• Opini
  • Mengeja Semangat Zaman dan Upaya Membangun Gerakan Politik Alternatif

Mengeja Semangat Zaman dan Upaya Membangun Gerakan Politik Alternatif

Tak perlu menjadi besar. Kecil, menduplikasi diri, menjadi jamak, banyak, menyebar dan beragam jauh lebih penting.

Herry Sutresna

Musisi, penulis, salah satu pendiri Grimloc Records

Orang-orang muda, mahasiswa, dan warga berbaur merayakan suara-suara kritis dalam Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

14 April 2025


BandungBergerak - Semangat zaman, saya tak cukup yakin ini frase yang cocok untuk menjelaskan apa yang dalam tradisi filsafat Eropa sering disebut ‘zeitgeist’. Istilah yang dipakai Hegel, misalnya, ketika berupaya menjelaskan bagaimana roh zaman memanifestasikan diri dalam budaya, seni, politik, dan pemikiran pada suatu era. Tapi paling tidak bisa kita sepakati ‘mengeja semangat zaman’ berarti merujuk pada usaha memahami, menggambarkan, atau mengartikulasikan roh atau karakter khas dari suatu periode waktu tertentu.

Yang pertama kali terlintas di benak saya bila mendengar istilah itu sebetulnya bukan Hegel, melainkan Minor Threat, band hardcore punk asal DC di awal 80-an. Saya ingat pertama kali menemukan kosakata itu pada sebuah buku yang menjelaskan lanskap anak muda dengan latar belakang Punk yang mulai meredup di akhir 70-an seiring kematian Sid Vicious dan Crass merilis Punk Is Dead.

Dalam waktu yang cukup singkat genre ini mulai membosankan dan nihilisme total ala Sex Pistols tak lagi menjawab kegelisahan anak muda yang masuk ke era konservatisme baru saat Reagan mulai menang pemilu di 1980. Bersamanya, lahir generasi anak muda suburban yang menikmati kemajuan ekonomi AS di satu sisi namun merasa terjebak dalam lingkungan yang steril, bersih tersanitasi namun memangsa jiwa mereka. Generasi yang mati bosan, frustrasi, dan marah. Mereka mengambil bangkai punk lalu menaikkan tensinya dengan kecepatan ekstra dan kemarahan yang lebih meledak-ledak. Mirip punk di 70-an, namun kali ini digandakan berkali lipat. Lebih cepat, lebih brutal, yang di kemudian hari kita kenal sebagai hardcore. Menggunakannya sebagai kendaraan untuk menyampaikan pesan optimisme dan visi positif, mencoba menjadi antitesa punk pendahulu mereka yang destruktif dan nihilistik.

Di era selanjutnya hardcore bertransformasi dalam beragam format. Ada yang terpengaruh metal, ada yang menjadi lebih emosional, ada yang lebih mengutamakan groove terpengaruh hip hop, ada yang lebih pop, ada yang tetap mengadopsi punk super cepat seperti pelopor mereka, Bad Brains. Karena hardcore adalah bentuk lain dari punk di mana ia selalu bukan hanya perkara musik. Ia merupakan wadah ekspresi dari semangat zaman yang dinamis.

Dengan contoh roh dua era punk tadi, lalu apa poin yang bisa dibicarakan dalam konteks perbedaan semangat zaman antara generasi lama dan baru yang penting kita diskusikan dalam waktu yang singkat ini? Apa yang bisa saya ambil sebagai contoh untuk menjelaskan perbedaan ruh zaman yang saya alami namun relevan pula dengan konteks hari ini?

Herry Sutresna menyampaikan orasi politiknya di Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025 malam. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Herry Sutresna menyampaikan orasi politiknya di Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025 malam. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Tentang Koboi-nya Soe Hok Gie

Saya akan mengajukan satu poin saja namun saya rasa cukup penting, dan memulainya dengan satu rujukan ‘zeitgeist’ bagi eranya: buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran.

Saya memiliki dua alasan subjektif (yang pasti bukan karena Gie dekat dengan Prabowo); pertama, buku itu punya cerita yang sangat personal karena saya mengenalnya dari seorang wanita yang kelak menjadi pacar, dan kemudian menjadi istri saya. Tak ada alasan yang paling relevan untuk merekam zaman kecuali sesuatu yang beririsan dengan pasangan hidup. Kedua, karena Gie menangkap denyut nadi zaman lewat pengalaman pribadi dan refleksi intelektual yang tajam, sekaligus pula saya—yang berasal dari generasi dan zaman berbeda—memiliki beberapa masalah dengan pemikirannya.

Saya akan ambil satu saja yang bisa ditarik pada konteks hari ini dalam irisannya dengan perubahan sosial: soal koboi.

