• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Pemilu oleh Rakyat Harus Tetap Diselenggarakan Lagi dan Lagi

MAHASISWA BERSUARA: Pemilu oleh Rakyat Harus Tetap Diselenggarakan Lagi dan Lagi

Mendorong agar “tak usah ada lagi” sistem pemilu secara langsung bisa berujung pada malapetaka.

Adinan Rizfauzi

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes)

Ilustrasi. Pemilu merupakan ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin. (ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

24 Desember 2024


BandungBergerak.id – Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) telah usai. Barangkali itu juga menutup hiruk-pikuk perbincangan politik mengenai pemilihan umum (pemilu) tahun ini. Layaknya kontestasi dalam hal apa pun, pemilu dan pilkada juga memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Maka, tak heran jika ada yang kecewa dan ada yang puas diri. Ada yang marah dan ada yang terbahak. Ada yang masih optimis dan ada yang sudah pesimis.

Bermacam rupa emosi itu campur aduk menjadi satu, menyisakan satu pertanyaan yang belakangan makin nyaring: masih perlukah sistem pemilu oleh rakyat ini dilanjutkan?

Sulit tak mengaitkan hadirnya pertanyaan tersebut dari orkestrasi para elite politik dan oligarki yang mencoba menancapkan kuku lebih dalam ke pusaran kekuasaan. Apalagi wacana tersebut belakangan diutarakan oleh seorang Prabowo Subianto dengan alasan efisiensi anggaran dan kemudahan transisi kepemimpinan.

Kita tahu, sepanjang Pemilu 2024, merekalah yang gemar mengobrak-abrik emosi publik. Pagar lembut penjaga demokrasi bernama etika politik diterabas  seolah itu adalah perbuatan yang kelewat sepele. Mengotak-atik aturan main, memobilisasi aparatur negara, penggelontoran bantuan sosial (bansos) yang esensinya jauh dari tujuan awal dipertontonkan sedemikian rupa. Situasi tersebut, secara vulgar, juga berlanjut pada masa-masa Pilkada 2024, plus di panggung ini, mereka juga melahirkan pasangan calon untuk mereka-mereka sendiri.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Benjamin Netanyahu Tidak Kunjung Ditangkap setelah Terbitnya Arrest Warrant ICC?
MAHASISWA BERSUARA: Strategi Pembelajaran Kontekstual untuk Berpikir Kritis dengan Matematika dalam Kehidupan Sehari-hari
MAHASISWA BERSUARA: Penerapan Arsitektur Berkelanjutan sebagai Pendekatan Inovatif untuk Mewujudkan Smart City

Wacana Menghapus Pilkada Langsung

Hasilnya sudah bisa ditebak. Pengaruh para elite politik dalam mengorkestrasi proses pemilihan jauh melebihi dari apa yang dimiliki oleh publik. Kita dibuat jengah dengan situasi yang terjadi, apalagi ketika kita menyaksikan terpilihnya (beberapa) pasangan calon yang jelas-jelas dilahirkan oleh elite politik dan oligarki, bukan oleh rakyat kebanyakan.

Dengan situasi tersebut, tak heran kalau tak sedikit masyarakat yang malah menyambut baik ucapan Prabowo agar hak pilih warga dalam pilkada diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mereka yang setuju dengan wacana ini punya bermacam-macam alasan, tapi setidaknya dua alasan ini tampak mendominasi: pemilu oleh rakyat memboroskan anggaran dan perasaan sangsi bahwa warga kebanyakan belum cukup “pintar” membuat pilihan.

Jika dua itu yang menjadi alasan, menghapus sistem pemilu oleh rakyat dan mengembalikannya ke sistem pemilihan tak langsung jelas tak menyelesaikan masalah. Lagi pula selama ini anggota legislatif juga tampak lebih dekat dengan para cukong ketimbang basis konstituennya. Konflik kepentingan anggota legislatif bila mereka diserahi hak suara mewakili publik dalam pemilihan tak langsung juga tak kira-kira, terutama karena kebanyakan dari mereka juga merupakan pebisnis.

Pada awal Oktober lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan sebanyak 61 persen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode ini berlatar belakang pebisnis atau terafiliasi dengan sektor bisnis. Itu baru di tingkat nasional. Jumlah politisi-pebisnis di tingkat daerah bisa jadi lebih banyak. Jika dilimpahi kewenangan penuh untuk memilih siapa yang bakal menjadi presiden atau kepala daerah, alih-alih memilih pasangan calon yang tepat bagi warga, yang ada mereka malah memilih pasangan calon bisa membuat bisnisnya berekspansi dengan mulus.

Dengan situasi tersebut, menyerahkan kembali hak suara kepada mereka sama saja mengembalikan demokrasi ke liang lahat. Tak ada yang bisa diperoleh dari publik selain menempatkan mereka ke bangku penonton paling belakang, yang ketika dipakai untuk bersorak pun, suaranya hanya terdengar sayup-sayup.

Alokasi anggaran untuk pemilu memang sudah selayaknya terjadi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang akuntabel sekaligus sarana pendidikan politik bagi warga. Tidak usah khawatir, uang pajak warga toh tidak sedikit. Lagi pula, lebih baik anggaran dialokasikan ke pemilihan langsung ketimbang dipakai bancakan para elite seperti halnya yang terjadi pada era orde baru.

Mengenai mereka yang sangsi terhadap kapasitas dan kecakapan warga dalam membuat pilihan, yang semestinya dituntut adalah perluasan akses pendidikan dan pemerataan ekonomi. Hanya dengan itulah warga dengan ekonomi pas-pasan dapat berdaya dalam membuat pilihan. Memangkas hak pilih warga justru malah merupakan langkah mundur dan malah memunculkan masalah bagi keberlangsungan sistem demokrasi.

Pilkada 2024 di Jakarta bisa menjadi salah satu bukti. Dengan kelas menengah yang relatif lebih banyak ketimbang daerah lain, warga paling tidak bisa mencegah calon yang paling dekat dengan elite politik dan oligarki untuk menang, atau paling tidak menang mudah.

Memang sulit untuk tidak mengecewakan apa yang belakangan ini terjadi. Namun, kekecewaan itu hendaknya tak serta merta membuat kita pesimis dan lantas menegasikan kepercayaan kita terhadap keberadaan sistem pemilu oleh rakyat, yang menjadi salah satu pencapaian reformasi. Boleh saja jika kita menuntut negara agar sistem pemilu yang kini ada dijalankan dengan lebih benar dan bermutu, tapi turut serta mendorong agar  “tak usah ada lagi” sistem pemilu secara langsung bisa berujung pada malapetaka.

Pemilu secara langsung juga merupakan salah satu jalan agar konsolidasi demokrasi–yang tak lain dari proses yang amat panjang–tetap berjalan, dan itu hanya bisa dilakukan lewat pemilu yang diselenggarakan lagi dan lagi.

 *Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//