• Berita
  • Membicarakan Kekaburan Sejarah Tragedi 1965 dengan Penyintas, Merawat Ingatan dengan Nobar Film Eksil

Membicarakan Kekaburan Sejarah Tragedi 1965 dengan Penyintas, Merawat Ingatan dengan Nobar Film Eksil

Orang-orang muda saat ini berpeluang mempelajari sejarah tragedi 1965 dari beragam kacamata, tidak bersumber dari narasi tunggal yang dijejalkan suatu rezim.

Sticky notes harapan untuk HAM Indonesia yang ditulis oleh siswa SMA dalam Pemutaran Film EKSIL dan Diskusi Publik di SMAN 3 Bandung pada Selasa, 10 September 2024. (Foto: R.Sabila Faza Riana/BandungBergerak)

Penulis R.Sabila Faza Riana 18 September 2024


BandungBergerak.id“Usia saya saat ini 72 tahun dan ternyata peristiwa itu masih bisa dibilang belum selesai,” ujar Uchikowati, penyintas tragedi 1965 dalam acara pemutaran Film Eksil dan Diskusi Publik, di SMAN 3 Bandung, Selasa, 10 September 2023.

Usia 72 tahun. Panjang umur Uchikowati, salah seorang pendiri Dhialita Choir. Ketika baru menginjak umur 13 tahun, ia harus melihat bagaimana kedua orang tuanya ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1965 karena terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh menjadi dalang atas tewasnya enam jenderal, satu perwira, dan seorang anak perempuan Jenderal AH Nasution.

Uchikowati tinggal di Cilacap saat peristiwa kelabu itu terjadi, wilayah yang jauh dari lokasi kejadian, Jakarta. Peristiwa berdarah tersebut memicu kerusuhan yang menyebar cepat di seluruh wilayah Indonesia, tak terkecuali di tempatnya bernaung.

Pada 18 Oktober di Cilacap, kantor PKI, kantor Gerwarni, hingga kantor-kantor lainnya yang dianggap terafiliasi dengan PKI menjadi korban amukan warga. Warga menggeruduk dan membakar segala yang berbau PKI. Tak terkecuali rumah-rumah pemimpin atau para pengurus PKI juga habis dirusak.

“Saya baru naik kelas dua SMP. Saya tidak mengetahui apa yang terjadi di Jakarta, karena hanya mengetahui dari radio dan koran. Koran pun hanya dua yang waktu itu boleh terbit, lainnya tidak boleh terbit,” ujarnya.

Saat kericuhan terjadi, mulanya Uchikowati dan keluarga ‘diamankan’ ke rumah Karesidenan di Purwokerto dengan harap kondisi akan mereda. Namun yang terjadi sebaliknya, kondisi tak semakin membaik hingga pada 1 November, ayah dan ibunya dipanggil oleh Gubernur Jawa Tengah dan dijemput oleh Corps Polisi Militer.

Tak hanya kedua orang tua Uchikowati yang mengalami hal ini, setiap orang yang dituduh sebagai PKI, bahkan orang yang bukan siapa-siapa, pun turut menjadi korban penangkapan.

Hidup setelah tragedi 1965 tak lagi mudah bagi Uchikowati. Sebagai seorang anak yang hanya karena lahir dan tumbuh dari keluarga PKI, ia harus merasakan tinggal dititip-titipkan kepada keluarga agar bisa bersekolah, meskipun tidak boleh bersuara. Belum lagi stigma dan labelisasi yang didapatkannya sebagai seorang anak PKI hingga melukai perasaan dan membuatnya trauma.

Pengalaman ini tak hanya dirasakan oleh Uchikowati, jutaan anak-anak penyintas tragedi 65 juga mengalami hal serupa.

“Saya berbicara bukan untuk membela komunisme atau membela PKI, tetapi bercerita apa adanya tentang kemanusiaan. Tentang sejarah, apa pun kelamnya sejarah bangsa lalu itu. Itu adalah sejarah bangsa kita. Sejarah bangsa yang penuh dengan luka-luka itu tetap harus diakui,” kata Uchikowati.

