• Opini
  • Tentang Cinta dan/atau Perbudakan pada Malam Lebaran

Tentang Cinta dan/atau Perbudakan pada Malam Lebaran

Kami tidak tahu cara lain untuk mencintai negeri ini selain dengan terus menggugatnya.

Sekar Ardynia

Seorang pekerja kreatif paruh waktu, tinggal di sebuah kampung kecil di Bandung Raya

Warga menulaikan salat Id di tanah konflik Dago Elos, Bandung, Maret 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

31 Maret 2025


BandungBergerak - Lebaran gak cuma datang di Menteng, tapi juga mampir di gang-gang yang sempit oleh motor-motor numpuk kayak rongsokan. Orang-orang tersenyum, bersalaman, membakar petasan. Tapi langit tetap kelabu. Dan di dalam kepala kami, masih ada yang belum selesai. Luka-luka yang tidak ikut takbiran.

Di jalan raya, orang-orang saling senggol, saling klakson, saling maklum. Tapi dalam hidup sehari-hari, yang kami temui bukan saling maklum, tapi saling sikat. Sikut-menyikut. Dari atas ke bawah. Dari yang berseragam sampai yang pakai dasi. Dari yang bicara di podium sampai yang menyuruh orang diciduk di pinggir jalan.

Dan kami diminta diam. Diam saat digusur. Diam saat kawan-kawan kami dipukul dalam demonstrasi. Diam saat aparat masuk kampus, masuk rumah, nyelonong ke IGD untuk menggasak demonstran yang sudah bonyok lebih dulu di trotoar.

Tiba-tiba negara ingin kami membersihkan baret dan lecet, atau bonyok dan bengkak, secepat tukang sapu jalanan bergaji di bawah UMR Jogja menyelesaikan trotoar sehabis subuh.

Tapi luka ini bukan daun kering. Ia darah yang belum beku. Lagi pula maaf bukanlah sapu. Apalagi saat yang datang minta maaf tak pernah mengakui kesalahan.

Kau tahu cemana itu maaf tanpa pengakuan? Itu seperti polisi tidur tanpa marka jalan—tiba-tiba nongol, bikin jatuh sampai ndlosor, lalu orang menyalahkanmu karena ceroboh.

Hannah Arendt pernah bilang: maaf hanya masuk akal kalau keadilan ikut duduk di meja. Kalau tidak, ia cuma semacam suap moral. Maaf dari atas ke bawah, bukan maaf dari dalam yang mencari jalan keluar. Maaf yang dipakai untuk membungkam. Maaf yang bau tengik.

Dan itulah yang kami hadapi hari ini. Negara datang seperti bos kontrakan yang sok ramah, minta kita jaga kebersihan rumah, padahal mereka yang buang limbah dari atap. Mereka suruh kita saling maaf, saling rangkul, sementara tangan mereka masih kotor oleh lumpur sehabis menggali kuburan massal.

Lihat saja, baru kemarin ada demonstrasi soal RUU TNI. Tapi aparat datang seperti serangan fajar. Tameng. Pentungan. Gas air mata. Water cannon. Satu-dua dipiting. Beberapa digebuki. Sisanya dikejar sampai gang kecil. Paramedis dihantam seperti karung gabah, dan ambulans diadang macam gerobak sampah.

Kami ingat semua itu seperti tukang parkir ingat motor mana yang belum bayar. Kami ingat betapa cepatnya pentungan aparat naik, dan betapa lambatnya negara bilang: “Kami salah.”

Dan kami tahu: sistem ini bukan cuma dibangun, tapi disuntikkan. Ke air minum, ke sinyal internet, ke iklan sirup di TV, ke buku-buku pelajaran dan khotbah Jumat, hingga utas para buzzer yang argumennya menyerupai grok-grok-grok suara babi. Ia masuk lewat bahasa, lalu menyusup jadi perintah. Lalu jadi hukum. Lalu jadi luka. Dan kita? Kita jadi makhluk yang percaya bahwa rasa sakit itu adalah damai.

Lama-lama memang tak butuh senapan untuk berkuasa. Atau stempel bredel yang diparaf Harmoko dengan kop Departemen Penerangan. Cukup lembar absen, notifikasi dari RT, program bantuan bersyarat, dan stempel halal di setiap siaran televisi. Tubuhmu dicatat, langkahmu dipantau, dan setiap emosi diberi QR Code. Dan saat kau mulai muak, mereka akan bilang: kamu kurang bersyukur.

Tapi ya begitulah: setelah semua itu, mereka datang pakai baju koko, bikin video ucapan lebaran berlatar kaligrafi, dan berkata: “Semoga kita saling memaafkan.”

Terus Menggugat

Maaf dari negara seperti kembalian warteg yang salah hitung tapi tetap nyuruh lo balik. Maaf dari mereka yang menjotos lebih dulu, lalu pura-pura lupa siapa yang berdarah. Lalu kami diminta ikut mengangguk. Demi persatuan. Demi stabilitas.

Persatuan macam apa yang dibangun di atas kepala-kepala bocor? Stabilitas macam apa yang bikin mata memerah oleh gas air mata?

Kalau Tan Malaka masih hidup, mungkin dia akan dilempar ke penjara negerinya sendiri untuk ketiga kali. Kalau Hatta yang saleh masih cerewet, dia mungkin akan disumpahi kadrun tak berguna. Jika S.K. Trimurti masih menulis reportase, tulisannya niscaya akan disensor. Dan kalau Sudirman masih hidup, dia mungkin akan bingung: kenapa tentara lebih sibuk ngurus tambang, bukan jaga perbatasan?

Dan kadang kami ingin bilang: cukup, dasar ******. Tapi kalimat itu harus kami hitamkan sendiri. Bukan karena takut, tapi karena kami tahu, satu makian dari bawah akan cepat diurus jadi pidana daripada seribu pengkhianatan dari atas.

Kami masih berlebaran. Kami masih salat. Kami masih mencium tangan ibu. Tapi jangan paksa kami bersih-bersih perasaan hanya demi menjaga suasana. Karena yang kalian sebut suasana damai terasa seperti ruang tunggu menuju pembungkaman berikutnya.

Kami tidak tahu cara lain untuk mencintai negeri ini selain dengan terus menggugatnya. Dan kalau ini disebut kebencian, maka mungkin memang sudah waktunya kami tidak lagi cinta dengan cara yang manis. Karena cinta yang terus disakiti, tapi diminta tetap tersenyum, bukan cinta. Itu perbudakan.

Tak ada bangsa yang lahir dari kemerdekaan kalau lidah dan ingatan anak-anaknya terus dikebiri. Yang membungkam satu mulut hari ini, akan membungkam sejarah besok pagi.

 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//