• Opini
  • Sekecil-kecilnya Perlawanan adalah Perlawanan: Diam Berdiri Membawa Payung Hitam, Menangis atau Berteriak, Semua Politik Perlawanan Perempuan!

Sekecil-kecilnya Perlawanan adalah Perlawanan: Diam Berdiri Membawa Payung Hitam, Menangis atau Berteriak, Semua Politik Perlawanan Perempuan!

Maka kita mesti kembali memulai mencintai yang kecil. Kelompok membaca kecil, perpus-perpus jalanan yang kecil tapi dikenali dan menyapa rakyat.

Kalis Mardiasih

Penulis dan aktivis, tinggal di Yogyakarta

Aksi tari Tarang Karuna di Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Arif Hidayah/BandungBergerak)

16 April 2025


BandungBergerak - Pagi hari, saat kau membuka mata, jari-jarimu menggulir berita di linimasa. Matamu menangkap sebuah laporan berjudul “Militer Dilibatkan Dalam Proyek Food Estate di Merauke, Masyarakat Adat Ketakutan, Kehadiran Tentara Begitu Besar Seperti Zona Perang” ditulis oleh BBC Indonesia.

Kau membaca judul itu sepintas, tapi memutuskan untuk menggulir sedikit ke bawah lagi sebab matamu bertumbukan dengan sebuah berita soal Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur yang melakukan pemerkosaan kepada seorang anak umur 6 tahun dari Tempo. Kapolres tersebut tidak hanya memerkosa, melainkan juga merekam tindakan kekerasan seksual itu dan mengunggahnya di situs porno luar negeri. Tidak hanya itu, ia juga bekerja sama dengan beberapa orang untuk mendatangkan anak perempuan di bawah umur lainnya ke hotel untuk ia perkosa dengan menggunakan modus penyalahgunaan obat-obat terlarang untuk membuat korban tidak sadar. Kau mengumpat, “Dajjal!”. Serangkaian tindakan perdagangan manusia, penyalahgunaan obat terlarang, pemerkosaan anak di bawah umur, perekaman dan penyebaran konten tanpa persetujuan, semua paket lengkap dilakukan oleh seorang Kapolres: Lembaga negara yang diberikan mandat rakyat untuk memberikan perlindungan dan penegakan hukum.

Kau mengumpat beberapa lama. Hari itu, kau melewatkan situasi mama-mama di Merauke yang kehilangan dusun dan menghadapi bencana kelaparan karena kehilangan hutan sagu dan hewan-hewan mereka dari berita yang tak jadi kau baca utuh. Hari itu kau gagal mencari tahu tentang potensi puluhan ribu mama-mama Papua menjadi IDP (internally displaced person), yakni mereka yang terusir dari tanah mereka sendiri, lalu lari ke hutan-hutan yang masih tersisa dan beresiko terpapar berbagai macam penyakit, kelaparan, serta rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Keesokan harinya, kau terbangun dengan notifikasi langganan surat elektronik yang membawa berita dari Morowali. Para perempuan di Sulawesi Tengah menghirupi debu berwarna merah dan asap hitam pekat dari smelter nikel Proyek Strategis Nasional. Sudah lama mereka masak dengan air berwarna merah, mencuci baju dengan air berwarna merah, dan menganggap Ibu hamil serta bayi yang lahir dengan pneumonia sebagai kenormalan baru.

Energimu tiba-tiba habis. Kau sudah tidak punya tenaga untuk membacai laporan tentang program Makan Bergizi Tidak Gratis yang pelaksanaannya compang camping di sana-sini. Pengadaan MBG tampak makin ngadi-ngadi dengan menu makanan ultra proses tinggi gula, seperti sereal instan, biskuit kering, hingga susu kemasan berperisa.

Ponselmu berdering. Satu grup signal mengabarkan jika salah satu kawanmu yang mengelola akun Instagram gerakan untuk mengawal Revisi UU TNI dan RUU Polri sudah kena peretasan. Ia kehilangan akses ke akun pribadi dan beberapa akun organisasi, dan akun-akun tersebut kini melakukan aktivitas-aktivitas doxxing ke kawan-kawan aktivis. Hari yang seperti itu, jelas akan jadi hari yang akan merepotkan semua orang dalam rangka memulihkan akun dan melakukan serangkaian proses aktivasi keamanan digital. Seorang kawan lain sudah disurati Polres, dan sudah bolak-balik ke kantor polisi karena akunnya dianggap menyebarkan provokasi dan tindakan makar. 

