Perang dan Perubahan Iklim, Mengamati Konflik Israel-Hamas dalam Perspektif Lingkungan Hidup
Serangan Israel dalam 60 hari pertama menghasilkan 281.000 metrik ton CO2 atau setara dengan pembakaran 150.000 ton batu bara.
Fariz Reza Ferdiansyah
Alumni Hubungan Internasional Universitas Amikom Yogyakarta
2 Maret 2024
BandungBergerak.id – “When it comes to taking stock of global emissions, there's an elephant in the room: the world's armed forces.” -Valerie Volcovici
Terhitung sudah lebih dari 100 hari perang antara Israel dan Hamas masih berlanjut. Media Al Jazeera menyebutkan bahwa setidaknya 23.700 jiwa termasuk di antaranya 9.600 anak-anak dan 6.750 perempuan telah terbunuh di Gaza. Perang yang dimulai sejak 7 Oktober 2023 ini dipicu oleh serangan kejutan kelompok militan Hamas terhadap perbatasan Israel. Sejak saat itu Israel mulai mendeklarasikan perang dan membombardir Jalur Gaza.
Akibat bombardir yang terus dilakukan oleh tentara Israel Defense Forces (IDF), sejumlah infrastruktur seperti rumah sakit dan tempat ibadah mengalami kerusakan yang sangat parah. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) menyebutkan bahwa sekitar 1,9 juta orang terlantar dan terdapat kelangkaan besar-besaran terhadap makanan, air bersih, obat-obatan, tenda dan kebutuhan pokok lainnya .
Hubungan antara Perang dan Perubahan Iklim
Dengan semakin meningkatnya perang dan konflik di berbagai belahan dunia dalam beberapa tahun terakhir, isu militer mulai menjadi perhatian utama dalam diskursus politik lingkungan hidup. Sebetulnya perbincangan mengenai dampak perang terhadap lingkungan bukan merupakan hal yang baru.
Berbagai literatur telah menyebutkan bagaimana perang atau konflik saling berkaitan satu sama lain dengan lingkungan hidup. Penelitian dengan judul Ecopolitical Discourse: ‘environmental security: and political geography menyebutkan bagaimana perang dapat dipicu oleh krisis lingkungan yang mana dalam hal ini berupa kelangkaan sumber daya alam. Sebaliknya, konflik atau perang juga dapat memicu kerusakan lingkungan hidup.
Perang atau konflik juga turut menyumbang emisi karbon yang mana menjadi pemicu perubahan iklim. Laporan Conflict and Environment Observatory (CEOBS) menyebutkan bahwa sektor militer menyumbangkan 5,5% emisi karbon secara global. Artinya, jika sektor militer seluruh dunia diibaratkan sebagai sebuah negara, maka negara ini akan menjadi negara keempat penyumbang emisi terbesar.
Emisi karbon yang bersumber dari sektor militer umumnya berasal dari kendaraan militer dan berbagai infrastruktur militer lainnya yang tentu memerlukan energi. Energi ini sering kali berasal dari minyak. Laporan tersebut juga menyebutkan mengenai emisi yang ditimbulkan dari pelatihan militer, yang mana dapat menyebabkan gangguan terhadap lanskap, habitat darat dan laut, dan menciptakan polusi kimia, bahkan kebisingan dari penggunaan senjata, pesawat terbang, dan kendaraan.
Dampak Perang Israel-Hamas terhadap Lingkungan Hidup di Gaza
Kerusakan iklim akibat perang Israel-Hamas sudah seharusnya menjadi perhatian bagi masyarakat internasional. Dilansir melalui The Guardian, perang Israel-Hamas telah menghasilkan sebanyak 281.000 metrik ton CO2 atau setara dengan pembakaran 150.000 ton batu bara. Jumlah tersebut bersumber dari pengeboman udara dan invasi darat yang dilakukan oleh pihak IDF sejak 60 hari pertama.
Di sisi lain, rudal Hamas yang ditembakkan ke Israel hanya menghasilkan 713 ton CO2 yang mana setara dengan pembakaran 300 ton batu bara. Hal ini menggarisbawahi bagaimana terdapat perbedaan kekuatan perang di antara keduanya.
Sejak pendudukan Israel di Gaza, masyarakat di wilayah tersebut sangat bergantung pada Israel dalam mendapatkan akses terhadap listrik. Di sisi lain, beberapa tahun belakangan ini masyarakat Gaza telah mendapatkan bantuan listrik dari komunitas internasional dan mengakhiri politisasi energi yang dilakukan oleh Israel. Penelitian Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa penduduk Gaza telah beralih ke energi terbarukan dengan memasang sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atap-atap rumah mereka.
Akibat dari perang, Sebagian besar PLTS atap termasuk yang terpasang di fasilitas publik mengalami kerusakan. Serangan Israel di wilayah tersebut telah menghambat upaya transisi energi dan adaptasi perubahan iklim penduduk Gaza.
Saat ini wilayah Gaza juga dihadapi pada ancaman perubahan iklim seperti peningkatan air laut, kekeringan hingga cuaca ekstrem. The Institute for National Security Studies melaporkan bahwa wilayah Gaza sangat rentan terhadap perubahan iklim. Terletak di antara cekungan Mediterania, wilayah Gaza diprediksi akan terus mengalami penurunan curah hujan sebesar 20% pada tahun 2050. Suhu di wilayah tersebut juga diperkirakan akan terus meningkat, yakni sebesar 2,5° C pada tahun 2055, bersamaan dengan peningkatan intensitas bencana kekeringan dan gelombang panas.
Pengecualian Sektor Militer dalam Penanganan Perubahan Iklim
Beberapa dekade belakangan ini, berbagai perdebatan mengenai iklim dan keamanan hanya berfokus tentang bagaimana krisis iklim dapat menjadi ancaman keamanan suatu negara. Para pemimpin dunia dan aktor-aktor lain sering kali lupa mengenai kebijakan keamanan yang mereka ambil, yang mana justru dapat memperparah krisis iklim.
Melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), negara-negara wajib melaporkan inventarisasi emisi gas rumah kaca mereka mencakup emisi yang dikeluarkan di sektor militer. Meskipun begitu, CEOBS melaporkan bahwa negara-negara dengan kekuatan militer besar sering kali abai terhadap peraturan ini.
Tidak adanya transparansi dalam perhitungan emisi gas rumah kaca di sektor militer menjadi tantangan tersendiri pada upaya mitigasi krisis iklim. Transparansi merupakan hal yang sangat penting dalam memantau dan meneliti titik potong antara konflik, militer dan lingkungan hidup.
Pembahasan mengenai dekarbonisasi pada sektor militer juga sering kali absen dalam forum-forum internasional. Bahkan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 28) yang telah diadakan November 2023 lalu belum sepenuhnya menghadirkan solusi untuk membatasi penggunaan bahan bakar fosil dan mendorong demiliterisasi.
Krisis iklim yang saat ini tengah dihadapi oleh dunia seharusnya bisa menjadi peluang bagi negara-negara untuk mencapai kesepahaman. Para pemimpin dunia sudah seharusnya memahami bagaimana krisis iklim dapat berubah menjadi ancaman bagi keamanan kolefktif manusia. Demiliterisasi sebagai langkah dalam memitigasi krisis iklim masih menjadi jalan panjang yang harus ditempuh untuk bisa menyelamatkan umat manusia dari bencana katastropik.