[baca_juga]

Potret Uchikowati (Dhialita Choir dan penyintas Peristiwa 65, sebelah kanan), Shalahuddin Siregar (Filmmaker, tengah), dan Dhea Rizky (Aktivis Dago Melawan, sebelah kiri) dalam Pemutaran Film EKSIL dan Diskusi Publik di SMAN 3 Bandung pada Selasa, 10 September 2024. (Foto: R.Sabila Faza Riana/BandungBergerak)
Potret Uchikowati (Dhialita Choir dan penyintas Peristiwa 65, sebelah kanan), Shalahuddin Siregar (Filmmaker, tengah), dan Dhea Rizky (Aktivis Dago Melawan, sebelah kiri) dalam Pemutaran Film EKSIL dan Diskusi Publik di SMAN 3 Bandung pada Selasa, 10 September 2024. (Foto: R.Sabila Faza Riana/BandungBergerak)

Merawat Ingatan Melalui Film

Eksil, film dokumenter berdurasi 1 jam 58 menit yang disutradarai Lola Amaria, berhasil menyuguhkan pengalaman-pengalaman orang-orang yang terpaksa menjadi diaspora dan kehilangan kewarganegaraannya ketika terjadinya tragedi 1965. Lewat sudut pandang para eksil, dokumenter ini berupaya mengupas sisi-sisi lain dari komunis yang sering kali disalapahami karena pengetahuan terkait ideologi tersebut menjadi kabur pascatragedi 1965.

“Eksil itu menjadi penting karena dia mempertanyakan kesalahan komunis yang semua film tentang 65 belum pernah dipertanyakan,” kata Shalahuddin Siregar, di acara yang sama.

Hingga saat ini, sulit untuk menginternalisasi tragedi 1965 sebab segala narasi yang tersebar merupakan narasi yang dikeluarkan rezim Orde Baru yang sampai kini tidak dapat dibuktikan apakah pembunuhan memang dilakukan atas nama partai atau tindakan perorangan. Sehingga Eksil hadir untuk turut mempertanyakan kembali narasi sejarah yang selama ini dinarasikan oleh Suharto, pemimpin Orde Baru.

Pria yang kerap disapa Huddin itu menuturkan bahwa perilaku individu tidak dapat disamakan sebagai buah pemikiran partai, sehingga perlu adanya tinjauan ulang dari narasi sejarah yang sudah tersebar selama ini. Dengan memberikan sebuah analogi, Huddin berupaya memberikan sudut pandang baru kepada siswa-siswa SMA terkait tragedi 1965 apakah didalangi oleh partai atau sebaliknya, ada upaya pengaburan sejarah.

“Kalau pemerintah membunuh orang, itu pemerintah yang bertanggung jawab. Atau partai A, dengan sadar melakukan kudeta dari sebuah pemerintahan, maka itu tanggung jawab si partainya, bukan anggotanya,” kata sutradara film Pesantren (2023) tersebut.

Tidak adanya proses peradilan yang adil dalam memastikan siapa yang bersalah dalam tragedi 1965 juga menjadi polemik tersendiri. Orang-orang yang tak bersalah, anak-anak menjadi korban utama yang kesulitan melanjutkan kehidupannya karena stigmatisasi PKI.

“Kita mempertanyakan komunis yang disebutkan adalah Partai Komunis Indonesia tahun 1965 yang kemudian masih dianggap persoalan sampai sekarang. Karena dia tidak pernah dibicarakan dengan persoalannya buatku adalah itu tidak pernah selesai dibahas,” ujar Huddin.

Pemutaran film dokumenter Eksil yang dilakukan di sekolah SMA merupakan langkah yang tidak pernah diduga olehnya. Acara ini cocok untuk melakukan pendekatan pada generasi muda.

Huddin yang produktif membuat film-film bernapaskan sejarah. Film-film genre sejarah memerlukan apresiasi dari generasi muda. Alasannya, orang-orang muda merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu melakukan perubahan di masa mendatang.

“Kalau dari muda mereka sudah paham bahwa ada isu-isu penting hak asasi manusia itu tidak selesai di Indonesia, aku harap mereka bisa belajar dan ketika mereka memimpin, mereka ingat, dan itu jadi core. Karena itu seharusnya didik sejak kecil,” tuturnya.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari R.Sabila Faza Riana atau artikel-artikel lain tentang Partai Komunis Indonesia (PKI)

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//