Idenya ini sangat terkenal dalam menggambarkan peran ideal mahasiswa dalam dunia politik dan masyarakat pada saat itu. Dalam analoginya, Gie mengatakan kira-kira begini: Mahasiswa sebaiknya bersikap seperti koboi dalam film-film barat—datang ke sebuah kota yang dikuasai bandit, membasmi para bandit, lalu pergi meninggalkan kota itu ketika keadaan sudah kembali aman dan normal. Analogi ini muncul di masa-masa transisi dari orde lama menuju orde baru, ketika banyak aktivis mahasiswa mulai dilirik oleh elit politik setelah ikut menjatuhkan kekuasaan. Gie khawatir bahwa mahasiswa yang awalnya bersuara lantang malah akan jadi bagian dari sistem yang dulu mereka lawan.

Gie ingin gerakan mahasiswa hanya sebagai intervensi sementara, bukan menjadi bagian dari kekuasaan permanen. Mahasiswa turun tangan ketika terjadi ketidakadilan, penindasan, atau kekacauan moral dan politik. Tapi setelah kondisi membaik, mahasiswa tidak seharusnya ikut menikmati kekuasaan atau terus berada dalam lingkaran politik praktis. Seperti koboi yang tak terikat sistem, mahasiswa idealnya menjaga kemurnian moral dan idealismenya, tidak tergoda oleh kekuasaan, uang, atau jabatan. Gie menolak gagasan mahasiswa menjadi bagian dari struktur kekuasaan setelah reformasi atau revolusi. Ia ingin mahasiswa tetap jadi kekuatan moral yang independen, selalu siap mengkritik kekuasaan, siapa pun yang memegangnya.

Saya memahami konteksnya, mungkin di era Gie hidup ide ini relevan. Namun tidak demikian saat saya mulai menjadi mahasiswa dan berhadapan dengan kanon-kanon kekuasaan Soeharto. 'Zeitgeist' mulai bergeser. 90-an sudah mulai terpapar nuansa anti-hero di kalangan anak muda lewat budaya populer global, terutama musik dan zine. Anak muda sudah mulai muak dengan penokohan-penokohan menyebalkan. Bapak Pembangunan, Bapak Reformasi, Tokoh ini, Juragan itu. Dalam beberapa kesempatan kami memakainya sebagai lawakan, memanggil teman yang mempelopori punk di kota ini dengan sebutan ‘Bapak Punk Jabar’, misalnya.

Analogi koboi Gie ini bermasalah bagi saya sejak dari objek analoginya. Koboi adalah warisan dari film Barat yang mewakili kesan maskulin dan melestarikan narasi penyelamat tunggal. Ini mirip atau berada dalam satu keranjang masalah dengan penyakit laten pada aktivisme dimana para so-called aktivis ini bermental messiah. Merasa dirinya malaikat penyelamat rakyat alih-alih menjadi bagian dari kekuatan kolektif warga.

Ok, meski—katakanlah—ini cuma sekedar pengandaian yang dipinjam Soe Hok Gie karena di era itu narasi koboi mungkin dipandang sebagai sesuatu yang keren dan bukan masalah, saya tetap merasa gagasan "moral independen" yang diidealkan oleh Gie (sebagai semacam posisi di luar kekuasaan, yang bersih dan tak tercemar kepentingan) ini geli-geli basah. Bahkan terdengar seperti ilusi yang dibuat- buat setelah kekeringan analisa dan imajinasi politik.

Dalam kerangka pasca 98, politik bukan soal netralitas moral atau posisi di luar sistem. Setiap pilihan adalah politis.

Bahkan keputusan untuk “netral”, untuk “tidak memihak”, atau untuk “menjaga jarak” juga merupakan sikap politik— dan sering kali, itu berarti berpihak pada status quo. Moral tidak pernah sepenuhnya independen. Moralitas sendiri lahir dari latar sosial, kelas, sejarah, dan nilai-nilai yang selalu bersinggungan dengan kekuasaan. Kami dulu sering bergurau, jika Gie diberi umur panjang dia akan merevisi pengandaiannya ini.

Herannya mantra usang dari 'zeitgeist' 60-an ini masih banyak dipakai dan diyakini oleh para mahasiswa di penghujung milenium baru, 30 tahun kemudian. Implikasi dari adagium ‘koboi sebagai agen moral’ ini tak hanya usang dan menyebalkan namun pula menjadi tradisi yang dekaden dalam aktivisme mahasiswa ketika tiba di akhir 90-an. Gaungnya bahkan masih ada sampai sekarang jika kalian sempat menyimak orasi-orasi BEM di beberapa aksi massa belakangan.

