Membangun Kesadaran Politik Warga Negara untuk Menyelamatkan Demokrasi di Indonesia
Sistem demokrasi di Indonesia telah melewati perjalanan panjang. Sistem ini cenderung tergeser oleh kepentingan penguasa dan elite politik.
Penulis Pahmi Novaris 22 November 2024
BandungBergerak.id - Di negeri yang menganut sistem demokrasi, negara adalah milik rakyat. Negara tidak dimiliki oleh kepala negara atau elite tertentu. Sebab negara tidak akan eksis tanpa adanya warga negara atau rakyat.
Oleh karena itu, Bivitri Susanti, aktivis sekaligus dosen hukum di STH Indonesia Jentera, menegaskan pentingnya kesadaran bahwa rakyat adalah komponen yang pertama ada sebelum menunjuk kepala negara melalui pemilu. Namun, setelah pemilihan, perlu dipertanyakan apakah hak-hak rakyat telah dipenuhi atau tidak. Kenyataannya, sering kali hak-hak tersebut tidak terpenuhi.
Menurut Bivitri, tugas negara melalui demokrasi adalah melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak warga negara. Eksistensi negara bergantung pada peranan rakyat.
"Jangan tanyakan apa yang bisa negara berikan untukmu, tetapi tanyakan apa yang bisa engkau berikan untuk negara,” kata Bivitri, mengutip pepatah lama. Namun ia mengkritik pandangan tersebut yang sejatinya keliru. Sebab, negara seharusnya ada untuk melayani warganya.
Bivitri Susanti berbicara di acara diskusi Political Science Week 8.0, Unpad, Bandung, 14 November 2024. Ia menekankan bahwa demokrasi harus dijaga dengan akuntabilitas dan kerangka hukum yang kuat. Indonesia memang memiliki konstitusi dan berbagai undang-undang. Namun terkait akuntabilitas, ada masalah pada siapa yang membuat hukum tersebut.
Penyelenggara negara, partai politik, DPR, DPD, dan presiden sering mengklaim transparansi, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Ia mengingatkan bahwa dalam situasi darurat, partisipasi masyarakat sering kali diabaikan, dan proses legislasi bisa berlangsung sangat cepat, seperti dalam pembuatan Undang Undang Pilkada.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa hukum juga bisa disalahgunakan untuk merusak demokrasi. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial mengenai presiden baru dianggapnya sebagai contoh nyata dari masalah ini. Menurutnya, tidak perlu belajar hukum untuk memahami bahwa banyak tindakan yang seharusnya salah, tetapi justru dibenarkan oleh para pembuat hukum.
Praktik-praktik kekuasaan dapat merusak demokrasi dan melegitimasi tindakan yang salah, seperti ketika presiden mendukung kepala daerah. Dengan semua ini, ia menekankan bahwa pikiran-pikiran tentang demokrasi dan moralitas harus selalu diperjuangkan agar negara dapat berfungsi dengan baik dan memberikan hak-hak warganya.
Perkembangan Demokrasi Indonesia
Demokrasi di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang. Dimulai dari demokrasi parlementer, negara kita menghadapi berbagai pergolakan meskipun telah dinyatakan merdeka melalui Undang-Undang Dasar 1945. Namun, hal ini belum cukup untuk mengakomodasi pelaksanaan negara yang ideal.
Pada tahun 1999, Belanda kembali menyerang Indonesia, yang berujung pada perubahan menuju demokrasi terpimpin. Pada masa itu, Sukarno dan Hatta berpisah, dan Hatta memberikan kritik melalui bukunya yang terkenal, Demokrasi Kita. Hatta berpendapat bahwa demokrasi Indonesia berakar dari segelintir orang yang berhasil kuliah di Eropa, terpengaruh oleh pemikir-pemikir seperti John Locke dan Montesquieu.
Sementara itu, paham demokrasi yang muncul di Indonesia bercampur dengan elemen sosialis barat, Islam, dan nilai-nilai masyarakat lokal. Inilah yang menyebabkan nomenklatur demokrasi terpimpin, di mana presiden berfungsi sebagai penengah antara berbagai kubu yang bergejolak.