Kalis Mardiasih menyampaikan orasi politik di hadapan ratusan pengunjung Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Abdullah Azam Dienullah/BandungBergerak)
Kalis Mardiasih menyampaikan orasi politik di hadapan ratusan pengunjung Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Abdullah Azam Dienullah/BandungBergerak)

Menanggung Dampak Paling Berat

Setiap perampasan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu mengandung elemen kekerasan berbasis gender dan kita seringkali terlupa. Pada semua peristiwa perampasan ruang hidup rakyat, baik itu oleh korporasi, oleh negara, maupun oleh negara yang berselingkuh dengan korporasi, ada perempuan dan anak-anak yang selalu menjadi bagian yang dipinggirkan dan menanggung dampak yang paling berat.

Pada sebuah kampung atau hutan yang dibakar, ada Ibu hamil yang mengalami sesak napas sekaligus ada Ibu yang menangis karena hal pertama yang ia pikirkan adalah seragam serta buku-buku sekolah anaknya yang akan dibawa belajar keesokan hari.

Pada tindakan penggusuran ruang hidup yang brutal, yang berdampak pada kemiskinan struktural warga yang dipaksa kehilangan pilar penyangga sosial dan ekonominya, selalu diikuti dengan terputusnya akses pendidikan dan ekonomi perempuan, perkawinan usia anak, siklus KDRT, kematian ibu dan anak, stunting dan gizi buruk, ancaman penyakit reproduksi dan banyak lagi.

Kelompok Ibu sangat heroik memimpin pergerakan di sudut-sudut negeri tapi sekaligus kelompok yang paling mudah menjadi oli-oli politik praktis para oligark dengan harga yang paling murah.

Pertunjukan badut elite politik yang tersandera kasus korupsi pun memilih untuk menggunakan kartu perempuan. Keluarkan saja rumor tentang isu perselingkuhan. Berita itu sangat sensasional, sebab si elite selama ini memenangkan suara Ibu-Ibu yang jumlahnya sangat besar karena mencitrakan diri sebagai seorang laki-laki relijius yang romantis (baca: romantis dalam imajinasi patriarki).

Tentu saja pengalihan isu itu berhasil. Si elite, yang kini sudah menjadi gelandangan politik, seperti tidak dibela oleh seorang kolega pun. Masyarakat miskin senang mendapatkan cerita tragedi, merasa nasib mereka kini sama menyedihkannya dengan sang istri dan anak perempuan si elite. Revisi UU TNI, Revisi UU Polri, Revisi RKUHAP apa itu? Sulit dipahami. Kami, Ibu-Ibu mengawal negara dengan peduli pada nasib para sultan.

Itulah yang disajikan Tiktok kepada Ibu-Ibu. Makan pakai apa para influencer hari ini? Apakah dia jadi menikah dengan pacarnya? Apakah dia sudah nambah anak lagi? Oh, anaknya lucu sekali. Sudah bisa berjoget di Tiktok juga. Centil seperti Ibunya. Mereka kami besarkan dengan kuota. Seperti cucu-cucu online kami!

Hingga suatu hari para influencer itu oke gas oke gas dengan gemoy. Para elite beroleh kemenangan karena para Ibu mengambil keputusan politik menggunakan perasaan.

"Kasihan sekali Bapak tua itu. Sudah berkali-kali mencalonkan diri tapi kalah melulu."

"Kasihan sekali Bapak tua itu. Diledek tanpa unggah-ungguh oleh dua calon lain di debat Presiden."

Mari kita berikan dukungan dengan bersama-sama menangis di depan televisi dengan soundtrack lagu Dawai yang mengharu biru karena pasti cepat FYP.

100 hari masa kerja. Si Ibu kewalahan dengan harga bahan pokok yang menjulang, gas elpiji yang hilang dari warung, dan anak sulungnya yang kehilangan pekerjaan karena efisiensi.

Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Dan tetap punya sabar seluas samudra khas Warga Negara Indonesia.