Alhasil, wacana yang hadir saat itu (dan sampai sekarang) adalah dikotomi yang tidak menyisakan ruang alternatif.

Kalian hanya dapat menyaksikan dua pilihan. Antara mereka yang menjilat kekuasaan, masuk ke partai, pemerintahan, “berjuang dari dalam” dan mereka yang mundur total dari politik atas nama selesainya tugas sebagai koboi agen moral. Nyaris tidak ada gagasan radikal atau imajinasi tandingan tentang apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa terlebih warga pada umumnya ketika sang tiran turun tahta.

Sistem tetap tak tergoyahkan, reformasi setengah hati, tuntutan-tuntutan inti tak terpenuhi, lalu transisi kekuasaan menjadi sekedar panggung bagi elit-elit politik baru yang berebut lampu sorot, massa dan nasi tumpeng. Warga hanya menjadi penonton dan ditagih suaranya ketika pemilu datang.

Dalam konteks ini, sudah bukan waktunya lagi meneruskan tradisi lama main koboi-koboian. Saat turbulensi di ‘98 saja tak relevan apalagi hari ini. Peran anak muda tidak lagi bisa dibatasi dalam imajinasi “koboi” yang masuk, membereskan, lalu keluar. Karena memang tidak ada kota yang “bersih” dari masalah. Jikapun ada, bandit akan selalu datang untuk mengotorinya.

Bandit selalu ada dalam bentuk-bentuk baru karena masalah utama bukan hanya terletak pada orang per orang, namun lebih merupakan sesuatu yang sistemik. Permasalahan tidak terletak pada bandit saja, namun juga pada kotanya.

Mahasiswa (atau anak muda pada umumnya, atau siapa pun) tidak bisa benar-benar keluar dari ‘kota’. Kita hidup di dalamnya, makan, tidur, membayar, membeli, berinteraksi— artinya, politik tak akan pernah selesai. ‘Keluar’ bukan lagi pilihan yang relevan.

Aksi tari Tarang Karuna di Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Arif Hidayah/BandungBergerak)
Aksi tari Tarang Karuna di Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Arif Hidayah/BandungBergerak)

Membangun Imajinasi Kolektif

Lalu apa urusannya analogi Soe Hok Gie tadi dengan politik alternatif hari ini? Tentunya alternatif yang dimaksud adalah alternatif dari politik kekuasaan, demokrasi parlementer, politik representasi, atau apapun lah itu sebutannya.

Pasca 98 dengan segala kegagalannya, semua demoralisasi dan dekadensinya, kita banyak belajar bagaimana zaman bergerak, bagaimana informasi dan pengetahuan baru hadir menyebar dan mengubah persepsi banyak orang pada politik. Saya pakai ‘banyak orang’ karena lambat laun ini menjadi penanda dan semangat zaman kita hari ini, ruh dari ‘epoch’.

Dalam dunia pasca-reformasi, apalagi di era digital dan neoliberalisme yang merasuk ke segala lini hidup, politik semakin terasa bukan hanya soal perebutan kekuasaan negara (politik dengan P besar), tapi juga politik (dengan p kecil) yang melingkupi keseharian: bagaimana kita hidup, berpakaian, memproduksi kebutuhan hidup, cara bekerja, pilihan cara mencari makan atau berkomunitas—semuanya adalah lebih dari sekedar ekspresi politik, seringnya bahkan merupakan politik itu sendiri.

Kita harus mulai membedakan 'Politik' dan 'politik'. Antara politik kekuasaan yang bertumpu pada kontestasi elektoral dan politik sebagai praktik sehari-hari.

Hari ini perjuangan yang dulu dianggap “non-politik”, seperti wilayah politik afek dan identitas kini justru jadi ranah utama politik, seperti gender, lingkungan, relasi antarkomunitas. Politik hari ini bukan hanya soal politik representasi. Bukan soal siapa yang kita percaya untuk menjadi wakil kita di dewan perwakilan-—yang seringnya justru menjadi sumber masalah. Hari ini politik justru mencoba bergerak keluar dari ruang-ruang representasi tersebut.

Alih-alih menjunjung tinggi “kebersihan moral” yang utopis—lebih utopis dari ide-ide anarkis atau ide bahwa kepolisian bisa direformasi—kita butuh bentuk baru dari etika politik yang sadar posisi, yakni berpihak secara sadar, berani kotor untuk menciptakan perubahan, dan membangun solidaritas di tengah realitas yang tidak pernah steril dari kekuasaan.