Hatta meramalkan, sebelum Sukarno wafat, perubahan akan terjadi dalam demokrasi terpimpin. Dengan munculnya berbagai kekuatan, seperti PKI dan militer, Indonesia beralih ke demokrasi Pancasila. Meskipun demikian, Pancasila tidak dinegasikan dalam bentuk Nasakom, Masyumi, dan lain-lain.
Kini, Indonesia berada di era pascareformasi, di mana terdapat harapan bahwa demokrasi yang lebih baik dapat diterapkan melalui sistem pemilu proporsional terbuka. Secara sistemik, infrastruktur politik—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—serta suprastruktur politik yang melibatkan mahasiswa, rakyat, dan media, memainkan peran penting. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah penerapan demokrasi di Indonesia dari awal hingga sekarang sudah berjalan dengan benar.
Williams Windows, seorang Indonesianis, mengibaratkan demokrasi dan kapitalisme seperti "bayi dan bak mandinya"; jika ingin demokrasi berkembang, kita harus "semakin masuk ke bak mandinya”.
Dosen sekaligus alumni FISIP Unpad Andi M. Nurdin memandang demokrasi di Indonesia mendapat tantangan serius dari kapitalisme. Salah satu bentuknya adalah politik uang yang dianggap bukan hal tabu lagi. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai sosialis barat dan Islam yang dulunya ada telah berubah, meninggalkan masyarakat Indonesia yang membentuk demokrasi saat ini.
Tantangan lainnya, demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran dan menuju otoritarianisme. Hal ini diperparah dengan pelemahan hukum, seperti mengurangi fungsi KPK dan lembaga lainnya. Belum lagi dengan koneksi antara masyarakat, mahasiswa, dan media semakin melemah.
Mencari Makna Demokrasi
Rocky Gerung mengungkapkan Demokrasi di Indonesia tidak mungkin menjadi lebih baik sebelum mengalami fase terburuknya. Rakyat bisa melakukan koreksi terhadap demokrasi, tetapi jika koreksi itu hanya bersifat parsial, maka tidak akan efektif.
“Dulu, kita melakukan koreksi yang disebut reformasi, padahal seharusnya itu adalah revolusi,” kata Rocky Gerung, yang juga berbicara di acara diskusi Political Science Week 8.0.
Ia menjelaskan, istilah revolusi dianggap berbahaya. Padahal mentalitas orang-orang pergerakan di Indonesia sudah terbiasa dengan istilah revolusi. Kampus-kampus seperti UI, ITB, Unpad, dan UGM memiliki satu pemikiran revolusi.
Di era reformasi, menurut Rocky Gerung, sebenarnya gerakan prodemokrasi menginginkan revolusi. Tetapi kegelisahan saat itu menghasilkan perubahan yang sekadar kuantitatif, yaitu reformasi
Rocky melihat saat ini banyak orang-orang tergerak untuk menghidupkan demokrasi. Di DPR, semakin banyak orang-orang muda yang lolos sebagai calon legislatif dan bupati. Namun, pertanyaannya, apakah mereka memahami demokrasi? Mereka semua menyatakan bahwa mereka adalah pelaku demokrasi, tetapi ini hanya semacam gairah baru untuk menjadi politisi. Menjadi politisi kini dianggap lebih bergengsi.
Bilvitri Susanti melihat partisipasi politik di Indonesia cukup tinggi, tetapi banyak yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS) bukan karena memahami dan ingin memilih demi perbaikan hidup, melainkan karena faktor politik uang yang diberikan kepada mereka. Yang paling merusak adalah kondisi partai politik. Siapa yang membuat undang-undang? Tentu saja DPR dan Presiden, yang berasal dari rakyat. Namun, mereka juga yang merusak KPK dengan merevisi undang-undang dan memasukkan pimpinan yang bermasalah.