Pengunjung dan warga berfoto bersama di Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Abdullah Azam Dienullah/BandungBergerak)
Pengunjung dan warga berfoto bersama di Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Abdullah Azam Dienullah/BandungBergerak)

Bekal Menjaga Nyala

Apa yang menjadi pengetahuan kita akan menjadi penjara bagi kita. Kita tahu bahwa ketidakadilan terjadi di mana-mana, pengetahuan itu menjadi penjara sebab kita tidak bisa lari dari hikmah ilmu pengetahuan. Kita memberikan segala hal yang kita bisa berikan: bantuan hukum, produksi pengetahuan dari kerja-kerja literasi, rumah aman, platform untuk mengumpulkan dana publik. Kita terjebak dalam perasaan aneh. Ada campuran antara perasaan mempertanyakan kekuasaan yang zalim dengan kemarahan sekaligus ketakutan, tapi sekaligus perasaan membebaskan. Perasaan bebas yang tidak ada bandingannya. Perasaan bebas yang membuatmu bisa menahan kantuk dan tidak tunduk pada gertakan mereka yang dapat membeli hukum dan keadilan.

Allāhu nụrus-samāwāti wal-arḍ, maṡalu nụrihī kamisykātin fīhā miṣbāḥ, al-miṣbāḥu fī zujājah

Nuurun ala nuur

Cahaya di atas cahaya, adalah perumpamaan hidayah yang berkumpul dalam hati orang-orang beriman. Petunjuk dari Allah atas ketidakadilan yang terjadi kepada mereka yang lemah dan dilemahkan akan terus menerangi hati orang-orang beriman.

Allohumma arinal haqqo haqqon warzuqnat tibaa'ahu, wa arinal bathila bathilan warzuqnaj tinaabahu.

Ya Allah tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang batil itu batil dan bantulah kami untuk menjauhinya.

Kamis, 10 April 2025, saya hadir di seberang istana Presiden di Jakarta untuk Aksi Kamisan ke-857. Saya pergi ke lokasi dibantu jasa seorang tukang ojek yang masih muda. Ia bertanya apakah saya akan pergi ke Kamisan. Mungkin karena baju saya hitam-hitam. Saya bilang iya, dan balik bertanya apakah ia sering mengantar orang ke lokasi Kamisan?

Ia jawab: Saya memang tahu Aksi Kamisan. Saya sebenernya pengin banget ikut tapi ya ginilah Kak, saya kerja ngojek.

Sore itu, seperti biasa perempuan tua berbadan pendek berambut putih sudah ada di lokasi: Ibu Sumarsih. Hadir juga Ibu Suciwati Munir Said Thalib memberikan refleksi.

Kehadiran mereka berdua selalu menjadi lonceng kesadaran bagi kita semua. Apa yang membuat seseorang memiliki daya untuk memperjuangkan keadilan selama belasan hingga puluhan tahun? Kaki-kaki kecil itu tidak juga goyah. Mereka memilih hidup cukup, bukan hidup berkelebihan.

Siang sebelum aksi, dua Ibu mulia itu, bersama Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto baru saja menyerahkan surat terbuka penolakan gelar Soeharto sebagai Pahlawan Nasional karena dosa-dosanya untuk pelanggaran berat HAM hingga pemberangusan terhadap gerakan perempuan, petani, buruh, dan gerakan mahasiswa.

Mereka tidak goyah karena keimanan pada kebenaran. Panggilan untuk kebenaran dan keadilan membuat mereka tidak bingung sedikit pun menentukan dalam gerbong mana mereka harus terus berjalan. Yakni, gerbong yang membawa suara keadilan rakyat.

Di Kamisan ke-857, para orator dan peserta aksi sebagian besar adalah kawan-kawan muda generasi Z. Sebagian mereka mengaku baru pertama kali hadir di Aksi Kamisan. Kehadiran mereka membuktikan bahwa suara itu terdengar dan saling memberi kabar dan kesadaran itu terus lahir.

