Dari Klub Malam ke Takhta Suci, Cuplikan Masa Hidup Paus Fransiskus dan Jalan Menuju Paus Baru
Paus Fransiskus atau Jorge Mario Bergoglio lahir di Buenos Aires, Argentina, 17 Desember 1936. Orang tuanya pasangan imigran Italia. Menjalani hidup sederhana.
Penulis Fauzan Rafles 26 April 2025
BandungBergerak.id - Kabar wafatnya Paus Fransiskus pada 21 April 2025 menjadi duka mendalam bagi umat Katolik di seluruh dunia. Pemimpin tertinggi Gereja Katolik ini dikenal karena gaya hidupnya yang sederhana, sikapnya yang terbuka terhadap berbagai isu sosial, serta pendekatannya yang membumi dalam menyampaikan kasih Tuhan. Namun di balik sosok pemimpin spiritualnya, perjalanan hidup Jorge Mario Bergoglio, nama asli Paus Fransiskus yang penuh dengan cerita yang tak terduga.
Paus Fransiskus lahir di Buenos Aires, Argentina, pada 17 Desember 1936, dari pasangan imigran Italia yang melarikan diri dari fasisme. Ayahnya seorang akuntan, sementara ibunya ibu rumah tangga yang membesarkan lima anak. Sejak muda, Bergoglio tumbuh dalam kesederhanaan dan kerja keras. Ia sempat bekerja sebagai tukang bersih-bersih hingga penjaga klub malam demi membiayai hidup dan pendidikannya.
Dengan latar belakang pendidikan di bidang kimia, filsafat, dan teologi, Bergoglio kemudian mendalami kehidupan religius hingga menjadi Uskup Agung Buenos Aires. Ia juga aktif mengajar sastra, psikologi, dan filsafat. Ketekunan akademik dan spiritual inilah yang membawanya diangkat menjadi Paus ke-266 pada 13 Maret 2013, menggantikan Paus Benediktus XVI.
Simbol Kesederhanaan dalam Kekuasaan
Bergoglio memilih nama “Fransiskus” sebagai simbol penghormatan kepada Santo Fransiskus dari Assisi, tokoh Katolik yang terkenal karena hidupnya yang sederhana dan cintanya terhadap kaum miskin. Dalam banyak kesempatan, Paus Fransiskus menolak simbol kemewahan yang biasa menyertai jabatan tertinggi di Gereja Katolik. Ia memilih tinggal di rumah tamu Vatikan, bukan di Istana Apostolik, dan kerap terlihat menggunakan kendaraan sederhana, seperti mobil Toyota Innova saat kunjungan ke Indonesia.
Salah satu kutipan terkenalnya, “My people are poor and I am one of them,” menggambarkan konsistensinya untuk hidup berdampingan dengan rakyat kecil. Sikap ini membuatnya dihormati tidak hanya di kalangan Katolik, tetapi juga oleh masyarakat lintas agama dan ideologi.
Paus Fransiskus juga dikenal karena keterbukaannya terhadap berbagai isu sosial dan keberpihakannya kepada kelompok-kelompok terpinggirkan. Ia pernah menyatakan, “Who am I to judge?” saat ditanya mengenai umat LGBT yang mencari Tuhan dengan tulus. Ia juga meyakini bahwa keselamatan tidak hanya diperuntukkan bagi umat Katolik, tetapi juga bagi mereka yang berbuat baik dengan hati nurani, termasuk mereka yang tidak percaya Tuhan.
Baca Juga: Paus Fransiskus Mengingatkan Bahwa Kekayaan Alam Indonesia Milik Orang-orang Muda
Media Massa Diingatkan agar Menghindari Politisasi Agama dengan Menerapkan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman
Menjelang Suksesi: Apa yang Terjadi Setelah Takhta Kosong?
Kepergian Paus Fransiskus membuka babak baru dalam proses pemilihan pemimpin spiritual umat Katolik sedunia. Tahapan suksesi di Gereja Katolik diawali dengan “sede vacante” atau periode kosongnya takhta. Setelah kematian Paus, seorang Kardinal Camerlengo akan memverifikasi kematian secara resmi dan mengawasi transisi kepemimpinan.
Misa permakaman biasanya dilaksanakan 4–6 hari setelah wafatnya Paus, dan berlangsung di Lapangan Santo Petrus, Vatikan. Menurut keinginan terakhirnya, Paus Fransiskus akan dimakamkan secara sederhana di Basilika Santa Maria Maggiore, hanya dengan peti kayu berlapis seng.
Proses pemilihan Paus baru akan berlangsung melalui konklaf—pertemuan rahasia para kardinal di Kapel Sistina, Vatikan. Hanya kardinal di bawah usia 80 tahun yang berhak memilih. Pemungutan suara dilakukan hingga empat kali dalam sehari. Setiap hasil pemilihan ditandai dengan asap dari cerobong Kapel Sistina: hitam menandakan belum terpilih, dan putih menandakan telah terpilih Paus baru. Ketika Paus baru menerima jabatan dan memilih nama barunya, dunia akan mendengar deklarasi legendaris: Habemus Papam!—“Kita punya Paus baru!”
Tantangan Paus Berikutnya
Tugas Paus selanjutnya tentu tidak ringan. Gereja Katolik sedang menghadapi berbagai persoalan, mulai dari menurunnya jumlah jemaat muda, krisis kepercayaan akibat skandal masa lalu, hingga meningkatnya ketegangan politik global yang juga berdampak pada kehidupan keagamaan.
Paus Fransiskus telah meletakkan fondasi penting: Gereja yang tidak hanya mengajarkan doktrin, tetapi juga hadir dalam kehidupan nyata umat—dalam kemiskinan, konflik, dan penderitaan. Ia menjadikan kasih Tuhan sebagai pesan yang inklusif, bukan eksklusif.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan Paus Fransiskus juga memberi pengaruh signifikan. Umat Katolik di Indonesia, termasuk di Bandung, terinspirasi oleh gaya kepemimpinan beliau yang merakyat. Gereja-gereja lokal kini lebih terbuka dalam menjalin relasi dengan masyarakat lintas agama, memperkuat semangat toleransi dan keberagaman.
Catatan Akhir
Kepergian Paus Fransiskus tidak hanya menandai akhir sebuah era, tetapi juga menjadi pengingat bahwa kekuasaan sejati terletak pada kerendahan hati dan keberpihakan kepada sesama. Ia mengubah wajah kepemimpinan Katolik menjadi lebih manusiawi, tanpa kehilangan kekuatan spiritualnya.
Kini, dunia menanti sosok baru yang akan meneruskan jejaknya memimpin 1,3 miliar umat Katolik di seluruh dunia berjumlah 1,3 miliar per 31 Desember 2021 (UCANEWS, diakses Sabtu, 26 April 2025). Siapa pun yang akan menyandang gelar Paus berikutnya, ia akan mewarisi beban sekaligus semangat dari seorang Jorge Mario Bergoglio—anak imigran yang pernah menjaga klub malam, dan kemudian menuntun jutaan jiwa menuju kasih Tuhan.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Keberagaman