara mengendalikan tahanan. Setiap hari kami harus menghafal mandat dan kode etik militer Jepang.”
Para kadet militer ini, termasuk Yang Chil Seong, kemudian dikirim ke Hindia Belanda untuk menjaga para anggota tentara Sekutu yang menjadi tawanan Jepang. Setelah 25 hari berlayar dari Busan, serta transit di Singapura dan Vietnam, dia tiba di pulau Jawa bersama 1.400 tentara penjaga tahanan lainnya. Awalnya, dia ditugaskan menjaga kamp interniran Cimahi. Lee Hak Rae, bercerita kalau para opsir memulai tugas mereka sejak pagi buta. dan baru selesai tengah malam. Karena kekurangan gizi, banyak di antara opsir penjaga terserang penyakit.
Bersimpati pada Perjuangan Rakyat Indonesia
Di Bandung, tempat dia ditugaskan pada tahun 1942, Yang Chil Seong bertemu dengan Lience Wenas, seorang wanita pribumi, yang pada waktu itu datang ke kamp tahanan untuk menjenguk kakaknya. Mereka bertemu hampir tiap minggu, saling jatuh cinta, dan memutuskan untuk menikah. Tak lama setelah itu, pada 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Para opsir Korea senang karena terbebas dari cengkeraman Jepang, namun juga khawatir karena dianggap penjahat perang oleh tentara Sekutu, yang kembali datang ke Nusantara dan berusaha kembali menduduki bekas tanah jajahan Belanda ini. Supaya tidak tertangkap, Yang Chil Seong bersama empat orang penjaga tahanan lainnya melarikan diri. Karena tidak bisa kembali ke negaranya, dan simpatinya kepada perjuangan rakyat Indonesia, dia memilih bergabung dengan pasukan Pangeran Papak di Garut.
Bersama laskar pimpinan R. M. Kosasih ini, Yang Chil Seong melakukan berbagai penyerangan dan sabotase di daerah Wanaraja untuk melumpuhkan tentara sekutu. Mereka bergerilya di sekitar jalur kereta api antara Bandung dan Yogyakarta; menghalau tentara Sekutu yang mencoba masuk ke Kota Kembang. Tidak salah kalau dia diberi nama Komaruddin, yang berarti cemerlang, karena dia selalu mempunyai ide-ide bagus. Salah satunya adalah peledakan jembatan Cimanuk, penghubung Garut dan Wanaraja. Sementara pasukan Pangeran Papak berjaga-jaga di sekitar jembatan, Yang Chil Seong merayap di bawahnya sambil memasang bom di beberapa titik. Ahli perakit bom ini langsung melarikan diri ke tempat yang aman, sesaat sebelum bom meledak menghancurkan jembatan.
Belanda sangat geram dengan kejadian ini, sampai membentuk satu pasukan khusus, Yon 3-14-RI untuk memburu pasukan Pangeran Papak. Dengan bantuan penduduk pribumi yang diberi imbalan, pasukan ini berhasil menangkap ketiga eks tentara Jepang ini, termasuk Yang Chil Seong, di kaki Gunung Dora, tepatnya di desa Parentas. Ketiga tahanan ini kemudian digiring ke pengadilan dengan tangan dan leher diikat. Mereka divonis hukuman mati. Eksekusi dilakukan pada 10 Agustus 1949. Sehari sebelumnya, Yang Chil Seong menyampaikan permintaan terakhirnya kepada penjaga penjara. “Aku ingin dimakamkan secara Islam,” katanya. Pada hari-H, ketiga eks tentara Jepang itu dibawa ke Lapangan Kerkhoff (sekarang Gelora Merdeka), yang terletak di seberang sungai Cimanuk (sekarang Kecamatan Tarogong Kidul).
“Apakah kamu masih ingin hidup?” tanya eksekutor kepada Yang Chil Seong, yang saat itu mengenakan baju koko putih dan sarung merah.
“Merdeka! Merdeka!” seru yang ditanya. Dan nyawa Yang Chil Seong pun melayang bersama tembakan pada pukul 6 pagi itu. Kematiannya makin memicu semangat para pejuang Tanah Air, sampai akhirnya memperoleh kemerdekaan.
Siapa yang menyangka bahwa ada pahlawan-pahlawan dari Negeri Ginseng di balik kemerdekaan Indonesia?