Aktivisme hari ini lebih bersifat kolektif, lintas identitas, dan melampaui logika pahlawan ratu adil. Ia mengandalkan kerja-kerja komunal, berjejaring, membangun infrastruktur alternatif, dan aksi yang berulang, kadang membosankan, tapi esensial dan vital—bukan aksi-aksi heroik sesaat. Aktivisme hari ini adalah aktivisme yang bertugas untuk meruntuhkan istilah itu sendiri sehingga satu hari tak ada lagi yang namanya aktivisme. Yang ada adalah keseharian warga pada umumnya.

Dalam politik non-representasi, dimana kehadiran langsung di medan perjuangan adalah syarat mutlak, gagasan moral independen Gie bisa jadi terjebak dalam nostalgia peran intelektual yang “berjarak”. Alih-alih “masuk-keluar” kota ala John Wayne, subjek politik hari ini senantiasa tetap hadir dan (dalam istilah Alan Badiou) merawat peristiwa. Ia tercipta lewat kerja komunitas, aksi jangka panjang, tidak mengharapkan hasil dalam satu malam dan jatuh bangun dari interaksi/relasi langsung. Bukan untuk merebut kekuasaan atau menjatuhkan kekaisaran tapi untuk menciptakan dunia baru, ruang bersama—komunalitas, praksis sehari-hari, dan bentuk-bentuk baru hidup politik. Kekuasaan akan dengan sendirinya terdelegitimasi ketika dunia baru bisa kita ciptakan.

Saya tak punya cetak biru harus dimulai dari mana. Kemungkinan besarnya malah tak akan pernah ada cetak biru. Tapi mungkin bisa dimulai dengan berkaca pada apa yang salah dengan demokrasi yang kita pahami hari ini. Kita menyaksikan pemilu datang dan pergi, tokoh-tokoh baru muncul dengan jargon lama di baligo dan spanduk yang desain visualnya berkompetisi untuk menjadi yang paling buruk. Kita sebagai warga ditakdirkan menjadi penonton yang hanya diberi peran lima menit di bilik suara. Di sela-selanya kita dihimbau dengan sangat seksama berhati-hati dalam mempertimbangkan pilihan kita. “Pikirkan yang matang pilihanmu, karena menentukan nasib kita untuk lima tahun ke depan”. Seolah-olah memang demikian.

Kita terlalu lama terpaku pada sistem partai, seolah hanya itu satu-satunya wadah representasi dan satu-satunya medan tarung. Kita terlalu lama meyakini bahwa hanya ada satu model demokrasi (demokrasi perwakilan), selain itu adalah tirani dan kekacauan. Sedemikian rupa sehingga saat mendengar sesuatu bernama Demokrasi Langsung, ia lebih mirip ideologi alien atau was wes wos omong kosong.

Kita dibesarkan dalam sistem yang percaya bahwa keputusan harus diserahkan pada yang “lebih tahu.” Tapi siapa sebenarnya yang tahu apa yang dibutuhkan oleh satu komunitas kecil di lereng gunung? atau satu RW padat penduduk di kampung kota? Siapa yang paling memahami bagaimana air mengalir, kapan tanah bisa ditanam, sampah yang harus dipilah, puisi siapa yang layak dipentaskan, band metal mana yang layak kita tonton di akhir minggu dan siapa yang sakit dan sedang lapar?

Jawabannya bukan di luar. Ia selalu ada di dalam. Dalam tubuh komunitas yang hidup, yang mendengar, dan yang belajar bersama. Inilah bentuk demokrasi yang tak butuh (perwakilan di) negara. Forum warga yang tak berbadan hukum, dengan skema pengambilan keputusan yang cair, dan terikat oleh rasa saling jaga. Kepemimpinan dan inisiatif yang bergilir, karena kekuasaan bukan posisi, tapi peran yang harus terus bergerak.

Demokrasi tak harus menunggu lima tahun, tak harus lewat partai, dan tak harus punya dana kampanye. Ia bisa dimulai di ruang tamu, di halaman belakang, di balai RW, di tempat kerja, toko buku atau di kedai-kedai kopi. Manifestasi sebenarnya atas gagasan dari warga, untuk warga, oleh warga.

Re-imajinasi itu sedang tumbuh. Pelan, tapi pasti. Ini roh perjuangan politik hari ini.

Demokrasi dalam politik dengan ‘p’ kecil bukan soal memilih siapa yang memimpin. Tapi tentang bagaimana bertanggung jawab atas hidup bersama—dan bagaimana tanggung jawab itu dijalankan secara kolektif. Bukan politik dalam arti kampanye atau kekuasaan, tapi politik sebagai kerja merawat hidup bersama. Sebuah ruang yang dibentuk oleh pertemuan, percakapan, kesepakatan, dan tanggung jawab bersama pula. Demokrasi yang mengalir dari logika otonomi warga, kemandirian komunitas, dan kerja-kerja politik, bukan negosiasi dengan sistem negara apalagi korporasi.

