• Opini
  • Cinta Melampaui Tuhan?: Problematika Pernikahan Lintas Agama di Indonesia

Cinta Melampaui Tuhan?: Problematika Pernikahan Lintas Agama di Indonesia

Banyak anggota masyarakat telah melaksanakan pernikahan lintas agama sejak lama, tetapi mereka tertekan secara kultural untuk mengungkapkan status tersebut.

Rizky A Ramadhan dan Gisella S Aurora Yahya

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin konstitusi Indonesia. (Foto Ilustrasi: LBH Bandung)

27 Desember 2023


BandungBergerak.id – "Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan (Mahkamah Agung RI, 2023)”. Pernyataan tersebut ditulis sebagai respons langsung pemerintah terhadap permohonan pencatatan perkawinan antarumat dengan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda atau dalam kata lain, pernikahan lintas agama. Pengeluaran surat tersebut secara efektif membantu menetapkan absolutisme religius dalam sebuah konteks kultural yang tidak tepat, bahkan bisa dilihat sebagai "aneh", untuk mengadakan penetapan tersebut. Indonesia adalah sebuah negara multikultural yang dilandaskan oleh suatu prinsip pluralistik yang populer, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Perkembangan zaman juga telah mentransformasi lanskap sosial kultural di Indonesia dengan mengadakan nilai dan norma kemasyarakatan yang mempengaruhi bagaimana masyarakat menindaklanjutkan ajaran-ajaran religius yang ada. Esai ini mengangkat salah satu problematika yang ada di bawah paradigma tersebut, yakni keberadaan sebuah jenis "cinta" yang dapat melampaui batasan-batasan sosial berbasis agama.

Agama dapat dilihat sebagai substrat utama dari kerangka kultural di Indonesia. Hal ini konsisten dengan penemuan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (2017) yang menyatakan bahwa penganut agama minoritas mengalami diskriminasi berdasarkan hukum-hukum diskriminatif yang dilegitimasikan dengan perintah-perintah tempat ibadah dari kalangan agama mayoritas (hal. 6). Pernikahan lintas agama di Indonesia secara langsung harus dimengerti sebagai sebuah bentuk asimilasi dan integrasi dari berbagai nilai dan tradisi kebudayaan yang ada di Indonesia.

Tentunya, dalam proses asimilasi dan integrasi di Indonesia, kekerasan struktural dan psiko-sosial merupakan bagian yang dapat diamati dengan jelas terhadap mereka yang melaksanakan pernikahan lintas agama. Konseptualisasi "kekerasan kultural" oleh Galtung  (1990) mengacu salah satunya pada dimensi agama yang dapat berlaku sebagai sebuah ideologi sehingga mengancam kesejahteraan masyarakat dengan melegitimasikan bentuk-bentuk penindasan lain yang berasal di luar sentimen kultural itu sendiri (hal. 291-293). Postulatnya di teks ini adalah pelarangan resmi terhadap pernikahan lintas agama mewakilkan sebuah bentuk "kekerasan" Galtungian yang sebenarnya berasal dari legitimasi-legitimasi lensa kultural Indonesia. Pandangan mayoritas yang berkontribusi pada legitimasi tersebut secara tidak langsung mewakilkan "kekerasan kultural" yang dapat diamati juga menimbulkan dampak-dampak psiko-sosial signifikan untuk melalui instrumentalisasi nilai-nilai agama sebagai sesuatu yang dapat membatasi urusan pernikahan di masyarakat Indonesia.

Sampai sekarang, belum ada konsensus yang jelas antar sektor masyarakat, entah di tingkat pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dunia akademik, serta masyarakat Indonesia, untuk mempertimbangkan sebuah "peta jalan" (roadmap) yang dapat membawakan perdamaian dan keadilan dalam proses pelaksanaan pernikahan lintas agama. Tentunya, ini juga disebabkan karena terpecahnya suara masyarakat terhadap perkara pernikahan lintas agama. Eksistensi stigma sosial berlaku tidak hanya pada pelaksanaan praktik tersebut, melainkan juga dalam membahasnya dalam konteks publik dan politik. Menanggapi keperluan tersebut, teks ini juga berupaya untuk memberikan sebuah arah di mana sebuah peta jalan dapat dikembangkan lebih lanjut, yakni dengan membangun orientasi normatif yang dapat menentang totalitas dari respons opresif masyarakat dan pemerintah terhadap pernikahan lintas agama.