Kekuasaan juga tidak lepas dari benturan kepentingan, seperti penunjukan anggota keluarga untuk mengisi jabatan tertentu. Orang-orang muda yang kini masuk ke DPR sering kali berasal dari kalangan yang kaya atau merupakan bagian dari dinasti politik.
Dalam konteks politik kewargaan, sering kali dipahami bahwa berpolitik berarti menduduki jabatan formal, seperti menjadi menteri atau komisaris. Pandangan ini menciptakan stigma negatif terhadap politik, yang diperburuk oleh praktik politikus curang. Padahal, politik seharusnya menjadi cara untuk memperjuangkan hak-hak rakyat.
Bivitri menegaskan memperbaiki demokrasi, diperlukan upaya membongkar pikiran-pikiran keliru yang telah merasuki sistem pendidikan. Pemikiran-pemikiran ini juga bertebaran dalam berbagai narasi yang sengaja dibentuk oleh penguasa yang tidak jujur.
Intinya, politik bukan soal jabatan, melainkan tentang apa yang negara berikan kepada rakyat—pendidikan, kesehatan, listrik, air minum, dan layanan dasar lainnya. Oleh karena itu, politik kewargaan diperlukan sebagai bagian dalam kehidupan sehari-hari.
Empat Hal Penting untuk Memperbaiki Demokrasi
Andi M. Nurdin mengemukakan beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam menjaga demokrasi di Indonesia. Pertama, kesetaraan (equality) harus menjadi prioritas. Ketika eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak beroperasi dalam kesetaraan, banyak produk hukum yang dihasilkan, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, tidak mencerminkan kepentingan rakyat. Hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan masyarakat.
Kedua, pentingnya agen perubahan untuk melawan korupsi. Diskusi tentang hukum memang penting, tetapi aspek kemanusiaan juga tidak kalah penting. Untuk mengatasi korupsi, kita harus menegakkan prinsip-prinsip universal yang menuntut agar tidak ada pihak yang merugikan hak orang lain.
Ketiga, perubahan iklim berpotensi mempengaruhi proses demokrasi. Misalnya, saat musim hujan, kesulitan dalam pengiriman logistik pemilu ke daerah-daerah terpencil bisa mengganggu kelancaran proses pemilihan. Dengan perubahan iklim yang semakin signifikan, kebijakan-kebijakan harus disesuaikan untuk memastikan keberlanjutan hidup masyarakat.
Keempat, kepercayaan institusional di Indonesia menjadi isu yang krusial. Contohnya, praktik judi online yang melibatkan pejabat publik menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas masih perlu ditingkatkan. Dalam politik, sering kali tidak ada kawan atau lawan yang permanen; yang ada hanyalah kepentingan. Jargon ini mencerminkan sistem politik yang sangat kapitalis, di mana aliansi dapat berubah dengan cepat demi kepentingan yang berbeda.
Jika koalisi dibentuk untuk kepentingan yang lebih baik, hasilnya bisa positif, tetapi jika untuk kepentingan yang merugikan, masyarakatlah yang paling terdampak. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus memperjuangkan kesetaraan, integritas, dan keberlanjutan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Andi juga menganalisa bahwa demokrasi di Indonesia terancam arogansi penguasa, kurangnya akuntabilitas, dan pengabaian terhadap suara rakyat. Meskipun telah mengalami perjalanan panjang, demokrasi sering kali terjebak dalam praktik yang tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat.
Ia berharap tumbuh kesadaran kewargaan dan partisipasi aktif dari rakyat agar demokrasi dapat hidup dan berkembang. Hukum harus menjadi alat untuk melindungi dan memenuhi hak-hak warga, bukan sebaliknya. Selain itu, pendidikan dan perubahan paradigma dalam memahami politik sangat diperlukan untuk mewujudkan demokrasi yang substansial.
Agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik, Andi mengajak semua elemen masyarakat—termasuk generasi muda—perlu berperan aktif dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan keadilan, serta menjaga integritas sistem politik dari praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Pahmi Novaris, atau artikel lain tentang Pilgub Jabar 2024