Demokrasi langsung, dalam konteksnya ini, bukan eksperimen modern, tapi warisan lama yang terlupakan: bagaimana satu komunitas membuat aturan sendiri tentang kerja, tata ruang, pangan, waktu, dan relasi. Tanpa polisi, tanpa kampanye figur-figur, tanpa wakil. Bukan karena anti- negara, tapi karena mereka sudah tak butuh negara untuk tahu bahwa hidup bersama butuh aturan yang adil—dan aturan yang adil hanya bisa lahir dari mereka yang menjalaninya bersama.

Demokrasi langsung, sekali lagi, bukan eksperimen modern, tapi warisan lama yang terlupakan, hanya saja hari ini semakin relevan urgensinya. Ketika demokrasi representatif makin kehilangan legitimasi, pada saat yang sama bentuk- bentuk baru politik tumbuh di mana-mana. Kita sedang berada di zaman dimana semakin hari semakin besar peluang bagi politik jenis ini hadir seiring dengan kegagalan politik representasi formal.

Seiring dengan semakin pragmatis dan transaksionalnya partai politik dan pemilu hanya jadi ajang patron-klien, bukan lagi artikulasi kehendak kolektif. Aspirasi warga tersumbat oleh prosedur yang “demokratis” tapi tidak substantif, bahkan cenderung untuk mudah dimanipulasi.

Terdengar seperti mengkhayal. Tapi di situlah justru letak titik awalnya. Mari kita imajinasikan. Kita perlu imajinasi, kali ini bukan hanya imajinasi orang per orang.

Kita membutuhkan imajinasi kolektif. Kita butuh membayangkan ulang demokrasi yang kita tuju. Bukan terus menerus mencoba sesuatu yang kita tahu hasilnya akan sama dengan menaruh harapan pada sistem yang kita percayakan pada segelintir elit. Energi dan potensi kolektif akan lebih layak dihabiskan untuk praktik-praktik kecil yang menjebol dinding ketakberdayaan dibanding berharap ada satu figur yang kelak akan memberi perubahan sistem dan menyelamatkan hidup kita.

Yang kita butuhkan adalah imajinasi sebagai tindakan politik. Kita perlu menggeser cara berpikir: bahwa membayangkan bentuk baru demokrasi bukanlah kemewahan intelektual, tapi tindakan politik yang paling mendasar. Lalu apa contoh mengimajinasikan politik pasca-representasi untuk konteks lokal hari ini? Bagaimana membayangkan kemungkinan politik baru, di luar logika "wakil rakyat", partai, lembaga negara, bahkan di luar format aksi massa tradisional?

Orang muda hadir di Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Orang muda hadir di Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Ruang-ruang Otonom Tumbuh

Sebelum membayangkan, mari tulis sekilas daftar yang sudah bukan lagi imajinasi namun sudah terjadi di banyak tempat dalam konteks bertumbuhnya ruang-ruang otonom.

Gerakan petani yang melawan perampasan tanah di mana masyarakat membentuk forum-forum sendiri, membuat tenda perjuangan, memblokade akses masuk bagi alat berat, bahkan membangun lumbung alternatif untuk melawan proyek tambang atau infrastruktur. Kolektif swakelola yang lahir dari penolakan sejumlah anak muda terhadap penindasan sistem upah yang tidak adil dan hasrat untuk keluar dari siklus waktu kapitalisme. Kelompok-kelompok kerja literasi yang membangun pustakanya sendiri. Kolektif desainer grafis yang menggagas unit kerja kota, dari mulai membuat ruang hidup yang bersahabat dengan kawan-kawan disabilitas hingga mengkampanyekan isu-isu krusial di akar rumput semilitan agensi kreatif mengkampanyekan iklan rokok di ruang-ruang publik. Jaringan perpustakaan jalanan yang menyebar tak lagi hanya di kota besar. Anak muda pedesaan yang membangun kolektif tani dan berkoperasi.

Kelompok pertemanan di satu kabupaten yang memfungsikan juga kedai kopinya sebagai ruang diskusi dan berdialog di komunitasnya. Gerakan kampung kota yang melawan penggusuran, lalu menciptakan sistem tata kelola otonom, musyawarah kampung, dan koperasi warga. Komunitas pertanian regeneratif yang melawan food estate. 'Generasi terburuk sastra Indonesia' yang menolak sastra arus utama membuat jaringan distribusi otonom untuk terbitan pra-pesan puisi dan essay-essay mereka. Komunitas adat dan masyarakat hukum tradisional yang tidak bekerja dengan logika perwakilan, tetapi logika kolektif, musyawarah, dan relasi ekologis yang menyatu dengan tanah.