Sejarah Pendek Pernikahan Lintas Agama di Indonesia

Banyak anggota masyarakat telah melaksanakan pernikahan lintas agama sejak lama, tetapi mereka tertekan secara kultural untuk mengungkapkan status tersebut. Suatu ilustrasi dari "primordialisme" yang ada di belakang fenomena ini di Indonesia adalah hubungan sebuah pasangan di Adelaide yang tidak terlalu lama ini merayakan 50 tahun pernikahan mereka sejak 1969, yaitu antara Suharto sebagai seorang Muslim, sementara Ursula sebagai seorang Kristen (ABC Australia, 2020). Ini bukan contoh yang terisolasi.

Mengambil data pada tahun 2010, Aini dkk. (2019) mengestimasi bahwa 0,5% dari populasi Indonesia, atau sekitar 230 ribu pasangan, merupakan sebuah figur kasar dari total jumlah pasangan yang melakukan pernikahan lintas agama. Tetapi, ada alasan yang kuat untuk memandang estimasi itu sebagai sebuah figur yang terlalu rendah. Mereka menyimpulkan bahwa tekanan-tekanan sosio-kultural di Indonesia memiliki kemungkinan besar untuk mendorong pasangan lintas agama agar menyembunyikan status mereka, entah dengan tidak mengakui hal tersebut secara publik maupun dengan tidak melaksanakan pernikahan sama sekali.

Sebuah kasus yang dapat menunjukkan keganasan dari masyarakat adalah hubungan antara Onadio Leonardo sebagai seorang Katolik dengan Beby Prisillia sebagai seorang Muslim (Insertlive, 2021). Dalam wawancara bersama Denny Sumargo, Leonardo mengungkapkan bahwa netizen-netizen Indonesia pernah melontarkan ujaran-ujaran kebencian seperti, tetapi tidak terbatas pada, tiga puluh komentar yang menyatakan bahwa anak pasangan tersebut akan "dibakar di neraka." Mengkontekstualisasikan kejadian tersebut dengan pengertian kekerasan kultural yang dibahas di awal teks ini, sebuah interseksi antara ajaran agama dengan sentimen-sentimen kebencian dapat diamati. Tidak dapat dipungkiri bahwa agama bukan sebuah dimensi yang sepenuhnya mendukung multikulturalisme, melainkan sebagaimana dilihat dalam perilaku masyarakat Indonesia agama dapat menjadi sebuah landasan ideasional yang menjustifikasikan penolakan eksplisit dan implisit terhadap hubungan antar dua individu dengan identitas agama yang berbeda. Nyatanya, ini menjelaskan mengapa sejumlah warga negara Indonesia dapat memilih untuk melaksanakan proses pernikahannya di luar negeri, yaitu untuk menghindari stigmatisasi sosial kultural yang dapat dilontarkan oleh warga negara lain.

Dalam kata lain, mengambil asumsi ceteris paribus atau tanpa ada variabel-variabel lain yang berubah, pasangan yang melaksanakan pernikahan dengan agama yang sama dapat dipastikan akan memiliki kehidupan yang jauh lebih tenteram dibanding pasangan yang melaksanakan pernikahan lintas agama.

Masyarakat Menghujat, Pemerintah Mengabaikan

Di mana masyarakat menghujat dan menindas mereka yang ingin mengafirmasi cinta yang melintasi batasan keyakinan satu sama lain, pemerintah telah mengabaikan, bahkan secara langsung mengafirmasi sentimen-sentimen yang tidak manusiawi tersebut. Sebelum pengeluaran Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023, perkara pernikahan beda agama tidak secara ketat diatur sehingga memiliki status sebagai sebuah praktik yang sah untuk dilaksanakan dan dicatat di Kantor Catatan Sipil. Hal ini diterangkan sebelumnya oleh Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 Tahun 1986 yang mengklarifikasi bahwa ada sebuah "kekosongan hukum", spesifiknya pada UU No. 1 Tahun 1974 yang "tidak memuat suatu ketentuan apa pun yang merupakan larangan perkawinan karena perbedaan agama, hal mana adalah sejalan dengan pasal 27 UUD 1945 yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi manusia untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama." (Mahkamah Agung RI, 1986)

Tetap saja, absensi dari sebuah larangan tidak patut dimengerti sebagai eksistensi dari sebuah pengesahan. Di lapangan, pernikahan lintas agama memiliki makna yang melebihi problematika pencatatan data dan pemrosesan administratif tentang status pernikahan sebuah pasangan. Pernikahan lintas agama tetap menjadi salah satu nukleus dari dinamika dan konflik kultural di Indonesia, yaitu dengan tanggapan masyarakat dari berbagai kalangan agama terhadap para individu yang berupaya untuk melakukan praktik tersebut. Satu tema umum yang dibawakan oleh kritik-kritik masyarakat terhadap kegiatan pernikahan lintas agama adalah kesulitan interpersonal yang dapat berlangsung.