Kebenaran dan keadilan seharusnya tidak pernah membuat kita bingung. Ia adalah pilihan politik yang mutlak dan tidak abu-abu. Yang abu-abu adalah ukuran-ukuran yang mencampuradukkan keberpihakan dengan popularitas atau imbalan kemewahan. Kebenaran dan keadilan membuat kita tenang meskipun jumlah kita kecil dan tidak berkelebihan. Sedangkan mereka yang bingung, menukar hidup berkelebihan dengan hilangnya idealisme untuk menentukan suara dan sikap, menggadaikan kemerdekaan berpikir dan mengorbankan martabat dengan menjadi badut-badut elite yang serakah.

Meskipun begitu, kita perlu sedikit bekal agar nyala dalam kegelapan kita terus terjaga.

1. Memilih teman dalam keberpihakan

Di umur saya yang belum tua tapi juga sedikit malu untuk mengaku muda ini, saya menyadari bahwa berkompromi kepada teman-teman yang meninggalkan keberpihakan pada kelompok lemah dan tertindas itu tidak sehat.

Kita tidak bisa berkompromi dengan orang-orang tidak jujur yang siap menikam kita dari belakang sewaktu-waktu. Masih banyak teman yang mengimani kesetaraan, anti misoginisme, dan bersetia untuk hidup jujur. Nafas gerakan kita akan panjang dengan keberanian untuk tidak kompromis pada pilihan pertemanan.

2. Sekecil-kecilnya perlawanan, adalah perlawanan

Alat negara yang sayangnya sering hadir untuk menyerang mahasiswa dan rakyat itu, dipersiapkan dengan ketangguhan yang dibentuk dari pendisiplinan tubuh bertahun-tahun dan pendisiplinan pandangan hidup yang mereka sangka sebagai nasionalisme dan bela negara. Barisan mereka kokoh dan keyakinan mereka tidak terpecah belah.

Gerakan rakyat mesti mengaku rapuh. Cita-cita rakyat untuk keadilan nampak besar dan muluk. Tapi aktivitas membaca buku, ruang-ruang diskusi dan disiplin pengorganisasian kita kian hari kian berkurang. Fokus kita terpecah ditambah situasi geopolitik internasional yang makin memarjinalkan gerakan rakyat, dinamika sebagai kelas pekerja yang makin rawan pemutusan hubungan kerja juga makin melemahkan daya kita untuk gerakan rakyat.

Maka kita mesti kembali memulai mencintai yang kecil. Kelompok membaca kecil, perpus-perpus jalanan yang kecil tapi dikenali dan menyapa rakyat, kelompok diskusi kecil dan organisasi-organisasi kecil. Jangan mudah silau dengan pembesaran. Kecil itu indah. Kecil itu kokoh dan tidak goyah. Kecil tapi banyak dan menular.

3. Menolak gerakan dipecah belah lewat pengkultusan dan sikap "si paling gerakan", khususnya untuk gerakan perempuan: menolak penyeragaman bentuk perlawanan perempuan yang bersumber dari narasi-narasi patriarki.

Belakangan ini, orang-orang menyebut bahwa perempuan berdaya atau perempuan modern adalah mereka yang berargumen dengan rasional, menggunakan cara-cara yang tidak emosional atau sentimentil. Anggapan tersebut menihilkan berbagai daya resiliensi gerakan perempuan.

Mama mama Papua datang ke Jakarta dengan berteriak dan menangis. Perempuan Kendeng menyemen kaki mereka.

Bu Sumarsih berdiri dengan payung hitam belasan tahun. Perempuan petani dan nelayan menghadang alat berat korporasi dengan menunaikan salat dan menyanyikan salawat. 

Gerakan mereka emosional, sentimentil dan jauh dari imajinasi perempuan modern yang rasional. Tapi perlawanan itu memiliki napas panjang dan tidak mudah dipatahkan.

4. Panduan keamanan holistik

Kita perlu mengelola frustrasi bersama-sama saat kemenangan tak juga datang. Kita hanya bisa memenangkan gerakan rakyat saat kita tidak punah, tetap hidup dan sehat.

Menjadi aktivis gerakan rakyat tidak harus hidup menyedihkan dalam ruang-ruang yang tidak aman dan tidak sehat.

Pilihan untuk hidup dalam ruang aman yang sehat adalah mutlak. Keamanan fisik, psikis maupun digital harus tetap menjadi prioritas utama.

Hidup rakyat!

Hidup perempuan!

*Orasi politik ini disampaikan dalam Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Bandung, Sabtu, 12 April 2025

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//