Gerakan pasar gratis yang melapak sandang bagi siapapun yang membutuhkan terutama tunawisma. Sekelompok anak muda membuat dapur kolektif. Mereka bukan LSM, bukan organisasi partai. Mereka hanya berkumpul, memasak bersama, dan mendistribusikan makanan ke warga yang butuh—berawal saat pandemi menghantam lalu merawat tradisinya saat pegebluk usai. Gerakan peduli warga yang membuat etalase nasi gratis bagi siapapun yang membutuhkan dan menyediakan media bagi mereka yang ingin berbagi.

Anak-anak muda yang berganti jadwal siaga mengantarkan nasi bungkus gratis di area tertentu dengan memanfaatkan sosial media sebagai posko. Kelompok ojek online yang membuat sendiri posko sederhana untuk mengobrol, berbagi cerita dan tolong menolong. Sedikit rehat rebahan sambil menyeduh kopi dan mengisi ulang baterai handphone.

Galeri alternatif, ruang seni warga, toko grosir komunitas, acara punk mandiri tanpa agenda branding korporasi, koperasi digital, dan jaringan pangan lokal. Klab supporter tim sepakbola daerah yang berkonsolidasi membantu korban perampasan ruang hidup. Proyek seperti data partisipatif dan arsip kolektif yang menjadi bentuk baru dari demokratisasi informasi—di luar media arus utama. Kolektif jurnalis lokal yang menggagas media yang berkomitmen untuk mengabarkan setiap geliat pemberdayaan di kota termasuk membuat kelas-kelas Jurnalisme Warga agar warga dapat memberitakan sendiri sekelilingnya. Generasi baru yang melihat infrastruktur digital sebagai ruang potensial.

Meskipun platform dimiliki korporasi, warga menggunakannya untuk produksi pengetahuan bersama (wiki warga, kanal YouTube pendidikan, podcast sejarah rakyat, dll).

Semua ini tidak didesain untuk masuk dalam sistem perwakilan formal (DPR, Pilkada), melainkan untuk menjaga ruang hidup, membangun kekuatan kolektif, dan mengganggu (jika tidak bisa disebut menantang) logika pembangunan negara-pasar. Dengan melihat sebagian dari modal sosial yang disebutkan acak tadi mari kita imajinasikan ini:

Perkumpulan buruh migran yang anggotanya datang dari banyak daerah bukan sebagai pekerja formal, bukan pula sebagai penduduk legal. Mereka datang sebagai “yang tak boleh disebut”—tubuh-tubuh yang bekerja di dapur warung, sebagai kuli bangunan harian, sebagai pengangkut galon, penjaga malam. Mereka tinggal di petak-petak sewa harian yang tak terdata. Sebagian bahkan tak punya KTP. Sebagian lagi sedang menunggu kartu BPJS yang tak kunjung jadi. Tapi dari ketakteraturan itu, tumbuh sesuatu yang tak bisa dihitung dalam data statistik: kolektif perlindungan yang lahir dari rasa saling menjaga.

Mereka menyebutnya jaringan bayangan. Bukan karena mereka ingin sembunyi, tapi karena sistem tak pernah benar- benar melihat mereka. Setiap Sabtu malam, mereka berkumpul di ruang sempit lantai dua di atas bengkel motor. Ada yang membawa nasi, ada yang bawa senter, ada yang membawa cemilan dari kampungnya, ada yang cuma datang untuk diam dan mendengar. Di sana mereka berbagi kabar: siapa yang sakit, siapa yang baru datang, siapa yang butuh tempat tinggal sementara. Tak ada pendataan. Tapi semua tahu siapa tinggal di mana.

Anak-anak muda membuat grup kecil dengan peta psikologi kota—menandai titik-titik aman, rumah transit, toko pakaian murah, toko yang bisa memberi utang tanpa bunga. Saat pandemi melanda dan bantuan tak pernah sampai ke petak mereka, dapur darurat diciptakan. Makanan dimasak bergiliran, dan didistribusikan dengan rute-rute malam hari. Kadang satu rumah hanya dapat nasi dan sayur waluh, tapi semua kebagian. Tak ada donatur. Tak ada proposal. Yang ada hanyalah ingatan kolektif bahwa jika satu jatuh, yang lain ikut runtuh. Sekali lagi, demokrasi bagi mereka bukan soal hak pilih. Demokrasi adalah ketika satu keputusan lahir dari banyak tangan saat banyak perut merasa lapar bersama.