Menurut Nurcholish (2004), perbedaan pandangan dunia yang dapat dipertemukan dalam sebuah hubungan dengan basis agama yang berbeda tidak hanya menurunkan integritas dari agama yang terkait, tetapi juga memperkenalkan friksi-friksi nilai dan kepercayaan (hal. xxvii). Nurcholish menulis dalam konteks sebuah memoar yang tentu tidak dapat dilepaskan dari pengalaman pribadinya dan lingkungan sosial kultural yang ada di sekitarnya. Berbagai pihak masyarakat selebihnya menganggap pergesekan nilai sebagai berpotensi untuk menjadi faktor utama dalam perceraian dan perkelahian dalam sebuah pernikahan antara individu dengan agama yang berbeda. Sentimen seperti itu mencapai tingkat pemerintah di mana berbagai situs pemerintahan mencantumkan hal itu secara ambigu. Di satu sisi, ini merupakan poin pembahasan yang patut dieksplorasi oleh dunia akademik dengan lebih mendetail, tetapi di saat yang sama, situs-situs pemerintah yang mengutip hal tersebut kerap tidak memberikan substansiasi maupun elaborasi yang jelas.

Sebagai contoh dari pengutipan tersebut, seksi berita pada situs resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melaporkan sebuah sidang lanjutan pengujian materiil di mana dua paragraf mengandung informasi mengenai "Bentrok Psikologis" sebagai sebuah dampak dari praktik pernikahan lintas agama (Humas MKRI, 2022). Di saat yang sama, tidak ada referensi khusus yang dirujuk maupun digunakan sebagai justifikasi akademik dari seksi tersebut. Jika seorang pembaca awam ingin mengetahui posisi pemerintah secara kasar terhadap perkara pernikahan lintas agama, dan mereka melihat postingan itu kemudian membaca. bagian itu khususnya, apakah absensi dari literatur akademik yang valid merupakan sebuah standar epistemik dan riset yang patut diadakan oleh aparat pemerintahan? Maka, bahkan dalam penyampaian informasi mengenai pernikahan lintas agama, pemerintah sepertinya mengabaikan urgensi dari isu ini, lebih memilih untuk mengikuti status quo dibanding memastikan masyarakat dapat menelusuri isu ini dengan lebih mendalam serta secara kritis.

Meskipun sentimen pemerintah sepertinya telah mencapai domain status quo opini yang merajalela, setidaknya tetap ada kebenaran yang cukup cengli dalam sentimen tersebut. Fenomena perceraian dan pertengkaran interpersonal dalam konteks pernikahan karena perbedaan agama merupakan sesuatu yang kompleks, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga tidak pantas mendapatkan generalisasi sebagaimana digambarkan oleh sentimen-sentimen tersebut. Dengan mewawancara tiga pasangan, Agustin (2013) mengomentari bagaimana sebuah hambatan besar yang muncul adalah ketika proses pernikahannya sendiri di mana masing-masing individu yang berpasangan kesulitan dalam memutuskan prosedur agama mana yang menjadi patokan untuk menyelenggarakan upacara pernikahan (hal. 6-7). Keterbukaan juga menjadi sebuah variabel di mana seorang individu berkemungkinan untuk sulit dalam mengekspresikan keyakinannya sehingga menghindari topik-topik sulit yang berkaitan dengan agama masing-masing. Hamdanah (2018) mengupas permasalahan tersebut lebih lanjut dengan melihat dampak dari pernikahan lintas agama bagi anak. Menurutnya, permasalahan psikologis dirasakan secara timbal balik di mana orang tua dan anak sama-sama gelisah dan kebingungan.