Dalam keheningan sistem, mereka menciptakan infrastruktur perasaan: kepercayaan, kepedulian, dan kecerdikan bertahan di tengah ketidakpastian. Tak ada struktur legal, tak ada seragam relawan. Tapi mereka lebih tangguh dari banyak sistem resmi yang selama ini kita kenal.

Di sebuah gang padat di pinggiran Semarang, di mana rumah berdempetan dan selokan sering mampet, warga membentuk satu sistem yang tak lazim: bank sampah berbasis sensor.

Bukan karena mereka akrab dengan teknologi, tapi karena mereka bosan pada solusi dari luar yang selalu gagal paham pada ritme kampung mereka sendiri. Berawal dari keresahan seorang pemuda lulusan STM membuat prototipe sederhana: ember plastik dengan sensor berat yang terhubung ke grup WhatsApp warga.

Setiap kali ember terisi penuh, sensor mengirim pesan otomatis: “Penuh. Harap ganti wadah. Data masuk ke log.” Warga pun mulai saling pantau, bukan karena perintah, tapi karena mereka tahu semua orang bisa melihat siapa membuang apa, kapan, dan seberapa banyak.

Seminggu sekali, mereka mengadakan “rapat log.” Di sana, data sampah bukan sekadar angka—tapi jadi titik tolak untuk bicara: siapa yang kelebihan, siapa yang paling rajin memilah, siapa yang belum ikut sistem. Tak ada hukuman, tak ada denda. Tapi kesepakatan dibuat berdasarkan cerita: mengapa minggu ini rumah Bu Dedeh tidak setor? Oh, karena cucunya sakit. Oke, minggu ini tugasnya diganti orang lain.

Imajinasikan juga jika bank sampah ini tak menyimpan uang. Tapi menyimpan nilai tukar sosial. Setiap kilo plastik bersih bisa ditukar dengan menit koneksi WiFi, atau potong harga gas elpiji dan bantuan token listrik, atau bantuan servis alat rumah tangga. Atau apapun yang bisa kita imajinasikan.

Demokrasi model ini hadir bukan dari hiruk-pikuk siapa yang layak dipilih untuk berkuasa, melainkan dari upaya kolektif yang lelah dengan kondisi sampah di kampung mereka dan mulai mencari jalan keluar bersama. Korupsi dihindari bukan karena hukuman dan bukan hanya takut berdosa, tapi datang dari solidaritas sosial yang lahir dari kedekatan warga.

Di sebuah kawasan pesisir di Sulawesi, warga membentuk pertemuan rutin untuk memetakan ancaman reklamasi dan perubahan iklim. Tak ada pemimpin tetap. Setiap keputusan diambil lewat diskusi terbuka. Mereka membuat peta kawasan sendiri, membagi tugas jaga pantai, dan mengatur kapan waktu panen yang paling aman untuk laut.

Tak ada powerpoint berisi presentasi permohonan bantuan. Yang ada hanya kepercayaan bahwa hidup bersama bisa dikelola tanpa harus meminta izin dari luar.

Di Banyuwangi, sekelompok petani tak lagi menunggu perubahan datang dari atas. Mereka membentuk musyawarah tani digital—sebuah forum daring yang menggabungkan praktik musyawarah adat dengan teknologi. Lewat grup WA, Discord, hingga pertemuan mingguan yang disiarkan daring, mereka bahas harga pupuk, cuaca, hingga isu alih fungsi lahan. Transparan. Kolektif. Bergerak cepat.

Di tempat lain, eksperimen demokrasi deliberatif dicoba dalam skala kecil. Sebuah komunitas di Bandung mengadakan “parlemen warga” setiap bulan. Mereka memilih isu bersama—akses air bersih, biaya sekolah, kekerasan domestik—dan mendiskusikannya hingga tuntas. Tak ada pemimpin tetap. Tak ada panitia. Yang ada hanya warga biasa yang mau bicara dan mendengar.

Sebuah desa di Sumatera Selatan punya dashboard anggaran publik berbasis komunitas. Setiap pengeluaran desa muncul real-time di layar TV pos ronda. Warga bisa ikut mengusulkan prioritas mingguan lewat polling sederhana di grup WhatsApp, dan semua data tersimpan transparan. Atau di kota—sebuah “forum warga daring” terbuka, semacam Reddit lokal, tempat warga menyusun petisi, membahas kebijakan kota, bahkan membentuk tim sukarelawan untuk monitoring kebijakan.

Apa jadinya jika RT menjadi ruang deliberasi, bukan hanya mesin administrasi? Bagaimana jika pemuda-pemuda kampung memfasilitasi diskusi publik setiap bulan?