Ada sebuah premis tersirat ketika masyarakat menerima hasil-hasil studi tersebut secara prima facie. Bunyi premis tersirat itu adalah sebagai berikut: Jika pernikahan lintas agama memainkan peran dalam masalah interpersonal dan masalah kekeluargaan, pemerintah memiliki justifikasi yang tepat untuk melarang praktik tersebut. Tetapi, apakah pernyataan ini suatu asumsi yang tepat untuk dirumuskan?

Larangan Tanpa Fondasi

Jika para proponen politik yang mengadvokasikan pernikahan lintas agama ingin memiliki kesempatan untuk melegitimasikan praktik tersebut di mata pemerintah dan masyarakat, asumsi bahwa kekurangan-kekurangan dari pernikahan lintas agama menjustifikasikan pelarangannya adalah objek pertama yang patut ditentang. Pertimbangkan aspek-aspek kultural lain dalam sebuah hubungan pernikahan yang dapat berkontribusi dalam konflik intra-marital.

Apriani dkk. (2013) memperlihatkan bagaimana identitas etnis juga dapat berkontribusi dalam menentukan interaksi antar pasangan perempuan Jawa dengan laki-laki Cina (hal. 305-315). Melalui studinya, Apriani et al. secara kualitatif menganalisis bahwa tingkat lama "pacaran" sebelum menikah dapat mengurangi intensitas prasangka dan stereotip yang dimiliki oleh pasangan terhadap satu sama lain. Berhubungan dengan aspek ini, mengapa kemudian pemerintah belum mengeluarkan peringatan untuk mengurangi frekuensi pernikahan lintas etnis?

Tepatnya, pembaca patut lebih mementingkan orientasi normatif dari pertanyaan tersebut, yaitu apakah pemerintah seharusnya melarang aspek-aspek sosial dan kultural dari pernikahan jenis mana pun atas landasan mereka dapat berkontribusi pada perpecahan suatu hubungan? Maka dari itu, kebijakan seperti SEMA Nomor 2 Tahun 2023 mewakilkan sebuah asumsi normatif yang melandasi masyarakat dan, sebagai ekstensi yang normal, aparat-aparat pemerintah.

Kesimpulan

Intisari dari teks pendek ini pada dasarnya adalah sebuah dorongan untuk para pembaca agar lebih kritis terhadap gagasan-gagasan umum mengenai pernikahan ataupun praktik kultural lain yang kerap memiliki status tabu dan stigma sosial lain, serta larangan yang dicap terhadap praktik tersebut oleh pihak yang memegang otoritas resmi. Sebuah budaya perdamaian di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk menyejahterakan pengalaman sehari-hari yang dirasakan oleh individu di kemasyarakatan Indonesia.

Selebihnya, ketika sebuah asumsi tidak ditentang sama sekali, sebuah penerimaan dari asumsi yang terkait sebagai status quo sudah dapat disimpulkan. Kutipan yang relevan untuk menggambarkan hal ini dapat diambil dari Michel Foucault, seorang pemikir dari mazhab Teori Kritis, yang menyatakan:

"A critique is not a matter of saying that things are not right as they are. It is a matter of pointing out on what kinds of assumptions, what kinds of familiar, unchallenged, unconsidered modes of thought the practices that we accept rest." (Foucault, 1981)

Dalam perkara pernikahan lintas agama, satu pernyataan yang sudah jelas adalah bahwa masyarakat, serta pemerintahan, Indonesia masih terjebak dalam "mode pemikiran" tertentu yang memaksakan peran pemerintah sebagai suatu "pelarang" dalam urusan-urusan interpersonal masyarakatnya sehingga harus melarang apa yang orang-orang tertentu inginkan dalam proses pernikahan. Ini membuat masalah pernikahan lintas agama tidak hanya sebagai masalah administratif yang berhubungan dengan pencatatan status pernikahan masyarakat, melainkan paradigma kultural yang sedang dan patut ditransformasi agar melampaui tradisi-tradisi yang menjebak, menindas, dan menghujat anggota-anggota masyarakat tertentu. Cinta, tentu, tidak akan dapat melampaui Tuhan. Pertanyaannya sekarang menjadi: Apakah masyarakat patut menggunakan Tuhan untuk memaksakan dan membatasi Cinta?

* Artikel ini merupakan salah satu pemenang kategori Good pada Lomba Esai Nasional 2023 dengan tema "Peace For Indonesia, Peace For All! yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//