Bagaimana jika setiap band hardcore di satu kabupaten kecil berkumpul untuk mendiskusikan agenda arisan perilisan album secara kolektif dan memajukan skena mereka, bukan mengirim demo ke label-label di luar kota mereka, ke disbudpar lokal atau agensi brand rokok? Bagaimana jika keputusan tentang pembangunan diambil bukan hanya oleh pejabat, tapi melalui forum warga yang benar-benar mendengar dan menyusun kesepakatan?

Bagaimana jika setiap bulan warga mengadakan pentas seni yang mengaktivasi kampung-kampung kota mereka?

Bagaimana jika komunitas para bomber graffiti di satu kota bergabung dengan forum komunikasi kampung kota, lalu membuat agenda rutin mengecat mural di dinding-dinding kampung yang dilabeli kumuh oleh negara lewat program kota tanpa kumuh (KOTAKU)? Bagaimana pula jika para arsitektur dan planolog bersolidaritas dengan mereka membuat sebuah rancangan tata ruang hidup tandingan di kampung kota itu sebelum negara menggusur mereka dengan dalih estetikanisasi kota?

Sekali lagi ini bukan sekadar teknologi. Ini soal membangun kultur politik baru: politik yang bukan datang dari atas, tapi dari kedekatan antar-warga. Apapun sebutannya, apakah itu digital deliberation, komunitas otonom, atau demokrasi langsung, model-model ini sedang mencoba satu hal: merebut kembali makna demokrasi dari tangan perwakilan yang telah terlalu lama memonopoli kuasa. Terhubung namun tidak dalam hirarki apalagi satu rantai komando tunggal. Tak perlu menjadi besar. Kecil, menduplikasi diri, menjadi jamak, banyak, menyebar dan beragam jauh lebih penting.

Ia tidak menuntut untuk diwakili, tapi menuntut ruang untuk memproduksi hidupnya sendiri. Meminjam istilah Hardt & Negri, ia adalah “peristiwa yang tak pernah selesai”—ia bukan satu letupan besar, tapi aliran terus-menerus dari resistensi, penciptaan, dan perawatan bersama. Inilah bentuk lain dari demokrasi: keputusan bersama yang lahir dari kepedulian dan kedekatan. Yang dibutuhkan sekarang adalah menghidupkan kembali bentuk-bentuk itu, mungkin dengan konteks digital dan tantangan hari ini. Tantangan ‘zeitgeist’.

Pendek cerita, kita harus melampaui obsesi terhadap negara. Bukan berarti apatis, tapi sadar bahwa negara tidak lagi menjadi medan utama politik, bukan satu-satunya medan pertarungan. Politik yang penting sekarang adalah politik memproduksi kehidupan, perawatan bersama, dan organisasi waktu hidup. Kita harus berhenti main koboi-koboian dan berhenti berharap perubahan datang dari mereka yang menuntut untuk dipilih di bilik-bilik suara. Saatnya membentuk dunia baru lewat praktek mikro, berulang, dan jamak. Kita tidak harus “masuk ke dalam” untuk mengubah.

Politik pasca-representasi bukan cuma alternatif saat sistem gagal, tapi cara lain berpolitik yang sesuai dengan realitas hidup hari ini. Bukan sekadar Alternatif, tapi juga merupakan Jalan Lain. Another world is possible, jika boleh meminjam slogan pembangkangan kaum Zapatista di Mexico.

Terus Menabur Benih

Besok kita kembali ke ruang-ruang protes dan aksi massa. Kembali berkonsolidasi, membicarakan strategi dan taktik melawan militerisme yang sedang dicoba dinaikkan levelnya lagi lewat UU manipulatif.

Menghadang polisi untuk menjadi superbody yang akan semakin sewenang-wenang lewat RUU Polrinya. Juga RUU Penyiaran dan RKUHP baru dengan pasal-pasal karetnya.

Besok kita kembali ke kerja-kerja mobilisasi. Kembali perang di semua front. Namun jangan lupakan catatan penting soal politik akar rumput ini. Memulai gerakan politik alternatif, kerja yang tidak meledak-ledak, tidak heroik namun menjadi roh dari perubahan sosial hari ini. Terus menabur benih-benihnya seraya berimajinasi ketika satu saat nanti ide dewan rakyat hadir kembali dalam masa turbulensi, kita sudah punya fondasi alternatif bentuk masyarakat apa yang akan menggantikannya, dan tidak lagi memberikannya pada elite-elite politik.

Salam pembebasan. Jangan lupa untuk tetap bernyanyi, menulis puisi-puisi kalian dan berdansa. That's how you rock the zeitgeist.

 

*Orasi politik ini disampaikan dalam Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025 malam

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//